Tampilkan postingan dengan label Aceh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aceh. Tampilkan semua postingan

09 Agustus 2012

Acheh

Oleh Dr George J. Aditjondro

BELAKANGAN ini masih ada yang bertanya-tanya, mengapa saya tertarik dan peduli terhadap pejuang HAM Acheh (maaf bila saya menulis Aceh dengan ’’Acheh’’. Sebab, beberapa kawan dari Aceh menulisnya dengan Acheh)? Anda punya hak untuk mencurigai saya. Namun, bagi saya sendiri, saya berutang budi kepada kawan-kawan Acheh yang belum saya kenal, tetapi ikut mendukung perjuangan Timor Lorosae lewat IPJET (International Platform of Jurists for East Timor). Saya mendukung referendum dan perjuangan kemerdekaan bangsa Acheh yang betul-betul mencerminkan cita-cita negara yang adil dan makmur sebagaimana dieksperimenkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam Piagam Madinah, walaupun saya bukan muslim.

Sekali lagi saya tegaskan bahwa persoalannya, bagi saya, bukan agama orang yang dijajah, melainkan prinsip bahwa penjajahan itu dilakukan atas nama saya sebagai bangsa Indonesia dan dengan uang pajak yang saya bayar pada pemerintah, yang sebagian dipakai untuk membiayai alat-alat represi negara - tentara, polisi, juga jaksa, dan pengadilan yang lebih sering berpihak kepada penguasa ketimbang kepada rakyat jelata.

Saya mendukung perjuangan rakyat Acheh menghadapi serdadu Orde Baru. Sebab, saya merasa, banyak yang dapat dipelajari oleh para pegiat HAM di Acheh, dari tingkah laku dan strategi militer di tempat-tempat lain, khususnya di Timor Lorosae. Dan, banyak lagi yang masih belum diungkapkan, tentang dampak negatif operasi-operasi militer di Acheh.

Seperti halnya di Timor Lorosae, ribuan rakyat desa yang bukan gerilyawan GAM bisa kembali menjadi korban. Walhasil, alternatif apa yang bisa kita lakukan untuk menyelesaikan benang kusut di Acheh ini, di mana tidak ada keinginan pemerintah untuk menuntaskannya?

Agar isu Acheh ini betul-betul bisa terangkat ke permukaan, dan tidak hanya menjadi ’’bola politik’’ untuk ditendang kanan kiri oleh para politisi Orde Baru, marilah kita bagi informasi ini dengan kawan-kawan lain, di dalam maupun di luar negeri. Jakarta juga tidak akan merestui referendum di Acheh, apalagi merestui hak bangsa Acheh yang sampai Belanda angkat kaki dari Acheh pada 1942 belum pernah mengaku takluk kepada Belanda. Jadi secara historis, wilayah Kesultanan Acheh tidak termasuk wilayah jajahan Hindia Belanda yang diserahkan kedaulatannya kepada RI di Den Haag, tanggal 27 Desember 1949. Jadi, dari aspek sejarah, posisi Acheh sama seperti Timor Lorosae. Rakyat Acheh punya hak untuk menentukan nasib sendiri.

Acheh adalah Acheh. Karena itu, pertahankanlah hak-hak asasi kolektif rakyat Acheh sekuat-kuatnya dengan cara damai melalui diplomasi PBB maupun lewat diplomasi NGO (ornop). Saya tidak tahu apakah rakyat Acheh akan menerima otonomi daerah seluas-luasnya. Sejarah juga membuktikan bagaimana pemerintah pusat telah gemilang menipu rakyat Acheh melalui Ikrar Lamteh dan gelar ’’Daerah Istimewa Acheh’’. Hanya keledai yang terantuk dua kali pada batu yang sama. Dengan kata lain, mengulangi kesalahan yang sama adalah kebodohan.

Jadi kesimpulan saya, sekali lagi, jangan gantungkan masa depan rakyat Acheh pada segelintir politisi avonturir di Jakarta. Rebutlah masa depan dengan usaha sendiri sebagaimana yang telah dilakukan bangsa Maubere di Timor Lorosae, walaupun mereka telah kehilangan sepertiga penduduk mereka setelah 23 tahun pendudukan Indonesia.

Apa yang bisa saya berikan kepada rakyat Acheh? Saya berusaha mulai menarik perhatian dunia pada tragedi bangsa Acheh, sejak pertengahan 1995, ketika Nigeria dipecat dari keanggotaan Commonwealth Inggris karena pembantaian para pemimpin bangsa Ogoni, yang memprotes pencemaran lingkungan hidup mereka oleh maskapai minyak multinasional, Shell. Atas dasar yang serupa, yakni penindasan hak-hak asasi bangsa Acheh demi mulusnya operasi maskapai minyak Mobil Oil, bangsa Acheh juga patut mendapat perhatian yang sama. Begitu argumentasi saya dalam tulisan itu.

