Tampilkan postingan dengan label jka. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label jka. Tampilkan semua postingan

05 Januari 2012

JKA Pastikan 1,6 Juta Warga Aceh Terlayani

Banda Aceh-Program asuransi Jaminan Kesehatan Aceh memastikan sedikitnya 1,68 juta orang penduduk setempat mendapat pelayanan rawat jalan tingkat pertama di sejumlah pusat pelayanan kesehatan periode Juni 2010-November 2011.

"Itu data jumlah masyarakat yang telah memperoleh pelayanan rawat jalan tingkat pertama di sejumlah pusat pelayanan kesehatan (rumah sakit/puskesmas) melalui program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) periode tersebut," kata Kepala Dinas Kesehatan Aceh M Yani di Banda Aceh, Rabu.

Didampingi humas program JKA Saifullah Abdulgani, disebutkan jumlah pasien yang memperoleh rawat inap tingkat pertama pada periode yang sama di 23 kabupaten dan kota di Aceh tercatat 33.347 jiwa, dan rawat jalan lanjutan sebanyak 427.384 orang.

Sedangkan total pasien yang mendapat rawat inap tingkat lanjut juga tercatat 96.600 jiwa pada periode Juni 2010-Nopember 2011. Selain itu program JKA juga menangani pasien rujukan ke rumah sakit di Kota Medan dan Jakarta, untuk periode itu tercatat sebanyak 9.127 kasus, kata M Yani menyebutkan.

Pemerintah Aceh bekerja sama dengan PT Askes, melaksanakan program asuransi kesehatan (JKA) untuk memastikan seluruh penduduk mendapat pelayanan kesehatan dan pengobatan gratis. Program JKA itu pertama kali digulir pada 2010, dengan anggaran bersumber dari APBA.

M Yani menyebutkan, tahap pertama (2010) alokasi APBA untuk program JKA senilai Rp241,9 miliar, kemudian Rp399 miliar (2011). Untuk mendukung suksesnya program JKA 2012, maka Pemerintah Aceh telah mengusulkan anggaran sebesar Rp419 miliar.

"Usulan anggaran tahun itu (2012), saat ini telah diajukan ke legislatif dan kita berharap dapat disetujui karena program JKA memberi dampak besar bagi upaya semua meningkatkan dan mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat," katanya menambahkan.

Dijelaskan, salah satu fokus untuk program JKA 2012 itu yakni pengendalian rujukan pelayanan kesehatan di puskesmas ke rumah sakit sebagai upaya mencegah membludaknya pasien ke rumah sakit, khususnya RSUZA di Banda Aceh.

"Artinya, jika ada masyarakat yang sakit dan kemudian penyakitnya masih bisa diobati di tingkat puskesmas, maka tidak perlu harus ke rumah-rumah sakit di kota, jadi cukup di puskesmas saja," katanya menambahkan.

Hal tersebut, M Yani mengatakan untuk mendorong pemerataan pelayanan kesehatan dari kota sampai daerah-daerah terpencil. Selain itu juga program pembagian puskesmas dalam tiga karakteristik sesuai wilayah. Ada puskesmas biasa yang berada dipusat-pusat kota, puskesmas terpencil dan sangat terpencil.

"Artinya, puskesmas di daerah paling terpencil itu petugas kesehatannya akan semakin besar memperoleh biaya kapitasinya. Program lain ke depan yakni memberikan wewenang kepada kepala puskesmas untuk mengatur jasa medis di puskesmas masing-masing," kata M Yani.[Antara]

04 Oktober 2011

Beru Simeutuah yang Malang

Banda Aceh - Malang benar nasib Beru Simeutuah, bayi asal Wih Nareh, Pegasing, Aceh Tengah. Bayi pasangan Prawira (36) dan Nikmah Yani (32) ini menderita ensefelokel (pembengkakan selaput otak) sejak lahir. Akibatnya, bayi berumur delapan bulan ini harus menjalani dua kali operasi.

Penyakit yang diderita Beru membuat pertumbuhan otaknya tidak berjalan normal. Meski sudah dua kali operasi, kondisi bungsu dari empat bersaudara ini belum juga membaik. Bahkan, operasi pertama pernah mengalami kegagalan.

Menurut Nikmah Yani, sejak lahir delapan bulan lalu, bayinya langsung dirawat di Rumah Sakit Datu Beru Takengon. Namun, karena tak cukup alat dan tenaga ahli, bayi tersebut terpaksa dirujuk ke Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA) Banda Aceh.

Untuk memudahkan pembuangan cairan di kepala sang bayi, pihak rumah sakit harus memasang selang. Meski cairannya mengering, kini di kening bayi tersebut ada lobang yang cukup dalam.

“Lobang itu hanya bisa ditutupi bila dilakukan operasi dengan mengangkat tulang rusuk si bayi,” ujar sang Ibu.

Terkait biaya pengobatan, Nikmah Yani mengatakan, selama ini biaya operasi dan pengobatan berasal dari bantuan pihak keluarganya dan hasil pendapatan sang suaminya yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang cat di salah satu cabang perusahaan rokok di Banda Aceh.

“Biaya pengobatan anaknya dan juga operasi ditanggung program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA),” kata Nikmah.

Namun, lanjutnya, tidak semua kebutuhan obat tercover melalui program JKA. Nikmah sekarang sangat gundah, karena menurut dokter untuk mengembalikan fungsi otak pascaoperasi, anaknya harus mengonsumsi obat dengan harga Rp1 juta per minggu. “Kata dokter agar jaringan otaknya dapat kembali berfungsi dengan normal,” katanya lirih.

Beru Simetuah atau perempuan yang mulia membutuhkan bantuan untuk membantu biaya pengobatannya.

Untuk memudahkan mengontrol perkembangan penyakit anaknya, kedua orang tuanya terpaksa mengontrak rumah di Blok D, komplek perumahan bantuan masyarakat China, Neuheun, Aceh Besar. [ihsan]