27 April 2013

Putri yang Hilang

GUWAHATI, India (IPS) – MEREKA seakan-akan sudah menyerah bakal melihat putri mereka lagi. Mereka adalah keluarga Adivasi dari sebuah dusun terpencil di negara bagian Assam, India, terletak di kaki gunung Himalaya. Lanksap yang indah di sekelilingnya memeram kehampaan yang mereka rasakan.

Tiga dari empat putri mereka hilang dalam lima tahun terakhir.

“Miskin dan bodoh, keluarga ini benar-benar tak tahu di mana putri mereka pergi,” ujar Sunita Changkakati, direktur eksekutif Pusat Pembangunan Pedesaan Assam, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Guwahati.


Adivasi, kelompok suku asli yang leluhurnya didatangkan dari India tengah oleh kerajaan Inggris untuk bekerja di perkebunan teh di Assam, rentan terhadap ancaman perdagangan manusia. Kendati para perempuan dari daerah suku di dataran rendah Assam dan lainnya dari negara-negara bagian terdekat di timurlaut juga sudah menjadi korban.


Para agen yang licik mendekati dan memburu mangsa yang gampang ditipu di desa-desa. Mereka seringkali mengiming-imingi dengan banyak uang, daya pikat kehidupan kota, atau harapan lepas dari kehidupan yang membosankan. Mereka bahkan membuai gadis-gadis yang mudah dipengaruhi dengan kemungkinan menikah dengan dalih cinta, “menikahinya” dengan rahasia, tapi alih-alih memberikan bulan madu yang dijanjikan, mereka mengirim gadis-gadis ini ke prostitusi.


Dalam beberapa tahun terakhir, media melaporkan tentang gadis-gadis dari timurlaut India dan daerah lain di Assam diselamatkan dari rumah bordil di Delhi, Mumbai, Pune, dan kota-kota lain di negeri itu.


Menurut catatan Departemen Penyelidikan Kriminal dari pemerintah negara bagian Assam, jumlah gadis korban perdagangan manusia yang dijual keluar negara bagian mulanya sangat kecil, hanya 4 orang pada 2005, lalu terus naik menjadi 37 (2009), 54 (2011), dan 79 (2012).


Angka ini bisa lebih tinggi lagi karena keluarga jarang melaporkan putri mereka yang hilang.


Tak semua gadis yang hilang berakhir dalam perdagangan seksual. Tampak aneh memang, banyak dari mereka, beberapa di antaranya berusia di bawah 18 tahun –usia yang ditetapkan dewasa berdasarkan Konstitusi India– didapati menikah dengan petani-petani tua di tempat-tempat yang jauh seperti negara bagian Punjab dan Haryana.


Aborsi dan pembunuhan janin perempuan membuat rasio jenis kelamin laki-laki dan perempuan tak seimbang di dua negara bagian India utara itu. Akibatnya, tak ada perempuan yang bisa dinikahi kaum pria di desa-desa ini. Karena itu muncul praktik “membeli” istri dari pedagang. Mendapatkan seorang pengantin dari daerah timurlaut mungkin sebelumnya tak pernah terjadi. Kini tak begitu, apalagi jika ada sedikit kesamaan budaya.


Beberapa gadis yang diculik juga mendapati diri mereka berada di kawasan pembantu rumahtangga di kota-kota metropolitan di India. Direkrut keluarga-keluarga kaya, “mereka sering digaji murah, bekerja nyaris seperti pekerja paksa,” ujar Stephen Ekka dari Pajhra (artinya “musim semi kehidupan), sebuah LSM di Tezpur di timur laut negara bagian Assam.


“Perdagangan manusia tak selalu berarti mereka dijual ke dalam perdagangans seksual,” tutur Ekka, yang juga anggota komunitas Adivasi. “Siapapun yang terkungkung paksa dalam sebuah lapangan pekerjaan dapat dianggap diperdagangkan.”


Rajeeb Kumar Sharma, sekretaris jenderal Organisasi Global untuk Pengembangan Hidup (GOLD), sebuah LSM di Guwahati, menceritakan kasus seorang pekerja domestik yang direkrut sebuah agen yang bermarkas di Delhi. Pria itu mengeluh sakit perut. Saat diperiksa di rumahsakit, sebuah organ tubuhnya ternyata tak ada tanpa sepengetahuannya. Pria malang itu diberi tahu bahwa karena sudah begitu banyak uang yang harus dikeluarkan agen, dia harus menutupinya dengan membawa orang lain berbadan sehat dari desanya.


Kemiskinan dan pengangguran merupakan faktor utama yang mendorong penduduk desa untuk bebruat nekat; kurangnya mobilitas sosial, pendidikan, dan kesempatan bagi anak-anak muda melipatgandakan masalah itu.


Perkebunan teh terkenal di Assam, lapangan kerja utama bagi penduduk di negara bagian dan penyumbang pendapatan, menghadapi masa-masa sulit dalam beberapa tahun belakangan. Guna memangkas biaya, perkebunan hanya mempekerjakan buruh lepas, khususnya saat musim petik. Bukan hal luar biasa para gadis pergi mencari pekerjaan. Tapi orangtua mereka tetap tak menyadari dari mana uang itu didapatkan.


Bahkan di dusun paling terpencil, kata “Delhi” kini membangkitkan pengakuan instan dan dianggap sebagai kata ajaib guna merengkuh gelimang kekayaan. Seringkali, seorang gadis “dari Delhi” datang, mengenakan pakaian “mewah” dan berpoles tebal, serta membual betapa banyak uang yang dia dapatkan. Ini acapkali sebuah muslihat, sebuah godaan atas pesona semu untuk memikat gadis-gadis lain.


Terjerat, banyak gadis pergi untuk menjemput impian, dan kembali setelah mendapatkan mimpi buruk, tentu jika mereka memang kembali. Changkakati dari Pusat Pembangunan Pedesaan Assam baru-baru ini menemukan seorang gadis di sebuah desa yang baru berumur 14 tahun dan menyusui bayi 6 bulan. “Saat kami tanya ibu si gadis, dia bilang putrinya menikah. Si suami (katanya) berasal dari Bihar, tapi karena punya sebuah toko di Delhi, dia tak bisa bersama mereka. Si ibu jelas-jelas berdusta, tapi kita mau bilang apa?”


Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah LSM seperti yang digeluti Changkakati atau Stephen Ekka berupaya meningkatkan kesadaran mengenai perdagangan manusia, menolong korban, dan merehabilitas mereka. Lembaga-lembaga mahasiswa lokal dan organisasi macam Perkumpulan Perempuan Adivasi dari Assam, yang berkantor di Majbaat dekat kota Udalguri, ikut membantu. Anggota mereka punya akses ke komunitas lokal, yang mempermudah memantau gadis-gadis yang hilang di daerah tersebut.


