22 April 2013

Peta Pengusiran dalam Bahasa Ibrani

TEL AVIV (IPS) – KEMBANG API mewarnai langit Tel Aviv pekan lalu begitu ribuan bendera Isreal berkibar yang menandai peringatan ke-65 berdirinya negara ini. Pada saat yang sama, sekelompok kecil aktivis Israel menjelajahi sisi lain, yang seringkali diabaikan, dari terciptanya negara mereka: pengusiran paksa ratusan ribu rakyat Palestina.
Kelompok Israel itu bernama Zochrot (dalam bahasa Ibrani, “laku mengingat”). Mereka meluncurkan peta pertama berbahasa Ibrani pada Hari Kemerdekaan Israel tahun ini. Peta itu merinci ratusan kampung Palestina lenyap dalam sejarah Palestina dari awal gerakaan Zionis hingga perang tahun 1967.
Peta juga memasukkan desa-desa Yahudi dan Suriah yang hancur, sejak akhir 1800-an.
Setiap bekas desa dan kota ditandai dengan sebuah titik –warna merah, biru, kuning, merah muda, ungu, atau hijau– untuk menunjukkan kategori, serta kapan dan bagaimana penduduknya mengungsi. Nama-nama komunitas Israel yang dibangun di atas perkampungan Palestina juga ditandai.
“Sudah waktunya, bukan?” ujar Eitan Bronstein, pendiri Zochrot, sembari tertawa tentang mengapa organisasinya memutuskan bikin sebuah peta Nakba dalam bahasa Ibrani.
“Bagi kami, itu sangat penting bukan hanya untuk menunjukkan kerusakan, tapi juga latar belakang apa yang terjadi hari ini. Sangat penting untuk mengakui bahwa tempat kita tinggal sekarang berdekatan dengan (bekas) kota, atau kampung, atau sebagainya (milik Palestina),” katanya.
Nakba (“malapetaka” dalam bahasa Arab) merujuk pada 750.000 warga Palestina yang diusir-paksa atau minggat dari rumah dan desa mereka sebelum dan selama berdirinya negara Israel pada 1947-48.
Pasukan Israel mengosongkan penduduk dan menghancurkan lebih dari 500 desa Palestina saat itu, dan pada tahun-tahun berikutnya. Sejak itu, pengungsi Palestina dilarang kembali ke rumah. Saat ini, Palestina merupakan populasi pengungsi terbesar di dunia, dan sebagian besar masih tinggal di kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat, Jalur Gaza, Yordania, Suriah, dan Lebanon.
Hanna Farah, pria berusia 52 tahun, berasal dari desa Kufr Bir’im,Palestina, tak jauh dari perbatasan Lebanon di wilayah Galilee, Israel utara. Keluarganya dipaksa pindah pada 1984, dan dia dibesarkan sebagai seorang pengungsi paksa internal (IDPs) di desa ibunya, Jesh, juga di Galilee.
“(Desa) saya senantiasa dari Kufr Birim –selalu dan selamanya,” tutur Farah, kini tinggal di Jaffa, pada acara peluncuran peta Nakba. Dia berkata dia berharap peta Nakba dalam bahasa Ibrani akan membuka mata rakyat Israel mengenai sejarah mereka, dan membantu mereka mengakui Nakba.
“Saat mereka pergi ke taman dan menikmati barbaque, mereka sedang duduk di batu-batu rumah Palestina. Mungkin (peta) ini akan menjadi sedikit efek kejut,” ujar Farah. “Sebagian besar menutup mata. Mereka tak ingin melihat karena tak nyaman bagi mereka. Mungkin kini mereka akan terbuka untuk melihat masalah sebenarnya dan membahasanya pada tingkat nyata.”
Rivka Vitenberg, aktivis Israel, menekankan pentingnya membahas Nakba, khususnya di masyarakat di mana hanya narasi Israel yang diajarkan di sekolah, dan pengalaman rakyat Palestina diabaikan.
“Ketika saya tumbuh di sini, sepanjang waktu para guru mengatakan bahwa kami hanya punya satu negara dan orang-orang Arab punya 22 negara. ketika saya mulai tahu sudut pandang rakyat Palestina, saya melihat hal itu tak tepat sama sekali. Ada orang-orang yang tinggal di sini,” kata Vitenberg.
“Saya ingin orang-orang mengingat Nakba. Ini bagian sangat penting dalam sejarah. Kami harus mengetahuinya.”
Pada Februari lalu, sebuah studi dari Council of Religious Institutions of the Holy Land menunjukkan bahwa buku pelajaran sekolah Israel maupun Palestina menampilkan “narasi nasional sepihak”, dan peristiwa sejarah –seperti Nakba bagi warga Palestina, atau bagi rakyat Israel disebut perang kemerdekaan– “ditampilkan secara selektif untuk memperkuat narasi nasional masing-masing komunitas.”
Namun, menurut Eitan Bronstein dari Zochrot, sudah ada pergeseran bertahap dalam masyarakat Israel yang mulai membahas Nakba secara lebih terbuka. Ini sebagian berkat kian meningkatnya tuntutan pengungsi Palestina untuk kembali ke rumah, dan upaya pemerintah Israel untuk memendam isu Nakba.
Pada 2011, Israel mengesahkan undang-undang kontroversial –dikenal dengan UU Nakba– yang melarang institusi-institusi menerima dana negara untuk menggelar acara memperingati Nakba. Versi orisinal dari undang-undang itu, yang akhirnya dibatalkan, menyebut peringatan Nakba sebagai tindak pidana yang dapat diganjar hukuman sampai tiga tahun penjara.
“Bila ini terjadi sepuluh tahun lalu, orang akan bertanyta, apa ini? Mereka tak tahu apa kata itu (Nakba). Sekarang, dijamin lebih banyak orang membuka diri untuk mengetahuinya,” kata Bronstein.
“Kami akan membagikannya (peta ini) kepada para dosen, guru sekolah menengah atas, kepala sekolah, perpustakaan, wartawan… Saya sangat berharap bahwa ini akan membuka lebih banyak ruang untuk berdiskusi.” [Jillian Kestler-DAmours]
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

