27 Juli 2013

Dukungan untuk Penghapusan Sunat Perempuan

PBB (IPS) – Badan anak PBB (UNICEF) merilis sebuah laporan pada pekan ini yang memberikan gambaran lengkap mengenai sunat perempuan (FGM/C).
Lebih 125 juta perempuan dan gadis mengalami praktik tersebut, dan ada 30 juta perempuan dan gadis beresiko mengalaminya pada dasawarsa selanjutnya. Laporan itu merupakan hasil dari 20 tahun penelitian dari 29 negara di seluruh Afrika dan Asia, memakai survei nasional. UNICEF mulai menelisik FGM/C sepuluh tahun lalu.
Mesir menduduki peringkat tertinggi dalam jumlah, dengan 27,2 juta perempuan dan gadis, atau 91 persen, yang mengalami sunat perempuan. Kendati dilarang, mayoritas kasus FGM/C di Mesir dilakukan seorang profesional medis.
Di sejumlah negara, FGM/C menjadi praktik yang nyaris lazim. Di Somalia, angkanya 98 persen, persentase tertinggi di dunia. Di Guinea dan Djibouti angkanya 96 persen dan 93 persen. Kemungkinan anak perempuan mengalami FGM/C juga tinggi bila ibunya pernah melakukannya.
Generasi muda mungkin sedikit yang mengalami FGM/C serta lebih berpendidikan dan sadar akan dampak negatifnya bagi kesehatan, mencakup komplikasi, infeksi, dan pendarahan hebat selama kelahiran, menurut Claudia Cappa, penulis laporan itu serta spesialis statistik dan pemantauan UNICEF. Termasuk juga masalah kesehatan mental, tambah Cappa.
“Anak-anak gadis bisa menjadi agen perubahan penting untuk semua generasi,” ujar Cappa.
Laporan itu memuat untuk kali pertama data dari Iraq, satu-satunya yang mulai menjalankan survei representatif secara nasional atas praktik itu pada 2010, di mana rerata FGM/C telah berkurang setengahnya, ujar Cappa, dan ini adalah perkembangan positif.
“Anak-anak gadis ini juga punya kesempatan berinteraksi dengan anak gadis lain yang tak mengalami sunat, dan bisa melihat bahwa mereka tak terjerat stigma [sosial],” kata Cappa.
Pentingnya melibatkan lelaki dalam perjuangan melawan FGM/C adalah salah satu temuan kunci dari laporan ini, yang mengungkapkan banyak pria dan anak lelaki di 29 negara yang diteliti ingin mengakhiri praktik itu.
Dukungan tersembunyi itu berarti bahwa UNICEF dapat menggamit sumberdaya itu ke dalam sikap yang mengarah perbaikan, membantu masyarakat untuk mengakhiri sepenuhnya praktik tersebut.
Namun praktik FGM/C terus berlanjut, dan ada perbedaan antara sikap ibu-ibu, banyak di antaranya ingin praktik itu berakhir, dan perilaku mereka yang membiarkan anak perempuan mereka menjalani sunat.
Alasan mengapa FGM/C sulit berakhir antara lain, yang paling sering dilaporkan, agar bersih dan sehat, menjaga keperawanan, serta penerimaan sosial. Di beberapa negara, demi meningkatkan kenikmatan seksual lelaki juga dijadikan alasan untuk mempertahankan sunat perempuan, tulis laporan tersebut.
“Selalu ada alasan,” ujar Francesca Moneti, penasihat senior perlindungan anak UNICEF, pada konferensi pers. “Ketika anak-anak perempuan mencapai usia disunat maka ia pun disunat.”
Karena menjalani praktik itu, anak-anak perempuan diterima secara sosial dan punya “perilaku yang baik”, menurut laporan.
Efua Dorkenoo, OBE, direktur advokasi dari proyek FGM di Equality Now, menilai perlunya langkah-langkah perlindungan diterapkan di tengah masyarakat tempat praktik FGM terus berjalan, serta sistem pendukung bagi anak-anak gadis yang lari dari keluarga dan masyarakat karena menghindari praktik itu.
Juga penting bagi organisasi, termasuk UNICEF, menyadari bahwa “pendekatan pusparagam” diperlukan, melibatkan petugas kesehatan dan otoritas serta menekankan perubahan perilaku di masyarakat, ujar Dorkenoo.
“Dalam model UNICEF, mereka cenderung fokus pada perubahan perilaku masyarakat… perubahan perilaku itu proses yang sangat lama,” kata Dorkenoo kepada IPS.
“Kita tak tahu sejauh mana model pemberdayaan desa berjalan, kita tak tahu apakah benar-benar berhenti,” ujarnya. “Kerja kami di lapangan tak menunjukkan mereka benar-benar berhenti.”
Bagi Dorkenoo, FGM secara langsung menyangkut kekerasan terhadap perempuan serta terkait seputar kontrol seksualitas, sosial, dan gender. Dan menghentikan praktik kultural yang sangat mendalam itu tak mudah masyarakat mengatakan mereka telah meninggalkan FGM.
“Terlalu sederhana bila pernyataan publik diartikan FGM telah berhenti. Itu lebih sebagai faktor perasaan nyaman bagi publik Barat,” ujar Dorkenoo. “Tak ada satu ukuran yang cocok dipakai untuk semua model.”
Ketika masyarakat menyatakan akan mengakhirinya, itu nilai penting, ujar Cappa, kendati sulit menelisik apakah praktik itu sudah sepenuhnya ditinggalkan karena jeda waktu antara pernyataan masyarakat dan pengumpulan data berikutnya.
Dorkenoo berkata, kendati model pendidikan masyarakat UNICEF, termasuk penekanan pada demokrasi dan hak asasi manusia, jadi landasan yang baik dan berkontribusi meningkatkan kesadaran tentang FGM, masih banyak yang harus dilakukan di tingkat struktural.
“Sangatlah simplistik anggapan bahwa Anda pergi ke sebuah komunitas selama 30 tahun, bicara hak asasi manusia dan demokrasi, dan mengharapkan perubahan,” ujar Dorkenoo. Dia menambahkan bahwa FGM memanifestasikan diri dalam cara yang kompleks di masing-masing negara. [Lucy Westcott] 
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

Artikel Terkait