28 Juni 2013

Menghapus Nuklir sebagai Mata Uang Geopolitik

PBB (IPS) – KETIKA 193 anggota Majelis Umum PBB menghelat pertemuan tingkat tinggi untuk kali pertama mengenai pelucutan senjata nuklir pada September nanti, ada sedikit atau tak ada harapan bahwa negara-negara yang punya kekuatan nuklir akan bikin komitmen kuat untuk secara bertahap mengurangi atau menghapus persenjataaan mematikan mereka.
Pada awal 2013, delapan negara –Inggris, AS, Rusia, Prancis, China, India, Pakisan, dan Israel– memiliki sekira 4.400 senjata nuklir operasional, menurut Yearbook terbaru yang dirilis Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).
Hampir 2.000 senjata itu disimpan dalam keadaan siaga operasional tinggi, menurut SIPRI.
Jonathan Granoff, ketua Global Security Institute dan asisten profesor Hukum Internasional di Widener University School of Law, berkata, “Apa yang dibutuhkan untuk melawan lambatnya kontrol dan pelucutan senjata ialah profil politik yang lebih tinggi.”
Contohnya, ujar dia, bila ada beberapa pemimpin berkata di Majelis Umum, “Negara saya salah satu dari 114 negara di zona bebas senjata nuklir. Kami ingin membantu negara-negara yang mengandalkan senjata nuklir dengan alasan keamanan untuk mendapatkan manfaat dari bantuan ini guna menciptakan seluruh dunia zona bebas senjata nuklir.”
Laporan SIPRI menyoroti perlunya membawa komitmen yang dibuat dengan sungguh-sungguh pada Konferensi Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT) Review pada 2012 guna mempercepat pelucutan senjata nuklir ke dalam tindakan.
Janji harus dibarengi sesuatu, ujar Granoff.
Bila semua hululedak nuklir dihitung, menurut SIPRI, kedelapan negara itu memiliki sekitar 17.265 senjata nuklir, turun dari 19.000 pada awal 2012
Penurunan itu terutama disebabkan Rusia dan AS telah mengurangi persediaan senjata nuklir strategis mereka sesuai persyaratan Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis Baru (New START), serta ada senjata yang sudah uzur dan usang.
Pada saat yang sama, tulis SIPRI, lima negara yang diakui secara hukum memiliki senjata nuklir –China, Prancis, Rusia, Inggris, dan AS– mengembangkan sistem pengiriman senjata nuklir baru atau telah mengumumkan program serupa, dan tampaknya bertekad mempertahankan persenjataan nuklir mereka tanpa batas.
Dari kelima negara, hanya China yang tampaknya akan mengembangkan senjata nuklirnya.
Adapun negara lain, India dan Pakistan, meningkatkan cadangan senjata nuklir mereka dan kemampuan pengiriman rudal.
“Sekali lagi hanya ada sedikit harapan bahwa negara-negara pemilik senjata nuklir bersedia sungguh-sungguh menyerahkan senjata nuklir mereka,” menurut SIPRI.
“Program modernisasi jangka panjang yang berlangsung di negara-negara ini menunjukkan senjata nuklir masih jadi penanda status dan kekuatan internasional,” kata Shannon Kile, peneliti senior Proyek Pengendalian, Pelucutan, dan Nonproliferasi Senjata Nuklir di SIPRI.
Ditanya apakah konforensi pelucutan nuklir mendatang akan menghasilkan aksi nyata penghapusan senjata nuklir, Kile berkata bahwa, di tengah tren senjata nuklir global saat ini, Majelis Umum PBB tak bisa diharapkan mampu mengambil langkah-langkah kongkret, yang akan mewajibkan negara-negara pemilik senjata nuklir mulai menghapuskan senjata itu atau mengubah postur dan praktik operasional kekuatan nuklir mereka.
Namun, Majelis Umum PBB dapat berperan positif dalam hal penguatan norma dan komitmen politik yang berlaku sekarang guna mengupayakan pelucutan senjata nuklir yang semestinya tak boleh dianggap remeh, ujar Kile.
Hal itu berarti, pertama dan terpenting, mempertahankan tekanan politik terhadap negara-negara pemilik senjata nuklir untuk mengurangi peran dan arti penting senjata nuklir dalam strategi keamanan nasional dan postur pertahanan.
Itu bisa dilakukan, misalnya, dengan mengajak negara-negara tersebut menerapkan kebijakan deklarasi terbuka yang mengesampingkan penggunaan senjata nuklir, dan memberikan jaminan keamanan yang mengikat secara hukum, yakni menjamin tidak digunakannya senjata nuklir terhadap negara-negara nonnuklir.
Dalam jangka panjang, ujarnya, Majelis Umum PBB dapat berkontribusi dan memperkuat upaya menghapus senjata nuklir sebagai matauang geopolitik internasional dan mendelegitimasi kepemilikan senjata itu.
“Ini memang akan jadi bagian dari suatu proses jangka panjang yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan diplomatik tapi nilai normatifnya tak boleh diabaikan,” tambah Kile.
Granoff berkata, beberapa bagian dari pemerintahan Presiden Barack Obama mempercayai perlunya meratifikasi Perjanjian START dalam Senat AS, termasuk modernisasi aspek senjata nuklir. Beberapa memandang modernisasi hanya menyimpan senjata dalam kondisi stabil sementara yang lain meningkatkan akurasi dan keunggulannya dan bisa ditafsirkan sebagai bentuk proliferasi vertikal.
“Kegiatan itu tak boleh didanai, tapi bahkan jika pun ada, aktivitas ini tidak diterapkan karena perencanaan stategis geo militer,” ujarnya.
Namun, katanya, itu tak berarti tindakan tersebut menegaskan status senjata nuklir atau komitmen untuk membatalkan janji di bawah NPT menuju dunia bebas senjata nuklir.
“Mereka hanya mewakili kesepatan-kesepakatan politik jangka pendek dalam lingkungan partisan di dalam negeri yang kuat untuk mencapai langkah-langkah pengendalian senjata yang terbatas,” kata Pile.
Tapi mengatakan kebijakan itu tak bergerak ke arah yang benar adalah keliru, tambahnya.
Granoff berujar ada kelompok kerja terbuka baru di Jenewa yang akan mendesakkan beragam rekomendasi.
Norwegia baru-baru ini menjadi tuan rumah konferensi besar yang diikuti banyak negara, yang menyoroti konsekuensi kemanusian mengerikan dari senjata nuklir. Kegiatan ini pertanda baik bagi masa depan kita, ujarnya.
“Anehnya, negara-negara pemilik senjata nuklir atau P5 (Inggris, AS, Rusia, Prancis, dan China) tak berpartisipasi dalam kegiatan itu,” tambah Granoff. “Namun, mereka dapat bekerjasama serta datang dengan strategi dan posisi yang sama kalau mereka mau.”
“Tugas kita membantu mendorong isu penghapusan senjata nuklir menaiki tangga politik, sehingga mereka mau bekerjasama dalam pelucutan senjata,” katanya.
Ditanya mengenai tak disertakannya Korea Utara dalam daftar negara pemilik senjata nuklir, Kile berkata, “Bagian dari bab kekuatan nuklir dalam Yearbook yang berhubungan dengan kemampuan senjata nuklir Korea Utara mencatat, tak diketahui apakah Korea Utara memproduksi senjata nuklir operasional.”
Sebuah senjata operasional tidaklah sama seperti perangkat peledak nuklir sederhana dan membutuhkan desain lebih maju dan kemampuan teknik untuk membangunnya,” katanya.
“Kami mencatumkan dalam SIPRI Yearbook 2013 estimasi 6-8 senjata nuklir untuk menunjukkan jumlah maksimum yang mungkin dimiliki Korea Utara, berdasarkan informasi publik yang tersedia mengenai aktivitas produksi plutoniumnya.”
“Namun sekali lagi, masih sumir apakah Korea Utara benar-benar memproduksi senjata nuklir operasional, sehingga kami tak memasukkannya dalam tabel di siaran pers,” tambahnya. [Thalif Deen]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