06 April 2013

Mahkamah Agung India Tolak Kasus Obat Paten

DOHA (Al Jazeera) – MAHKAMAH Agung di India telah menolak permohonan Novartis AG, produsen obat dari Swiss, yang meminta perlindungan paten atas sebuah obat kanker. Keputusan ini jadi pukulan telak bagi industri farmasi Barat yang sedang menyasar India untuk meningkatkan penjualan.
Dalam putusannya Senin lalu, Mahkamah Agung menyatakan bahwa obat kanker Glivec gagal memenuhi syarat paten menurut hukum India.
Sejak 2006, Novartis meminta pemerintah India untuk memberi perlindungan obat-obatannya yang ditiru perusahan-perusahaan India.
Namun, pengadilan memutuskan bahwa obat yang diupayakan Novartis mendapatkan paten itu “tak memenuhi uji orisinalitas atau kebaruan” yang diwajibkan menurut hukum India.
Pada 2009, perusahan itu mengajukan keberatan terhadap hukum yang menghalangi paten atas obat-obatan baru tapi kandungannya tak jauh berbeda dari obat-obatan yang sudah dikenal kepada Mahkamah Agung.
Sohail Rahman dari Al Jazeera, melaporkan dari New Delhi, mengatakan keputusan itu “sangat mengecewakan” Novartis, karena memungkinkan perusahan-perusahaan India terus memproduksi obat generik dengan harga lebih murah bagi konsumen dalam negeri dan internasional.
Rahman berkata, keputusan itu dapat menimbulkan masalah karena India dianggap melanggar aturan yang ditetapkan Organisasi Perdagangan Dunia.
Kasus ini menarik banyak perhatian dan publisitas. Ia adalah perlawanan sejumlah paten yang dilancarkan di India. Ia bisa berimplikasi luas dalam menentukan tingkat perlindungan paten bagi perusahaan obat multinasional yang beroperasi di pasar yang menguntungkan.

Preseden berbahaya
Perusahaan Swiss itu mengancam akan menghentikan pasokan obat-obatan baru ke India bila Mahkamah Agung tak menjatuhkan keputusan yang mendukungnya, tulis Financial Times di London, Minggu lalu.
“Jika situasi masih sama seperti sekarang, semua penyempurnaan atas senyawa kimia orisinal itu tak mendapat perlindungan dan obat-obatan semacam itu mungkin takkan dijual di India,” ujar eksekutif Paul Herrling, yang memimpin perusahaan Swiss itu dalam menangani kasus ini.
Tapi Leena Menghaney, pengacara dari badan amal medis Medecins Sans Frontieres (MSF), mengatakan kemenangan hukum bagi Novartis justru bisa “menjadi preseden berbahaya, melemahkan norma-norma hukum India terhadap evergreening”—sebutan untuk praktik industri yang meminta paten baru setelah melakukan modifikasi kecil atas obat yang ada.
Itu akan “buruk bagi orang-orang di negara berkembang yang bergantung pada obat-obatan generik yang dibuat di negaranya. Benar-benar akan membatasi akses.”
Perusahaan-perusahaan obat generik di India –sejak lama dikenal sebagai “apotik bagi negara berkembang” – telah berperan menjadi pemasok utama obat-obatan tiruan untuk mengobati penyakit seperti kanker,tuberculosis (TB), dan AIDS bagi mereka yang tak mampu membeli obat versi bermerek yang mahal.
Perbedaan harga antara obat generik dan bermerek sangat penting bagi orang-orang miskin di seluruh dunia, ujar MSF.
Misalnya obat Glivec –sering dipuji sebagai “peluru perak” atas terobosannya mengobati bentuk leukemia yang mematikan– seharga 4.000 dolar (sekitar Rp 40 juta) per bulan dalam versi bermerek, sementara versi generiknya yang tersedia di India cuma 73 dolar (Rp 730 ribu).
Dalam kasus Glivec, Rahman dari Al Jazeera juga mengatakan bahwa sebagian besar konsumen di India bahkan tak mampu membelinya karena upah rata-rata hanya 120 dolar (Rp 1,2 juta)
Tapi Novartis dan produsen obat global lainnya mengatakan industri generik India menghambat inovasi dunia farmasi dan mengurangi dorongan komersial untuk menghasilkan obat-obatan baru. [Koresponden AJazeera]

*Diterbitkan atas persetujuan Al Jazeera.
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik, dan diposting kembali di blog ini atas izin Yayasan Pantau.