Sudah tiga tahun berturut-turut, saya menempatkan Acheh dalam prioritas utama matakuliah saya, Sosiologi Gerakan-Gerakan Kemerdekaan Pascakolonial di Departemen Sosiologi & Antropologi Universitas Newcastle tempat saya mengajar. Tahun lalu, satu-satunya dosen tamu yang saya undang dalam matakuliah ini adalah Saudara M. Dahlan, aktivis Acheh Merdeka yang saya kenal di Sydney, dari siapa saya sudah berkuliah banyak tentang sejarah Acheh yang berbeda dengan yang pernah saya dapat di sekolah, sambil menonton video rekamanan pidato-pidato M. Hasan di Tiro dari Swedia dan Negeri Belanda.

Tahun ini, dengan memanfaatkan tesis PhD yang gemilang dari ahli ilmu politik Filipina, Jacqueline Siapno, saya punya bahan untuk mengajarkan kepada mahasiswa saya, penderitaan maupun perlawanan perempuan Acheh dalam menghadapi represi serdadu Orde Baru di sana. Saya betul-betul terkejut membaca salah satu kesimpulan tesisnya bahwa perempuan Acheh menikmati lebih banyak kesetaraan hak dengan kaum prianya di zaman Kesultanan Acheh daripada sesudah Acheh ’’berintegrasi’’ dengan Indonesia.

Pada Januari lalu, dalam konferensi tentang Perempuan Timor Lorosae dan Hukum Internasional di Lisboa, saya ikut mempublikasikan kasus pelanggaran HAM, terutama kepada wanita Acheh yang sangat saya kagumi sebagaimana keberanian pahlawan Tjut Nyak Dhien. Percaya dan yakinlah, kampung janda tidak hanya ada bertebaran di Acheh, tetapi juga di Timor Lorosae dan Papua Barat. Hanya itu dukungan yang dapat saya berikan untuk perjuangan kawan-kawan menentang kezaliman serdadu-serdadu yang kita hidupi dari uang pajak kita serta upeti bumi alam Acheh kepada Jakarta. Saya berharap, kita menyelesaikan perbedaan pendapat bukan dengan kotak peluru, namun dengan kotak suara. Kita tidak ingin terperosok pada lubang yang sama karena tidak mau belajar dari sejarah. Sejarah yang ditulis dengan jujur, berimbang adalah mahaguru yang bijak kita perhatikan. Konon lagi, sejarah Acheh - juga sejarah di daerah lain, termasuk tokohnya - acapkali dimanipulasi selama Orde Baru. Sejarah itu seringkali memang ditulis oleh para pemenang, bukan oleh para korban. History is written by the victors, not by the victims.

Sekali lagi, perbedaan, agama, etnik, tempat, sosial budaya, dan jarak bukan hambatan untuk berbuat kemanusiaan. Sebab, secara jujur, kita mempunyai nurani yang sama, yakni memanusiakan manusia dan memandang manusia sebagai manusia. Kaum Muslimin menyebutnya rahmatan lil alamin dan saya sebagai orang Nasrani mengartikan hidup ini harus berfaedah bagi manusia lain. Sebagai seorang pengagum Gandhi, saya tergerak oleh ucapan sang Mahatma, bahwa: ’’there is enough for everybody’s need, but not enough for everybody’s greed,’’ yang telah diterjemahkan secara agak bebas menjadi: ’’bumi menyediakan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi tidak akan cukup untuk memuaskan keserakahan manusia.’’

Saya melihat, banyak penindasan di Acheh terjadi. Sebab, mereka yang paling banyak menikmati manfaat sumber-sumber daya alam di Acheh, yakni Mobil Oil, segelintir perusahaan raksasa, serta segelintir keluarga kapitalis-birokrat di Jakarta dengan perantaraan ’’mafia Acheh’’-nya tidak ingin berbagi dengan rakyat jelata, kaum duafa yang tinggal di gampong-gampong di Aceh. Saya mengusulkan agar ada penentuan nasib sendiri bagi bangsa Acheh lewat suatu referendum, yang diawasi oleh PBB dan ornop-ornop HAM internasional. Mengapa? Sebab, duka Acheh adalah duka saya, duka Anda, dan duka kita semua. 