LSM di negara bagian telah menerapkan Ujjwala, sebuah skema memerangi perdagangan manusia, khususnya gadis-gadis yang dijual untuk pelacuran. Komite-komite kewaspadaan mencari tahu kemungkinan kasus perdagangan manusia, dan bekerjasama dengan kepolisian untuk menyelamatkan para gadis. Pada 2012, 78 gadis dirawat di rumah singgah.


Namun, sulit untuk merehabilitasi para gadis yang diselamatkan, terutama jika mereka kembali setelah beberapa tahun. Hambatan utamanya stigma sosial. “Beberapa gadis kembali dengan kondisi kesehatan yang sangat buruk,” kata Ekka. “Mereka terlihat depresi tapi tak mau bicara banyak tentang apa yang telah menimpa mereka.”


Departemen Penyelidikan Kriminal negara bagian telah mendirikan 14 unit anti-perdagangan manusia. Pos siap-siaga khusus ditempat di stasiun-stasiun kereta. [Ranjita Biswas]






Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

25 April 2013

Kemenangan Korporasi, Kekalahan Korban Pelanggaran HAM

WASHINGTON (IPS) – MAHKAMAH AGUNG Amerika Serikat menolak gugatan hukum yang diajukan oleh mereka yang diduga korban pelanggaran hak asasi manusia terhadap perusahaan minyak Royal Dutch Shell. Putusan yang dirilis Rabu lalu itu dianggap sebagai kekalahan serius bagi komunitas Ogoni di Delta Niger, yang diduga mengalami pelanggaran HAM berat selama pertengahan 1990-an oleh pemerintahan militer yang berkuasa saat itu.
Selain itu, putusan tersebut melukai sistem pengadilan AS yang berupaya meminta ganti rugi atas kesalahan-kesalahan yang diduga dilakukan perusahaan-perusahaan multinasional, khususnya di negara-negara berkembang.
Pada kasus Kiobel versus Royal Dutch Petroleum yang mendapat perhatian luas, para korban menuduh perusahaan minyak itu terlibat dalam kejahatan terhadap mereka, termasuk penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, pemerkosaan, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Namun para hakim, dipimpin Hakim Agung John Roberts, memutuskan kaitan Shell dengan Amerika Serikat terlalu lemah, meski faktanya mereka menjalankan bisnis di negara tersebut, dan karenanya tak bisa digugat di bawah hukum AS. Para pengkritik menyatakan, justru hukum AS, yang dikenal dengan Alien Tort Statute (ATS), dibuat untuk menangani perkara semacam itu.
“Putusan hari ini benar-benar tragedi,” ujar Raha Wala, dewan senior dari Human Rights First, kelompok advokasi berbasis di Washington, kepada IPS segera setelah putusan itu dikeluarkan.
“Ini artinya pintu keadilan ditutup bagi sekelompok orang asing yang tak tahu ke mana mesti berpaling untuk menyampaikan gugatan ganti-rugi atas isu pelanggaran hak asasi manusia internasional, termasuk penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum. Saya kira Mahkamah Agung mengabaikannya sama sekali hari ini dengan putusan tersebut.”
Dalam kasus ini, para penggugat menyatakan komunitas Ogoni memprotes kerusakan lingkungan dan degradasi lahan akibat eksplorasi minyak di Ogini, Delta Niger. Respon yang mereka hadapi, selama 1993 dan 1994, militer Nigeria secara sistematis menargetkan desa-desa Ogoni dalam kampanye teror penjarahan, pemerkosaan, pembunuhan, dan pengrusakan harta benda.
Puncaknya, sekelompok enviromentalis, dikenal dengan Ogoni Sembilan, termasuk dramawan terkemuka Ken Saro-Wiwa, dieksekusi. Mereka digantung setelah diadakan pengadilan militer, yang secara luas dikutuk sebagai tidak sah.
Komunitas Ogoni berharap merengkuh keadilan di pengadilan AS. Mereka mengajukan gugatan perdata terhadap Royal Dutch Shell berdasarkan ATS. Selama puluhan tahun, undang-undang ini dipakai sebagai saluran hukum untuk menuntut tanggungjawab individu, perusahaan, dan pemerintah atas pelanggaran HAM internasional.
Namun putusan Rabu lalu, sesudah perjuangan berpuluh tahun, kini malah melemahkan undang-undang tersebut. (Riwayat lengkap kasus ini bisa ditemukan di sini)
“Pada dasarnya apa yang dinyatakan Mahkamah Agung bahwa ATS –yang dirancang untuk memungkinkan tuntutan hukum bagi pelanggaran hukum negara maupun hukum internasional– tak bisa lagi diterapkan secara ekstra-teritorial,” ujar Wala.
“Jadi apa yang kita miliki adalah dugaan atas tindak kekerasan kejam, termasuk penyiksaan, yang difasilitasi perusahaan multinasional besar di Nigeria, pada dasarnya takkan terjawab karena Mahkamah Agung menafsirkan UU ini secara sempit.”
Bahkan, Wala mengatakan putusan Rabu lalu bertolak belakang dengan penerapan ATS selama puluhan tahun.
“MA menafsirkan UU ini dengan cara tak konsisten dengan preseden hukum selama 30 tahun terakhir,” katanya. “Selama waktu itu, ATS berulangkali dipakai untuk mengadili kasus-kasus HAM di pengadilan federal. Putusan hari ini benar-benar merugikan para korban pelanggaran HAM.”

Pengadilan negara bagian terbuka
Putusan itu hampir pasti berdampak pada upaya global untuk memberikan ganti-rugi bagi para korban pelanggaran HAM terkait korporasi. Beberapa pihak juga khawatir, hal itu akan mempersulit upaya meniadakan tempat berlindung yang aman bagi diduga para penyiksa dan penjahat perang.
Sementara kasus ini dipandang sebagai langkah mundur dari kecenderungan ke arah pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat, Marco Simons, direktur legal Earth Rights International, kelompok advokasi Washington, berpendapat bahwa pintu bagi ATS belumlah tertutup.
“Mulai sekarang, jika perusahaan multinasional asing terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan di negara lain, Anda tak bisa menuntutnya di AS hanya karena mereka beroperasi di AS,” ujarnya.
“Tidaklah cukup bahwa terdakwa adalah sebuah korporasi yang menjalankan bisnis di AS –kini perlu ada kaitan yang lebih besar dengan AS.”
Pada saat yang sama, dia mencatat, putusan Rabu lalu hanya berlaku untuk pengadilan federal. Selanjutnya, dan yang lebih penting, hakim tak memutuskan bahwa korporasi kebal terhadap ATS, sebagaimana diusulkan para pengacara Shell.
“Jadi, korporasi asing yang berbisnis di AS masih bisa digugat berdasarkan ATS untuk kejahatan yang mereka lakukan di seluruh dunia, tapi hanya pada tingkat pengadilan negara bagian,” jelasnya.
“Di luar itu, kita benar-benar tak tahu apakah pertalian tambahan diperlukan. Ini bisa berarti bahwa hanya kasus melawan korporasi AS yang dapat diadili, atau mungkin kasus yang melibatkan beberapa perusahaan di AS, seperti korporasi yang pengambilan keputusannya dibuat di sini.”
Dia mengatakan isu ini akan diperdebatkan di pengadilan untuk beberapa waktu ke depan. [Joe Hitchon]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