31 Maret 2013

Media Palestina Menghadapi Tekanan Pemerintah

RAMALLAH (IPS) – DENGAN langkah luar biasa, seorang warga sipil divonis setahun penjara karena mengunggah gambar di Facebook di mana Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas mengenakan kaos tim sepakbola Real Madrid dan berpose menendang bola. Hukuman itu merupakan salah satu contoh bagaimana media menjadi sasaran di wilayah Palestina.
Anas Saad Awad, 26 tahun, dari desa Awarta dekat Nablus, di utara Tepi Barat, mendapat hukuman dari pengadilan yang dipimpiin hakim Nablus dengan dakwaan “mengkritik pemerintah”. Awad tak bisa menghadiri persidangan itu saat hukuman itu dijatuhkan karena dia berada di tempat lain di gedung pengadilan.
Rima Al Sayed , pengacara Awad, mengatakan kliennya didakwa mereka-ulang gambar Abbas memakai kaos Real Madrid dengan keterangan: ‘striker baru’. Menurut Sayed, pengadilan Palestina menerapkan Pasal 195 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Yordania, yang mengkriminalkan orang yang mengkritik raja Yordania.
Penggunaan hukum Yordania oleh pengadilan Palestina bukanlah sesuatu yang luar biasa. Selain Undang-Undang Dasar yang disahkan pada 2012, hukum Palestina merupakan gabungan dari undang-undang dan KUHP Mesir dan Yordania yang tersisa dari era Mandat Inggris. Namun penerapan hukum Yordania seringkali dipakai terhadap warga Paletina untuk perkara perselisihan buruh dan kejahatan “atas nama kehormatan” dan kebebasan berpendapat.
“Anak saya hanya berkomentar di Facebook,” kata ayah Awad. “Anda tahulah bagaimana anak muda berkomentar. Dia tak bermaksud menghina presiden. Saya minta presiden campur tangan secara pribadi untuk membatalkan putusan pengadilan.”
IPS tak bisa bicara langsung dengan pihak keluarga mengingat kemungkinan agen intelijen Palestina mengawasi telepon keluarga bersangkutan, dan bikin lebih banyak masalah bagi mereka.
Awad sebelumnya bermasalah dengan intelijen Palestina karena mengkritik Otoritas Palestina (PA). Dia ditangkap tapi kemudian cuma didenda dan dibebaskan.
“Ini tak pernah terjadi sebelumnya. Ini pertama kalinya hukuman dijatuhkan untuk warga biasa hanya karena berkomentar tentang Abbas. Komentarnya di Facebook bahkan tak kasar maupun kritis,” ujar Riham Abu Aitadari Pusat Pengembangan dan Kebebasan Media Palestina (MADA).
“Tahun lalu 10 jurnalis Palestina dari Gaza dan Tepi Barat ditangkap dan diinterogasi karena mengkritik Hamas maupun PA. Kebebasan media di wilayah Palestina berjalan buruk pada awal 2013,” kata Abu Aita.
“Hamas menangkap puluhan jurnalis di Gaza, dan pasukan keamanan Israel meningkatkan sasaran terhadap media Palestina dan luar negeri karena mereka berusaha menutupu protes yang berkembang di Tepi Barat.”
“Namun, PA jadi sangat sensitif selama beberapa bulan terakhir. Ini berkaitan dengan sensitivitas berlebihan atas kritik internasional menyusul dinaikkannya status PA sebagai negara pemantau non-anggota PBB dan tekanan yang diberikan organisasi-organisasi hak asasi manusia Palestina dan internasional,” ujar Abu Aita.
Salah satu strategi PA guna mencapai tujuannya, sebuah negara Palestina yang merdeka, adalah bergabung dengan Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) sebagai cara menekan untuk meminta pertanggungjawaban Israel, yang melakukan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia berdasarkan hukum internasional atas perlakuannya terhadap rakyat Palestina.
Status PA di PBB hanyalah negara pemantau non-anggota, tapi mereka dapat meratifikasi perjanjian-perjanjian hak asasi manusia, termasuk Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) –pasal 19 yang menjamin kebebasan berekspresi.
PA berjanji menegakkan hak asasi manusia dan meratifikasi sejumlah konvensi, namun gagal melakukannya di sejumlah wilayah. Human Rights Watch mencatat, “patut dihargai bahwa kepemimpinan Palestina sedang mempelajari perjanjian-perjanjian itu; kelambanan dalam meratifikasi membuat surutnya keyakinan atas komitmen mereka untuk menegakkan hak-hak dan kebebasan yang fundamental.”
“Isu lain adalah ketakutan PA atas protes populer di Tepi Barat menyusul Musim Semi Arab yang menyapu seluruh kawasan itu, mengancam kediktatoran di belakangnya,” kata Abu Aita. “Pemerintahan Abbas juga ingin tampil dengan mengambil landasan moral yang tinggi terkait Hamas yang baru-baru ini mengkritik melalui pers atas tindakan kerasnya terhadap media di Gaza.”
Sementara aparat keamanan Abbas mampu mengendalikan jurnalis dan media di Tepi Barat sampai batas waktu tertentu, jejaring sosial terbukti jauh lebih sulit dikontrol meski ada pengawasan intensif.
Tahun lalu, pasukan keamanan Palestina memenjarakan sedikitnya tiga orang dengan tuduhan, dalam peristiwa terpisah, mengkritik pemerintah lewat situs jejaring sosial. Sasah satunya adalah seorang dosen universitas Palestina, yang ditahan karena menghina Abbas lewat Facebook.
Ironisnya, selagi PA mendorong rakyat Palestina melaporkan korupsi, pada April tahun lalu blogger Jamal Abu Rihan ditangkap karena meluncurkan kampanye Facebook menuntut diakhirinya korupsi.
Kantor Ma’an News menemukan bukti pemblokiran delapan situsweb yang kritis pada Abbad, sementara kolumnis Jihad Harb dihukum dua bulan penjara atas tuduhan pencemaran nama baik dan fitnah setelah mempertanyakan kroniisme di dalam pemerintahan Abbas.
“Namun, upaya PA menghancurkan pembangkangan jurnalis mental kembali,” ujar Abu Aita. “Apa yang kami temukan adalah para jurnalis Palestina menjadi pendukung kuat kebebasan media dan kian bertekad mendukungnya saat mereka kian jadi sasaran dan dilecehkan.” [Mel Frykberg]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

23 Desember 2012

Intifada Ketiga di Kaki Langit?