26 Juni 2013

Nuklir AS-Rusia Mendekap Masa Lalu

PBB (IPS) – PADA akhir abad ke-19, dramawan Rusia Anton Chekhov melontarkan satu aturan penting dalam produksi drama: jika Anda menunjukkan pistol di awal cerita, pistol itu harus ditembakkan di akhir cerita.
Tapi kiasan Chekhov itu mengganggu bila diterapkan pada teknologi senjata dunia hari ini, yang meliputi sekira 17.300 nuklir, umumnya dipakai negara-negara sebagai alat untuk mempengaruhi kekuatan internasional.
Menurut Laporan Cadangan Nuklir Dunia oleh Ploughshares Fund, sekira 8.500 nuklir dimiliki Rusia dan 7.700 dipunyai AS. Tujuh negara lain dengan jejak senjata nuklir berada jauh di belakang mereka: Prancis (300), China (240), Inggris(225), Pakistan (90-110), India (60-110), Israel (60-80), dan yang terbaru Korea Utara (<10 span="">
“Sukar membayangkan misi militer yang akan memerlukan penggunaan satu senjata nuklir. Pemakaian 10 senjata itu akan jadi malapetaka yang melampaui pengalaman manusia, dan 50 senjata bahkan tak terpikirkan kerusakannya,” ujarJoe Cirincione, ketua Ploughshares Fund, sebuah yayasan keamanan global berkedudukan di AS.
“Jumlah yang Anda butuhkan untuk benar-benar mencegah musuh menyerang AS dengan atau tanpa senjata nuklir sangatlah rendah. Untuk berada di sisi aman, Anda mungkin membutuhkan beberapa ratus senjata nuklir,” katanya.
“Ide bahwa kita membutuhkan ribuan senjata nuklir… adalah kuno, irasional, warisan mahal dari Perang Dingin,” ujarnya.
AS merahasiakan anggaran nuklirnya. Cirincione menaksir pada dekade ke depan, AS akan menghabiskan 640 milyar dolar untuk nuklir dan program terkait –seperti sistem pertahanan rudal, lingkungan yang bersih dari aktivitas nuklir, dan pembaruan teknologi senjata nuklir saat ini.
Ditanya mengenai peran AS mendorong pelucutan dan membatasi kepemilikan (nonproliferasi) senjata nuklir dalam skala internasional, Cirincione berkata, “AS mungkin suara paling berpengaruh dalam debat ini, namun ia tak bisa melakukannya sendiri. Terpenting, mereka membutuhkan Rusia untuk mengurangi senjata.”

Kekuatan Nuklir Benamkan Sikap Internasional
Sembilan kekuatan nuklir dunia berkelit dalam forum-forum multilateral mengenai nuklir.
Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT) –bertujuan mencegah penyebaran dan mempromosikan pelucutan senjata nuklir– ditandatangani 190 negara. Menurut PBB, “Lebih banyak negara yang meratifikasi NPT daripada perjanjian pembatasan senjata dan pelucutan senjata lainnya.” Tapi ada beberapa negara yang absen dari perjanjian itu termasuk kekuatan nuklir India, Israel, Pakistan, dan Korea Utara.
Sewaktu Konferensi Internasional tentang Dampak Kemanusiaan dari Senjata Nuklir , digelar di Oslo pada Maret lalu, hanya dua dari sembilan negara –India dan Pakistan– yang menghadirinya.
Pada 6 Mei, IPS melaporkan bahwa Prancis, AS, Israel, dan Inggris abstain dalam pemungutan suara di Majelis Umum PBB mengenai apakah perlu atau tidak menggelar pertemuan tingkat tinggi untuk kali pertama mengenai pelucutan senjata nuklir. Usulan itu disahkan, dan pertemuan ditetapkan 26 September, tapi AS, Prancis, dan Inggris tetap tak mendukung.
Dan pada 13 Mei, Erin Pelton, jurubicara Misi AS untuk PBB, mengumumkan bahwa negaranya menolak mengirim dutabesarnya ke setiap pertemuan Konferensi PBB tentang Pelucutan Senjata yang dipimpin Iran, dari 27 Mei hingga 23 Juni.
Direktur eksekutif UN Watch menyindir, menempatkan Iran untuk memegang tanggungjawab Konferensi Pelucutan Senjata “sama saja menempatkan Jack the Ripper untuk memegang tanggungjawab atas tempat penampungan perempuan.”
Dia menambahkan, “Setiap negara anggota yang dikenai sanksi Dewan Keamanan PBB karena mengembangkan nuklir –dan dinyatakan bersalah atas pelanggaran hak asasi manusia berat– harusnya tak dapat dipilih mengemban posisi kepemimpinan dalam lembaga PBB.”
Konferensi itu dinilai secara luas tidak produktif, dan selalu begitu selama 15 tahun terakhir. Tapi sebelum itu, Konferensi Pelucutan Senjata dan pendahulunya merundingkan Perjanjian Nonproliferasi Nuklir dan Perjanjian Larangan Menyeluruh Ujicoba Nuklir –dua di antara perjanjian lainnya.
Jim Paul, penasihat senior Global Policy Forum, menanggapi pernyataan Neuer dengan menekankan ironi dalam boikot AS atas Konferensi itu.
Paul berkata kepada IPS melalui tanya-jawab email, AS merupakan ekportir senjata terbesar di dunia; salah satu yang memiliki senjata nuklir paling mematikan; baru-baru ini menggunakan senjata uranium, bomb kluster, dan ranjau darat; memiliki pangkalan militer yang tersebar di seluruh dunia, dan melancarkan operasi militer gila-gilaan.
Dia berujar, “Kritik sayap kanan terhadap PBB seolah berpendapat bahwa hanya negara ‘baik’ yang seharusnya memimpin lembaga PBB. Tapi, pertanyaannya, SIAPA pemerintah yang ‘baik’ itu? Mereka yang ramah dengan AS dan Israel, tentu saja!”
Pada 5 Februari 2011, AS dan Rusia menyepakati pemberlakuan Perjanjian Pengurangan Senjata-senjata Strategis(START), di mana keduanya sepakat pada 2018 membatasi jumlah hululedak mereka hingga 1.550; serta jumlah rudal balistik interkontinental, rudal balistik kapal selam, dan pesawat pembom berat yang dilengkapi nuklir hingga 800 buah.
“Jika AS dan Rusia setuju mengurangi persenjataan mereka hingga setengah, misalnya, seperti yang mereka lakukan pada 1980-an dan 1990-an… seluruh dunia akan bertepuk tangan, dan akan sangat sulit bagi birokrasi dan lawan-lawan politik untuk menentang kedua negara,” kata Cirincione.
Namun kemajuan AS dalam pelucutan dan nonproliferasi senjata nuklir melambat dalam beberapa tahun terakhir.George Perkovich, direktur Program Kebijakan Nuklir dari Carnegie Endowment for International Peace, menganggap kemunduran AS sebagian besar karena politik internal di Washington.
Dalam artikelnya yang terbit April 2013, “Do Unto Others: Toward a Defensible Nuclear DoctrinePerkovich menulis, “Kelompok pakar khusus yang relatif kecil dan pejabat menentukan kebijakan nuklir AS.”
Para anggota kelompok ini sering mendistorsi ancaman nuklir ke AS, serta cara terbaik merespon ancaman tersebut, pendapat Perkovich. Mereka melakukannya bukan untuk kepentingan keamanan nasional AS tapi demi kepentingan karier mereka guna mencegah “rival domestik mereka menyerang mereka karena terlalu lemah memegang jabatan.”