(Tulisan ini pernah saya baca di kolom opini Serambi Indonesia tahun 1999 ketika perjuangan referendum Aceh sedang berada di puncak, tapi saya lupa tanggal pemuatannya)

23 Maret 2012

Aceh dan Musem Luah Blang

KAMIS (22/3) merupakan hari pertama kampanye terbuka. Para kandidat Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota menyampaikan visi dan misi di sidang paripurna DPRA dan DPRK. Berbagai program cet langet dibungkus rapi dalam visi dan misi itu. Kalau dipikir-pikir, program mereka tak jauh berbeda, semuanya  bermuara pada bagaimana mewujudkan kesejahteraan sekaligus menjaga perdamaian tetap abadi. Mereka begitu bersemangat membuat rakyat terbius sekaligus terlena pada program-program mereka.

Ini memang lagi musim jual kecap. Tak perlu heran, jika di setiap tempat digelar kecap dagangan, dari kecap berkualitas bagus, sampai kecap basi. Mereka selalu berteriak, “Inilah kecap nomor satu!” Tak ada yang mau disebut menjual kecap nomor dua. Para penjual ini pun sudah cukup pandai peh tem karena memang semuanya jago olah.

Oh ya, mereka juga berkali-kali menandatangani ikrar mewujudkan Pilkada damai. Mereka juga sering mengikrarkan akan bersaing secara sehat, tak menggunakan cara-cara kasar, intimidasi dan teror. Untuk membuktikan keseriusannya mereka produktif mengumumkannya di media. Meski di sisi lain, kita kerap disuguhi fakta yang berbeda.

Bagi saya, inilah saat di mana Aceh memasuki musem luah blang. Suatu musim di mana sejumlah hal tabu yang sebelumnya tak boleh dilakukan, menjadi dibolehkan. Hukum dibuat menjadi lebih longgar. Sanksi ditiadakan.

“Syi perjelas dilee pue musem luah blang?” interupsi seorang kawan saya. Dia memang paling kritis dan selalu memperhatikan hal-hal kecil.

Baiklah, saya akan bercerita dulu soal musem luah blang. Ada atau tidaknya interupsi itu, istilah musem luah blang memang perlu diperjelas. Sebab, sudah tabiat kita di sini, sering membungkus suatu ketidakjelasan ditutup dengan ketidakjelasan lain. Akibatnya, benar-benar menjadi tak jelas!

Secara bebas (terjemahan dari bahasa Aceh ke bahasa melayu) musem luah blang dapat diterjemahkan sebagai ‘musim luas lahan/sawah’. Kedengarannya sangat lucu, bukan? Inilah kelemahan dari penerjemahan: membuat martabat suatu bahasa menjadi rendah makna yang dikandungnya ketika dialihbahasakan.

Istilah musem luah blang merujuk pada kondisi saat petani melakukan panen secara serentak (koh pade). Saat musim koh pade  masyarakat di kampung-kampung (terutama kaum perempuan) senang bukan kepalang. Inilah saatnya mereka memanen hasil dan mengumpulkan rupiah dengan cara menjadi pengangkut nimbai (ukuran satu ikat batang padi seukuran genggaman orang dewasa).

Sawah-sawah yang sebelumnya dipenuhi tanaman padi, kini mulai polos berganti hamparan jeundrang dan jerami. Para kaum perempuan lalu lalang di sawah, berpindah dari satu sawah ke sawah lain, untuk angkut nimbai.

Masyarakat di Aceh rata-rata menanam padi dua kali dalam setahun. Sesekali bahkan bisa hingga tiga kali, sering disebut padi salah musim. Maka musem luah blang di Aceh terjadi dua kali setiap tahun, kadang sampai tiga kali.

Dulu saat teknologi pertanian belum maju (belum ada sistem irigasi) serta masyarakat masih mengandalkan hujan (sawah tadah hujan), musem luah blang bisa berlangsung lama. Kondisinya jauh berbeda dengan sekarang. Selesai panen biasanya masyarakat hanya menunggu sebentar dan kemudian bersiap-siap menanam lagi.

Saat musem luah blang, masyarakat akan melepaskan ternak secara bebas. Anak-anak mulai bermain layang-layang di sawah, sebagian lain memilih bermain bola. Ada masyarakat menanam cabai, jagung, tembakau, kedelai atau semangka. Jika tak punya lahan sendiri, mereka menyewa lahan orang lain. Intinya, masyarakat bisa melakukan sesuatu secara bebas.

