Tampilkan postingan dengan label Internasional. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Internasional. Tampilkan semua postingan

01 September 2012

Salafi Radikal Bajak Revolusi Suriah

KUNJUNGAN Abd al-Halim Murad, kepala gerakan Salafi al-Asalah Bahrain, ke Suriah untuk menemui pemberontak Suriah merupakan upayanya dan Salafi Teluk lainnya untuk membajak revolusi Suriah. Sayangnya, pemerintah Saudi dan Bahrain melirikcara lain ketika Salafi Sunni mereka mencoba menembus oposisi Suriah untuk memerangi Assad, Alawi, Syiah, Hizbullah, dan Iran.
Rezim Assad menggunakan strategi sektarian yang berakibat meluasnya “jihadisme” dengan kekerasan untuk mendukung klaimnya bahwa oposan rezimnya adalah ciptaan kelompok-kelompok teroris Salafi radikal dari luar negeri. Meski ada klaim sepihak dari Assad, para aktivis Salafi garis keras tetap memanfaatkan ketidakstabilan dan kekerasan di beberapa negara Arab, termasuk Suriah, untuk menyebarkan doktrin mereka dan memaksakan praktik sosial yang lebih konservatif kepada rekan-rekan mereka.
Beberapa orang Salafi tak percaya perubahan politik secara damai dan bertahap serta secara aktif bekerja untuk merusak sistem politik yang baru lahir, termasuk dengan meneror dan membunuh minoritas Syiah, Alawi, dan Kristen.
Kelompok Salafi radikal baru-baru ini melakukan kekerasan di Mali dan negara-negara Sahel lainnya  di Afrika, serta Nigeria, Uganda, dan Kenya. Mereka juga melakukan kekerasan atas nama jihad di Mesir, Sinai, Suriah, Irak, Yaman, dan tempat lain di Timur Tengah.
Ketika Arab Spring menyentuh lebih banyak negara dan rezim –misalnya, di Arab Saudi, Bahrain, Sudan, dan otoritas Palestina– berada di bawah tekanan dari rakyat mereka sendiri, mereka mulai menggunakan sektarianisme dan mempromosikan elemen radikal dalam sekte-sekte itu untuk kelangsungan mereka sendiri dan situasi regionalnya. Jihadis Salafi lebih dari senang untuk membantu. Sayangnya, sebagian warga Muslim harus menanggung beban kekerasan ini.