HEBRON, Tepi Barat (IPS) – SEBUAH kelompok baru Palestina yang disebut Batalyon Gabungan Nasional (NUB), beranggotakan warga Palestina dari lintas spektrum politik, menyerukan pemberontakan rakyat Palestina atau intifada ketiga. Pada saat bersamaan, intelijen Israel memperingatkan kondisi di kawasan Tepi Barat sudah matang untuk revolusi rakyat Palestina berikutnya.
Peringatan ini muncul setelah adanya protes dan bentrokan antara tentara Israel dan pemuda Palestina di seluruh kota dan pinggiran kota di Tepi Barat selama sepekan, yang menewaskan Muhammad Salayma, 17 tahun, di tangan seorang penjaga perbatasan Israel di Hebron.
Sebuah video yang diedarkan selama seminggu oleh anggota-anggota NUB dari Hamas, Fatah, Jihad Islam, dan Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP), mengumumkan pembentukan organisasi itu merupakan sarana konsolidasi perjuangan melawan Israel.
Kendati menekankan dukungan terhadap Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengakui Palestina sebagai negara peninjau non-anggota, mereka menyatakan akan berjuang untuk memulihkan “seluruh Palestina –dari laut hingga sungai.”
“Ini adalah awal dari Intifada rakyat Palestina ketiga, yang meledak dari jantung kota Hebron dan akan menyebar ke seluruh Palestina,” demikian pernyataan dalam video itu.
Anggota-anggotanya kemudian mengancam akan menculik tentara Israel bila Pasukan Keamanan Israel (IDF) tak menghentikan penangkapan warga Palestina. Jika Israel terus membunuh rakyat Palestina dengan impunitas, mereka akan membalasnya.
NUB juga menuntut penghapusan semua pos pemeriksaan IDF di Tepi Barat, membebaskan semua tahanan Palestina dari penjara-penjara Israel, penarikan warga Israel dari seluruh tanah Palestina yang diduduki, dan menyerahkan semua pendapatan pajak Israel yang dibayarkan Otoritas Palestina (PA) sejak PBB meningkatkan status Palestina.
NUB juga menuntut agar Israel membuka seluruh jalur perbatasan serta pasokan air dan listrik ke Jalur Gaza yang terkepung.
Kelompok ini mengeluarkan pernyataan pada Jumat lalu, hari penembakan fatal terhadap Salayma, setelah tentara Israel mengklaim bahwa Salayma mengancam mereka dengan pistol plastik. Namun, saat IPS bicara dengan anggota keluarga Salayma, gambaran ceritanya sungguh berbeda.
“Saya meragukan Muhammad punya pistol plastik. Saya percaya tentara Israel meletakkan senjata itu di dekatnya setelah menembaknya,” kata Muhammad Salayma Sr., paman korban yang juga seorang polisi PA.
“Saat itu hari ulangtahunnya dan dia keluar untuk membeli kue ulangtahun. Untuk sampai ke toko dia harus melewati pos pemeriksaan militer Israel dan melewatinya lagi ketika kembali ke rumah. Jika dia punya pistol tiruan, mesin x-ray (sinar elektromagnetik) akan mendeteksi,” kata Salayma kepada IPS.
“Dia pelajar yang bahagia dan pintar, dan mewakili tim gulat Palestina di Prancis. Dia sedang dalam perjalanan pulang rumah dengan kue ulangtahunnya dan kami harus percaya bahwa dia tiba-tiba mencoba mengalahkan sekelompok tentara Israel yang bersenjata berat dan terlatih dengan pistol plastik? Dia tidak sebodoh itu,” kata Nashim Salayma, 22 tahun, saudara sepupu Muhammad Salayma, kepada IPS.
Organisasi HAM Israel, Palestina, dan internasional telah mendokumentasikan segudang kasus selama bertahun-tahun di mana warga Palestina ditembak mati tentara Israel dalam perkara yang bisa diperdebatkan.
Namun, yang tak perlu diperdebatkan lagi: pembunuhan terakhir itu memicu kemarahan massa –ratusan pemuda Palestina tumpah ke jalan-jalan di Hebron pada Kamis lalu untuk melampiaskan amarah terhadap pasukan Israel, melemparkan batu dan membakar ban. Puluhan orang terluka dalam bentrokan berikutnya, beberapa luka serius oleh peluru tajam, peluru karet, dan gas airmata. Protes menyebar ke kota-kota dan pinggiran kota lainnya di Tepi Barat.
IPS menyaksikan bentrokan di Hebron sehari setelah pawai besar-besaran dari pendukung Hamas yang merayakan 25 tahun pembentukan organisasi itu.
Inilah kali pertama selama bertahun-tahun PA mengizinkan Hamas menggelar unjuk rasa di Tepi Barat. Ini juga menjadi langkah terbaru menuju rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah yang berafiliasi ke PA, dua faksi politik utama yang hingga kini saling bermusuhan.
Langkah kecil ke arah persatuan itu diikuti dengan meningkatnya kekuatan politik Hamas dalam perang Gaza terbaru, yang menyatukan rakyat Palestina dari seluruh faksi. Pasukan keamanan dari kedua kelompok juga secara drastis mengurangi jumlah penangkapan angota oposisi.
Akibatnya, kekuatan Hamas di Tepi Barat membesar. Ini, ditambah pemindahan sejumlah tahanan Hamas dari Gaza ke Tepi Barat yang akan dilakukan Israel, akan lebih mengkonsolidasikan kehadiran organisasi Islam itu di sini.
Selain itu, mempersiapkan basis perlawanan lain terhadap pendudukan Israel mungkin gagal atau bubar karena PA kekurangan dana akibat Israel terus menahan lebih dari satu juta dolar pajak warga Palestina.
PA adalah sumber penghidupan bagi ratusan ribu warga Palestina. Ketergantungan mereka, diprediksi para ahli terkemuka menyebabkan pengangguran massal, niscaya akan muncul dari pembubaran PA, yang akan membuat rakyat Palestina lebih putus asa.
Pembicaraan damai Israel-Palestina di titik nadir. Kemarahan rakyat Palestina kian memuncak dengan adanya serangan para pemukim Israel dan tak berhentinya penjarahan tanah Palestina. Di sisi lain, impian rakyat Palestina sebagai negara tersendiri kian mantap setelah meningkatnya pengakuan internasional.
Sementara itu, Shin Bet, badan intelijen dalam negeri Israel, menyatakan kerusuhan yang meluas di kawasan Tepi Barat dapat menyuburkan perkembangan suatu prasarana yang berpotensial mendukung intifada ketiga, menurut laporan media-media Israel. [Mel Frykberg]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