22 April 2013

Peta Pengusiran dalam Bahasa Ibrani

TEL AVIV (IPS) – KEMBANG API mewarnai langit Tel Aviv pekan lalu begitu ribuan bendera Isreal berkibar yang menandai peringatan ke-65 berdirinya negara ini. Pada saat yang sama, sekelompok kecil aktivis Israel menjelajahi sisi lain, yang seringkali diabaikan, dari terciptanya negara mereka: pengusiran paksa ratusan ribu rakyat Palestina.
Kelompok Israel itu bernama Zochrot (dalam bahasa Ibrani, “laku mengingat”). Mereka meluncurkan peta pertama berbahasa Ibrani pada Hari Kemerdekaan Israel tahun ini. Peta itu merinci ratusan kampung Palestina lenyap dalam sejarah Palestina dari awal gerakaan Zionis hingga perang tahun 1967.
Peta juga memasukkan desa-desa Yahudi dan Suriah yang hancur, sejak akhir 1800-an.
Setiap bekas desa dan kota ditandai dengan sebuah titik –warna merah, biru, kuning, merah muda, ungu, atau hijau– untuk menunjukkan kategori, serta kapan dan bagaimana penduduknya mengungsi. Nama-nama komunitas Israel yang dibangun di atas perkampungan Palestina juga ditandai.
“Sudah waktunya, bukan?” ujar Eitan Bronstein, pendiri Zochrot, sembari tertawa tentang mengapa organisasinya memutuskan bikin sebuah peta Nakba dalam bahasa Ibrani.
“Bagi kami, itu sangat penting bukan hanya untuk menunjukkan kerusakan, tapi juga latar belakang apa yang terjadi hari ini. Sangat penting untuk mengakui bahwa tempat kita tinggal sekarang berdekatan dengan (bekas) kota, atau kampung, atau sebagainya (milik Palestina),” katanya.
Nakba (“malapetaka” dalam bahasa Arab) merujuk pada 750.000 warga Palestina yang diusir-paksa atau minggat dari rumah dan desa mereka sebelum dan selama berdirinya negara Israel pada 1947-48.
Pasukan Israel mengosongkan penduduk dan menghancurkan lebih dari 500 desa Palestina saat itu, dan pada tahun-tahun berikutnya. Sejak itu, pengungsi Palestina dilarang kembali ke rumah. Saat ini, Palestina merupakan populasi pengungsi terbesar di dunia, dan sebagian besar masih tinggal di kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat, Jalur Gaza, Yordania, Suriah, dan Lebanon.
Hanna Farah, pria berusia 52 tahun, berasal dari desa Kufr Bir’im,Palestina, tak jauh dari perbatasan Lebanon di wilayah Galilee, Israel utara. Keluarganya dipaksa pindah pada 1984, dan dia dibesarkan sebagai seorang pengungsi paksa internal (IDPs) di desa ibunya, Jesh, juga di Galilee.
“(Desa) saya senantiasa dari Kufr Birim –selalu dan selamanya,” tutur Farah, kini tinggal di Jaffa, pada acara peluncuran peta Nakba. Dia berkata dia berharap peta Nakba dalam bahasa Ibrani akan membuka mata rakyat Israel mengenai sejarah mereka, dan membantu mereka mengakui Nakba.
“Saat mereka pergi ke taman dan menikmati barbaque, mereka sedang duduk di batu-batu rumah Palestina. Mungkin (peta) ini akan menjadi sedikit efek kejut,” ujar Farah. “Sebagian besar menutup mata. Mereka tak ingin melihat karena tak nyaman bagi mereka. Mungkin kini mereka akan terbuka untuk melihat masalah sebenarnya dan membahasanya pada tingkat nyata.”
Rivka Vitenberg, aktivis Israel, menekankan pentingnya membahas Nakba, khususnya di masyarakat di mana hanya narasi Israel yang diajarkan di sekolah, dan pengalaman rakyat Palestina diabaikan.
“Ketika saya tumbuh di sini, sepanjang waktu para guru mengatakan bahwa kami hanya punya satu negara dan orang-orang Arab punya 22 negara. ketika saya mulai tahu sudut pandang rakyat Palestina, saya melihat hal itu tak tepat sama sekali. Ada orang-orang yang tinggal di sini,” kata Vitenberg.
“Saya ingin orang-orang mengingat Nakba. Ini bagian sangat penting dalam sejarah. Kami harus mengetahuinya.”
Pada Februari lalu, sebuah studi dari Council of Religious Institutions of the Holy Land menunjukkan bahwa buku pelajaran sekolah Israel maupun Palestina menampilkan “narasi nasional sepihak”, dan peristiwa sejarah –seperti Nakba bagi warga Palestina, atau bagi rakyat Israel disebut perang kemerdekaan– “ditampilkan secara selektif untuk memperkuat narasi nasional masing-masing komunitas.”
Namun, menurut Eitan Bronstein dari Zochrot, sudah ada pergeseran bertahap dalam masyarakat Israel yang mulai membahas Nakba secara lebih terbuka. Ini sebagian berkat kian meningkatnya tuntutan pengungsi Palestina untuk kembali ke rumah, dan upaya pemerintah Israel untuk memendam isu Nakba.
Pada 2011, Israel mengesahkan undang-undang kontroversial –dikenal dengan UU Nakba– yang melarang institusi-institusi menerima dana negara untuk menggelar acara memperingati Nakba. Versi orisinal dari undang-undang itu, yang akhirnya dibatalkan, menyebut peringatan Nakba sebagai tindak pidana yang dapat diganjar hukuman sampai tiga tahun penjara.
“Bila ini terjadi sepuluh tahun lalu, orang akan bertanyta, apa ini? Mereka tak tahu apa kata itu (Nakba). Sekarang, dijamin lebih banyak orang membuka diri untuk mengetahuinya,” kata Bronstein.
“Kami akan membagikannya (peta ini) kepada para dosen, guru sekolah menengah atas, kepala sekolah, perpustakaan, wartawan… Saya sangat berharap bahwa ini akan membuka lebih banyak ruang untuk berdiskusi.” [Jillian Kestler-DAmours]
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

