Tampilkan postingan dengan label Headlines. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Headlines. Tampilkan semua postingan

18 Januari 2012

KontraS: Stop Rencana Mobilisasi Densus 88 ke Aceh

Jakarta-Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras rencana mobilisasi 780 personel Mabes Polri dari berbagai satuan, termasuk di antaranya Detasemen Khusus Anti Teror 88 Mabes Polri, guna mengamankan persiapan pelaksanaan Pemilukada Aceh mendatang.

Rencana mobilisasi personel Detasemen Khusus Anti Teror 88 Mabes Polri, hingga kini belum diketahui jumlah pastinya. “Ini pun amat janggal,” ujar Koordinator KontraS, Jakarta, Haris Azhar, MA, Rabu (18/1).

Menurutnya, pernyataan Kepala Divisi Humas Polri Irjen (Pol) Saud Usman Nasution yang menerangkan bahwa fungsi Densus 88 di Aceh adalah standby di titik-titik operasi yang akan ditentukan kemudian, bertentangan dengan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) Densus 88, khususnya di ranah fungsi intelijen, penegakan, investigasi, penindakan dan bantuan operasional dalam rangka penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme.

Kata Haris, tingginya tensi kekerasan menjelang pelaksanaan Pemilukada Aceh 2012 juga tidak langsung harus dijawab dengan mobilisasi pasukan keamanan dari luar Aceh.

“Karena apa yang tengah terjadi di Aceh tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah situasi yang mampu mengancam keamanan nasional NKRI,” jelasnya.

Tambah Haris, dalam Nota Perdamaian Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Polda Aceh (polisi organik) adalah otoritas keamanan yang bertanggung jawab untuk menjaga hukum dan ketertiban di Aceh seperti yang tertera dalam butir nomor 4.10 MoU Helsinki.

“Sudah seharusnya agenda pengamanan Pemilukada Aceh 2012 memaksimalkan kuantitas dan kapasitas personel Polda Aceh yang berada di lapangan,” lanjut Haris.

“Kita juga bisa memeriksa kembali Pasal 204 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan dikuatkan dalam ayat (3), dengan penjelasan bahwa kebijakan ketentraman dan ketertiban masyarakat di Aceh dikoordinasikan oleh Kepala Kepolisian Aceh kepada Kepala Pemerintahan Aceh, sebagai otoritas politik tertinggi di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam,” tambahnya lagi.

Kini, katanya, merawat proses perdamaian di Aceh pasca MoU Helsinki menjadi hal krusial yang harus dipertahankan. Di tengah potensi keinginan kuat Jakarta untuk melakukan mobilisasi pasukan sebagai wujud penyikapan dinamika politik Aceh, Haris mengatakan, masyarakat dan segenap elemen lainnya juga harus belajar dari pengalaman Pemilukada Aceh 2009 silam, ketika TNI turut melakukan pengamanan hingga Hari-H Pemilukada.

“Dari hasil pemantauan KontraS Aceh saat itu (2009), aparat TNI mendirikan pos-pos pengamanan di wilayah TPS. Mereka bahkan terlibat dalam penurunan atribut partai seperti yang terjadi di Aceh Utara dan mendapat ekspos luas dari media massa.”

Kata Koordinator KontraS ini lagi, parahnya lagi ketika keterlibatan aparat TNI dalam Pemilukada silam yang turut mengibarkan bendera Partai Hanura dan calon kandidat Pemilukada (terjadi di Meulaboh dan Blang Pidie).

“Mobilisasi pasukan TNI di Aceh juga diterapkan pada penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004 tepatnya bulan Juli 2004, ketika itu Darurat Sipil masih diberlakukan di Aceh. Tentu saja, model tindakan semacam ini amat bertentangan dengan kesepakatan MoU Helsinki, UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh dan khususnya UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan tidak akan pernah mendapatkan justifikasi apapun,” bebernya.

Karenanya, KontraS akan menolak keras jika pasukan TNI kembali lagi dikerahkan ke Aceh untuk membatasi aspirasi politik lokal warga Aceh dalam Pemilukada 2012 yang akan datang.

“Sekali lagi, KontraS amat menghendaki penyelenggaraan suksesi politik lokal Aceh pada tahun 2012 berjalan aman, damai dan tidak memicu kembali rasa traumatik warga Aceh seperti yang terjadi di masa lalu,” pungkas Haris.[rel]

11 Januari 2012

Gempa 7,1 SR, Sirine Tsunami Tidak Bunyi?