22 Desember 2012

Komisi HAM Muslim akan Diluncurkan


Oleh Carey L. Biron

WASHINGTON (IPS) – BERTEMU untuk kali pertama di Washington, perwakilan komisi HAM dari Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang baru saja terbentuk menyatakan mereka berencana mulai melakukan kerja sesungguhnya pada akhir bulan ini.
“Dalam beberapa bulan terakhir, kami telah menguraikan isu-isu prioritas. Kini kami berencana mulai bekerja untuk menyoroti isu-isu itu dalam kelompok-kelompok kerja akhir bulan ini di Jeddah,” kata ketua komisi, Siti Ruhaini Dzuhayatin, kepada wartawan di Washington, Kamis pekan lalu.
“Secara khusus, komisi ini diharapkan menghapus kesalahan persepsi atas masalah ketidakcocokan yang dirasakan antara Islam dan prinsip-prinsip HAM universal.”
Pada poin terakhir, dia dan orang-orang yang terlibat dalam lembaga baru ini menekankan bahwa mandat komisi adalah menangani hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya dalam konteks penerapan universal –bahwa komisi takkan mencoba menerapkan pemahaman HAM cangkokan apapun seperti yang ditapis melalui Islam. Mereka juga menegaskan OKI sendiri lembaga politik, bukan agama.
Didirikan pada 1969 dan mewakili 56 negara dan Otoritas Palestina, OKI adalah organisasi antarpemerintah terbesar kedua setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Gagasan membentuk sebuah lembaga HAM di bawah OKI kali pertama mengemuka pada 2005 saat negara-negara anggota menyepakati rencana 10 tahun ke depan yang mencakup pembentukan komisi itu.
Rencana 10 tahun itu juga merupakan sebuah upaya besar untuk mendefiniskan ulang identitas OKI, yang mengacu seputar gagasan moderasi dan modernisasi. Pada pertengahan 2011, OKI secara resmi mendirikan Komisi HAM Permanen Independen dan memilih 18 anggota komisi, yang akan menjalankan peran penasihat bagi Dewan Menteri Luar Negeri OKI.
Para anggotanya terdiri dari pengacara, aktivis, akademisi dan diplomat, serta empat perempuan, termasuk ketua komisi, seorang sosiolog asal Indonesia. Masing-masing kawasan utama OKI –Asia, Afrika, dan dunia Arab– mendapat alokasi enam anggota komisi.
Pada Kamis, Siti Ruhaini Dzuhayatin melaporkan bahwa komisi telah menghabiskan setahun terakhir untuk merumuskan kerangka acuan dan aturan prosedur. Satu bagian penting dari proses itu adalah menyepakati area prioritas, yang mencakup isu perempuan dan anak, hak politik dan minoritas, serta konflik Israel-Palestina.
Selama empat dekade masa jabatan OKI, topik terakhir itu menjadi salah satu penentu bagi lembaga, yang kini dianggap sebagai agenda tetap.
“Ini bukan dari sudut pandang politik, tapi lebih perspektif HAM,” catatnya. “Misalnya, bagaimana konflik mempengaruhi kehidupan warga, terutama perempuan dan anak-anak; hak mereka atas pembangunan, hak perdamaian, keamanan dan pendidikan.”
Kapasitas penasihat
Di luar cakupan yang luas itu, rincian lebih kecilnya belum diputuskan mengenai proses anggota komisi memilih isu mana yang difokuskan. Rizwan Sheikh, direktur eksekutif sekretariat sementara komisi di Jeddah, berkata kepada IPS bahwa komisi akan menerima agenda dari atas dan bawah, yang berarti dari Dewan Menteri Luar Negeri OKI dan akar rumput.
Otonomi dan independensi komisi menjadi penentu bagi orang-orang yang terlibat dalam lembaga baru itu, sebagaimana dipertanyakan banyak pengamat luar. Seperti dimandatkan, masing-masing anggota komisi akan dicalonkan oleh negara masing-masing dan kemudian dipilih, melalui pemungutan tertutup, oleh Dewan Menteri Luar Negeri.
Namun Sheikh menekankan bahwa ini akan menjadi kebijaksanaan kolektif  dari komisi untuk memutuskan bagaimana dan kapan melanjutkan agendanya.
“Anggaran dasar yang mengaturnya memberikan komisi sebuah tingkat independensi yang belum pernah ada dalam kerja OKI selama empat dekade terakhir –untuk kali pertama dalam sejarahnya, OKI membentuk sebuah lembaga yang terdiri atas ahli-ahli independen,” kata Sheikh.
“Independensi selanjutnya dijamin oleh fakta bahwa sifat badan ini sebagai penasihat. Bila hal ini tak terlaksana, akan ada pertimbangan politik tertentu yang dapat menunggangi kerja komisi. Tapi jelas bahwa ini adalah sebuah badan penasihat yang memberi dorongan kepada komisi … untuk bertindak dengan cara jujur dan bersahaja dalam memberikan pendapatnya.”
Begitu mulai bekerja pada akhir Desember, beberapa isu yang mungkin bisa komisi tawarkan pendapatnya, saran Sheikh, meliputi kekerasan terhadap perempuan, buruh anak, anak-anak dalam konflik bersenjata, dan topik-topik lebih sensitif seperti pernikahan di bawah umur, hak untuk pendidikan, dan sejenisnya.
Pada dua sesi permulaan yang digelar komisi tahun ini, kekerasan terbaru terhadap Muslim Rohingya di barat Myanmar, pertumparan darah di Suriah, dan pembakaran Alquran di Afghanistan merupakan perihal yang dicatat paling mendesak.
Demikian juga resolusi terbaru PBB, didukung OKI, yang menentang intoleransi beragama, meski tindakan ini memicu kekhawatiran awal di antara kelompok-kelompok HAM saat OKI mendorong sebuah larangan global atas “penodaan agama”, sikap itu kemudian berbalik.
Lihat dan Tunggu
Untuk saat ini, para anggota komisi memutuskan, sebagai salah satu langkah awal, mereka akan meminta setiap negara anggota OKI untuk menyampaikan semua undang-undang nasional yang relevan dengan bidang-bidang prioritas komisi, sehingga komisi dapat mulai menguji dan membandingkan praktiknya saat ini.
Namun, anggaran lembaga ini –yang akan diberikan negara-negara anggota OKI– belum diketahui publik. Padahal, keberhasilan komisi bergantung pada satu bagian informasi ini, yang juga akan menyodorkan pandangan seberapa aktif negara-negara anggota bersedia dan memungkinkan komisi bekerja semestinya.
“Kami sangat berharap lembaga ini menjadi independen dan punya alat untuk berpendapat kepada negara-negara anggota OKI serta menegaskan kembali HAM universal,” ujar Joelle Fiss, peneliti senior Human Rights First, kelompok advokasi berbasis di Washington, kepada IPS.
Seperti halnya Fiss, banyak pengamat menahan diri untuk menilai prospek komisi baru ini.
“Tiap kali sebuah lembaga internasional yang sangat dihormati seperti OKI peduli isu semacam ini, itu penting,” kata Ibrahim Hooper, jurubicara Dewan Hubungan Amerika-Islam, kelompok kebebasan sipil Muslim terbesar di AS, kepada IPS.
“Kita akan lihat sejauh mana ia berperan. Tapi untuk sekarang ia patut didukung pejabat pemerintahan AS dan negara lain. Akhirnya, tentu saja, kita perlu mengevaluasi pekerjaan komisi untuk melihat bahwa ia menangani isu-isu khusus dunia Muslim.”*
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

01 September 2012

Salafi Radikal Bajak Revolusi Suriah

KUNJUNGAN Abd al-Halim Murad, kepala gerakan Salafi al-Asalah Bahrain, ke Suriah untuk menemui pemberontak Suriah merupakan upayanya dan Salafi Teluk lainnya untuk membajak revolusi Suriah. Sayangnya, pemerintah Saudi dan Bahrain melirikcara lain ketika Salafi Sunni mereka mencoba menembus oposisi Suriah untuk memerangi Assad, Alawi, Syiah, Hizbullah, dan Iran.
Rezim Assad menggunakan strategi sektarian yang berakibat meluasnya “jihadisme” dengan kekerasan untuk mendukung klaimnya bahwa oposan rezimnya adalah ciptaan kelompok-kelompok teroris Salafi radikal dari luar negeri. Meski ada klaim sepihak dari Assad, para aktivis Salafi garis keras tetap memanfaatkan ketidakstabilan dan kekerasan di beberapa negara Arab, termasuk Suriah, untuk menyebarkan doktrin mereka dan memaksakan praktik sosial yang lebih konservatif kepada rekan-rekan mereka.
Beberapa orang Salafi tak percaya perubahan politik secara damai dan bertahap serta secara aktif bekerja untuk merusak sistem politik yang baru lahir, termasuk dengan meneror dan membunuh minoritas Syiah, Alawi, dan Kristen.
Kelompok Salafi radikal baru-baru ini melakukan kekerasan di Mali dan negara-negara Sahel lainnya  di Afrika, serta Nigeria, Uganda, dan Kenya. Mereka juga melakukan kekerasan atas nama jihad di Mesir, Sinai, Suriah, Irak, Yaman, dan tempat lain di Timur Tengah.
Ketika Arab Spring menyentuh lebih banyak negara dan rezim –misalnya, di Arab Saudi, Bahrain, Sudan, dan otoritas Palestina– berada di bawah tekanan dari rakyat mereka sendiri, mereka mulai menggunakan sektarianisme dan mempromosikan elemen radikal dalam sekte-sekte itu untuk kelangsungan mereka sendiri dan situasi regionalnya. Jihadis Salafi lebih dari senang untuk membantu. Sayangnya, sebagian warga Muslim harus menanggung beban kekerasan ini.