06 April 2013

Mahkamah Agung India Tolak Kasus Obat Paten

DOHA (Al Jazeera) – MAHKAMAH Agung di India telah menolak permohonan Novartis AG, produsen obat dari Swiss, yang meminta perlindungan paten atas sebuah obat kanker. Keputusan ini jadi pukulan telak bagi industri farmasi Barat yang sedang menyasar India untuk meningkatkan penjualan.
Dalam putusannya Senin lalu, Mahkamah Agung menyatakan bahwa obat kanker Glivec gagal memenuhi syarat paten menurut hukum India.
Sejak 2006, Novartis meminta pemerintah India untuk memberi perlindungan obat-obatannya yang ditiru perusahan-perusahaan India.
Namun, pengadilan memutuskan bahwa obat yang diupayakan Novartis mendapatkan paten itu “tak memenuhi uji orisinalitas atau kebaruan” yang diwajibkan menurut hukum India.
Pada 2009, perusahan itu mengajukan keberatan terhadap hukum yang menghalangi paten atas obat-obatan baru tapi kandungannya tak jauh berbeda dari obat-obatan yang sudah dikenal kepada Mahkamah Agung.
Sohail Rahman dari Al Jazeera, melaporkan dari New Delhi, mengatakan keputusan itu “sangat mengecewakan” Novartis, karena memungkinkan perusahan-perusahaan India terus memproduksi obat generik dengan harga lebih murah bagi konsumen dalam negeri dan internasional.
Rahman berkata, keputusan itu dapat menimbulkan masalah karena India dianggap melanggar aturan yang ditetapkan Organisasi Perdagangan Dunia.
Kasus ini menarik banyak perhatian dan publisitas. Ia adalah perlawanan sejumlah paten yang dilancarkan di India. Ia bisa berimplikasi luas dalam menentukan tingkat perlindungan paten bagi perusahaan obat multinasional yang beroperasi di pasar yang menguntungkan.

Preseden berbahaya
Perusahaan Swiss itu mengancam akan menghentikan pasokan obat-obatan baru ke India bila Mahkamah Agung tak menjatuhkan keputusan yang mendukungnya, tulis Financial Times di London, Minggu lalu.
“Jika situasi masih sama seperti sekarang, semua penyempurnaan atas senyawa kimia orisinal itu tak mendapat perlindungan dan obat-obatan semacam itu mungkin takkan dijual di India,” ujar eksekutif Paul Herrling, yang memimpin perusahaan Swiss itu dalam menangani kasus ini.
Tapi Leena Menghaney, pengacara dari badan amal medis Medecins Sans Frontieres (MSF), mengatakan kemenangan hukum bagi Novartis justru bisa “menjadi preseden berbahaya, melemahkan norma-norma hukum India terhadap evergreening”—sebutan untuk praktik industri yang meminta paten baru setelah melakukan modifikasi kecil atas obat yang ada.
Itu akan “buruk bagi orang-orang di negara berkembang yang bergantung pada obat-obatan generik yang dibuat di negaranya. Benar-benar akan membatasi akses.”
Perusahaan-perusahaan obat generik di India –sejak lama dikenal sebagai “apotik bagi negara berkembang” – telah berperan menjadi pemasok utama obat-obatan tiruan untuk mengobati penyakit seperti kanker,tuberculosis (TB), dan AIDS bagi mereka yang tak mampu membeli obat versi bermerek yang mahal.
Perbedaan harga antara obat generik dan bermerek sangat penting bagi orang-orang miskin di seluruh dunia, ujar MSF.
Misalnya obat Glivec –sering dipuji sebagai “peluru perak” atas terobosannya mengobati bentuk leukemia yang mematikan– seharga 4.000 dolar (sekitar Rp 40 juta) per bulan dalam versi bermerek, sementara versi generiknya yang tersedia di India cuma 73 dolar (Rp 730 ribu).
Dalam kasus Glivec, Rahman dari Al Jazeera juga mengatakan bahwa sebagian besar konsumen di India bahkan tak mampu membelinya karena upah rata-rata hanya 120 dolar (Rp 1,2 juta)
Tapi Novartis dan produsen obat global lainnya mengatakan industri generik India menghambat inovasi dunia farmasi dan mengurangi dorongan komersial untuk menghasilkan obat-obatan baru. [Koresponden AJazeera]

*Diterbitkan atas persetujuan Al Jazeera.
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik, dan diposting kembali di blog ini atas izin Yayasan Pantau.