Banda Aceh-Badan Meteoroli Klimatoligi dan Geofisika (BMKG) Mata Ie, Aceh Besar menyesalkan tidak dibunyikannya sirene tsunami saat gempa tektonik pukul 01:36 WIB dengan kekuatan 7,1 SR dan berpotensi tsunami. Syahnan, Kepala BMKG, mengaku pihaknya sudah memberikan ‘tsunami warning.’

“Ini kewenangan pemerintah setempat untuk membunyikkan sirene, dampaknya itu evakuasi semua masyarakat,” jelas Syahnan, Rabu (11/1).

Namun menurut Syahnan, kemungkinan atas pertimbangan agar masyarakat tidak panik, Badan Penanggulang Bencana Aceh (BPBA) tidak membunyikan sireni peringatan tsunami. Selain itu, katanya, tidak dibunyikannya sirene karena dinilai jarak pusat gempa ke Banda Aceh terlalu jauh.

Asmadi, Kepala BPBA, saat dihubungi via telpon mengaku belum mengetahui penyebabnya tidak dibunyikannya sirene tsunami.
“Saya akan tanya dulu ke Pusdalop kenapa tidak bunyi,” katanya.

Iskandar, PJ  Pusat Pengendalian Operasi Penanggualang Bencana (Pusdalob-PB), menyatakan pihaknya tidak membunyikan satupun sirine peringatan tsunami karena pusat gempa berada 446 KM dari Banda Aceh. Menurutnya, ada empat sirene tsunami di Banda Aceh dan dua di Aceh Besar.

“Titik sebaran sirine tsunami di daerah yang tidak terancam tsunami. Kepanikan terjadi 20 menit setelah gempa besar itu biasa tandanya masyarakat telah siaga,” kilahnya.

BMKG hingga saat ini mencatat telah terjadi 11 kali gempa susulan di titik yang berdekatan dengan pusat gempa 2.41 Lu-93.09 BT atau 334 kilometer Barat Daya kabupaten Simeulue Provinsi Aceh dengan kedalaman 10 kilometer.

"Ini akibat penujaman lempeng Indoaustralia yang nyusup ke lempeng Euroasia, Aceh memang berada pada jalur tektonik tersebut sehingga sering gempa.[]

26 Desember 2011

Jadi Lokasi Mesum, WH Diminta Tertibkan Lapangan Merdeka Langsa

Langsa - Selama ini, Lapangan Merdeka Langsa ditengarai berubah fungsi menjadi lokasi mesum pasangan muda mudi  setiap malam minggu. Bahkan diduga keras menjadi salah satu lokasi transaksi prostitusi. Kondisi tersebut dilaporkan telah berlangsung sejak berapa bulan terakhir, namun hingga kini belum ada tindakan penertiban apapun dari pihak Satpol PP dan WH setempat.

Kondisi tersebut diungkapkan Aliansi Mahasiswa Langsa (AMAL) melalui kordinatornya Firdaus. Menurut dia, generasi penerus bangsa akan rusak, jika  peran Wihayatul Hisbah  saat ini tidak sesuai dengan tanggung jawabnya. “ Kami sangat kecewa terhadap petugas WH di kota Langsa karena tidak bisa menjaga norma syariat Islam di sana,’ kata Firdaus dalam pernyataannya kepada wartawan, Minggu 25/12).

Dia menambahkan,  tidak sedikit waria dan pelacur juga berkeliaran saat malam hari di Kota Langsa khususnya di lapangan Merdeka. Di sana, menurut Firdaus, mereka menjadikan tempat transaksi untuk aktivitas prostitusi. Karena itu, ia meminta kepada unsur Muspida  dan WH datang saat malam sekitar pukul 02.00 WIB.  “Pada jam itu  mereka berkumpul di depan Pendopo Aceh Timur di sekitar lapangan Merdeka," ungkapnya.