Nuklir menghalangi perubahan rezim yang dipimpin AS
Perkovich juga mencatat dalam artikelnya bahwa Iran, Korea Utara, dan Pakistan percaya dengan memiliki senjata nuklir bisa mencegah perubahan rezim yang didalangi AS. Mereka takut mengalami nasib seperti Iraq pada 2003 dan Libya pada 2011 yang tak punya nuklir.
Ditanya bagaimana AS harus merespon jika di masa depan negara-negara di dunia mempertahankan nuklir untuk mencegah perubahan rezim –bertindak opresif atau tidak, siapa pun yang melawan kepentingan AS–, Perkovich berkata itu akan jadi masalah pelik.
“Satu-satunya hipotesis senjata nuklir baik adalah untuk menjaga negara Anda dari serbuan orang lain. Jadi, negara dan para pemimpin yang khawatir akan diserang cenderung bersandar pada kekuatan nuklir, atau beraliansi dengan kekuatan AS,” ujarnya.
“Nonproliferasi akan lebih mudah dicapai jika negara-negara tidak khawatir akan diserang dan/atau digulingkan bila mereka tak punya senjata nuklir.
“Masalahnya jelas, beberapa negara begitu brutal serta mengancam rakyat mereka sendiri dan negara tetangga sehingga sulit untuk melucuti mereka,” tambahnya.
Perkovich mengusulkan agar AS membatasi tekanan terhadap negara-negara yang represif demi tujuan politik dan moral, juga sanksi; dan AS perlu menjelaskan takkan bertindak secara militer jika rezim represif tersebut tak menyerang negara tetangga atau mengembangkan nuklir.
Cirincione, penulis Bomb Scare: The History and Future of Nuclear Weapons, berpendapat bersaing untuk nuklir, dalam kasus Iran dan Korea Utara, sebenarnya kontraproduktif.
“Saya tidak percaya hal itu meningkatkan keamanan mereka. Saya kira hal itu justru mengisolasi mereka lebih jauh,” ujarnya. “Hal itu menghalangi mereka menjalin hubungan internasional yang benar-benar membantu negara mereka, membangun ekonomi mereka, dan meningkatkan pengaruh mereka.”
“Dengan kata lain, untuk menghentikan negara-negara ini memperoleh dan mempertahankan senjata nuklir, Anda harus memberi jaminan atas masalah keamanan mereka. Sebagian dari perjanjian dengan negara-negara ini harus memberi jaminan keamanan bahwa Anda takkan menyerang mereka, atau negara tetangga tak akan menyerang mereka.”

Warisan nuklir Obama
Dalam pidatonya Desember 2012 di National War College di Washington, Presiden Barack Obama berkata, “Rudal dengan rudal, hulu ledak dengan hulu ledak, pelu dengan peluru, kita menempatkan masa silam di belakang kita.”
Cirincione menjelaskan, upaya mewujudkan pelucutan dan penyebaran senjata nuklir telah jadi bagian penting dalam diri Obama sejak muda. Pidato pertamanya sebagai presiden mengenai kebijakan luar negeri –di Praha pada April 2009– dan pidato pertamanya sesudah terpilih kembali berfokus pada nuklir.
“Presiden menghadapi segudang masalah mendesak, tapi hanya dua di antaranya mengancam kehancuran dalam skala planet: pemanasan global dan senjata nuklir,” ujar Cirincione.
Sementara oposisi terhadap pelucutan dan penyebaran senjata nuklir lazim di Washington, hal itu mengerikan jika dibandingkan oposisi menghadapi pemanasan global, imigrasi, atau reformasi pajak.
“Ini kesempatan bagi presiden untuk bikin kemajuan besar dalam masalah keamanan AS dan global dengan investasi yang relatif kecil pada masanya,” ujar Cirincione, yang menjelaskan upaya Obama untuk mengekang nuklir bisa menyelesaikan busur sejarah, yang sudah dimulai dengan upaya Presiden John F. Kennedy pada 1960-an dan dipercepat oleh upaya Presiden Ronald Reagan pada 1980-an.
Cirincione berujar, “(Obama) punya tiga setengah tahun melakukannya. Bila dimulai sekarang, dia bisa menyelesaikannya. Dia dapat mengubah kebijakan nuklir AS dan menempatkannya pada jalan yang tak bisa diubah untuk mengurangi senjata nuklir, dan akhirnya (melenyapkan) ancaman nuklir dari muka bumi.” [George Gao]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

24 Juni 2013

Fatwa Jihad Tingkatkan Ketegangan Sektarian

LOS ALTOS, CALIFORNIA (IPS) – PARA ulama Arab Saudi memimpin paduan suara dari para khatib yang mendesak kaum Muslim dan Arab mendukung pemberontak Suriah melawan apa yang mereka sebut kekejaman pasukan SyiahPresiden Suriah Bashar al-Assad, yang didukung Iran.
Jumat lalu, imam Masjidil Haram di Mekkah, Sheikh Saud El-Fridayeym, mengeluarkan seruan yang tak biasa untuk umat Muslim agar memberikan bantuan “dengan segala cara” kepada para pemberontak dan warga sipil Suriah yang terperangkap dalam konflik.
Ulama terkenal Saudi, Sheikh Mohammed Al-Erify, menggunakan khotbahnya di sebuah masjid pusat di Kairo, Mesir, untuk menarik ribuan jemaah menyokong kelompok yang melawan rezim Assad dan mendesak para pendengarnya mendaftarkan diri sebagai jihad.
Pada Kamis, puluhan ulama, terutama dari Teluk, berkumpul di Kairo untuk membahas rencana sebuah seruan jihad internasional di Suriah.
Pada 4 Juni, Al-Arabiya, saluran televisi yang didanai Saudi dan biasanya berhaluan liberal, menampilkan pemimpin konservatif Sheikh Youssef Qaradawi, berasal dari Doha, Qatar, untuk mendesak pemberian dukungan terhadap jihad melawan pasukan Hizbullah yang berjuang bersama pasukan Assad di Suriah.
Lonjakan seruan keagamaan itu muncul sepekan setelah milisi Syiah Hizbullah yang dibekingi Iran melancarkan intervensi di Suriah dan memaksa pasukan pemberontak keluar dari kota penting dan strategis Al-Qusair.
Pemberontak menduduki Al-Qusair selama berbulan-bulan. Jatuhnya kota itu menandai pergeseran keseimbangan kekuatan sejak pemberontak angkat senjata pada Desember 2011 dan mengusir pasukan pemerintah dari beberapa kota.
Media, yang dikendalikan pemerintah Suriah, melaporkan bahwa pasukan Assad bergerak ke arah Homs, kubu pemberontak, sementara kantor berita Iran Fars menyebutkan pekan lalu bahwa tentara Suriah memegang kendali atas beberapa wilayah di Suriah.