31 Maret 2013

Media Palestina Menghadapi Tekanan Pemerintah

RAMALLAH (IPS) – DENGAN langkah luar biasa, seorang warga sipil divonis setahun penjara karena mengunggah gambar di Facebook di mana Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas mengenakan kaos tim sepakbola Real Madrid dan berpose menendang bola. Hukuman itu merupakan salah satu contoh bagaimana media menjadi sasaran di wilayah Palestina.
Anas Saad Awad, 26 tahun, dari desa Awarta dekat Nablus, di utara Tepi Barat, mendapat hukuman dari pengadilan yang dipimpiin hakim Nablus dengan dakwaan “mengkritik pemerintah”. Awad tak bisa menghadiri persidangan itu saat hukuman itu dijatuhkan karena dia berada di tempat lain di gedung pengadilan.
Rima Al Sayed , pengacara Awad, mengatakan kliennya didakwa mereka-ulang gambar Abbas memakai kaos Real Madrid dengan keterangan: ‘striker baru’. Menurut Sayed, pengadilan Palestina menerapkan Pasal 195 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Yordania, yang mengkriminalkan orang yang mengkritik raja Yordania.
Penggunaan hukum Yordania oleh pengadilan Palestina bukanlah sesuatu yang luar biasa. Selain Undang-Undang Dasar yang disahkan pada 2012, hukum Palestina merupakan gabungan dari undang-undang dan KUHP Mesir dan Yordania yang tersisa dari era Mandat Inggris. Namun penerapan hukum Yordania seringkali dipakai terhadap warga Paletina untuk perkara perselisihan buruh dan kejahatan “atas nama kehormatan” dan kebebasan berpendapat.
“Anak saya hanya berkomentar di Facebook,” kata ayah Awad. “Anda tahulah bagaimana anak muda berkomentar. Dia tak bermaksud menghina presiden. Saya minta presiden campur tangan secara pribadi untuk membatalkan putusan pengadilan.”
IPS tak bisa bicara langsung dengan pihak keluarga mengingat kemungkinan agen intelijen Palestina mengawasi telepon keluarga bersangkutan, dan bikin lebih banyak masalah bagi mereka.
Awad sebelumnya bermasalah dengan intelijen Palestina karena mengkritik Otoritas Palestina (PA). Dia ditangkap tapi kemudian cuma didenda dan dibebaskan.
“Ini tak pernah terjadi sebelumnya. Ini pertama kalinya hukuman dijatuhkan untuk warga biasa hanya karena berkomentar tentang Abbas. Komentarnya di Facebook bahkan tak kasar maupun kritis,” ujar Riham Abu Aitadari Pusat Pengembangan dan Kebebasan Media Palestina (MADA).
“Tahun lalu 10 jurnalis Palestina dari Gaza dan Tepi Barat ditangkap dan diinterogasi karena mengkritik Hamas maupun PA. Kebebasan media di wilayah Palestina berjalan buruk pada awal 2013,” kata Abu Aita.
“Hamas menangkap puluhan jurnalis di Gaza, dan pasukan keamanan Israel meningkatkan sasaran terhadap media Palestina dan luar negeri karena mereka berusaha menutupu protes yang berkembang di Tepi Barat.”
“Namun, PA jadi sangat sensitif selama beberapa bulan terakhir. Ini berkaitan dengan sensitivitas berlebihan atas kritik internasional menyusul dinaikkannya status PA sebagai negara pemantau non-anggota PBB dan tekanan yang diberikan organisasi-organisasi hak asasi manusia Palestina dan internasional,” ujar Abu Aita.
Salah satu strategi PA guna mencapai tujuannya, sebuah negara Palestina yang merdeka, adalah bergabung dengan Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) sebagai cara menekan untuk meminta pertanggungjawaban Israel, yang melakukan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia berdasarkan hukum internasional atas perlakuannya terhadap rakyat Palestina.
Status PA di PBB hanyalah negara pemantau non-anggota, tapi mereka dapat meratifikasi perjanjian-perjanjian hak asasi manusia, termasuk Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) –pasal 19 yang menjamin kebebasan berekspresi.
PA berjanji menegakkan hak asasi manusia dan meratifikasi sejumlah konvensi, namun gagal melakukannya di sejumlah wilayah. Human Rights Watch mencatat, “patut dihargai bahwa kepemimpinan Palestina sedang mempelajari perjanjian-perjanjian itu; kelambanan dalam meratifikasi membuat surutnya keyakinan atas komitmen mereka untuk menegakkan hak-hak dan kebebasan yang fundamental.”
“Isu lain adalah ketakutan PA atas protes populer di Tepi Barat menyusul Musim Semi Arab yang menyapu seluruh kawasan itu, mengancam kediktatoran di belakangnya,” kata Abu Aita. “Pemerintahan Abbas juga ingin tampil dengan mengambil landasan moral yang tinggi terkait Hamas yang baru-baru ini mengkritik melalui pers atas tindakan kerasnya terhadap media di Gaza.”
Sementara aparat keamanan Abbas mampu mengendalikan jurnalis dan media di Tepi Barat sampai batas waktu tertentu, jejaring sosial terbukti jauh lebih sulit dikontrol meski ada pengawasan intensif.
Tahun lalu, pasukan keamanan Palestina memenjarakan sedikitnya tiga orang dengan tuduhan, dalam peristiwa terpisah, mengkritik pemerintah lewat situs jejaring sosial. Sasah satunya adalah seorang dosen universitas Palestina, yang ditahan karena menghina Abbas lewat Facebook.
Ironisnya, selagi PA mendorong rakyat Palestina melaporkan korupsi, pada April tahun lalu blogger Jamal Abu Rihan ditangkap karena meluncurkan kampanye Facebook menuntut diakhirinya korupsi.
Kantor Ma’an News menemukan bukti pemblokiran delapan situsweb yang kritis pada Abbad, sementara kolumnis Jihad Harb dihukum dua bulan penjara atas tuduhan pencemaran nama baik dan fitnah setelah mempertanyakan kroniisme di dalam pemerintahan Abbas.
“Namun, upaya PA menghancurkan pembangkangan jurnalis mental kembali,” ujar Abu Aita. “Apa yang kami temukan adalah para jurnalis Palestina menjadi pendukung kuat kebebasan media dan kian bertekad mendukungnya saat mereka kian jadi sasaran dan dilecehkan.” [Mel Frykberg]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

23 Desember 2012

Intifada Ketiga di Kaki Langit?