AMAL mengimbau kepada pemerintah setempat dalam hal ini Satpol PP dan WH, untuk segera mengambil langkah positif guna memberantas aktivitas sekelompok muda mudi yang melakukan tindakan pelanggaran hukum syariat Islam tersebut. []

18 Desember 2011

Aceh Timur Dikepung Banjir, Satu Rumah Ambruk

 

[caption id="attachment_3209" align="alignleft" width="300" caption="Banjir Peudawa | Iskandar Usman"][/caption]

Idi—Sejumlah kawasan pedalaman di Kabupaten Aceh Timur, Sabtu (17/12) dikepung banjir akibat hujan  deras yang mengguyur kawasan Aceh Timur sejak Jumat malam hingga Sabtu kemarin. Banjir mengenangi kawasan pemukiman warga, ratusan hektare padi, serta mengakibatkan satu unit rumah warga ambruk diterjang banjir. Ketinggian air mulai setinggi lutut sampai satu meter.

Informasi yang dihimpun AcehCorner.Com, banjir kali ini melanda kawasan Kecamatan Darul Aman, Julok, Kecamatan Idi Rayeuk, Kecamatan Indra Makmu, Kecamatan Peudawa, Kecamatan Idi Timur, Banda Alam, Idi Tunong,  Nurussalam, dan Ranto Peureulak, serta  beberapa wilayah lainnya.

Banjir juga merendam sarana umum seperti jalan, jembatan, seperti di kawasan pedalaman Kecamatan Idi Rayeuk, Darul Aman dan Kecamatan Peudawa. “ akibat banjir kali ini kami para petani sangat rugi, karena padi yang baru kami tanam, kini ikut terendam air,” ujar Wahidin (45), warga Desa Sampoimah Kecamatan Idi Rayeuk.

Muchtar AR, Kepala Desa Alue Luddin Dua, Kecamatan Darul Aman. Katanya, akibat banjir kali ini beberapa meter badan jalan di desanya erosi. Banjir yang melanda hampir 30 desa di kecamatan ini karena  puluhan kilo meter anak sungai tersumbat sampah dan pohon rumbia, karena tidak pernah dilakukan pengerukan.

Akibat hujan deras yang melanda kawasan pantai timur sejak Jumat malam, satu unit rumah berkontruksi semi permanen  milik Abdullah Yakop (42), warga Dusun Blang Jawa,  Desa Buket Kuta, Kecamatan Peudawa, Aceh Timu  dilaporkan ambruk akibat tanah longsor. Meski tidak ada korban jiwa dalam musibah itu, namun Abdullah mengalami kerugian puluhan juta rupiah[]

17 Desember 2011

Selama di SPN Anak Punk Dibekali Ilmu Agama

Aceh Besar - Puluhan anak punk yang terjaring razia saat menggelar konser di Banda Aceh Sabtu (10/12) lalu mendapatkan pembinaan di Sekolah Kepolisian Negara (SPN) Seulawah, Aceh Besar (16/12). Anak Punk yang sebelumnya hidup bebas tanpa aturan, kini dilatih kedisiplinan dan menghargai sesama.


Ke-59 orang anggota komunitas punk di Banda Aceh ini terjaring razia yang digelar pemerintah kota Banda Aceh. Pemko menganggap keberadaan mereka menggangu ketertiban umum dan penerapan Syariat Islam di Aceh.


Selama 10 hari di SPN Seulawah Aceh Besar, mereka mendapat bimbingan mental dan dilatih kedisiplinan serta diajarkan menghargai sesama. Selain diisi dengan latihan baris-berbaris, mereka juga mendapatkan pembinaan rohani dari para pendidik di sekolah kepolisian tersebut.


Sarah, 18 tahun, salah seorang anggota komunitas Punk mengaku sebelum ditangkap dan mengikuti pelatihan ini, dirinya bergabung dengan komunitas Punk karena tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Sarah memilih hidup bebas dan nyaman bergabung bersama teman-temannya itu. ”Saya ada masalah di rumah, kemudian saya mencari pengalaman baru,” kata Sarah.


Selama ini di SPN, Sarah merasa senang karena mendapat ilmu soal pelajaran baris berbaris dan juga kedisiplinan. ”Disiplin banyak kegiatan dan banyak perubahan lah,” ungkap Sarah yang berkeinginan selepas dari program pembinaan di SPN ingin segera melanjutkan pendidikannya di salah satu SMA Negeri Bireuen.


Anak Punk ini tidak semuanya berasal dari Aceh, tapi juga berasal dari beberapa daerah lain seperti Sumatera Utara, Lampung, Palembang, Jambi, Batam, Riau, Padang, Jakarta dan Jawa Barat.