Dari mana Salafisme modern berasal?
Sejak akhir 1960-an, ketika Raja Faisal menyatakan penggunaan Islam sebagai sebuah prinsip dasar bagi kebijakan luar negeri Saudi, Arab Saudi memperluas citra Islam Wahabi-Salafinya di kalangan pemuda Muslim di seluruh dunia. 
Kala itu, Faisal berniat untuk menggunakan Islam Saudi untuk memerangi nasionalisme Arab “sekuler” yang dipimpin Gamal Abdul Nassir dari Mesir, Baathisme yang dipimpin Suriah dan Irak, serta Komunis ateis yang dipimpin Uni Soviet.
Interpretasi Islam Wahabi-Salafi, yang diekspor Saudi selama setengah abad, berangkat dari ajaran sarjana Islam abad ke-13 Ibnu Taimiyah dan sarjana Arab abad ke-18 Ibnu Abdul Wahhab. Itu juga tak bisa lepas dari mazhab Hambali konservatif dari hukum Islam dalam Sunni.
Singkatnya, doktrin keagamaan Wahhabi-Salafi tak toleran terhadap agama lain seperti Kristen dan Yahudi serta sekte-sekte Muslim seperti Syiah dan Ahmadiyah, yang tak mengikuti ajaran Islam Sunni. Doktrinnya juga membatasi hak-hak perempuan sebagai anggota yang setara dalam keluarga dan masyarakat dan menggunakan interpretasi Wahhabi untuk memadamkan setiap kritik terhadap rezim atas nama memerangi fitnah.
Yang lebih merisaukan, kekerasan dalam pandangan Salafi merupakan alat sah untuk melawan apa yang disebut musuh-musuh Islam tanpa perlu persetujuan otoritas agama yang diakui secara nasional. Setiap aktivis yang mengaku Salafi bisa mengeluarkan fatwa untuk melancarkan jihad melawan musuh, Muslim maupun non-Muslim.
Osama Bin Ladin melakukannya pada 1990-an, yang memulai siklus kekerasan dan terorisme terhadap umat Islam dan “kafir”,termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya.
Banyak aktivis Salafi radikal di Mali dan negara-negara Afrika lainnya menerima pendidikan agama di Universitas Imam Muhammad di Arab Saudi, tempat persemaian Islam Salafi dan salah satu lembaga pendidikan Islam paling konservatif di dunia.
Pemerintah Saudi dan beberapa pengusaha kaya Saudi menggelontorkan dana untuk menyebarkan Islam melalui beasiswa, proyek-proyek lokal dan LSM Islam, serta membangun masjid dan pencetakan Alquran dan teks-teks keagamaan lainnya yang menyokong Wahhabi-Salafi.
Sejak awal 1970-an, dakwah Wahhabi-Salafi dilakukan organisasi-organisasi nonpemerintah yang dibikin dan didanai Saudi, seperti Liga Muslim Dunia, Organisasi Bantuan Kemanusiaan Internasional (IIRO), Asosiasi Pemuda Muslim Dunia, dan al-Haramain.
Beberapa organisasi terlibat dalam kegiatan teroris di negara-negara Muslim dan non-Muslim dan telah dibubarkan pemerintah Saudi. Banyak pemimpinnya dipenjara atau dihukum matiYang lainnya melarikan diri dan meniti karier di organisasi-organisasi teroris baru di Yaman, Maroko, Irak, Somalia, Indonesia, Libya, Mali, dan tempat lain.
Selama bertahun-tahun, para pejabat Saudi beranggapan bahwa selama “jihad” dengan kekerasan dilancarkan di luar negeri, rezim itu aman. Pandangan itu berubah drastis setelah 12 Mei 2003 ketika para teroris menyerang jantung ibukota Saudi.
Dakwah Wahhabi meletakkan dasar bagi “jihadisme” Salafi di Afrika dan dunia Arab. Bahan ajar Saudi dijiwai penafsirannya atas Islam, yang menimbulkan pandangan sempit, tak toleran, dan berbasis konflik dalam pikiran pemuda di sana.
Berbeda dari fokus awal Raja Faisal, sasaran dakwah saat ini adalah sesama Muslim, dengan interpretasi agama yang berbeda, dan kelompok agama lainnya. Apa yang disebut jihadis itu telah membunuh ratusan Muslim, yang mereka anggap sebagai “korban sampingan” dalam perang melawan musuh dekat dan jauh Islam.
Sementara partai-partai politik Islam arus utama ambil bagian dalam pemerintahan di seluruh dunia Islam, dan Washington mulai melibatkan partai-partai Islam sebagai mitra, Salafi radikal merusak transisi demokrasi dan reformasi politik yang sah. Mereka menentang demokrasi sebagaimana yang dipahami di seluruh dunia, memandangnya sebagai buatan manusia dan bukan aturan Allah.

Dan apa yang harus dilakukan?
Kekerasan yang berkobar di Suriah dan kekuatan yang yang menempel pada rezim itu memberi lingkungan subur bagi kelompok Salafi untuk membuat pijakan di negara tersebut. Keamanan nasional serta kepentingan strategis Barat dan negara-negara Arab yang demokratis menjamin bahwa mereka menetralisir dan mengalahkan proyek Salafi.
Sebagai langkah awal, mereka harus bekerjasama dengan para pemberontak Suriah untuk mempercepat kejatuhan rezim Assad. Untuk itu perlu mempersenjatai para pemberontak dengan senjata yang memadai untuk melawan mesin militer Assad, terutama tank, buldoser, dan pesawatnya.
Washington dan London juga harus membahas serius dengan Saudi tentang ancaman jangka panjang Salafisme radikal dan peran penting dakwah Wahhabi Saudi dalam memelihara ideologi dan aktivitas Salafi radikal. Hasil positif pembicaraan itu akan membantu membangun tatanan politik yang demokrastis dan stabil pasca-Arab Spring. Bahkan, pembicaraan seperti itu sebenarnya sudah terlambat.
Selama bertahun-tahun, rekan-rekan saya dan saya menasehati para pembuat kebijakan senior tentang potensi dan bahaya jangka panjang dari doktrin agama yang berpikiran sempit, eksklusif, dan tak toleran ini. Sayangnya, hubungan ekonomi dan keamanan yang mesra antara Barat dan rezim Saudi telah mencegah setiap dialog serius dengan Saudi tentang ekspor dan ideologi berbahayaitu. [EmileNakhleh] 
* Penulis adalah mantan direktur Political Islam Strategic Analysis Program CIA dan penulis A Engagement Necessary:Reinventing America’s Relations with Muslim World.