Namun, saat musim tanam, hal-hal tersebut menjadi ‘haram’ dilakukan. Tak boleh sesuka hati. Jika ingin menanam padi harus dilakukan di lahan sendiri, tak boleh di lahan orang lain. Bagi pemilik ternak tak boleh melepaskan ternah sembarangan. Anak-anak tak boleh bermain layang-layangan, lebih-lebih bermain bola. Bermain di lampoh soh saja yang dekat dengan sawah warga bisa berisiko jika bola jatuh mengenai tanaman padi.

Jika tak mengindahkan larangan-larangan ini alamatnya bisa celaka. Bagi pemilik ternak, jangan harap ternaknya kembali ke kandang dalam kondisi normal. Masih syukur jika dagingnya masih bisa dibawa pulang untuk dikonsumsi. Bagi anak-anak yang bermain layang atau bola pasti akan keunong geulawa. Bolanya bisa ditebas.

Saya pikir, penjelasan singkat di atas bisa memberi gambaran (meski sedikit) untuk membedakan antara musem luah blang dan musim tanam. Jika boleh membuat tamsilan, saya ingin menamsilkan musem luah blang dengan kondisi kita hari ini, sementara musim tanam seperti masa saat Aceh masih dibalut konflik dan dalam cengkeraman militer (darurat militer).

Saya yakin semua kita punya memori tentang kondisi Aceh ketika berada dalam suasana darurat militer. Bagi yang punya memori pendek dan gampang lupa, bolehlah saya mengajak kita kembali ke saat darurat militer. Hukum yang berlaku adalah hukum militer. Bendera yang boleh dikibarkan adalah merah putih. Media tak boleh sembarang menulis. Wartawan yang meliput harus memiliki surat atau izin dari penguasa militer (Penguasa Darurat Militer Daerah-PDMD). Orang tak boleh sembarangan berleha-leha, sebab sering risikonya mati. Demonstrasi menentang negara dilarang. Rapat-rapat, lebih-lebih rapat gelap dipantau. Pokoknya serba diawasi.

Kini pantangan-pantangan itu sudah tak ada lagi bersebab kesepahaman MoU Helsinki. Istilah yang beberapa tahun belakangan sering disebut, diulang-ulang dengan semangat sambil menepuk dada. Sebab, MoU itu dianggap pencapaian tertinggi, meski sebenarnya adalah sebuah kecelakaan sejarah. Sebuah pengkhianatan pada cita-cita dan ideologi, terutama jika dikaitkan dengan sikap ‘kita akan berdamai jika merdeka adalah solusinya’.

Kita pun masuk dalam musem luah blang. Hal-hal yang saat musim tanam berlabel ‘tabu’ menjadi bebas dilakukan. Jik dulu saat bermain layang-layang kita tak pernah berkelahi, kini karena benang layang kita bergesekan dan tersangkut pada benang layang kawan harus meu-roro-darah. Jika dulu saat bermain bola kita berjibaku hingga berjatuhan, patah pate, kita masih bisa tertawa, kini hanya karena keunong sumbo kita tak lagi saling bicara. Kita menjadi gampang mengumbar istilah ‘pengkhianat’ yang dulu hanya ditujukan untuk sang musuh.

Ah, ini kan lagi musem luah blang! Boleh peulheuh layang ubee-be panyang beunueng, tapi tak boleh melampaui layangku! Begitu titah anda sekarang. Hom hai!

Aceh dan Musem Luah Blang

KAMIS (22/3) merupakan hari pertama kampanye terbuka. Para kandidat Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota menyampaikan visi dan misi di sidang paripurna DPRA dan DPRK. Berbagai program cet langet dibungkus rapi dalam visi dan misi itu. Kalau dipikir-pikir, program mereka tak jauh berbeda, semuanya  bermuara pada bagaimana mewujudkan kesejahteraan sekaligus menjaga perdamaian tetap abadi. Mereka begitu bersemangat membuat rakyat terbius sekaligus terlena pada program-program mereka.

Ini memang lagi musim jual kecap. Tak perlu heran, jika di setiap tempat digelar kecap dagangan, dari kecap berkualitas bagus, sampai kecap basi. Mereka selalu berteriak, “Inilah kecap nomor satu!” Tak ada yang mau disebut menjual kecap nomor dua. Para penjual ini pun sudah cukup pandai peh tem karena memang semuanya jago olah.

Oh ya, mereka juga berkali-kali menandatangani ikrar mewujudkan Pilkada damai. Mereka juga sering mengikrarkan akan bersaing secara sehat, tak menggunakan cara-cara kasar, intimidasi dan teror. Untuk membuktikan keseriusannya mereka produktif mengumumkannya di media. Meski di sisi lain, kita kerap disuguhi fakta yang berbeda.