Ai, 15 tahun, Punkers asal Medan ini mengaku datang ke Aceh untuk mengikuti konser amal yang digelar Punkers Aceh. Ai mengaku senang selama mengikuti pembinaan di sekolah polisi tersebut, namun Ai karena belum memberitahukan keberadaannya di SPN Seulawah. Handphone miliknya telah disita polisi. "Saya tidak bisa menghubungi orang tua, karena Hp disita orang Poltabes,” ujar Ai yang mengaku hingga saat ini masih aktif bersekolah di salah satu SMA di Medan.


Program pembimbingan bagi anggota komunitas Punk ini merupakan inisiatif dari pemerintah kota Banda Aceh. Usai mengikuti pelatihan, para anggota komunitas Punk ini diharapkan dapat hidup normal. []


16 Desember 2011

Ferry: Pencabutan Surat Gugatan DPRA Harus Dihormati

[caption id="attachment_3077" align="alignleft" width="200" caption="Ferry Mursyidan Baldan"][/caption]

Jakarta – Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menarik gugatan soal sengketa kewenangan terhadap KIP Aceh ke MK, Kamis (15/12) mendapat perhatian dari mantan Ketua Pansus Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Ferry Mursyidan Baldan. Langkah tersebut, kata Ferry, menunjukkan kematangan politik parlemen Aceh.

“Langkah tersebut harus diapresiasi dan dihormati, karena mencerminkan kematangan politik DPRA, sekaligus sebagai komitmen DPRA untuk mengawal Aceh damai melalui Otonomi Khusus,” kata Ferry Mursyidan Baldan dalam pertanyaan yang diterima AcehCorner.Com, Jumat (16/12).

Menurut Ferry, upaya DPRA tersebut agar potensi kontraksi antara Aceh-Pusat tidak semakin berkembang dan berlanjut, terlebih setelah adanya putusan MK yang dimaknai sebagai sebuah peristiwa menang-kalah.

“Peringatan MK yang tertuang dalam konsideran pada putusan sela pada perkara yang diajukan TA Khalid, harusnya menjadi renungan. Dalam pertimbangan tersebut, MK menyatakan bahwa telah terjadi 'ketidak pastian hukum' dalam pelaksanaan Pilkada di Aceh,” jelas politisi nasional kelahiran Aceh ini.

Sebagai pelaksana Pilkada Aceh, lanjut Ferry, KIP harus memiliki kesadaran tentang kekhususan, jangan sekedar dan melulu menegaskan sebagai bagian dari KPU Pusat. Menurutnya, hal itu hanya bisa dilakukan oleh KIP untuk pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, sebagaimana di atur dalam UU.

“Sementara dalam konteks Pilkada, KIP semestinya berpedoman pada UUPA, yakni bahwa dalam pelaksanaan Pilkada tetaplah berdasarkan Qanun, sebagaimana diamanatkan oleh UUPA,” jelasnya.

Apalagi, kata Ferry, Qanun berisi penjabaran lebih lanjut pengaturan Pilkada berdasarkan kekhususan, dan pemuatan norma yang tidak tercantum dalam UUPA, sepanjang tidak bertentangan dengan substansi UUPA.

"Mengapa UUPA memuat penegasan tentang Qanun sebagai dasar pelaksanaan Pilkada di Aceh? Hal ini dikarenakan agar pelaksanaan Pilkada tetap sebagai bagian dalam rangka rekonsiliasi dan re-integrasi masyarakat Aceh, karena pelaksanaan Pilkada di Aceh mengacu pada satu aturan main. Ini penting, supaya pelaksanaan Pilkada di Aceh melahirkan kontradiksi pasal UU, karena masing-masing pihak menggunakan pasal UU yang membenarkan pendapatnya dan Pilkada di Aceh bukan ajang yang masing-masing pihak bebas sebebas-bebasnya mengutip pasal UU,” jelas Ferry.

Itulah mengapa, katanya, Pilkada di Aceh harus dilaksanakan berdasar Qanun (baru), agar semua ketentuan dalam UUPA atau UU lain yang tidak bertentangan dapat dimuat dalam satu ketentuan hukum pelaksanaan Pilkada, yakni Qanun.

“Dengan adanya satu ketentuan tersebut, maka pelaksanaan Pilkada di Aceh dapat berlangsung sebagai bagian dari penguatan perdamaian di Aceh yang baru berlangsung 5 tahun,” tambahnya lagi.