Translated by Farohul Mukthi
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

15 Juli 2012

Hanya Atlet Pria dalam Tim Olimpiade Arab Saudi


DOHA, QATAR (IPS) – KOMITE Olimpiade Internasional (IOC) mengatakan pihaknya sedang berbicara dengan Arab Saudi, setelah Human Rights Watch (HRW) menyerukan agar Riyadh dilarang berpartisipasi dalam Olimpiade London.Pernyataan organisasi HAM internasional Selasa lalu itu muncul sebagai respon atas pengumuman Arab Saudi, membatalkan keputusan sebelumnya, yang takkan mengirim atlet perempuan untuk berkompetisi dalam Olimpiade London.
Kami masih berbicara dengan NOC (Komite Olimpiade Nasional) Saudi dan tetap yakin hasilnya akan positif, ujar IOC dalam sebuah pernyataan kepada kantor berita Associated Press, Rabu lalu.
Di situswebnya, HRW menyatakan: Komite Olimpiade Internasional harus melarang Arab Saudi ikut dalam Olimpiade 2012 karena jelas melanggar Piagam Olimpiade.
Piagam Olimpiade menyatakan, ajang tersebut bercita-cita “mendorong dan mendukung kemajuan perempuan dalam olahraga di semua tingkat dan dalam semua struktur dengan maksud menerapkan prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Dengan sisa waktu dua minggu sampai Olimpiade dimulai pada 27 Juli, harian milik Arab Saudi yang terbit di London Al-Sharq al-Awsat melaporkan tak ada perempuan yang memenuhi syarat dalam tiga cabang olahraga (lari, berkuda, dan angkat besi) untuk Olimpiade London di mana para atlet pria akan mewakili negara tersebut.
Tapi kedutaan Saudi di London, yang sebelumnya mengumumkan pada akhir Juni bahwa atlet perempuan yang “memenuhi syarat” akan diizinkan untuk berkompetisi, mengatakan bahwa NOC Saudi akan mengontrol keikutsertaan atlet perempuan yang dapat memenuhi syarat.
Kemungkinan keikutsertaan atlet perempuan dalam Olimpiade dipengaruhi pernyataan yang kontradiktif di media.
Pangeran Nawaf bin Faisal, ketua NOC Saudi, mengatakan pekan lalu bahwa para olahragawati Saudi mendapat lampu hijau untuk berkompetisi di Olimpiade.
Dalam komentar yang diterbitkan suratkabar Al-Jazirah, dia menjelaskan bahwa mereka hanya boleh melakukannya kalaumemakai pakaian pantas yang sesuai dengan Syariahwali atlet setuju dan hadir bersama mereka”, dan mereka tak berbaur dengan lelaki di ajang tersebut.
Padahal sebulan sebelumnya, sang pangeran mengatakan dia bakal tak mendukung keikutsertaan perempuan, sebagaimana dilaporkan suratkabar yang berbasis di Abu Dhabi, The National.

“Lakukan hal yang benar”
“Ini bukan karena Saudi tak bisa mendapatkan atlet perempuan. Ini adalah kebijakan diskriminatif mereka yang hingga kini menghalangi perempuan untuk tampil,” ujar Minky Worden, direktur inisiatif global HRW.
“Tapi masih ada waktu bagi Arab Saudi untuk melakukan hal yang benar dan membolehkan perempuan ikutserta dalam Olimpiade London dengan menyertakan perempuan dalam tugas-tugas ‘universalitas’ yang tak perlu persyaratan khusus.”
“Intinya, Arab Saudi melanggar janjinya, melanggar aturan, dan benar-benar harus tak diperbolehkan ikutserta dalam Olimpiade London 2012 bila tak menyertakan perempuan dalam timnya,” ujar Worden.
HRW menyerukan IOC melarang negara Teluk itu sebagaimana ia melarang Afghanistan yang dipimpin Taliban pada 2000 karena tak mengizinkan perempuan berpartisipasi dalam olahraga.
HRW juga meminta IOC “membuat jadwal dan tolok ukur guna memperkenalkan pendidikan jasmani untuk anak perempuan di sekolah umum dan swasta, yang memungkinkan berdirinya gedung olahraga dan klub olahraga bagi perempuan, dan membentuk bagian perempuan di Kementerian Olahraga dan Komite Olimpiade Nasional”.
Kebijakan diskriminatif Arab Saudi terhadap perempuan merupakan akar dari kegagalan pengiriman atlet perempuan ke Olimpiade London, kata Worden.
Worden meminta kerajaan itu dilarang ikut Olimpiade sampai kebijakannya yang mencabut hak-hak dasar jutaan gadis dan perempuan Saudi berakhir”.