HEBRON, Tepi Barat (IPS) – SEBUAH kelompok baru Palestina yang disebut Batalyon Gabungan Nasional (NUB), beranggotakan warga Palestina dari lintas spektrum politik, menyerukan pemberontakan rakyat Palestina atau intifada ketiga. Pada saat bersamaan, intelijen Israel memperingatkan kondisi di kawasan Tepi Barat sudah matang untuk revolusi rakyat Palestina berikutnya.
Peringatan ini muncul setelah adanya protes dan bentrokan antara tentara Israel dan pemuda Palestina di seluruh kota dan pinggiran kota di Tepi Barat selama sepekan, yang menewaskan Muhammad Salayma, 17 tahun, di tangan seorang penjaga perbatasan Israel di Hebron.
Sebuah video yang diedarkan selama seminggu oleh anggota-anggota NUB dari Hamas, Fatah, Jihad Islam, dan Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP), mengumumkan pembentukan organisasi itu merupakan sarana konsolidasi perjuangan melawan Israel.
Kendati menekankan dukungan terhadap Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengakui Palestina sebagai negara peninjau non-anggota, mereka menyatakan akan berjuang untuk memulihkan “seluruh Palestina –dari laut hingga sungai.”
“Ini adalah awal dari Intifada rakyat Palestina ketiga, yang meledak dari jantung kota Hebron dan akan menyebar ke seluruh Palestina,” demikian pernyataan dalam video itu.
Anggota-anggotanya kemudian mengancam akan menculik tentara Israel bila Pasukan Keamanan Israel (IDF) tak menghentikan penangkapan warga Palestina. Jika Israel terus membunuh rakyat Palestina dengan impunitas, mereka akan membalasnya.
NUB juga menuntut penghapusan semua pos pemeriksaan IDF di Tepi Barat, membebaskan semua tahanan Palestina dari penjara-penjara Israel, penarikan warga Israel dari seluruh tanah Palestina yang diduduki, dan menyerahkan semua pendapatan pajak Israel yang dibayarkan Otoritas Palestina (PA) sejak PBB meningkatkan status Palestina.
NUB juga menuntut agar Israel membuka seluruh jalur perbatasan serta pasokan air dan listrik ke Jalur Gaza yang terkepung.
Kelompok ini mengeluarkan pernyataan pada Jumat lalu, hari penembakan fatal terhadap Salayma, setelah tentara Israel mengklaim bahwa Salayma mengancam mereka dengan pistol plastik. Namun, saat IPS bicara dengan anggota keluarga Salayma, gambaran ceritanya sungguh berbeda.
“Saya meragukan Muhammad punya pistol plastik. Saya percaya tentara Israel meletakkan senjata itu di dekatnya setelah menembaknya,” kata Muhammad Salayma Sr., paman korban yang juga seorang polisi PA.
“Saat itu hari ulangtahunnya dan dia keluar untuk membeli kue ulangtahun. Untuk sampai ke toko dia harus melewati pos pemeriksaan militer Israel dan melewatinya lagi ketika kembali ke rumah. Jika dia punya pistol tiruan, mesin x-ray (sinar elektromagnetik) akan mendeteksi,” kata Salayma kepada IPS.
“Dia pelajar yang bahagia dan pintar, dan mewakili tim gulat Palestina di Prancis. Dia sedang dalam perjalanan pulang rumah dengan kue ulangtahunnya dan kami harus percaya bahwa dia tiba-tiba mencoba mengalahkan sekelompok tentara Israel yang bersenjata berat dan terlatih dengan pistol plastik? Dia tidak sebodoh itu,” kata Nashim Salayma, 22 tahun, saudara sepupu Muhammad Salayma, kepada IPS.
Organisasi HAM Israel, Palestina, dan internasional telah mendokumentasikan segudang kasus selama bertahun-tahun di mana warga Palestina ditembak mati tentara Israel dalam perkara yang bisa diperdebatkan.
Namun, yang tak perlu diperdebatkan lagi: pembunuhan terakhir itu memicu kemarahan massa –ratusan pemuda Palestina tumpah ke jalan-jalan di Hebron pada Kamis lalu untuk melampiaskan amarah terhadap pasukan Israel, melemparkan batu dan membakar ban. Puluhan orang terluka dalam bentrokan berikutnya, beberapa luka serius oleh peluru tajam, peluru karet, dan gas airmata. Protes menyebar ke kota-kota dan pinggiran kota lainnya di Tepi Barat.
IPS menyaksikan bentrokan di Hebron sehari setelah pawai besar-besaran dari pendukung Hamas yang merayakan 25 tahun pembentukan organisasi itu.
Inilah kali pertama selama bertahun-tahun PA mengizinkan Hamas menggelar unjuk rasa di Tepi Barat. Ini juga menjadi langkah terbaru menuju rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah yang berafiliasi ke PA, dua faksi politik utama yang hingga kini saling bermusuhan.
Langkah kecil ke arah persatuan itu diikuti dengan meningkatnya kekuatan politik Hamas dalam perang Gaza terbaru, yang menyatukan rakyat Palestina dari seluruh faksi. Pasukan keamanan dari kedua kelompok juga secara drastis mengurangi jumlah penangkapan angota oposisi.
Akibatnya, kekuatan Hamas di Tepi Barat membesar. Ini, ditambah pemindahan sejumlah tahanan Hamas dari Gaza ke Tepi Barat yang akan dilakukan Israel, akan lebih mengkonsolidasikan kehadiran organisasi Islam itu di sini.
Selain itu, mempersiapkan basis perlawanan lain terhadap pendudukan Israel mungkin gagal atau bubar karena PA kekurangan dana akibat Israel terus menahan lebih dari satu juta dolar pajak warga Palestina.
PA adalah sumber penghidupan bagi ratusan ribu warga Palestina. Ketergantungan mereka, diprediksi para ahli terkemuka menyebabkan pengangguran massal, niscaya akan muncul dari pembubaran PA, yang akan membuat rakyat Palestina lebih putus asa.
Pembicaraan damai Israel-Palestina di titik nadir. Kemarahan rakyat Palestina kian memuncak dengan adanya serangan para pemukim Israel dan tak berhentinya penjarahan tanah Palestina. Di sisi lain, impian rakyat Palestina sebagai negara tersendiri kian mantap setelah meningkatnya pengakuan internasional.
Sementara itu, Shin Bet, badan intelijen dalam negeri Israel, menyatakan kerusuhan yang meluas di kawasan Tepi Barat dapat menyuburkan perkembangan suatu prasarana yang berpotensial mendukung intifada ketiga, menurut laporan media-media Israel. [Mel Frykberg]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