KIP Aceh Harus Jaga Semangat Rekonsiliasi

Mengenai KIP Aceh, Ferry mengatakan, KIP di Aceh harus memiliki semangat untuk memulihkan kepercayaan masyarakat Aceh terhadap lembaga penyelenggara Pemilihan di Aceh, khususnya dalam Pilkada. Dengan adanya pengaturan kekhususan tersebut, maka sangat jelas tentang peran KIP dalam konteks pelaksanaan Pilkada sebagai instrumen yang harus menjaga semangat rekonsiliasi di Aceh.

Lanjutnya, setelah langkah kedewasaan politik diambil oleh DPRA, maka sebagai pelaksana Pilkada di Aceh, hendaknya KIP mempunyai kesadaran, bahwa pelaksanaan Pilkada mutlak memerlukan pengaturan dalam Qanun (baru).

“Hal ini sekaligus menegaskan, konsistensi terhadap UUPA, karena jika pelaksanaan Pilkada diselenggarakan dengan kutip sana kutip sini pasal UU, maka potensi 'konflik regulasi' semakin mengemuka dan akan membuktikan bahwa UUPA yang memberi kekhususan, toh tidak juga jadi acuan dalam penyelenggaraan Pilkada di Aceh. Dan, terkesan KIP Aceh hanya merujuk UUPA karena mengatur jumlah yang lebih saja dibanding KPU Provinsi lain,” paparnya.

Kata Fery, UUPA memang belumlah sempurna dan bisa direvisi kapanpun. "Namun, sepanjang UUPA belum direvisi, maka pengabaian terhadap UUPA hanya akan mendatangkan penerapan kebijakan yang mereduksi kekhususan secara perlahan dan pasti," demikian Ferry Mursyidan Baldan.[]

DPRA Tak Akan Akui Gubernur Terpilih

Banda Aceh - Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tidak akan mengakui gubernur terpilih pada pemilihan kepala daerah 16 Februari 2012 karena tahapan pemilihannya dinilai cacat hukum.

"DPRA sebagai lembaga legislatif tidak akan mengakui siapa pun Gubernur Aceh terpilih pada pilkada nanti," tegas Ketua DPRA Hasbi Abdullah seperti dilansir ANTARA, Kamis (15/12).Menurut dia, tidak diakuinya gubernur terpilih tersebut karena DPRA menilai tahapan pilkada Aceh yang ditetapkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh melanggar undang-undang.

Ia mengatakan, undang-undang yang dilanggar adalah Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) beserta turunannya Qanun Nomor 7 Tahun 2006 tentang pilkada Aceh.

Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa tahapan pilkada baru bisa ditetapkan setelah DPRA menyampaikan surat pemberitahuan masa berakhirnya jabatan gubernur dan wakil gubernur.

"Namun, KIP Aceh menetapkan tahapan pilkada sebelum surat pemberitahuan tersebut. Surat pemberitahuan disampaikan Agustus 2011, sementara tahapan pilkada ditetapkan beberapa bulan sebelumnya," kata Hasbi Abdullah.

Selain itu, kata dia, pihaknya juga tidak akan menggelar sidang paripurna istimewa mendengarkan visi dan misi pasangan calon gubernur dan wakil gubernur saat dimulainya masa kampanye.

Ia mengatakan, semua itu akibat tidak diakuinya tahapan pilkada yang ditetapkan KIP Aceh yang tidak mempedomani Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006.

"Kami juga berencana dalam waktu dekat ini akan menjumpai Presiden RI menyampaikan semua permasalahan terkait pilkada Aceh," ungkap Hasbi Abdullah. [ANTARA]

DPRA Cabut Gugatan Terhadap KIP di MK



[caption id="attachment_3093" align="alignleft" width="227" caption="Hasbi Abdullah"][/caption]

Banda Aceh - Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Kamis (15/12) mencabut gugatannya terhadap Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh yang telah disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Pencabutan gugatan ini sebagai bentuk kekecewaan kami terhadap Mahkamah Konstitusi karena kami tidak yakin lembaga tersebut akan memutuskan perkara secara objektif," kata Ketua DPRA Hasbi Abdullah, Kamis.Sebelumnya, Ketua DPRA Hasbi Abdullah mendaftarkan gugatan sengketa kewenangan terhadap KIP Aceh ke MK beberapa waktu lalu. Perkara ini didaftarkan dengan Nomor Perkara 6/SKLN-IX/2011. Perkara tersebut mulai disidangkan 2 Desember 2011-12-15.