Cuma tim pria
Keputusan Arab Saudi tak membolehkan atlet perempuan berkompetisi dalam Olimpiade membuatnya jadi satu-satunya negara yang tak akan mengirim atlet perempuan ke Olimpiade London.
Qatar dan Brunei, seperti Arab Saudi, hanya mengirimkan tim berisi atlet pria ke Olimpiade sebelumnya. Namun kedua negara itu telah menegaskan bahwa tim mereka di London akan mencakup atlet perempuan. Qatar menjadi tuan rumahArab Games 2011, yang mengikutsertakan perempuan, catat pernyataan HRW.
Qatar mengumumkan rencananya mengirim sebuah tim perempuan ke Olimpiade London yang terdiri atas petembak Bahia Al-Hamad, perenang Nada Wafa Arkaji, dan sprinter Noor Al-Malki. Brunei akan mengirim pelari gawang Maziah Mahusin.
Jika Arab Saudi memilih membatalkan keputusan terakhirnya dan menjunjung tinggi komitmennya pada Juni lalu dengan mengirim atlet perempuan ke event olahraga internasional, ini akan menjadi yang pertama bagi negara itu.
Dalma Malhas, seorang kontestan olahraga berkuda dan satu-satunya atlet perempuan di negara itu, dikesampingkan ikut kompetisi bulan lalu karena cidera.
Sekira 10.500 atlet diperkirakan akan berkompetisi di London, mewakili lebih dari 200 negara anggota komite Olimpiade.
Jika Saudi memutuskan mengirim atlet perempuan, semua tim dari negara peserta Olimpiade London akan mencakup atlet perempuan –kali pertama dalam sejarah Olimpiade. [Koresponden AJ]

*Diterbitkan atas persetujuan Al Jazeera.
Translated by Farohul Mukthi
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

07 Mei 2012

TARSA Himbau Perkuat Kerjasama Aceh-Malaysia

Kulala Lumpur - Pemerintah Aceh dibawah kepemimpinan Dr.Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf merupakan harapan baru Rakyat Aceh dan perlu membangun komunikasi dan kerjasama yang lebih intensif dan positif dengan pemerintah Malaysia dalam bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

Demikian salah satu rekomendasi Konggres Tanoh Rincong Student Association (TARSA) Malaysia pada Sabtu, 5 Mei 2012 di Auditorium kampus International Islamic University Malaysia (IIUM).

Malaysia memiliki tokoh pembangunan seperti Dr. Mahathir Muhammad dan Tan Sri Sanusi Junid yang telah sukses membawa Malaysia sebagai Negara Muslim kearah yang lebih maju dan disegani di Asia Tenggara. Dengan pengalamannya tersebut, tokoh ini mempunyai hubungan kuat dengan Negara-negara Islam di Timur Tengah dan Asia Tenggara yang patut dipelajari dan dekati untuk menarik minat dana-dana investasi dari Negara Islam di Timur Tengah.

"Pemerintah Malaysia sekarang dalam amatan kami masih sangat kuat dipengaruhi oleh peran Dr. Mahathir dan Tan Sri Sanusi Junid yang merupakan putra Asli Aceh,” ungkap Presiden Terpilih Tanoh Rincong Student Association (TARSA), Muammar Khadafi pada Aceh Corner, Senin 7 Mei 2012.

Menurutnya, TARSA akan berperan menjalin kerjasama dengan tokoh-tokoh masayarakat Aceh di Malaysia dan juga mendukung serta mengawal kebijakan Pemerintah Aceh sesuai MoU Helsinki, dan UU Negara RI.

Dalam hal ini TARSA melihat kondisi yang berkembang di masyarakat Aceh masih ada kesenjangan yang lebar secara ekonomi, social yang telah menyebabkan menurunnya nilai-nilai spiritual dan akar budaya Aceh.

"Untuk itu kami sebagai organisasi Mahasiswa Aceh di Malaysia meminta Pemerintah Aceh untuk tetap meneruskan kebijakan pembangunan dengan peningkatan pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat Aceh secara transparan dan akuntable,” lanjutnya.