Konflik internasional
Fatwa jihad oleh para ulama Sunni melawan Assad, seorang Alawi yang merupakan anggota dari cabang minoritas Islam Syiah, muncul begitu Amerika Serikat mengisyaratkan kesediaannya pada Kamis untuk mengirim senjata ke pemberontak di Suriah. Suriah dianggap menerabas “garis merah” dengan menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri.
Selama sepuluh tahun invasi Soviet terhadap Afghanistan yang dimulai pada 1979, Amerika Serikat dan Arab Saudi memainkan peran serupa, di mana Washington menyuplai senjata ke pejuang mujahidin Afghanistan sementara Arab Saudi membantu pendanaan dan menyediakan pembenaran agama guna melawan pasukan penyerbu Soviet.
Selama beberapa pekan terakhir, media Arab didominasi laporan saksimata di lapangan tentang masuknya para pejuang Syiah, yang diprovokasi Iran, dari Irak, Lebanon, dan Iran ke Suriah untuk memperkuat rezim Assad. Laporan itu menyoroti meningkatnya ketegangan sektarian yang mendasari konflik.
Para ulama Sunni menyalahkan Iran dan Hizbullah yang mengubah konflik antara kedikatorran Assad dan rakyatnya menjadi perang sektarian.
Pemberontakan itu mulanya protes prodemokrasi damai di kota Dera, di bulan-bulan awal Musim Semi Arab yang menyebabkan jatuhnya beberapa diktator. Protes itu dengan cepat memburuk menjadi perang yang menewaskan sedikitnya 93.000 orang, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Khotbah Jumat Shoreym disiarkan secara langsung ke beberapa saluran televisi pan-Arab. Khatib Saudi itu begitu dihormati di banyak negara Muslim Sunni. Khotbah dan pengajiannya seringkali didengar di tempat-tempat umum maupun rumah-rumah.
Dalam khotbahnya yang emosionalShoreym menangis haru saat mengingat nasib warga sipil, perempuan dan anak-anak, di Suriah.
“Perempuan kehilangan suami, anak-anak menjadi pengungsi, dan rumah mereka tinggal puing-puing oleh kekuatan agresi dan tirani,” ujarnya. “Ini membuat kita semua berkewajiban mengulurkan tangan untuk membantu mereka.”
Sebelumnya Shoreym jarang mengomentari politik, sesuai dengan garis pemerintahan Saudi untuk menjauhkan tempat-tempat suci di Mekkah dan Madinah dari politik sebisa mungkin.
Khotbahnya menandai pergeseran penting dari kebijakan itu, menunjukkan betapa serius situasi di Suriah.
Di Kairo, khotbah satu jam Al-Erify fokus pada pentingnya ikut jihad. “Sejarah modern belum pernah melihat pembantaian seperti yang telah dilakukan rezim itu selama 40 tahun terakhir,” ujarnya.
Al-Erify, ulama yang buku-bukunya laris dan acara TV-nya populer, memperingatkan jika aliansi Syiah yang dipimpin Iran berhasil di Suriah, mereka akan mengejar “anak-anak Muslim di negara-negara lain” dan “membantai mereka seperti yang mereka lakukan di Suriah.”
Seruan Erify, Shoreym, dan Qaradawi merupakan serangkaian fatwa terakhir yang mendesak rakyat melawan pasukan Assad di Suriah.
Pada Kamis, puluhan ulama Sunni, sebagian besar dari Teluk, berkumpul di Kairo untuk mengumumkan “seruan mendesak untuk jihad” di Suriah dan menggalang dukungan publik bagi para pejuang di sana.
“Konferensi itu pasti punya dampak di wilayah itu,” kata Gamal Sultan, editor suratkabar Al-Mesryoon di Kairo. “Dunia membayangkan mereka dapat menjual rakyat Suriah dengan harga murah ke tirani Assad. Para ulama keluar untuk membuktikan anggapan itu keliru.”

Mendokumentasikan kekejaman
Para peserta konferensi, termasuk Ahmed Al Tayeb, imam besar Masjid Al-Azhar, benteng Islam Sunni dan kedudukan prestisiusnya dalam studi agama di Mesir, menonton film dokumenter yang menunjukkan Hizbullah dan pasukan Suriah bertindak kejam terhadap rakyat sipil di wilayah konflik.
Sebuah pernyataan di situsweb International Union of Muslim Scholars, organisasi nonpemerintah pan-Islam yang menggelar konferensi itu, menulis pertemuan itu dirancang untuk “menunjukkan wajah asli Iran, rezim Assad, dan Hizbullah.”
Beberapa peserta konferensi kemudian bertemu dengan Presiden Mesir Mohammed Morsi pada Jumat lalu guna mencoba menggalang dukungan atas seruan jihad.
Media sosial, yang jadi perangkat penting melancarkan Musim Semi Arab, kini dipakai sebagai sarana gigih untuk menunjukkan kekejaman rezim Assad maupun menyerukan jihad melawan Assad.
Awal pekan ini, sebuah video amatir di Youtube menunjukkan anak-anak muda berusaha menyelamatkan seorang gadis Suriah yang terbaring di tengah jalan, setengah telanjang, dan terluka setelah dilaporkan diperkosa oleh pasukan pro-Assad. Satu demi satu mereka ditembak pasukan Assad saat mencoba menolong, dan perempuan itu diyakini tak selamat.
Laman Facebook berbagi foto anak-anak berlumuran darah, tenggorokan mereka digorok, dan tumpukan mayat, termasuk anak-anak, terbaring di bawah reruntuhan. “Sementara Anda duduk menjelajahi Facebook Anda, anak-anak mati sekarat di Suriah,” tulis sebuah posting. [Emad Mekay]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