Bagi saya, inilah saat di mana Aceh memasuki musem luah blang. Suatu musim di mana sejumlah hal tabu yang sebelumnya tak boleh dilakukan, menjadi dibolehkan. Hukum dibuat menjadi lebih longgar. Sanksi ditiadakan.

“Syi perjelas dilee pue musem luah blang?” interupsi seorang kawan saya. Dia memang paling kritis dan selalu memperhatikan hal-hal kecil.

Baiklah, saya akan bercerita dulu soal musem luah blang. Ada atau tidaknya interupsi itu, istilah musem luah blang memang perlu diperjelas. Sebab, sudah tabiat kita di sini, sering membungkus suatu ketidakjelasan ditutup dengan ketidakjelasan lain. Akibatnya, benar-benar menjadi tak jelas!

Secara bebas (terjemahan dari bahasa Aceh ke bahasa melayu) musem luah blang dapat diterjemahkan sebagai ‘musim luas lahan/sawah’. Kedengarannya sangat lucu, bukan? Inilah kelemahan dari penerjemahan: membuat martabat suatu bahasa menjadi rendah makna yang dikandungnya ketika dialihbahasakan.

Istilah musem luah blang merujuk pada kondisi saat petani melakukan panen secara serentak (koh pade). Saat musim koh pade  masyarakat di kampung-kampung (terutama kaum perempuan) senang bukan kepalang. Inilah saatnya mereka memanen hasil dan mengumpulkan rupiah dengan cara menjadi pengangkut nimbai (ukuran satu ikat batang padi seukuran genggaman orang dewasa).

Sawah-sawah yang sebelumnya dipenuhi tanaman padi, kini mulai polos berganti hamparan jeundrang dan jerami. Para kaum perempuan lalu lalang di sawah, berpindah dari satu sawah ke sawah lain, untuk angkut nimbai.

Masyarakat di Aceh rata-rata menanam padi dua kali dalam setahun. Sesekali bahkan bisa hingga tiga kali, sering disebut padi salah musim. Maka musem luah blang di Aceh terjadi dua kali setiap tahun, kadang sampai tiga kali.

Dulu saat teknologi pertanian belum maju (belum ada sistem irigasi) serta masyarakat masih mengandalkan hujan (sawah tadah hujan), musem luah blang bisa berlangsung lama. Kondisinya jauh berbeda dengan sekarang. Selesai panen biasanya masyarakat hanya menunggu sebentar dan kemudian bersiap-siap menanam lagi.

Saat musem luah blang, masyarakat akan melepaskan ternak secara bebas. Anak-anak mulai bermain layang-layang di sawah, sebagian lain memilih bermain bola. Ada masyarakat menanam cabai, jagung, tembakau, kedelai atau semangka. Jika tak punya lahan sendiri, mereka menyewa lahan orang lain. Intinya, masyarakat bisa melakukan sesuatu secara bebas.

Namun, saat musim tanam, hal-hal tersebut menjadi ‘haram’ dilakukan. Tak boleh sesuka hati. Jika ingin menanam padi harus dilakukan di lahan sendiri, tak boleh di lahan orang lain. Bagi pemilik ternak tak boleh melepaskan ternah sembarangan. Anak-anak tak boleh bermain layang-layangan, lebih-lebih bermain bola. Bermain di lampoh soh saja yang dekat dengan sawah warga bisa berisiko jika bola jatuh mengenai tanaman padi.

Jika tak mengindahkan larangan-larangan ini alamatnya bisa celaka. Bagi pemilik ternak, jangan harap ternaknya kembali ke kandang dalam kondisi normal. Masih syukur jika dagingnya masih bisa dibawa pulang untuk dikonsumsi. Bagi anak-anak yang bermain layang atau bola pasti akan keunong geulawa. Bolanya bisa ditebas.

Saya pikir, penjelasan singkat di atas bisa memberi gambaran (meski sedikit) untuk membedakan antara musem luah blang dan musim tanam. Jika boleh membuat tamsilan, saya ingin menamsilkan musem luah blang dengan kondisi kita hari ini, sementara musim tanam seperti masa saat Aceh masih dibalut konflik dan dalam cengkeraman militer (darurat militer).