Gugatan tersebut dilayangkan karena KIP Aceh dinilai telah melanggar kewenangannya dalam menetapkan tahapan dan jadwal pemilihan pilkada tanpa berkoordinasi dengan DPRA.

"Surat pencabutan dengan nomor 180/2827 tertanggal 15 Desember 2011 sudah dikirim ke email Mahkamah Konstitusi pukul 14.30 WIB tadi," kata Hasbi Abdullah.

Ia mengatakan, alasan pencabutan gugatan tersebut karena berdasarkan rekomendasi Badan Musyawarah (Banmus) DPRA. Di mana, Mahkamah Konstitusi diyakini tidak akan dapat memberi keputusan dalam perkara tersebut secara "fair" dan objektif.

"Kami menilai lembaga tersebut telah terpasung dengan putusan"putusan terkait pilkada Aceh sebelumnya, sehingga harapan Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang mampu menyelesaikan konflik pilkada Aceh tidak bisa diharapkan lagi," tandas dia.

DPRA, kata dia, menilai Mahkamah Konstitusi tidak berusaha dengan sungguh"sungguh memahami semangat perdamaian Aceh. Mahkamah Konstitusi condong mengabaikan kewenangan kekhususan Aceh sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.

"Salinannya sudah dikirim. Surat aslinya akan saya antarkan langsung ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Rencananya, saya Jumat ini ke Jakarta, menghadiri peresmian mes Pemerintah Aceh di Jakarta. Usai dari tempat itu, saya akan ke Mahkamah Konstitusi," ujar Hasbi Abdullah. [Antara]

14 Desember 2011

Cawabup Pidie: KIP Pidie Sewenang-wenang

[caption id="attachment_2500" align="alignleft" width="300" caption="Muhammad MTA"][/caption]

Banda Aceh - Keputusan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Pidie menghentikan seluruh tahapan Pemilukada di Pidie mengundang kecaman dari bakal calon Wakil Bupati Pidie Muhammad MTA. Menurutnya, sikap KIP Pidie tersebut sebagai bentuk kesewenang-wenangan kelembagaan.

"Keputusan KIP Pidie menunda karena alasan tidak ada dana sangat subjektif dan irrasional," kata Cawabup Pidie yang berpasangan dengan Teuku Khairul Basyar (Pon Walet) kepada AcehCorner.Com, Selasa (13/12).

Padahal, kata Muhammad, dalam APBK 2011 yang disahkan DPRK Pidie jelas ada plotan anggaran untuk pelaksanaan Pilkada. Jika kemudian Bupati tidak mengucurkan anggaran, lanjutnya, berarti Bupati telah melanggar perintah UU dan sumpah jabatan.

"Maka KIP Pidie tidak boleh turut serta melegitimasi bahwa di Pidie tidak ada anggaran. KIP Pidie seharusnya harus berupaya sebaik mungkin agar Bupati mau mengucurkan anggaran," saran MTA yang juga petinggi Partai SIRA ini.

Jika pun tersendat, lanjut dia, maka KIP berkewajiban menempuh jalur hukum, bukan lepas tangan.

"Walaupun kemudian tindakan supervisi KIP Aceh terhadap Pilkada Pidie menjadi sebuah solusi, tetapi KIP Pidie tidak boleh melakukan tindakan penundaan Pilkada dengan alasan apapun selain penundaan sesuai dengan perundang-undangan yang objektif," tandasnya.

Ditanya, langkah apa yang akan ditempuh pihaknya terkait sikap KIP, MTA mengaku mereka akan tetap menunggu Pilkada dilaksanakan.

"Cuma sikap KIP itu tidak beralasan dan tak rasional. Mau ditunda atau pun tidak itu terserah saja," katanya.

Herannya, sambung dia, kalau KIP sudah tahu tak ada dana kenapa berani menjalankan tahapan Pemilukada.

"Makanya kita ingatkan, kalau tindakan penundaan itu sebuah tindakan melanggar UU, seharusnya dikomunikasikan dengan bupati, kalau tetap tak mempan, ya tempuh jalur hukum," tegas balon yang diusung Partai Demokrat, PKS dan Partai SIRA.

Selain itu, sebutnya, KIP juga perlu meminta arahan lembaga terkait yang lebih tinggi. ()