22 Juni 2013

Pisang Rekayasa Genetik Mengintai India

NEW DELHI (IPS) – PARA aktivis lingkungan dan kedaulatan pangan di India sekian lama berhasil menunda-nunda upaya memperkenalkan tanaman pangan rekayasa genetik di negara yang didominasi pertanian itu. Namun, mereka kini harus berhadapan dengan rancangan undang-undang yang bisa mengkriminalisasikan mereka.
RUU Otoritas Regulasi Bioteknologi India (BRAI), diajukan ke parlemen April lalu, memberikan “izin satu pintu” bagi proyek-proyek dari perusahaan bioteknologi dan agrobisnis, termasuk yang menerapkan tanaman pangan rekayasan genetik, ke negeri tersebut, di mana 70 persen dari 1,1 milyar penduduknya terlibat dalam kegiatan pertanian.
“Penolakan rakyat terhadap pengenalan tanaman rekayasa genetik merupakan jerih payah dari sebuah kampanye yang dilancarkan kelompok masyarakat sipil guna menumbuhkan kesadaran di antara konsumen,” kata Devinder Sharma, pakar kedaulatan pangan dan pemimpin Forum for Biotechnology and Food Security. “Sekarang kami sedang menentang rencana masuknya pisang rekayasa genetik dari Australia.”
Sharma berkata kepada IPS bahwa bila RUU tersebut disahkan menjadi undang-undang, kampanye penyadaran semacam itu akan terkena hukuman berat. RUU menetapkan hukuman penjara dan denda bagi “siapapun, tanpa bukti atau laporan ilmiah, menyesatkan publik mengenai keamanan dari organisme dan produk…”
Suman Sahai, yang memimpin Gene Campaign, sebuah organisasi yang didedikasikan untuk konservasi sumberdaya genetik dan pengetahuan lokal, berkata bahwa “RUU kejam ini telah diajukan ke parlemen tanpa menggamit sejumlah bukti dari seluruh dunia mengenai risiko kesehatan yang diakibatkan tanaman pangan rekayasa genetik.”
Dia mengatakan para aktivis India tengah mendalami laporan terbaru yang ditulis Judy Carmen dari Flinders UniversitydiAdelaide, Australia, dan dimuat di Organic Systems Journal. Isinya menunjukkan bukti bahwa babi yang diberi pakan jagung dan kedelai rekayasa genetik cenderung mengalami radang perut parah.
“RUU baru bukan tentang peraturan, tapi promosi kepentingan perusahaan makanan raksasa yang mencoba memperkenalkan teknologi berisiko ke India, mengabaikan hak-hak petani dan konsumen,” ujar Sahai. “Ini mengkhwatirkan karena memberi kekuasaan kepada penguasa untuk memadamkan perlawanan terhadap teknologi rekayasa genetik dan mengkriminalkan mereka yang berani melawan.”
Bulan lalu rencana masuknya pisang rekayasa genetik ke India mendapat penolakan keras dari sejumlah LSM terkemuka, termasuk Initiative for Health & Equity in Society, Guild of Services, Azadi Bachao Andolan, Save Honey Bees Campaign, Navdanya, dan Gene Ethics di Australia.
Kelompok-kelompok itu berusaha membatalkan perjanjian antara Queensland University of Technology dan departemen bioteknologi India untuk menanam benih pisang rekayasa genetik di India.
Vandana Shiva, yang memimpin organisasi konservasi keanekaragaman hayati Navdanya dan salah satu tokoh penggagas kampanye melawan tanaman rekayasa genetik, berkata bahwa eksperimen tanaman pangan seperti itu merupakan “ancaman langsung terhadap keanekaragaman hayati, kedaulatan benih, pengetahuan lokal, dan kesehatan masyarakat di India, dengan secara perlahan menggantikan aneka varietas tanaman pangan dengan sejumlah kecil tanaman monokultur yang dipatenkan.”
Dia cemas bahwa upaya itu dibikin untuk mengontrol budidaya pisang di India melalui paten “oleh orang-orang kuat di tempat yang jauh, yang mengabaikan keanekaragaman hayati di lahan-lahan kami.”
India memproduksi dan mengkonsumsi 30 juta ton pisang saban tahun, diikuti Uganda yang menghasilkan 12 juta ton dan memakan buah-buahan itu sebagai panganan pokok.
National Research Centre for Banana di India, yang melindungi lebih dari 200 varietas buah-buahan itu, menjadi rekanan proyek pisang rekayasa genetik. Lembaga lainnya termasuk Indian Institute of Horticulture Research, Bhabha Atomic Research Centre (BARC), dan Tamil Nadu Agricultural University.
Dengan keterlibatan begitu banyak lembaga resmi, muncul kekhawatiran pisang rekayasa genetik akan menjadi bagian dari program gizi yang dijalankan pemerintah. “Ada bahaya bahwa pisang hasil rekayasa genetik akan diperkenalkan ke dalam program seperti skema perkembangan anak terpadu dan makan siang bagi anak-anak,” ujar Shiva.
Integrated Child Development Services di India, program anak usia dini terpadu yang terbesar di dunia, dimulai pada 1975 dan kini meliputi 4,8 juta ibu hamil dan ibu menyusui dan lebih dari 23 juta anak di bawah usia enam tahun. Pisang dimasukkan sebagai bagian dari makanan yang disajikan di 40.000 pusat perbaikan gizi.
Prof James Dale dari Queensland University of Technology, yang memimpin proyek itu, dalam wawancara kepada media Australia, membenarkan eksperimen rekayasa genetik dengan mengatakan hal itu akan “menyelamatkan perempuan India dari kematian saat melahirkan karena kekurangan zat besi.”
Menurut studi yang dilakukan International Institute for Population Sciences di Mumbai, lebih dari 50 persen perempuan India dan lebih dari 55 persen perempuan hamil di India menderita anemia. Ditaksir 25 persen kematian ibu karena komplikasi lantaran anemia.
Pada 9 Maret 2012, dalam wawancara dengan Australian Broadcasting Corporation, Dale berkata, “Salah satu alasan utama kekurangan zat besi karena sebagian besar penduduk India adalah vegetarian, dan sulit bagi seorang vegetarian memperoleh asupan zat besi yang cukup, terutama untuk penduduk yang bertani secara subsisten.”
“India adalah penghasil pisang terbesar di dunia tapi mereka tak mengekspornya sama sekali; semuanya dikonsumsi lokal. Jadi ini sebuah tujuan yang sangat baik untuk meningkatkan jumlah zat besi dalam pisang yang kemudian dapat didistribusikan ke… petani miskin dan subsisten.”
Dale membantah adanya risiko terhadap strain pisang India. Dia berkata karena pisang itu steril maka tak ada bahaya bahwa gen yang diperkenalkan akan masuk dan menghancurkan varietas lainnya.
Tapi para ahli seperti Vandana Shiva menentang klaim Dale. Dia bilang, para ilmuwan Australia memakai sebuah virus yang merangsang pisang, berfungsi sebagai promotor, dan itu akan menyebar melalui transfer gen secara horisontal.
“Semua rekayasa genetik memakai gen dari bakteri dan virus dan berbagai penelitian telah menunjukkan ada risiko kesehatan serius yang berhubungan dengan makanan hasil rekayasa genetik,” tegasnya, menambahkan ada cara lebih aman, lebih murah, dan lebih alami untuk menambah zat besi dalam makanan.
India adalah penghasil buah dan sayuran terbesar di dunia dengan banyak varietas alami yang kaya akan zat besi. “Sumber yang baik untuk zat besi di India termasuk kunyit, batang teratai, kelapa, mangga (dan) bayam… tak ada kebutuhan untuk merekayasa genetik pisang, tanaman suci di India,” ujarnya.
IPS gagal menghubungi Dale secara langsung maupun terpisah lewat humas kampusnya untuk menanyakan risiko transfer gen secara horisontal dan kemungkinan bahayanya bagi kesehatan masyarakat.
Menurut Shiva, ada langkah terpadu oleh korporasi makanan untuk mengendalikan tanaman pangan dan bahan pokok penting di pusat-pusat tanaman itu bercokol. “Kami telah melihat jagung rekayasa genetik diperkenalkan ke Meksiko dan ada upaya tekun memperkenalkan terong rekayasa genetik di India.”
Pada Februari 2010, Jairam Ramesh, saat itu menteri lingkungan, memerintahkan moratorium proyek terong dan tindakannya dipandang sebagai tamparan keras bagi pengenalan tanaman pangan rekayasa genetik di India.
“Jika RUU baru itu disahkan, kita berada dalam situasi mundur dan proyek seperti pisang rekayasa genetik akan cepat masuk dengan dukungan pemerintah. Bila itu terjadi, hanya tinggal tunggu waktu India menjadi republik pisang rekayasa genetik,” tutur Devinder Sharma. [Ranjit Devraj]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

21 Juni 2013

Perempuan Yahudi Perjuangkan Hak Agama

YERUSALEM (IPS) – PERJUANGAN untuk kesetaraan gender dan pluralisme Yahudi mengambil bentuk simbolisnya pada hari Minggu di Tembok Barat, situs paling dipuja Yudaisme dan lambang kesatuan. Kelompok perempuan yang dikenal dengan nama “Women of the Wall” bisa berdoa secara legal dan dengan cara mereka.

Selama 24 tahun, Women of the Wall, sebuah kelompok feminis Yahudi, menuntut hak untuk membawa dan melantunkan Kitab Suci Yudaisme di Tembok Barat, atau “Kotel” dalam bahasa Ibrani, dengan mengenakan selendang doa, tefillin, dan kupluk.

Menurut Hukum Yahudi Ortodoks, hanya kaum pria yang boleh memakai tallith, tefillin, dan kippah, serta membaca Taurat dengan suara lantang selagi berdoa selama beribadah. Karena itu, tuntutan perempuan tersebut adalah laknat bagi Yahudi Ortodoks, aliran Yudaisme yang dianut secara umum di Israel.