Saya yakin semua kita punya memori tentang kondisi Aceh ketika berada dalam suasana darurat militer. Bagi yang punya memori pendek dan gampang lupa, bolehlah saya mengajak kita kembali ke saat darurat militer. Hukum yang berlaku adalah hukum militer. Bendera yang boleh dikibarkan adalah merah putih. Media tak boleh sembarang menulis. Wartawan yang meliput harus memiliki surat atau izin dari penguasa militer (Penguasa Darurat Militer Daerah-PDMD). Orang tak boleh sembarangan berleha-leha, sebab sering risikonya mati. Demonstrasi menentang negara dilarang. Rapat-rapat, lebih-lebih rapat gelap dipantau. Pokoknya serba diawasi.

Kini pantangan-pantangan itu sudah tak ada lagi bersebab kesepahaman MoU Helsinki. Istilah yang beberapa tahun belakangan sering disebut, diulang-ulang dengan semangat sambil menepuk dada. Sebab, MoU itu dianggap pencapaian tertinggi, meski sebenarnya adalah sebuah kecelakaan sejarah. Sebuah pengkhianatan pada cita-cita dan ideologi, terutama jika dikaitkan dengan sikap ‘kita akan berdamai jika merdeka adalah solusinya’.

Kita pun masuk dalam musem luah blang. Hal-hal yang saat musim tanam berlabel ‘tabu’ menjadi bebas dilakukan. Jik dulu saat bermain layang-layang kita tak pernah berkelahi, kini karena benang layang kita bergesekan dan tersangkut pada benang layang kawan harus meu-roro-darah. Jika dulu saat bermain bola kita berjibaku hingga berjatuhan, patah pate, kita masih bisa tertawa, kini hanya karena keunong sumbo kita tak lagi saling bicara. Kita menjadi gampang mengumbar istilah ‘pengkhianat’ yang dulu hanya ditujukan untuk sang musuh.

Ah, ini kan lagi musem luah blang! Boleh peulheuh layang ubee-be panyang beunueng, tapi tak boleh melampaui layangku! Begitu titah anda sekarang. Hom hai!

22 Maret 2012

Tarmizi: Pemilukada di Gayo Akan Sukses dan Damai

Takengon- Penjabat Gubernur Aceh, Tarmizi A. Karim merasa yakin masyarakat dataran tinggi Gayo akan bergerak secara kolektif kolegial dalam mendukung keberhasilan Pemilukada Aceh 2012 yang bermartabat.

“Melihat antusiasnya dukungan masayarakat dataran tinggi Gayo terhadap pelaksanaan Pemilukada, kami yakin pemilukada akan sukses dan damai disini,” ujarnya, Rabu (21/3) di Takengon, saat bertemu dengan tujuh kepala daerah dari Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Bireun, Pidie Jaya dan Pidie dalam rangka sosialisasi Pemilukada damai tahun 2012.

Kepada seluruh masyarakat yang ada di tujuh daerah tersebut, Tarmizi ingin memastikan dukungan penuh terhadap kesuksesan pelaksanaan Pemilukada Aceh yang aman damai dan jauh dari intimidasi.[]

15 Maret 2012

Kantongi Izin KIP, Lembaga Lokal Bisa Pantau Pilkada

Banda Aceh-Bagi lembaga lokal yang ingin memantau Pilkada, wajib kantongi ijin dan syarat-syarat yang diterapkan oleh KIP Aceh. Hal tersebut dikatakan Ketua KIP Aceh, Abdul Salam Poroh, Rabu (14/3).



“Bagi lembaga lokal yang ingin memantau Pilkada di Aceh tahun 2012 harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh KIP Aceh,” ujarnya.

Syarat yang harus dipenuhi yaitu profil lembaga, legalisasi lembaga, informasi detail tentang fokus pemantauan dan  nama-nama orang yang ikut memantau serta  alamat yang ingin dipantau.

“Bagi yang tidak ada surat izin dari kami, maka tidak sah,” ujarnya.[rahmat]

Katahati Institute Ikut Pantau Pilkada

Banda Aceh – Katahati Institute secara resmi telah terdaftar sebagai pemantau Pilkada Aceh 2012. Keterlibatan Katahati Institute sebagai lembaga pemantau tersebut, berdasarkan Keputusan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Rabu (14/3).

Katahati Institute telah memenuhi syarat dari KIP Aceh dan resmi dinyatakan sebangai  pemantau pilkada gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil walikota. Selain itu, Katahati Institute juga diberikan surat izin dan kartu nama kepada setiap peserta yang ikut memantau pilkada di beberapa daerah tersebut.

