"Advetorial Journalism", yakni model penyiaran iklan atau "pesan sponsor" yang dikemas menjadi berita lempang (straight news), belakangan ini menjadi warna baru dalam khasanah jurnalistik.
Disebut warna baru, sehubungan penyiaran iklan dengan model seperti itu, sebelumnya, atau paling tidak dua tahun ke belakangan, tidak banyak tampil mewarnai media massa di sejumlah daerah. Namun kini, nyaris bagaikan jamur di musim hujan, kata PK Yanes Setat, praktisi jurnalistik, di Denpasar, Senin.
Ketika tampil sebagai pemakalah di depan peserta Pelatihan Jurnalistik untuk anggota Poltabes Denpasar, wartawan LKBN ANTARA itu menyebutkan, dahulu memang ada model penyiaran "pesan sponsor" sejenis, namun hal itu ditempatkan pada ruang atau kolom yang khusus mengenai iklan.
Bila tidak pada kolom iklan, penyiaran "Advetorial Journalism" lewat media massa cetak selalu diberi tanda tersendiri, baik berupa "pemagaran" dengan garis tebal maupun kode khusus sebagai siaran iklan.
"Tapi sekarang, `pesan sponsor` model itu selain telah dikemas menyerupai berita lempang, juga diletakkan pada kolom berita sejenis pada umumnya, serta tanpa dengan kode tersendiri," ucapnya.
Melihat warna baru dalam khasanah jurnalistik seperti itu, Yanes mengaku prihatin. Masalahnya, lanjut dia, perlahan, mau tidak mau, karya jurnalistik akan kehilangan roh atau "taksunya".
Dikatakan, karya jurnalistik akan kehilangan roh sehubungan "Advetorial Journalism" dalam penyiarannya, tidak selalu taat dengan kaidah jurnalistik yang berlaku dalam proses pencarian dan penyiaran berita lempang pada umumnya.
"Bagaimana bisa taat dengan kaidah jurnalistik, wong yang membuat `Advetorial Journalism" sering kali bukan jurnalis, melainkan bisa saja seorang pejabat Humas, atau lembaga tertentu yang berkepentingan dengan penyiaran model itu," katanya.
Mantan ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar itu mengungkapkan, karena bukan dibuat oleh seorang jurnalis, maka pola pencarian dan penulisan "Advetorial Jurnalism" tidak melalui proses cek dan re cek untuk mendapatkan fakta obyektif.
Tidak hanya itu, siaran yang ditulis orang yang bukan jurnalis pada media massa yang bersangkutan, senantiasa juga tidak memperhatikan azas keberimbangan (cover both sides) bagi suatu tulisan yang dianggap menyerang atau merugikan pihak lain.
"Dengan kata lain, apapun `pesan sponsor` yang dituangkan oleh pihak yang berkepentingan dengan penyiaran `Adverorial Journalism`, itu saja yang tampaknya termuat dalam media massa," katanya,
Celakanya nanti, lanjut dia, kalau ada pihak lain yang merasa dirugikan atau dibohongi oleh sistem penyiaran model itu, siapa yang harus bertanggung jawab. "Apakah pengelola media massa, atau si pembuat advetorial ?. Tidak jelas," ujar Yanes yang kerap tampil sebagai pemakalah dalam pelatihan serupa di sejumlah daerah.
Mengingat itu, Yanes mengharapkan perlunya diberi tanda atau kode tersendiri dalam penyiaran "Advetorial Journalism" di media massa, sehingga nantinya tidak "menggerogoti" roh berita yang pola pencarian dan penulisannya dengan penekanan kaidah jurnalistik.
Pelatihan dua hari yang dibuka Kapoltabes Denpasar Kombes Pol Drs Gede Alit Widana SH MSi itu, diikuti sekitar 50 anggota di jajaran Poltabes Denpasar.
sumber: antara.co.id (080908)
Ketika tampil sebagai pemakalah di depan peserta Pelatihan Jurnalistik untuk anggota Poltabes Denpasar, wartawan LKBN ANTARA itu menyebutkan, dahulu memang ada model penyiaran "pesan sponsor" sejenis, namun hal itu ditempatkan pada ruang atau kolom yang khusus mengenai iklan.
Bila tidak pada kolom iklan, penyiaran "Advetorial Journalism" lewat media massa cetak selalu diberi tanda tersendiri, baik berupa "pemagaran" dengan garis tebal maupun kode khusus sebagai siaran iklan.
"Tapi sekarang, `pesan sponsor` model itu selain telah dikemas menyerupai berita lempang, juga diletakkan pada kolom berita sejenis pada umumnya, serta tanpa dengan kode tersendiri," ucapnya.
Melihat warna baru dalam khasanah jurnalistik seperti itu, Yanes mengaku prihatin. Masalahnya, lanjut dia, perlahan, mau tidak mau, karya jurnalistik akan kehilangan roh atau "taksunya".
Dikatakan, karya jurnalistik akan kehilangan roh sehubungan "Advetorial Journalism" dalam penyiarannya, tidak selalu taat dengan kaidah jurnalistik yang berlaku dalam proses pencarian dan penyiaran berita lempang pada umumnya.
"Bagaimana bisa taat dengan kaidah jurnalistik, wong yang membuat `Advetorial Journalism" sering kali bukan jurnalis, melainkan bisa saja seorang pejabat Humas, atau lembaga tertentu yang berkepentingan dengan penyiaran model itu," katanya.
Mantan ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar itu mengungkapkan, karena bukan dibuat oleh seorang jurnalis, maka pola pencarian dan penulisan "Advetorial Jurnalism" tidak melalui proses cek dan re cek untuk mendapatkan fakta obyektif.
Tidak hanya itu, siaran yang ditulis orang yang bukan jurnalis pada media massa yang bersangkutan, senantiasa juga tidak memperhatikan azas keberimbangan (cover both sides) bagi suatu tulisan yang dianggap menyerang atau merugikan pihak lain.
"Dengan kata lain, apapun `pesan sponsor` yang dituangkan oleh pihak yang berkepentingan dengan penyiaran `Adverorial Journalism`, itu saja yang tampaknya termuat dalam media massa," katanya,
Celakanya nanti, lanjut dia, kalau ada pihak lain yang merasa dirugikan atau dibohongi oleh sistem penyiaran model itu, siapa yang harus bertanggung jawab. "Apakah pengelola media massa, atau si pembuat advetorial ?. Tidak jelas," ujar Yanes yang kerap tampil sebagai pemakalah dalam pelatihan serupa di sejumlah daerah.
Mengingat itu, Yanes mengharapkan perlunya diberi tanda atau kode tersendiri dalam penyiaran "Advetorial Journalism" di media massa, sehingga nantinya tidak "menggerogoti" roh berita yang pola pencarian dan penulisannya dengan penekanan kaidah jurnalistik.
Pelatihan dua hari yang dibuka Kapoltabes Denpasar Kombes Pol Drs Gede Alit Widana SH MSi itu, diikuti sekitar 50 anggota di jajaran Poltabes Denpasar.
sumber: antara.co.id (080908)