22 Desember 2012

Komisi HAM Muslim akan Diluncurkan


Oleh Carey L. Biron

WASHINGTON (IPS) – BERTEMU untuk kali pertama di Washington, perwakilan komisi HAM dari Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang baru saja terbentuk menyatakan mereka berencana mulai melakukan kerja sesungguhnya pada akhir bulan ini.
“Dalam beberapa bulan terakhir, kami telah menguraikan isu-isu prioritas. Kini kami berencana mulai bekerja untuk menyoroti isu-isu itu dalam kelompok-kelompok kerja akhir bulan ini di Jeddah,” kata ketua komisi, Siti Ruhaini Dzuhayatin, kepada wartawan di Washington, Kamis pekan lalu.
“Secara khusus, komisi ini diharapkan menghapus kesalahan persepsi atas masalah ketidakcocokan yang dirasakan antara Islam dan prinsip-prinsip HAM universal.”
Pada poin terakhir, dia dan orang-orang yang terlibat dalam lembaga baru ini menekankan bahwa mandat komisi adalah menangani hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya dalam konteks penerapan universal –bahwa komisi takkan mencoba menerapkan pemahaman HAM cangkokan apapun seperti yang ditapis melalui Islam. Mereka juga menegaskan OKI sendiri lembaga politik, bukan agama.
Didirikan pada 1969 dan mewakili 56 negara dan Otoritas Palestina, OKI adalah organisasi antarpemerintah terbesar kedua setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Gagasan membentuk sebuah lembaga HAM di bawah OKI kali pertama mengemuka pada 2005 saat negara-negara anggota menyepakati rencana 10 tahun ke depan yang mencakup pembentukan komisi itu.
Rencana 10 tahun itu juga merupakan sebuah upaya besar untuk mendefiniskan ulang identitas OKI, yang mengacu seputar gagasan moderasi dan modernisasi. Pada pertengahan 2011, OKI secara resmi mendirikan Komisi HAM Permanen Independen dan memilih 18 anggota komisi, yang akan menjalankan peran penasihat bagi Dewan Menteri Luar Negeri OKI.
Para anggotanya terdiri dari pengacara, aktivis, akademisi dan diplomat, serta empat perempuan, termasuk ketua komisi, seorang sosiolog asal Indonesia. Masing-masing kawasan utama OKI –Asia, Afrika, dan dunia Arab– mendapat alokasi enam anggota komisi.
Pada Kamis, Siti Ruhaini Dzuhayatin melaporkan bahwa komisi telah menghabiskan setahun terakhir untuk merumuskan kerangka acuan dan aturan prosedur. Satu bagian penting dari proses itu adalah menyepakati area prioritas, yang mencakup isu perempuan dan anak, hak politik dan minoritas, serta konflik Israel-Palestina.
Selama empat dekade masa jabatan OKI, topik terakhir itu menjadi salah satu penentu bagi lembaga, yang kini dianggap sebagai agenda tetap.
“Ini bukan dari sudut pandang politik, tapi lebih perspektif HAM,” catatnya. “Misalnya, bagaimana konflik mempengaruhi kehidupan warga, terutama perempuan dan anak-anak; hak mereka atas pembangunan, hak perdamaian, keamanan dan pendidikan.”
Kapasitas penasihat
Di luar cakupan yang luas itu, rincian lebih kecilnya belum diputuskan mengenai proses anggota komisi memilih isu mana yang difokuskan. Rizwan Sheikh, direktur eksekutif sekretariat sementara komisi di Jeddah, berkata kepada IPS bahwa komisi akan menerima agenda dari atas dan bawah, yang berarti dari Dewan Menteri Luar Negeri OKI dan akar rumput.
Otonomi dan independensi komisi menjadi penentu bagi orang-orang yang terlibat dalam lembaga baru itu, sebagaimana dipertanyakan banyak pengamat luar. Seperti dimandatkan, masing-masing anggota komisi akan dicalonkan oleh negara masing-masing dan kemudian dipilih, melalui pemungutan tertutup, oleh Dewan Menteri Luar Negeri.
Namun Sheikh menekankan bahwa ini akan menjadi kebijaksanaan kolektif  dari komisi untuk memutuskan bagaimana dan kapan melanjutkan agendanya.
“Anggaran dasar yang mengaturnya memberikan komisi sebuah tingkat independensi yang belum pernah ada dalam kerja OKI selama empat dekade terakhir –untuk kali pertama dalam sejarahnya, OKI membentuk sebuah lembaga yang terdiri atas ahli-ahli independen,” kata Sheikh.
“Independensi selanjutnya dijamin oleh fakta bahwa sifat badan ini sebagai penasihat. Bila hal ini tak terlaksana, akan ada pertimbangan politik tertentu yang dapat menunggangi kerja komisi. Tapi jelas bahwa ini adalah sebuah badan penasihat yang memberi dorongan kepada komisi … untuk bertindak dengan cara jujur dan bersahaja dalam memberikan pendapatnya.”
Begitu mulai bekerja pada akhir Desember, beberapa isu yang mungkin bisa komisi tawarkan pendapatnya, saran Sheikh, meliputi kekerasan terhadap perempuan, buruh anak, anak-anak dalam konflik bersenjata, dan topik-topik lebih sensitif seperti pernikahan di bawah umur, hak untuk pendidikan, dan sejenisnya.
Pada dua sesi permulaan yang digelar komisi tahun ini, kekerasan terbaru terhadap Muslim Rohingya di barat Myanmar, pertumparan darah di Suriah, dan pembakaran Alquran di Afghanistan merupakan perihal yang dicatat paling mendesak.
Demikian juga resolusi terbaru PBB, didukung OKI, yang menentang intoleransi beragama, meski tindakan ini memicu kekhawatiran awal di antara kelompok-kelompok HAM saat OKI mendorong sebuah larangan global atas “penodaan agama”, sikap itu kemudian berbalik.
Lihat dan Tunggu
Untuk saat ini, para anggota komisi memutuskan, sebagai salah satu langkah awal, mereka akan meminta setiap negara anggota OKI untuk menyampaikan semua undang-undang nasional yang relevan dengan bidang-bidang prioritas komisi, sehingga komisi dapat mulai menguji dan membandingkan praktiknya saat ini.
Namun, anggaran lembaga ini –yang akan diberikan negara-negara anggota OKI– belum diketahui publik. Padahal, keberhasilan komisi bergantung pada satu bagian informasi ini, yang juga akan menyodorkan pandangan seberapa aktif negara-negara anggota bersedia dan memungkinkan komisi bekerja semestinya.
“Kami sangat berharap lembaga ini menjadi independen dan punya alat untuk berpendapat kepada negara-negara anggota OKI serta menegaskan kembali HAM universal,” ujar Joelle Fiss, peneliti senior Human Rights First, kelompok advokasi berbasis di Washington, kepada IPS.
Seperti halnya Fiss, banyak pengamat menahan diri untuk menilai prospek komisi baru ini.
“Tiap kali sebuah lembaga internasional yang sangat dihormati seperti OKI peduli isu semacam ini, itu penting,” kata Ibrahim Hooper, jurubicara Dewan Hubungan Amerika-Islam, kelompok kebebasan sipil Muslim terbesar di AS, kepada IPS.
“Kita akan lihat sejauh mana ia berperan. Tapi untuk sekarang ia patut didukung pejabat pemerintahan AS dan negara lain. Akhirnya, tentu saja, kita perlu mengevaluasi pekerjaan komisi untuk melihat bahwa ia menangani isu-isu khusus dunia Muslim.”*
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

01 September 2012

Salafi Radikal Bajak Revolusi Suriah

KUNJUNGAN Abd al-Halim Murad, kepala gerakan Salafi al-Asalah Bahrain, ke Suriah untuk menemui pemberontak Suriah merupakan upayanya dan Salafi Teluk lainnya untuk membajak revolusi Suriah. Sayangnya, pemerintah Saudi dan Bahrain melirikcara lain ketika Salafi Sunni mereka mencoba menembus oposisi Suriah untuk memerangi Assad, Alawi, Syiah, Hizbullah, dan Iran.
Rezim Assad menggunakan strategi sektarian yang berakibat meluasnya “jihadisme” dengan kekerasan untuk mendukung klaimnya bahwa oposan rezimnya adalah ciptaan kelompok-kelompok teroris Salafi radikal dari luar negeri. Meski ada klaim sepihak dari Assad, para aktivis Salafi garis keras tetap memanfaatkan ketidakstabilan dan kekerasan di beberapa negara Arab, termasuk Suriah, untuk menyebarkan doktrin mereka dan memaksakan praktik sosial yang lebih konservatif kepada rekan-rekan mereka.
Beberapa orang Salafi tak percaya perubahan politik secara damai dan bertahap serta secara aktif bekerja untuk merusak sistem politik yang baru lahir, termasuk dengan meneror dan membunuh minoritas Syiah, Alawi, dan Kristen.
Kelompok Salafi radikal baru-baru ini melakukan kekerasan di Mali dan negara-negara Sahel lainnya  di Afrika, serta Nigeria, Uganda, dan Kenya. Mereka juga melakukan kekerasan atas nama jihad di Mesir, Sinai, Suriah, Irak, Yaman, dan tempat lain di Timur Tengah.
Ketika Arab Spring menyentuh lebih banyak negara dan rezim –misalnya, di Arab Saudi, Bahrain, Sudan, dan otoritas Palestina– berada di bawah tekanan dari rakyat mereka sendiri, mereka mulai menggunakan sektarianisme dan mempromosikan elemen radikal dalam sekte-sekte itu untuk kelangsungan mereka sendiri dan situasi regionalnya. Jihadis Salafi lebih dari senang untuk membantu. Sayangnya, sebagian warga Muslim harus menanggung beban kekerasan ini.