Daerah yang dipantau oleh lembaga katahati institute antaranya Provinsi Aceh,  Banda Aceh, Aceh Besar,  Sabang, Aceh Barat, Aceh Barat Daya dan Bener  Meriah, dengan jumlah anggota yang ikut memantau sebanyak 82 orang dari seluruh kabupaten kota dan Provinsi Aceh. [rahmat]

14 Maret 2012

KIP Tentukan Lokasi dan Jadwal Kampanye

Banda Aceh-Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh telah menentukan jadwal dan lokasi kampanye terbuka bagi kontestan pemilihan umum kepala daerah 2012. Masing-masing kandidat akan memperoleh kesempatan rata-rata sebanyak 55 kali kampanye terbuka.

Penentuan lokasi dan jadwal kampanye dilakukan KIP pada Selasa (13/3) bersama para tim sukses masing-masing kandidat di aula KIP Aceh. Ikut dihadiri pula oleh pejabat Pemerintah Aceh, perwakilan Satuan Polisi Pamong Praja dan pihak Kepolisian Daerah.

Ketua Kelompok Kerja Kampanye KIP Aceh Zainal Abidin menyebutkan, kampanye akan dimulai pada 22 Maret dan berakhir pada 5 April. Pada tanggal 22 Maret, seluruh kandidat gubernur dan wakil gubernur akan menyampaikan visi dan misi di hadapan sidang paripurna DPRA.

Lalu pada 23 dan 30 Maret, kampanye diliburkan karena bertepatan dengan Hari Raya Nyepi dan hari Jumat. "Kita menyepakati tidak ada kampanye dalam bentuk rapat umum. Tapi kalau kampanye dialogis, itu boleh," kata Zainal Abidin kepada wartawan, Selasa (13/3) siang.

Menurut Zainal, masing-masing kandidat akan memperoleh kesempatan menggelar kampanye terbuka rata-rata sebanyak 55 kali di 23 kabupaten/kota. Di tiap daerah, masing-masing kandidat akan mendapat jadwal kampanye minimal dua kali dan maksimal tiga kali.

Kampanye calon gubernur, kata Zainal, tidak akan dilakukan secara bersamaan di sebuah daerah. Dia mencontohkan, jika kandidat A mendapat jatah kampanye di Banda Aceh, maka kandidat B akan berkampanye di daerah lain.

"Kampanye calon gubernur juga tidak boleh satu titik dengan kampanye calon bupati dan calon walikota," ujar Zainal. "Tidak boleh di satu tempat yang sama. Masing-masing punya lokasi yang berbeda."

Lokasi kampanye yang tidak digunakan oleh kandidat yang telah ditentukan, juga tidak boleh digunakan untuk berkampanye kandidat yang lain. "Kalau tidak menggunakan lapangan kampanye, maka kandidat harus melapor ke KIP," ujarnya.

Kampanye dibolehkan digelar dalam kurun waktu dari pukul 09.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB.

Sementara itu, sebelumnya Kepala Kepolisian Daerah Aceh Irjen Iskandar Hasan mengimbau agar kampanye tidak dilakukan secara terbuka, karena alasan keamanan. Dalam penentuan jadwal dan lokasi kampanye tadi, KIP telah menyampaikan imbauan Kapolda Aceh tersebut. Namun semua tim sukses bersepakat untuk tetap menyelenggarakan kampanye secara terbuka (rapat umum). []

16 Februari 2012

DPT Pilkada Aceh Ditetapkan 19 Februari

Banda Aceh- Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh menyatakan penetapan daftar pemilih tetap (DPT) pilkada gubernur dan wakil gubernur serta pemilihan 17 bupati/wali kota di provinsi itu pada 19 Februari 2012.



"Penetapan DPT ini dilakukan di tingkat panitia pemungutan suara (PPS) yang bertugas di desa-desa," kata Ketua Kelompok Kerja Panitia Pendaftaran Pemilihan (Pantarlih) KIP Aceh Tgk Akmal Abzal di Banda Aceh, Rabu (15/2).

Berdasarkan data per 7 Januari 2012, daftar pemilih sementara pilkada mencapai 3.227.589 orang dari 4,9 jumlah penduduk di provinsi ujung barat Indonesia tersebut.

"Data ini berdasarkan DPT yang sebelumnya ditetapkan, namun dibatalkan karena terjadi pergeseran jadwal. Sebelumnya, pilkada dijadwalkan 16 Februari 2012, kemudian bergeser menjadi 9 April 2012," katanya.

Ia mengatakan, usia minimal calon pemilih yang diperkenankan mendaftar yakni berumur 17 tahun pada 9 April 2012 atau dengan tahun kelahiran terendah pada 9 April 1995.

"Kami mengimbau calon pemilih pemula ini agar memastikan dirinya apakah sudah terdaftar atau belum. Jika belum, segera mendatangi PPS guna mendaftar sebagai pemilih," katanya.

Menurut dia, setelah DPT ditetapkan, maka masyarakat yang belum terdaftar tidak dapat mendaftar lagi. Maka dengan sendirinya yang bersangkutan tidak diperkenankan memberikan hak politiknya pada pilkada.

Setelah penetapan DPT di tingkat PPS, kata dia, selanjutnya disusun dan ditetapkan rekapitulasinya oleh panitia pemilihan kecamatan (PPK). Penetapan rekapitulasi oleh PPK ini berlangsung 26 hingga 28 Februari 2012.

Dari PPK, lanjut dia, DPT tersebut diserahkan kepada KIP kabupaten/kota guna disusun dan ditetapkan rekapitulasinya yang dijadwalkan berlangsung 29 Februari 2012 hingga 2 Maret 2012.

"Setelah itu, barulah KIP Aceh menetapkan rekapitulasinya. Penetapan rekapitulasi DPT di KIP Aceh dijadwalkan 3 hingga 5 Maret 2012," ujar Tgk Akmal Abzal.

Pilkada gubernur dan wakil gubernur Aceh digelar serentak dengan pemilihan 17 bupati/wali kota beserta wakilnya dari 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh pada 9 April 2012.[Ant]

05 Januari 2012

Panwaslu Atim Minta Cawabup Turunkan Atribut Kampanye

Idi-Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Aceh Timur mengimbau kepada pasangan calon bupati di sana agar membersihkan atribut kampanye,  karena pemasangan alat peraga kampanye tersebut tidak tepat waktu. Panwaslu juga menyatakan, telah melayangkan surat edaran untuk menertibkan atribut kampanye kepada masing- masing kandidat calon bupati. 

[caption id="attachment_4482" align="alignleft" width="200" caption="Irhamsyah"][/caption]

“Dengan  keluarnya SK KIP Aceh Timur N0 1 Tahun 2012 tentang penetapan nomor urut pasangan cabup/cawabup. Panwaslu  telah melayangkan surat bernomor 070/273/Panwaslu-Atim/ I/2012 mengenai penertiban atribut kampanye atau kampanye diluar jadwal kepada seluruh pasangan,” kata Ketua Panwaslu Aceh Timur, Irhamsyah SH, kepada AcehCorner.Com, Rabu (4/1).

Menurut Irhamsyah, himbauan pihaknya juga berdasarkan peraturan KPU N0 14 tahun 2010 tentang pedoman teknis kampanye pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah dan keputusan KIP Aceh N0 26 tahun 2011 tentang tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan pemilu. Sementara itu,  Zainal Abidin .SE,  Divisi Pengawasan Panwaslu Aceh Timur menambahkan, saat ini seluruh peserta pemilu telah ditetapkan menjadi calon, maka dengan demikian, serta merta segala sesuatu yang menyangkut dengan peraturan pelaksanaan pilkada harus ditaati

“Jangan lagi mencari celah untuk mengakal-akali proses tahapan pelaksanaan pilkada 2012. Karena kampanye tidak dimulai pada masa verifikasi KTP dan 3 hari setelah penetapan calon. Seharusnya seluruh pasangan calon bupati harus lebih cerdas dalam melakukan sosialisasi untuk mengenalkan dirinya kepada publik, karena ini akan berpengaruh terhadap indikasi pelanggaran pilkada,” ungkap Zainal.

Dia menambahkan, himbauan yang dilakukan pihak Panwaslu lebih bertujuan untuk mengurangi gesekan antar sesama tim kampanye di lapangan. Dalam hal ini, Panwaslu Kabupaten Aceh Timur  juga telah berkoordinasi dengan Satpol PP dan kepolisian sektor di masing- masing kecamatan untuk menyusun langkah penertiban dan pembersihan seluruh atribut calon yang direncanakan mulai  tanggal 9-13 Januari 2012.

Panwaslu, kata dia, telah menyurati seluruh pasangan cabup/cawabup untuk menertibkan dan membersihkan seluruh atribut dan alat peraga kampanye yang telah dipasang diluar jadwal kampanye. Sementara jadwal kampanye yang telah ditetapkan oleh KIP Aceh, yaitu pada tanggal 30 Januari 2012-12 Februari 2012. Dalam surat itu, tegas Irhamsyah dan Zainal, seluruh calon  untuk menertibkan dan membersihkan atribut kampanyenya mulai tanggal 4-6 Januari 2012.[]