Dari mana Salafisme modern berasal?
Sejak akhir 1960-an, ketika Raja Faisal menyatakan penggunaan Islam sebagai sebuah prinsip dasar bagi kebijakan luar negeri Saudi, Arab Saudi memperluas citra Islam Wahabi-Salafinya di kalangan pemuda Muslim di seluruh dunia. 
Kala itu, Faisal berniat untuk menggunakan Islam Saudi untuk memerangi nasionalisme Arab “sekuler” yang dipimpin Gamal Abdul Nassir dari Mesir, Baathisme yang dipimpin Suriah dan Irak, serta Komunis ateis yang dipimpin Uni Soviet.
Interpretasi Islam Wahabi-Salafi, yang diekspor Saudi selama setengah abad, berangkat dari ajaran sarjana Islam abad ke-13 Ibnu Taimiyah dan sarjana Arab abad ke-18 Ibnu Abdul Wahhab. Itu juga tak bisa lepas dari mazhab Hambali konservatif dari hukum Islam dalam Sunni.
Singkatnya, doktrin keagamaan Wahhabi-Salafi tak toleran terhadap agama lain seperti Kristen dan Yahudi serta sekte-sekte Muslim seperti Syiah dan Ahmadiyah, yang tak mengikuti ajaran Islam Sunni. Doktrinnya juga membatasi hak-hak perempuan sebagai anggota yang setara dalam keluarga dan masyarakat dan menggunakan interpretasi Wahhabi untuk memadamkan setiap kritik terhadap rezim atas nama memerangi fitnah.
Yang lebih merisaukan, kekerasan dalam pandangan Salafi merupakan alat sah untuk melawan apa yang disebut musuh-musuh Islam tanpa perlu persetujuan otoritas agama yang diakui secara nasional. Setiap aktivis yang mengaku Salafi bisa mengeluarkan fatwa untuk melancarkan jihad melawan musuh, Muslim maupun non-Muslim.
Osama Bin Ladin melakukannya pada 1990-an, yang memulai siklus kekerasan dan terorisme terhadap umat Islam dan “kafir”,termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya.
Banyak aktivis Salafi radikal di Mali dan negara-negara Afrika lainnya menerima pendidikan agama di Universitas Imam Muhammad di Arab Saudi, tempat persemaian Islam Salafi dan salah satu lembaga pendidikan Islam paling konservatif di dunia.
Pemerintah Saudi dan beberapa pengusaha kaya Saudi menggelontorkan dana untuk menyebarkan Islam melalui beasiswa, proyek-proyek lokal dan LSM Islam, serta membangun masjid dan pencetakan Alquran dan teks-teks keagamaan lainnya yang menyokong Wahhabi-Salafi.
Sejak awal 1970-an, dakwah Wahhabi-Salafi dilakukan organisasi-organisasi nonpemerintah yang dibikin dan didanai Saudi, seperti Liga Muslim Dunia, Organisasi Bantuan Kemanusiaan Internasional (IIRO), Asosiasi Pemuda Muslim Dunia, dan al-Haramain.
Beberapa organisasi terlibat dalam kegiatan teroris di negara-negara Muslim dan non-Muslim dan telah dibubarkan pemerintah Saudi. Banyak pemimpinnya dipenjara atau dihukum matiYang lainnya melarikan diri dan meniti karier di organisasi-organisasi teroris baru di Yaman, Maroko, Irak, Somalia, Indonesia, Libya, Mali, dan tempat lain.
Selama bertahun-tahun, para pejabat Saudi beranggapan bahwa selama “jihad” dengan kekerasan dilancarkan di luar negeri, rezim itu aman. Pandangan itu berubah drastis setelah 12 Mei 2003 ketika para teroris menyerang jantung ibukota Saudi.
Dakwah Wahhabi meletakkan dasar bagi “jihadisme” Salafi di Afrika dan dunia Arab. Bahan ajar Saudi dijiwai penafsirannya atas Islam, yang menimbulkan pandangan sempit, tak toleran, dan berbasis konflik dalam pikiran pemuda di sana.
Berbeda dari fokus awal Raja Faisal, sasaran dakwah saat ini adalah sesama Muslim, dengan interpretasi agama yang berbeda, dan kelompok agama lainnya. Apa yang disebut jihadis itu telah membunuh ratusan Muslim, yang mereka anggap sebagai “korban sampingan” dalam perang melawan musuh dekat dan jauh Islam.
Sementara partai-partai politik Islam arus utama ambil bagian dalam pemerintahan di seluruh dunia Islam, dan Washington mulai melibatkan partai-partai Islam sebagai mitra, Salafi radikal merusak transisi demokrasi dan reformasi politik yang sah. Mereka menentang demokrasi sebagaimana yang dipahami di seluruh dunia, memandangnya sebagai buatan manusia dan bukan aturan Allah.

Dan apa yang harus dilakukan?
Kekerasan yang berkobar di Suriah dan kekuatan yang yang menempel pada rezim itu memberi lingkungan subur bagi kelompok Salafi untuk membuat pijakan di negara tersebut. Keamanan nasional serta kepentingan strategis Barat dan negara-negara Arab yang demokratis menjamin bahwa mereka menetralisir dan mengalahkan proyek Salafi.
Sebagai langkah awal, mereka harus bekerjasama dengan para pemberontak Suriah untuk mempercepat kejatuhan rezim Assad. Untuk itu perlu mempersenjatai para pemberontak dengan senjata yang memadai untuk melawan mesin militer Assad, terutama tank, buldoser, dan pesawatnya.
Washington dan London juga harus membahas serius dengan Saudi tentang ancaman jangka panjang Salafisme radikal dan peran penting dakwah Wahhabi Saudi dalam memelihara ideologi dan aktivitas Salafi radikal. Hasil positif pembicaraan itu akan membantu membangun tatanan politik yang demokrastis dan stabil pasca-Arab Spring. Bahkan, pembicaraan seperti itu sebenarnya sudah terlambat.
Selama bertahun-tahun, rekan-rekan saya dan saya menasehati para pembuat kebijakan senior tentang potensi dan bahaya jangka panjang dari doktrin agama yang berpikiran sempit, eksklusif, dan tak toleran ini. Sayangnya, hubungan ekonomi dan keamanan yang mesra antara Barat dan rezim Saudi telah mencegah setiap dialog serius dengan Saudi tentang ekspor dan ideologi berbahayaitu. [EmileNakhleh] 
* Penulis adalah mantan direktur Political Islam Strategic Analysis Program CIA dan penulis A Engagement Necessary:Reinventing America’s Relations with Muslim World.

Translated by Farohul Mukthi
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

09 Agustus 2012

Acheh

Oleh Dr George J. Aditjondro

BELAKANGAN ini masih ada yang bertanya-tanya, mengapa saya tertarik dan peduli terhadap pejuang HAM Acheh (maaf bila saya menulis Aceh dengan ’’Acheh’’. Sebab, beberapa kawan dari Aceh menulisnya dengan Acheh)? Anda punya hak untuk mencurigai saya. Namun, bagi saya sendiri, saya berutang budi kepada kawan-kawan Acheh yang belum saya kenal, tetapi ikut mendukung perjuangan Timor Lorosae lewat IPJET (International Platform of Jurists for East Timor). Saya mendukung referendum dan perjuangan kemerdekaan bangsa Acheh yang betul-betul mencerminkan cita-cita negara yang adil dan makmur sebagaimana dieksperimenkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam Piagam Madinah, walaupun saya bukan muslim.

Sekali lagi saya tegaskan bahwa persoalannya, bagi saya, bukan agama orang yang dijajah, melainkan prinsip bahwa penjajahan itu dilakukan atas nama saya sebagai bangsa Indonesia dan dengan uang pajak yang saya bayar pada pemerintah, yang sebagian dipakai untuk membiayai alat-alat represi negara - tentara, polisi, juga jaksa, dan pengadilan yang lebih sering berpihak kepada penguasa ketimbang kepada rakyat jelata.

Saya mendukung perjuangan rakyat Acheh menghadapi serdadu Orde Baru. Sebab, saya merasa, banyak yang dapat dipelajari oleh para pegiat HAM di Acheh, dari tingkah laku dan strategi militer di tempat-tempat lain, khususnya di Timor Lorosae. Dan, banyak lagi yang masih belum diungkapkan, tentang dampak negatif operasi-operasi militer di Acheh.

Seperti halnya di Timor Lorosae, ribuan rakyat desa yang bukan gerilyawan GAM bisa kembali menjadi korban. Walhasil, alternatif apa yang bisa kita lakukan untuk menyelesaikan benang kusut di Acheh ini, di mana tidak ada keinginan pemerintah untuk menuntaskannya?

Agar isu Acheh ini betul-betul bisa terangkat ke permukaan, dan tidak hanya menjadi ’’bola politik’’ untuk ditendang kanan kiri oleh para politisi Orde Baru, marilah kita bagi informasi ini dengan kawan-kawan lain, di dalam maupun di luar negeri. Jakarta juga tidak akan merestui referendum di Acheh, apalagi merestui hak bangsa Acheh yang sampai Belanda angkat kaki dari Acheh pada 1942 belum pernah mengaku takluk kepada Belanda. Jadi secara historis, wilayah Kesultanan Acheh tidak termasuk wilayah jajahan Hindia Belanda yang diserahkan kedaulatannya kepada RI di Den Haag, tanggal 27 Desember 1949. Jadi, dari aspek sejarah, posisi Acheh sama seperti Timor Lorosae. Rakyat Acheh punya hak untuk menentukan nasib sendiri.

Acheh adalah Acheh. Karena itu, pertahankanlah hak-hak asasi kolektif rakyat Acheh sekuat-kuatnya dengan cara damai melalui diplomasi PBB maupun lewat diplomasi NGO (ornop). Saya tidak tahu apakah rakyat Acheh akan menerima otonomi daerah seluas-luasnya. Sejarah juga membuktikan bagaimana pemerintah pusat telah gemilang menipu rakyat Acheh melalui Ikrar Lamteh dan gelar ’’Daerah Istimewa Acheh’’. Hanya keledai yang terantuk dua kali pada batu yang sama. Dengan kata lain, mengulangi kesalahan yang sama adalah kebodohan.

Jadi kesimpulan saya, sekali lagi, jangan gantungkan masa depan rakyat Acheh pada segelintir politisi avonturir di Jakarta. Rebutlah masa depan dengan usaha sendiri sebagaimana yang telah dilakukan bangsa Maubere di Timor Lorosae, walaupun mereka telah kehilangan sepertiga penduduk mereka setelah 23 tahun pendudukan Indonesia.

Apa yang bisa saya berikan kepada rakyat Acheh? Saya berusaha mulai menarik perhatian dunia pada tragedi bangsa Acheh, sejak pertengahan 1995, ketika Nigeria dipecat dari keanggotaan Commonwealth Inggris karena pembantaian para pemimpin bangsa Ogoni, yang memprotes pencemaran lingkungan hidup mereka oleh maskapai minyak multinasional, Shell. Atas dasar yang serupa, yakni penindasan hak-hak asasi bangsa Acheh demi mulusnya operasi maskapai minyak Mobil Oil, bangsa Acheh juga patut mendapat perhatian yang sama. Begitu argumentasi saya dalam tulisan itu.

Sudah tiga tahun berturut-turut, saya menempatkan Acheh dalam prioritas utama matakuliah saya, Sosiologi Gerakan-Gerakan Kemerdekaan Pascakolonial di Departemen Sosiologi & Antropologi Universitas Newcastle tempat saya mengajar. Tahun lalu, satu-satunya dosen tamu yang saya undang dalam matakuliah ini adalah Saudara M. Dahlan, aktivis Acheh Merdeka yang saya kenal di Sydney, dari siapa saya sudah berkuliah banyak tentang sejarah Acheh yang berbeda dengan yang pernah saya dapat di sekolah, sambil menonton video rekamanan pidato-pidato M. Hasan di Tiro dari Swedia dan Negeri Belanda.

Tahun ini, dengan memanfaatkan tesis PhD yang gemilang dari ahli ilmu politik Filipina, Jacqueline Siapno, saya punya bahan untuk mengajarkan kepada mahasiswa saya, penderitaan maupun perlawanan perempuan Acheh dalam menghadapi represi serdadu Orde Baru di sana. Saya betul-betul terkejut membaca salah satu kesimpulan tesisnya bahwa perempuan Acheh menikmati lebih banyak kesetaraan hak dengan kaum prianya di zaman Kesultanan Acheh daripada sesudah Acheh ’’berintegrasi’’ dengan Indonesia.

Pada Januari lalu, dalam konferensi tentang Perempuan Timor Lorosae dan Hukum Internasional di Lisboa, saya ikut mempublikasikan kasus pelanggaran HAM, terutama kepada wanita Acheh yang sangat saya kagumi sebagaimana keberanian pahlawan Tjut Nyak Dhien. Percaya dan yakinlah, kampung janda tidak hanya ada bertebaran di Acheh, tetapi juga di Timor Lorosae dan Papua Barat. Hanya itu dukungan yang dapat saya berikan untuk perjuangan kawan-kawan menentang kezaliman serdadu-serdadu yang kita hidupi dari uang pajak kita serta upeti bumi alam Acheh kepada Jakarta. Saya berharap, kita menyelesaikan perbedaan pendapat bukan dengan kotak peluru, namun dengan kotak suara. Kita tidak ingin terperosok pada lubang yang sama karena tidak mau belajar dari sejarah. Sejarah yang ditulis dengan jujur, berimbang adalah mahaguru yang bijak kita perhatikan. Konon lagi, sejarah Acheh - juga sejarah di daerah lain, termasuk tokohnya - acapkali dimanipulasi selama Orde Baru. Sejarah itu seringkali memang ditulis oleh para pemenang, bukan oleh para korban. History is written by the victors, not by the victims.

Sekali lagi, perbedaan, agama, etnik, tempat, sosial budaya, dan jarak bukan hambatan untuk berbuat kemanusiaan. Sebab, secara jujur, kita mempunyai nurani yang sama, yakni memanusiakan manusia dan memandang manusia sebagai manusia. Kaum Muslimin menyebutnya rahmatan lil alamin dan saya sebagai orang Nasrani mengartikan hidup ini harus berfaedah bagi manusia lain. Sebagai seorang pengagum Gandhi, saya tergerak oleh ucapan sang Mahatma, bahwa: ’’there is enough for everybody’s need, but not enough for everybody’s greed,’’ yang telah diterjemahkan secara agak bebas menjadi: ’’bumi menyediakan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi tidak akan cukup untuk memuaskan keserakahan manusia.’’

Saya melihat, banyak penindasan di Acheh terjadi. Sebab, mereka yang paling banyak menikmati manfaat sumber-sumber daya alam di Acheh, yakni Mobil Oil, segelintir perusahaan raksasa, serta segelintir keluarga kapitalis-birokrat di Jakarta dengan perantaraan ’’mafia Acheh’’-nya tidak ingin berbagi dengan rakyat jelata, kaum duafa yang tinggal di gampong-gampong di Aceh. Saya mengusulkan agar ada penentuan nasib sendiri bagi bangsa Acheh lewat suatu referendum, yang diawasi oleh PBB dan ornop-ornop HAM internasional. Mengapa? Sebab, duka Acheh adalah duka saya, duka Anda, dan duka kita semua. 

(Tulisan ini pernah saya baca di kolom opini Serambi Indonesia tahun 1999 ketika perjuangan referendum Aceh sedang berada di puncak, tapi saya lupa tanggal pemuatannya)

08 Agustus 2012

Tuntut THR, Buruh PDKS Datangi Kantor Bupati

SINABANG - Lebih dari seratusan karyawan dan buruh, beserta istri dan anak-anaknya, mendatangi Kantor Bupati Simeulue, Rabu (8/8) menuntut gaji dan THR yang tidak kunjung terealisasi selama tiga bulan.

Aksi tersebut digelar setelah tidak mendapat penjelasan dan kepastian dari pihak Manajemen PDKS Pusat. Para karyawan dan buruh tersebut, kemudian beramai-ramai mendatangi Kantor Bupati Simeulue. Namun pihak aparat berwajib dan Satpol PP tidak mengizinkan mereka memasuki halaman Kantor Bupati.

Suasana semakin memanas dan aksi dorong mendorong terjadi, di depan pintu masuk, setelah lebih dari dua jam menunggu hasil pertemuan antara Drs H Risawan NS, Hasrul Edyar S.Sos, M.Ap dan H Aryaudin, Bupati, Wakil Bupati dan Ketua DPRK, dengan perwakilan pihak manajemen pusat PDKS dan sejumlah perwakilan karyawan dan buruh PDKS.

Karyawan dan buruh PDKS, yang merangsek masuk ke dalam kantor Bupati Simeulue, dihalangi petugas puluhan petugas Polisi dibantu Satpol PP yang telah berjaga-jaga sejak awal. Dalam aksi dorong mendorong tersebut, salah seorang buruh harian lepas, Sumiwati (40), pingsan dan langsung ditangani tim medis RSUD Simeulue, yang telah berada di lokasi.

"Kami datang untuk menemui bupati, hanya menyampaikan supaya gaji kami dan THR dibayar. Tadi saya pecahkan kaca itu, karena teringat anak saya mau pulang dari Banda Aceh, tapi tidak ada ongkos. Uang yang kita harapkan dari gaji sudah tiga bulan tidak dibayar," kata Sumiwati, saat ditemui, setelah siuman dari pingsan tersebut.

Hal senada juga disampaikan Juma'asan (48), buruh harian lepas dari kebun satu PDKS Kecamatan Teluk Dalam. "Kami butuh uang hasil keringat kami, dan yang terpenting harus ada uang kami, karena kami mau bayar zakat fitrah," tandasnya.

Sejak pukul 13.30 WIB hingga 17.30 WIB, digelar pertemuan antara Bupati, Wakil Bupati, Ketua DPRK, dengan pihak Manajemen Pusat PDKS, H Aliuhar Direktur PDKS, didampingi Dewan pengawas dan perwakilan dari karyawan, buruh harian lepas.

Hasil keputusan pertemuan tersebut, disampaikan Kapolres AKBP Parluatan Siregar, kepada karyawan dan buruh harian lepas PDKS. "gaji dibayar selama tiga bulan. THR tidak ada. Kegiatan operasional PDKS dihentikan untuk sementara", tegas Kapolres di dampingi salah seorang perwakilan karyawan dan buruh harian lepas.

Setelah penyampaian hasil keputusan tersebut, berangsur-angsur seratusan karyawan dan buruh harian lepas dari dua lokasi, kebun PDKS I Teluk Dalam dan kebun PDKS II Teupah Selatan langsung membubarkan diri secara teratur.

Pemkab dan Manajemen PDKS Sepakat Hentikan Sementara Kegiatan Operasional Kebun PDKS. Pemerintah Kabupaten Simeulue dan Manajemen Perusahaan Daerah Kabupaten Simeulue (PDKS), dalam pembahasan soal tuntutan gaji dan THR, sepakat untuk sementara menghentikan segala kegiatan operasional di kedua lokasi kebun PDKS.

Penghentian kegiatan operasional kebun PDKS tersebut, disampaikan Bupati Drs H Riswan NS dan Direktur PDKS H Aliuhar SP, yang ditemui sesaat setelah pertemuan yang melelahkan tersebut.

"Benar untuk sementara kita hentikan sementara, sampai waktu yang tidak ditentukan, karena sejak didirikan dan telah menelan dana Rp211 miliar merugi dan regulasinya tidak jelas dan ini harus jelas sampai tuntas serta lebih baik dihentikan sementara dari pada kita menderita kerugian yang lebih besar," katanya, seraya menerangkan gaji selama tiga bulan dapat diatasi senilai Rp1,5 miliar.
.
Kesepakatan penghentian kegiatan operasional kebun PDKS juga disampaikan Direktur PDKS, H Aliuhar SP. "Kita telah sepakat menghentikan kegiatan operasional PDKS, sampai batas waktu yang tidak ditentukan, dan alhamdulillah soal gaji yang tertahan selama tiga bulan sudah teratasi, namun saya mohon maaf soal THR tidak dikabulkan," terangnya.

Akibat penghentian kegiatan operasional PDKS tersebut, 180 karyawan dan harian lepas lainnya, kehilangan pekerjaan dan diyakini akan menambah pengangguran di Kabupaten Simeulue. "Kalau memang itu sudah keputusan untuk dihentikan sementara tanpa batas waktu, sama saja kami di-PHK, jadi harus jelas tunjangan PHK itu," ketus salah seorang karyawan PDKS, yang meminta namanya tidak ditulis.

Upaya menyelesaikan masalah gaji karyawan dan buruh tersebut, Pemkab Simeulue dan Manajemen PDKS pusat PDKS terpaksa melakukan peminjaman dana dari pihak ketiga sebesar Rp1 miliar, sisanya Rp500 juta berasal dari dana saving yang tersedia di dalam kas PDKS. [AHMADI]