Dari mana Salafisme modern berasal?
Sejak akhir 1960-an, ketika Raja Faisal menyatakan penggunaan Islam sebagai sebuah prinsip dasar bagi kebijakan luar negeri Saudi, Arab Saudi memperluas citra Islam Wahabi-Salafinya di kalangan pemuda Muslim di seluruh dunia. 
Kala itu, Faisal berniat untuk menggunakan Islam Saudi untuk memerangi nasionalisme Arab “sekuler” yang dipimpin Gamal Abdul Nassir dari Mesir, Baathisme yang dipimpin Suriah dan Irak, serta Komunis ateis yang dipimpin Uni Soviet.
Interpretasi Islam Wahabi-Salafi, yang diekspor Saudi selama setengah abad, berangkat dari ajaran sarjana Islam abad ke-13 Ibnu Taimiyah dan sarjana Arab abad ke-18 Ibnu Abdul Wahhab. Itu juga tak bisa lepas dari mazhab Hambali konservatif dari hukum Islam dalam Sunni.
Singkatnya, doktrin keagamaan Wahhabi-Salafi tak toleran terhadap agama lain seperti Kristen dan Yahudi serta sekte-sekte Muslim seperti Syiah dan Ahmadiyah, yang tak mengikuti ajaran Islam Sunni. Doktrinnya juga membatasi hak-hak perempuan sebagai anggota yang setara dalam keluarga dan masyarakat dan menggunakan interpretasi Wahhabi untuk memadamkan setiap kritik terhadap rezim atas nama memerangi fitnah.
Yang lebih merisaukan, kekerasan dalam pandangan Salafi merupakan alat sah untuk melawan apa yang disebut musuh-musuh Islam tanpa perlu persetujuan otoritas agama yang diakui secara nasional. Setiap aktivis yang mengaku Salafi bisa mengeluarkan fatwa untuk melancarkan jihad melawan musuh, Muslim maupun non-Muslim.
Osama Bin Ladin melakukannya pada 1990-an, yang memulai siklus kekerasan dan terorisme terhadap umat Islam dan “kafir”,termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya.
Banyak aktivis Salafi radikal di Mali dan negara-negara Afrika lainnya menerima pendidikan agama di Universitas Imam Muhammad di Arab Saudi, tempat persemaian Islam Salafi dan salah satu lembaga pendidikan Islam paling konservatif di dunia.
Pemerintah Saudi dan beberapa pengusaha kaya Saudi menggelontorkan dana untuk menyebarkan Islam melalui beasiswa, proyek-proyek lokal dan LSM Islam, serta membangun masjid dan pencetakan Alquran dan teks-teks keagamaan lainnya yang menyokong Wahhabi-Salafi.
Sejak awal 1970-an, dakwah Wahhabi-Salafi dilakukan organisasi-organisasi nonpemerintah yang dibikin dan didanai Saudi, seperti Liga Muslim Dunia, Organisasi Bantuan Kemanusiaan Internasional (IIRO), Asosiasi Pemuda Muslim Dunia, dan al-Haramain.
Beberapa organisasi terlibat dalam kegiatan teroris di negara-negara Muslim dan non-Muslim dan telah dibubarkan pemerintah Saudi. Banyak pemimpinnya dipenjara atau dihukum matiYang lainnya melarikan diri dan meniti karier di organisasi-organisasi teroris baru di Yaman, Maroko, Irak, Somalia, Indonesia, Libya, Mali, dan tempat lain.
Selama bertahun-tahun, para pejabat Saudi beranggapan bahwa selama “jihad” dengan kekerasan dilancarkan di luar negeri, rezim itu aman. Pandangan itu berubah drastis setelah 12 Mei 2003 ketika para teroris menyerang jantung ibukota Saudi.
Dakwah Wahhabi meletakkan dasar bagi “jihadisme” Salafi di Afrika dan dunia Arab. Bahan ajar Saudi dijiwai penafsirannya atas Islam, yang menimbulkan pandangan sempit, tak toleran, dan berbasis konflik dalam pikiran pemuda di sana.
Berbeda dari fokus awal Raja Faisal, sasaran dakwah saat ini adalah sesama Muslim, dengan interpretasi agama yang berbeda, dan kelompok agama lainnya. Apa yang disebut jihadis itu telah membunuh ratusan Muslim, yang mereka anggap sebagai “korban sampingan” dalam perang melawan musuh dekat dan jauh Islam.
Sementara partai-partai politik Islam arus utama ambil bagian dalam pemerintahan di seluruh dunia Islam, dan Washington mulai melibatkan partai-partai Islam sebagai mitra, Salafi radikal merusak transisi demokrasi dan reformasi politik yang sah. Mereka menentang demokrasi sebagaimana yang dipahami di seluruh dunia, memandangnya sebagai buatan manusia dan bukan aturan Allah.

Dan apa yang harus dilakukan?
Kekerasan yang berkobar di Suriah dan kekuatan yang yang menempel pada rezim itu memberi lingkungan subur bagi kelompok Salafi untuk membuat pijakan di negara tersebut. Keamanan nasional serta kepentingan strategis Barat dan negara-negara Arab yang demokratis menjamin bahwa mereka menetralisir dan mengalahkan proyek Salafi.
Sebagai langkah awal, mereka harus bekerjasama dengan para pemberontak Suriah untuk mempercepat kejatuhan rezim Assad. Untuk itu perlu mempersenjatai para pemberontak dengan senjata yang memadai untuk melawan mesin militer Assad, terutama tank, buldoser, dan pesawatnya.
Washington dan London juga harus membahas serius dengan Saudi tentang ancaman jangka panjang Salafisme radikal dan peran penting dakwah Wahhabi Saudi dalam memelihara ideologi dan aktivitas Salafi radikal. Hasil positif pembicaraan itu akan membantu membangun tatanan politik yang demokrastis dan stabil pasca-Arab Spring. Bahkan, pembicaraan seperti itu sebenarnya sudah terlambat.
Selama bertahun-tahun, rekan-rekan saya dan saya menasehati para pembuat kebijakan senior tentang potensi dan bahaya jangka panjang dari doktrin agama yang berpikiran sempit, eksklusif, dan tak toleran ini. Sayangnya, hubungan ekonomi dan keamanan yang mesra antara Barat dan rezim Saudi telah mencegah setiap dialog serius dengan Saudi tentang ekspor dan ideologi berbahayaitu. [EmileNakhleh] 
* Penulis adalah mantan direktur Political Islam Strategic Analysis Program CIA dan penulis A Engagement Necessary:Reinventing America’s Relations with Muslim World.

Translated by Farohul Mukthi
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik