Jakarta - Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan, sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) akan lebih efisien jika ditangani di Pengadilan Tinggi (PT) dan Mahkamah Agung apabila ada banding.
"Akan lebih sederhana jika bisa diselesaikan di bawah (daerah), biaya jauh lebih murah," katanya saat ditemui setelah rapat kerja Komisi II DPR dengan Mendagri dan jajaran Kemdagri, di Jakarta, Senin.
Menurut Mendagri, penyelesaian kasus sengketa di pengadilan tinggi, dari segi biaya jauh lebih hemat jika dibandingkan dengan penanganan kasus di Mahkamah Konstitusi.
Pemerintah telah menuangkan usulan penyelesaian sengketa pilkada di pengadilan tinggi dan MA di dalam RUU Pilkada yang menjadi inisiatif pemerintah.
Ia menuturkan untuk menghindari penyelesaian kasus yang berlarut-larut di daerah, maka dapat diberlakukan batas waktu penanganan setiap kasus sengketa pilkada di pengadilan tinggi.
Lebih lanjut ia menjelaskan, masih ada alternatif lain yang sedang dibahas untuk menyelesaikan sengketa pilkada di daerah yaitu dengan membentuk pengadilan ad hoc.
"Atau buat pengadilan ad hoc saja, untuk sengketa pilkada. Setelah selesai, maka pengadilan itu juga selesai," katanya.
Menurut Mendagri, kedua alternatif penyelesaian sengketa pilkada ini nanti akan dibicarakan bersama dengan DPR untuk menentukan mana yang lebih efektif dan adil.
Menanggapi wacana ini, Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap mengatakan usulan tersebut harus dikaji lebih mendalam. Namun, ia mengingatkan sebaiknya jangan terlalu mudah mengganti sistem yang sudah berjalan.
"Jadi bukannya menyelesaikan masalah, malah membuat masalah baru, seperti tambal sulam saja. Nanti pasti kita bahas secara komprehensif," katanya.
Sementara itu, dalam raker dengan Komisi II, Mendagri menjelaskan RUU Pilkada saat ini sudah diharmonisasi dan terus dilakukan pembulatan serta pemantapan konsepsi. Ia berharap RUU ini dapat dibahas di DPR pada Desember 2011, bersamaan dengan RUU tentang Pemerintahan Daerah.(ANTARA)
"Dari enam yang mengambil formulir, baru tiga lembaga yang sudah akreditasi, karena telah memenuhi persyaratan," kata Ketua Kelompok Kerja Pendaftaran dan Akreditasi Pemantau KIP Aceh Yarwin Adi Dharma seperti dilansir Antara, Kamis (6/10).
Sedangkan tiga lembaga lain yang belum melengkapi persyaratan, yaitu The Asian Network for Free and Fair Election (Anfrel) dari Thailand, Aceh Future, dan pemantau dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah).
"Jika ketiga lembaga tersebut tidak melengkapi persyaratan hingga 24 November 2011, kami tidak akan mengeluarkan akreditasi sebagai pemantau Pilkada Aceh," katanya.
Pemungutan suara pilkada digelar 24 Desember 2011. Pemungutan suara tersebut digelar serentak dengan pemilihan 17 bupati/wali kota seluruh Aceh.
Menurut Yarwin, berkas yang harus dilengkapi meliputi profil lembaga, jumlah anggota serta berapa orang yang akan dilibatkan memantau Pilkada Aceh dan sumber dana kegiatan.
"Dalam pemberkasan tersebut juga wajib dilampirkan rencana wilayah pemantauan, apakah di seluruh Aceh atau hanya di beberapa kabupaten/kota saja," paparnya.
Khusus pemantau asing, kata dia, mereka harus memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, salah satunya aturan keimigrasian.
"Kami tidak ingin kehadiran pemantau asing melahirkan masalah keimigrasian. Maka, setiap pemantau asing yang ingin memantau proses pilkada di Aceh wajib melaporkan ke imigrasi," tegas Yarwin Adi Dharma. [ed/ant]