Gerakan konservatif, reformis, progresif, dan liberal yang menjadi afiliasi Women of the Wall, kendati menonjol di Amerika Serikat, tetaplah minoritas di Israel.

Lapangan terbuka Kotel pada hari Minggu menyerupai medan perang yang diperkuat pertahanannya. Dua kubu yang berlawanan mengenai kewajiban agama dan hak-hak gender mempersiapkan diri untuk menghadapi pertikaian lebih lanjut.

Sekira 300 perempuan, yang hendak merayakan hari pertama bulan Tamuz Yahudi dengan regalia lengkap, berusaha melewati kerumunan kaum pria ultra-Ortodoks yang sama banyaknya dan tengah terpancing amarah.

“Para perempuan ini ingin memecah-belah Yudaisme. Yahudi sekuler takkan pernah berani memalsukan firman Tuhan, tapi perempuan-perempuan ini mengubah Yudaisme dari dalam,” kata Nahum Weiss memperingatkan, seorang rabbi dari sekolah Talmudik.

Ratusan petugas polisi –setidaknya dua orang untuk tiap perempuan– dikerahkan di antara dua kubu guna mencegah kekerasan yang telah terjadi pada sembahyang bulanan sebelumnya, saat putra-putri seminari melemparkan sampah, popok, dan telur ke Women of the Wall.

Kali ini, kaum pria memaki-maki kaum perempuan: “Pergilah ibadah dengan kaum Muslim!”; “Pulanglah ke Amerika!”; dan “Kalian tak diterima di sini!”

Jenny Menashe, dari kelompok Women for the Wall, kembaran Women of the Wall dari kelompok Ortodoks dengan semboyannya “menjaga kesucian tembok”, menyerukan kepada kaum pria sesamanya untuk “mengizinkan perempuan menangani para perempuan ini.”

Plakat berbunyi “Anda membuat agama baru, membangun sebuah tembok baru!” direspon kelompok Women of the Wall dengan himne Hassidic Ortodoks, “Seluruh dunia merupakan sebuah jembatan sempit; karena itu, janganlah takut.”

Polisi perempuan mengawal mereka menuju bagian perempuan di Kotel, tempat mereka tetap berada di balik pagar guna menghindari konflik lanjutan dengan jemaat Ortodoks. Ratapan serupa doa membahana dari bagian kaum pria guna menenggelamkan doa kaum perempuan itu. Untuk menjalankan ibadah di Kotel, kaum pria memiliki tempat dua kali lebih besar dari kaum perempuan.

“Memalukan, kami ditempatkan terpisah untuk berdoa layaknya penderita kusta,” sesal Ya’ara Nissan. “Inilah yang terjadi pada perempuan saat mereka keluar dari dapur.”

Titik balik

Dua bulan lalu, seakan mematuhi maklumat Ortodoks, polisi akan menangkap perempuan yang berdoa di Kotel dengan cara mereka sendiri. Namun, pada 25 April, Women of the Wall meraih kemenangan bersejarah setelah perjuangan panjang untuk mendapatkan pengakuan atas praktik mereka dan melawan otoritas Ortodoks yang bertanggungjawab atas aturan sembahyang di tempat suci itu.

Berdasarkan penilaian bahwa perilaku di luar ortodoks mereka tidaklah menganggu kedamaian, sebaliknya kaum Yahudi ultra-Ortodoks yang menyebabkan kekacauan, Pengadilan Distrik Yerusalem memutuskan Women of the Wall dapat berdoa di Tembok Barat.

Hakim Moshe Sobel, seorang Yahudi Ortodoks, menulis dalam putusannya bahwa kegiatan Women of the Wall bukan merupakan sebuah pelanggaran atas “adat-istiadat lokal” maupun provokasi.

Pengadilan juga memutuskan menganulir interpretasi kepolisan atas putusan Mahkamah Agung sebelumnya pada 2003, menyatakan bahwa perempuan tak dilarang mengadakan kebaktian doa mereka sendiri di Kotel dan tidak diharuskan berkumpul di dekat Robinson’s Arch

“Hari ini Women of the Wall membebaskan Tembok Barat untuk seluruh bangsa Yahudi,” teriak Anat Hoffman, ketua organisasi.

Menanggapi putusan pengadilan, Rabbi Shmuel Rabinowitz dari Tembok Barat memprotes. “Saya mohon pihak berwenang serta mayoritas yang diam, yang peduli pada Kotel untuk mencegah para ekstremis mengubahnya jadi tempat pertentangan antarsaudara.”

Pada Minggu, para rabbi ultra-Ortodoks menyerukan para pria menikah dan berpengalaman untuk menentang Women of the Wall, menginstruksikan para murid yang terbakar amarah tetap di sekolah-sekolah Talmudik agar protes itu tak berubah menjadi pertikaian tak terpuji dan tercela.

Namun, alih-alih ribuan, hanya ratusan orang yang tergerak atas seruan itu.

Secara umum, kegiatan ibadah berjalan lancar. Beberapa telur yang dilempar mendarat di kaki para pria pendukung Women of the Wall. “Mereka merancang unjuk kekuatan sekaligus kelemahan mereka,” ujar seorang pendoa.

“Mereka dimanfaatkan untuk melawan kami,” kata Hoffman, mengutarakan pandangan hati-hati. “Kotel merupakan tempat bagi semua komunitas dan aliran Yahudi,” kata ketua Shira Preuce. “Kaum Rabi Ortodoks takut pada pemberdayaan perempuan, takut akan perubahan.”

Pergeseran keseimbangan politik

Yahudi Ortodoks pelan-pelan kehilangan kekuasaan di Israel.

Lanksap politik sekarang menunjukkan lobi Ortodoks di Knesset (parlemen Israel) luar biasa lemah, dan para legislator ultra-Ortodoks beroposisi dengan partai-partai liberal, progresif, dan Arab. Hubungan antara negara dan sinagog kini lebih menguntungkan arus Yahudi progresif.

Sebuah rancangan undang-undang wajib militer bisa mencabut keistimewaan yang sekian lama dinikmati Yahudi ultra-ortodoks untuk terhindari dari tugas ketentaraan, sementara para rabi non-Ortodoks sekarang mendapatkan gaji dari negara, dan warga Yahudi Israel diizinkan menikah di setiap dewan rabi di Israel. [Pierre Klochendler]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

02 Juni 2013

Memperkuat Standard EITI

KELOMPOK-kelompok pembangunan dan antikorupsi sedang bersukacita. Sebuah standard terbaru nan penting diadopsi oleh sebuah inisiatif internasional yang bertujuan memastikan transparansi lebih besar di antara perusahaan minyak dan tambang, khususnya di negara-negara berkembang.

Standard terbaru ini disepakati pada pertemuan dewan pengurus Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif (EITI) di Sydney pekan lalu. Namun beberapa kelompok sipil juga mengingatkan bahwa standard terbaru itu tak akan melamgkah jauh.

"EITI harus tetap bertaring," ujar Corinna Gilfillan, anggota dewan pengurus EITI dan direktur kelompok advokasi Global Witness dari AS, menyusul pengakuan standard terbaru itu. "Aturan-atruran baru perlu dibuat, diterapkan, dan dipersiapkan sebagai motor penggerak, bukan pengiirng dari arus reformasi pemerintah yang mengurangi relevansinya."

EITI sendiri lahir sejak 2002. Ia diciptakan dari diskusi-diskusi kelompok masyarakat sipil tentang bagaimana negara-negara berkembang yang kaya sumberdaya bisa melepaskan diri dari "kutukan sumber daya alam" dan memastikan pendapatan dari industri ekstraktif digunakan untuk mendanai sektor publik, bukan disedot kroni atau pejabat pemerintah yang korup. Selama satu dekade terakhir, inisiatif itu dikabarkan telah memfasilitasi pelaporan pendapatan dari sumberdaya alam senilai hampir satu trilyun dolar.

EITI beranggotakan pemerintah, sektor privat, dan masyarakat sipil, yang saat ini mencakup 39 negara dan menuntut anggotanya melaksanakan pelaporan pendapatan dari sektor industri ekstraktif secara terbuka. Kendati sebagian besar anggotanya dari Afrika, pada pertemuan pekan lalu Prancis dan Inggris setuju menjadi anggota. Janji serupa sudah disampaikan Amerika Serikat pada 2011.

Negara-negara Barat lainnya yang bergabung dalam EITI dengan beberapa pertimbangan antara lain Norwegia, tempat sekretariat EITI, dan Australia. Bulan depan, ketika Inggris jadi tuanrumah pertemuan Kelompok Delapan (G8), yang terdiri negara-negara kaya, isu transparansi diagendakan jadi pembahasan utama.

Meski muncul optimisme atas tujuan dan lahirnya EITI, beberapa tahun terakhir ada tanda-tanda bahwa tuntutan itu belum cukup kuat. Menurut evaluasi internal tahun 2011, tunduk pada persyaratan EITI belum tentu "membawa perubahan mendasar" yang sejalan dengan prinsip-prinsip inisiatif tersebut.
Bukti kegagalan itu dapat ditengok di Republik Demokratik Kongo (DRC).

Walau menjadi anggota EITI, pemerintah Kongo "mampu menjual lima aset pertambangan besar secara rahasia ke perusahaan yang tak diketahui," menurut riset Global Witness. "Akibatnya, DRC mungkin kehilangan sekitar 1,36 milyar dolar, dua kali lipat dari anggaran kesehatan dan pendidikan negara itu."
Medio April lalu, dewan pengurus EITI mencabut keanggotaan Kongo untuk sementara waktu.

Alasannya Kongo gagal memastikan "pengungkapan secara penuh dan menjamin keandalan angka-angka tersebut." Namun, kian banyak bukti ketidakefektifan standard EITI juga mendorong diluncurkannya aturan baru pekan lalu.

"Standard EITI terbaru akan memakai sejumlah rekomendasi yang dibuat [masyarakat sipil], termasuk menuntut badan usaha milik negara dan pendapatan sumberdaya alam lebih transparan," kata Jonas Moberg, kepala sekretariat EITI internasional, menjelang konferensi Sydney.

Standard itu kini akan memberlakukan persyaratan pelaporan baru yang jelas kepada negara-negara anggota EITI, mengharuskan rincian proyek demi proyek secara teratur, yang meliputi izin ekstraksi, bagaimana izin itu diberikan, dan perusahaan yang terlibat dalam sektor itu. Perusahaan minyak milik negara juga harus mengungkapkan berapa banyak produk yang mereka jual.

"EITI pada akhirnya mengakui bahwa, ketika ia menangani industri yang kompleks, mengungkapkan pembayaran saja tidaklah cukup," ujar Daniel Kaufmann, ketua Revenue Watch Institute, kelompok pengawas (watchdog) dari AS. "Standard baru itu dapat membuat EITI lebih efektif dalam mengatasi tantangan yang dihadapi negara-negara kaya sumberdaya alam."

Mengukuhkan relevansi
Industri ekstraktif dapat memiliki "dampak luar biasa –baik maupun buruk" terhadap pembangunan suatu negara, kata Robert F. Cekuta, pejabat Departemen Luar Negeri AS, saat konferensi EITI pekan lalu.
"Salah-urus sumberdaya alam, seperti yang sering kita lihat, bisa menghambat pertumbuhan ekonomi, mengurangi peluang perdagangan dan investasi, mengalihkan dana yang sangat dibutuhkan untuk layanan sosial dan kegiatan pemerintah lainnya, serta berkontribusi terhadap ketidakstabilan dan konflik," ujarnya.

"Pada saat bersamaan … manajemen yang baik dan tepat-guna dari sektor itu berarti pendapatan yang dihasilkan dari minyak, gas, dan tambang dapat memacu pertumbuhan ekonomi suatu negara, memberi pekerjaan, dan mendorong investasi yang bertanggungjawab di bidang infrastruktur, kesehatan, pendidikan, serta sektor berdampak tinggi lainnya, selain penghematan yang memadai."

Kendati Cekuta menyatakan pemerintahnya mendukung kuat aturan EITI terbaru, AS sendiri telah mengesahkan peraturan –Bagian 1504 dari regulasi keuangan Dodd-Frank Act– yang akan memberlakukan standard lebih ketat terhadap perusahaan ekstraktif yang terdaftar di AS ketimbang aturan EITI terbaru. Uni Eropa diperkirakan akan memberlakukan undang-undang serupa bulan depan.
Untuk alasan ini, beberapa pendukung transparansi prihatin bahwa EITI kehilangan peran sebagai pelopor.

"Pengaruh EITI bertumpu pada apa yang dianggap sebagai simbol klub pembaharu di mana banyak negara dan perusahaan ingin menjadi bagian di dalamnya," menurut Global Witness setelah pengumuman standard terbaru. "Atraksi ini akan pudar jika inisiatif tersebut dianggap sekadar permainan mengejar ketertinggalan sementara reformasi lebih dinamis berlangsung di tempat lain."

Kelompok itu secara khusus menekankan kembali desakan kelompok sipil agar kontrak-kontrak ekstraktif diumumkan secara terbuka. Dalam standard terbaru, hal itu cuma anjuran, bukan sebuah kewajiban. Standard terbaru juga hanya mengajurkan agar informasi lengkap kepemilikan perusahaan diumumkan pada 2016.

Global Witness dan organisasi lain juga mendorong EITI memastikan bahwa segudang data baru itu dibikin lebih mudah terbaca agar merangsang analisis dan pemeriksaan dari kelompok pengawas publik.

Kepentingan ganda
Sementara itu, hal menarik muncul ke permukaan di antara event di Sydney dan Washington. Di satu sisi, beberapa perusahaan minyak terbesar di dunia –termasuk ExxonMobil, Shell, dan Chevron– duduk dalam dewan pengurus EITI dan karenanya disimpulkan mereka setuju dengan aturan tranparansi terbaru tersebut.

Di sisi lain, saat ini mereka menjadi bagian dari gugatan hukum yang menolak Bagian 1504 dari Dodd-Frank Act, legislasi yang serupa dengan standard terbaru EITI.

"Perlindungan hukum penting bagi investor untuk menilai risiko sebuah perusahaan dan bagi masyarakat di negara-negara kaya sumberdaya alam untuk meminta tanggungjawab pemerintah," Ian Gary, manajer kebijakan senior Oxfam Amerika yang menangani program minyak, gas dan tambang, berkata dari Sydney.

"Gugatan hukum itu jelas bertentangan dengan komitmen transparansi dan dukungan industri atas pengungkapan pembayaran [lewat EITI]. Ini tak bisa diterima bahwa perusahaan minyak menerima manfaat reputasi dengan mendukung sebuah inisiatif transparansi tapi pada saat bersamaan melawan sebuah UU pengungkapan pembayaran yang sangat penting di pengadilan AS." [Carey L. Biron]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono

Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik



























01 Juni 2013

Jalan Panjang Mengakhiri Perang

Perbudakan. Kolonialisme. Aparteid. Diskriminasi gender dalam pemilihan umum. Semua itu sudah dihapuskan di banyak tempat setelah perjuangan panjang –sebagian besar di masa silam. Kini sebuah pertemuan tingkat tinggi, yang dijadwalkan bulan depan, akan membahas isu lain yang sensitif secara politis: haruskan institusi perang dihapuskan?

Ditanya apakah hal itu tidak sia-sia, Jody Williams, penerima Nobel Perdamaian 1997 dan ketua Inisiatif Nobel Perempuan, berkata kepada

IPS: "Saya pikir upaya mengakhiri perang tidaklah sia-sia."

"Saya kira kurang upaya konsisten untuk menantang pandangan bahwa perang tak bisa dihindari dan memulai pendidikan serius mengenai resolusi konflik sejak anak-anak masuk sekolah, serta tindakan yang kita semua perlu ambil untuk menciptakan budaya perdamaian dunia yang berkelanjutan," ujar Williams, yang sukses memimpin kampanye global melarang ranjau darat anti-personil.

Ditanya apakah konsep mengakhiri perang harus dimulai dari para politisi dan pengambil keputusan atau pelaku utama industri senjata global, dia berkata: "Saya kira usaha mengakhir perang harus dimulai di semua level."

Williams berkata, upaya-upaya itu harus diperluas dari mendidik anak-anak mengenai kekejaman perang –"dan tak menampilkan hal itu heroik dan patriotik"– untuk menekan para pembuat kebijakan dan keputusan agar mengubah pemikiran mereka mengenai perang sebagai solusi menyelesaikan masalah.

"Menanggulangi industri senjata secara langsung mungkin takkan berhasil dan mereka bisa kehilangan banyak," tambahnya.

Williams akan jadi salah satu peserta, bersama para diplomat, mantan pejabat senior PBB, dan aktivis antiperang, dalam sebuah pertemuan yang disponsori koalisi organisasi nonpemerintah dan Swiss, negara yang tak pernah terlibat perang sejak 1815.

Dijadwalkan berlangsung pada 6 Juni, pertemuan itu akan berfokus seputar topik "Bertekad menyelamatkan Generasi Mendatang dari Momok Perang."

Para pembicaranya antara lain Dutabesar Swiss Paul Seger, Ralph Zacklin (mantan asisten sekretaris jenderal PBB untuk urusan hukum), dan Nounou Booto Meeti (pelaksana program Centre for Peace, Security and Armed Violence Prevention).Cora Weiss, ketua The Hague Appeal for Peace, salah satu organisasi nonpemerintah yang menyokong acara, mengatakan: "Akan selalu ada perang, demikian mereka berkata, seperti banyak pula yang mengatakan akan selalu ada perbudakan, kolonialisme, dan aparteid, dan perempuan takkan pernah punya hak memilih.""Mungkin jika ada banyak perempuan di semua tingkat pengambil keputusan dan di semua level pemerintahan (berdasarkan resolusi Dewan Keamanan 1325), kita akan melihat berkurangnya kekerasan," tambahnya.

Ditanya soal pendapatnya, Siddharth Chatterjee, kepala diplomat dari Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC), berkata, "Jika dunia tak menemukan jalan keluar dari perang, maka kita mungkin akan dikalahkan takluk sebagai sebuah peradaban."Mengenai peran politisi, pembuat keputusan, dan industri senjata global dalam mencegah perang, Chatterjee mengatakan, "Hitung-hitungannya sederhana. Sekali ada tuntutan perang dihentikan, instrumen yang memasok perang juga akan berhenti."Dia bilang hal itu tak cuma jadi urusan politisi dan para pemangku keputusan. Masyarakat sipil bisa berperan penting dalam mencegah peperangan.

Rilis mengenai latar belakang pertemuan itu menekankan bahwa sejak terbentuknya PBB, masyarakat internasional belum pernah melihat sebuah konflik dengan level yang sama dengan bencana global mahadahsyat sebagaimana Perang Dunia II, yang mendorong negara-negara membentuk lembaga dunia tersebut.

"Sayangnya, bencana perang tak menghilang. Kini, hampir 70 tahun setelah penandatanganan Piagam PBB, konflik kekerasan terus berlangsung menimbulkan penderitaan tak terperi di seluruh dunia," demikian rilis pertemuan tersebut.

Krisis yang berlangsung di Suriah, misalnya, sejauh ini telah menewaskan lebih dari 70.000 jiwa, yang belum terlihat tanda-tanda akan berakhir.

Menurut data terakhir, lebih dari 1,7 trilyun dolar dihabiskan dunia untuk membeli peralatan perang, setara 2,5 persen produk domestik bruto dunia.

Sekretaris jenderal PBB Ban Ki-moon berkata dunia kini terlalu banyak senjata dan perdamaian kekurangan dana.

Ditanya mengenai keabsahan pandangan bahwa ketakutan terhadap senjata nuklir telah menciptakan perdamaian global ketimbang ancaman lain, Williams berujar: "Tidak, itu tidak valid. Anda tak dapat membuktikan sebuah ilusi."Dia menuturkan klaim itu mudah sekali dibuat karena tak ada jawabannya.

Tumbuh di bawah ancaman perang nuklir telah membayangi orang seumur hidup, tambahnya.

"Saya harus berlatih meringkuk di dalam sebuah drum di bawah meja saat sekolah dasar agar tahu bagaimana melindungi diri dari serangan nuklir. Saya sangat ketakutan. Benar-benar bukan sebuah dunia yang damai," ujarnya.

Weiss berkata sekretaris jenderal telah memimpin upaya perlucutan senjata, menyatakan bahwa perlucutan senjata nuklir khususnya "sangat penting bagi perdamaian dan keamanan global."

"Semakin sering saya menjumpai orang bicara kejahatan, kekerasan, serta pemujaan perang dan militerisasi masyarakat," ujarnya. Dia menambahkan bahwa Agenda Den Haag untuk Perdamaian dan Keadilan Abad 21 pada 1999 bertema "Perdamaian adalah Hak Asasi Manusia dan Waktunya Mengakhiri Perang." Itu didukung 10.000 orang dari lebih 100 negara.

Sifat perang telah berubah. Weiss mengatakan mengenai buku yang ditulis wartawan Jeremy Scahill, Dirty Wars, mendokumentasikan kekerasan bersenjata di separuh dunia."Selama ada bom nuklir dan senjata serupa nuklir, keamanan global terancam," kata Weiss.

"Jika kita mampu mengakhiri aparteid," katanya mengutip Uskup Desmond Tutu, "kenapa perang juga tidak?"

Chatterjeeberkata perang mengambil korban seorang tentara itu sudah jelas, tapi apa yang masyarakat berikan kepada mereka?"Apa yang saya maksud sebuah masyarakat adalah kita bukan hanya mengirim orang berperang, yang menyebabkan mereka menanggung luka permanen pada umur 22 atau 22 tahun. Kita juga tak membantu mereka kembali menjalani kehidupan sipil dengan mudah sehingga mereka dapat memiliki kesempatan untuk hidup normal?"

"Bukankah hal itu tak memengaruhi masa depan suatu negara dan penduduknya saat ratusan ribu anak muda diminta mempertaruhkan nyawa untuk menjaga perbatasan, hanya untuk mengatakan kesejahteraan mereka tidak menjadi perhatian orang-orang yang meminta pengorbanan mereka?" tanya Chatterjee, yang mengawasi misi-misi bantuan PBB di sejumlah zona pertempuran dunia. [Thalif Deen ]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono

Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik


Taufik Al Mubarak
http://jumpueng.blogspot.com

Sent from my BlackBerry®
XL, Nyambung Teruuusss...!