Dalam bidang ekonomi, kata Muammar, pemerintah hendaknya dapat menghidupkan lembaga keuangan mikro Islami di seluruh Aceh, disamping membangun infrastruktur lainnya. Hal ini, diutarakan Muammar guna mengurangi investasi bidang pertambangan dan meningkatkan investasi pertanian, perikanan, parawisata serta lainnya.

“Disinilah letak salah satu urgensinya membangun hubungan dengan Pemirintah Malaysia.”

Dalam Konggres X yang dibuka secara resmi oleh penasehat TARSA Dr. Hafas Furqani dan turut mengundang mahasiswa Aceh di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) Bangi, Universitas Malaya (UM) Petaling Jaya, Universitas Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Tanjung Malim, Perak dan sejumlah tokoh Aceh di Malaysia itu, juga merekomendasikan serta mendesak pemerintah Aceh agar tetap memperioritaskan pendidikan sebagai peningkatan mutu SDM Aceh untuk memberikan beasiswa kepada mahasiswa Aceh, yang sedang melanjutkan pendidikan di Malaysia dalam berbagai disiplin Ilmu tidak hanya dibidang Agama.

“Kami melihat pengiriman mahasiswa Aceh untuk belajar ekonomi, psychology, pendidikan ke Amerika, Taiwan, Australia kurang efektif dan tidak membumi. Perlu dipikirkan pengembangan ekonomi, pendidikan, psykologi yang berbasis Islam di Aceh dengan mengirim lebih banyak putra Aceh ke Kampus International Islamic University Malaysia (IIUM),” pungkasnya.[]

26 November 2011

Grafiti Anti-Monarkhi Meluas Di Tembok Saudi Timur

Qatif - Slogan-slogan anti keluarga kerajaan telah tersebar di tembok-tembok di wilayah Syiah bagian timur Arab Saudi, tempat bentrokan-bentrokan mematikan dengan pasukan keamanan, kata seorang juru foto AFP, Jumat.

Keluarga As-Saud, yang berkuasa, harus "memikul tanggung jawab atas darah para martir", "Turunkan Mohammed bin Fahd" bin Abdul Aziz, gubernur Provinsi Timur kerajaan itu, demikian antara lain tulisan di jalanan kota Qatif.

Pasukan keamanan ditempatkan di jalan masuk ke Qatif dan melakukan patroli, meskipun tidak ada insiden dilaporkan pada saat kunjungan yang diorganisir oleh pihak berwenang Saudi bagi para wartawan yang bermarkas di Riyadh.

Menurut pemerintah dan sumber medis, empat orang telah ditembak hingga tewas dalam kerusuhan sejak Ahad di wilayah timur yang sebagian besar warganya Syiah dari kerajaan yang dominan Muslim Sunni itu.

Pangeran Mohammed bin Fahd telah berjanji bahwa kementerian dalam negeri akan menyelidiki kematian-kematian itu.

Pada Jumat, beberapa ulama Syiah pada shalat mingguan (Shalat Jumat) telah minta pada pemerintah untuk maju dengan isyarat yang mendamaikan ke arah masyarakat mereka, yang sering mengeluhkan telah dipinggirkan di negara Teluk yang kaya minyak itu.

"Pemerintah telah diminta untuk melakukan langkah yang menenteramkan untuk mengakhiri diskriminasi dalam upaya menyembuhkan luka itu," kata Sheikh Hassan Saar, saat rekannya ulama Hassan Nimr minta pemerintah "untuk tidak meragukan kesetiaan masyarakat Syiah".

Bagaimanapun, mufti Arab Saudi Sheikh Abdul Aziz al-Sheikh, dikutib di surat kabar Okaz, menuduh bahwa "para pembuat masalah di Qatif adalah anggota sebuah geng yang menerima perintahnya dari luar negeri", dalam sindiran pada Iran yang sebagian besar warganya Syiah.

Di Iran, seorang ulama senior garis keras mengatakan pada Jumat bahwa dinasti kerajaan Saudi seharusnya melepaskan kekuasaan, memperingatkan bahwa nasib presiden Mesir Hosni Mubarak yang digulingkan menunggu Raja Abdullah.

"Anda harus melepaskan kekuasaan dan meninggalkannya pada rakyat. Meraka akan mendirikan pemerintahan rakyat," kata Ayatollah Ahmad Jannati dalam shalat mingguan di Universitas Teheran.[](Antara)