Oleh Tulus Abadi, anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
Di tengah kegelisahan masyarakat atas melambungnya berbagai harga bahan kebutuhan pokok dan kenaikan harga bahan bakar minyak, Pemerintah DKI Jakarta justru menyeruak dengan kebijakan yang rada ganjil: menggembok mobil. Tindakan ini dikenakan terhadap siapa saja yang memarkir “gerobak Jepang”-nya secara sembarangan. "Tidak pandang bulu, sekalipun pejabat, kalau melanggar akan saya gembok mobilnya," gertak Prijanto, wakil gubernur. Tampaknya urusan “gembokisasi” ini bukan gertak sambal. Terbukti, hari pertama dilancarkan, 128 mobil dibuat nyahok, digembok lalu ditilang. Sudah bisa diduga, terobosan ini menangguk pro-kontra, ada yang mengapresiasi, tapi tidak sedikit yang menolak dan mencibirnya. Minimnya sosialisasi dan tingkat efektivitasnya menjadi isu yang paling dominan dipersoalkan.
Namun, sejatinya inti persoalannya bukan hanya sebatas sosialisasi atau efektivitasnya. Mengapa? Tindakan menggembok mobil (dan sepeda motor) tidak bisa dengan hanya dilihat kaca mata teknis. Sekalipun disosialisasi sampai “doweer” (meminjam istilah iklan seluler), jika jantung persoalannya tidak digarap, tindakan menggembok mobil ibarat menegakkan benang basah saja. Bahkan hanya sebagai bentuk pelarian atas kegagalan manajemen pengelolaan perparkiran di Jakarta, atau setidaknya merupakan cermin buruk bagi politik pengelolaan transportasi makro. Perparkiran merupakan subsistem dari sistem besar pengelolaan transportasi. Idealnya, perparkiran merupakan bagian dari solusi dari sistem transportasi. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, tidak hanya di Jakarta, perparkiran justru menjadi benalu (part of the problem) dari sistem transportasi itu sendiri.
Ironisnya, dalam konteks Jakarta, parkir sebagai benalu justru mendapat tempat terhormat dalam ranah regulasi, khususnya via Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran di DKI Jakarta. Perda ini secara eksplisit menganut "paradigma kuno", yaitu dibolehkannya parkir di bahu jalan (on street parking). Padahal, idealnya, pengelolaan perparkiran--dalam konteks kota besar--seharusnya menganut paradigma off street parking, yaitu parkir yang dilokalisasi pada sebuah gedung atau taman parkir; bukan di bahu jalan (apa pun jenis dan kelas jalan). Sebab, ketika on street parking masih diakomodasi dalam sebuah regulasi; efeknya jelas, mengurangi fungsi utama jalan. Jalan dibuat bukan untuk parkir (apalagi untuk pasar!), melainkan untuk sarana mobilitas pengguna jalan. Apalagi jumlah ruas jalan di Jakarta masih amat minim, hanya 8 persen dari total luas wilayah Jakarta. Lihatlah luas ruas jalan di Singapura, yang sudah mencapai titik ideal, yaitu 15 persen dari total luas wilayahnya. Jika luas ruas jalan yang masih amat minimalis ini masih juga digerogoti untuk parkir--baik liar maupun bahkan legal--oh, betapa besar kerugian sosial-ekonomi yang terjadi.
Jadi, jika merujuk pada Perda Nomor 5 Tahun 1999, sejatinya tidak ada yang salah dengan parkir di pinggir/bahu jalan. Yang salah justru tindakan penggembokan itu! Namun, dalam konteks manajemen transportasi, apa yang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta bisa dipahami, malah sebenarnya terlambat. Di belahan kota lain, yang manajemen transportasinya lebih beradab (tertata), termasuk di Bogota-Kolombia, tindakan semacam itu sudah lazim dilakukan. Artinya, jika pemerintah DKI Jakarta serius ingin mengurangi tingkat “barbarian” Kota Jakarta, tindakan yang dilakukan jangan hanya pada level pinggiran (menggembok mobil itu mah ecek-ecek).
Bongkar ulang
Secara substansial, Perda Nomor 5 Tahun 1999 mendesak untuk dibongkar ulang. Sebenarnya, sejak 2005--saat gubernurnya masih Bang Yos--telah dijanjikan agar perda ini direvisi. Selain tidak ideal lagi untuk mengelola perparkiran, perda ini tidak ramah terhadap hak-hak konsumen. Bahkan secara diametral bertentangan vis a vis dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Salah satu pasal klasik yang dianut Perda Nomor 5 Tahun 1999 adalah bahwa setiap kerusakan dan atau kehilangan barang dan atau kendaraan selama parkir menjadi tanggung jawab konsumen sendiri (gendheng tenan! ). Pencantuman "klausul baku" semacam ini adalah batal demi hukum.
Basis ideologi pengelolaan perparkiran adalah off street parking, bukan on street parking. Maka perda ini harus secara tegas mengatur bahwa setiap tempat publik wajib mempunyai area perparkiran. Sebab, faktanya, kini tidak sedikit tempat publik--termasuk milik pemerintah--yang tidak mempunyai fasilitas parking area.
Audit tempat publik
Pemerintah DKI Jakarta seharusnya juga proaktif melakukan audit ulang terhadap gedung perkantoran, mal, pusat belanja, hotel, restoran, rumah sakit, dan tempat publik lain, apakah mereka punya fasilitas perparkiran atau tidak. Kalaupun punya, apakah cukup memadai jika dibandingkan dengan jumlah karyawan atau konsumen yang menyambangi tempat publik tersebut. Contohlah Jepang, setiap warga yang ingin memiliki mobil harus mampu menunjukkan via foto bahwa di rumahnya ada fasilitas garasi. Petugas kepolisian pun akan melakukan cek ulang terhadap fasilitas yang ditunjukkan via foto itu. Jika tidak terbukti, jangan bermimpi bisa memboyong mobil ke rumahnya. Bandingkan dengan perilaku warga Jakarta, yang gemar menjadikan jalan raya sebagai garasi.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun harus berani memelopori pembangunan gedung yang secara khusus diperuntukkan sebagai area parkir. Penulis pernah mendiskusikan hal ini dengan pihak swasta (Asosiasi Pusat Belanja di Indonesia), tapi mereka keberatan karena, secara ekonomi, berapa pun tarif parkir yang dikenakan tidak akan mampu menutup biaya operasi gedung parkir tersebut. Padahal secara fungsional, parking area--baik berupa gedung maupun taman parkir--adalah fasilitas umum yang harus disediakan oleh pengelola gedung. Jangan mendirikan gedung jika tidak mampu menyediakan parking area yang memadai.
Perombakan pengelolaan perparkiran di Jakarta juga harus menyentuh aspek infrastruktur teknologi yang digunakan. Hal ini penting, karena faktanya fulus yang diraih oleh Badan Pengelola Perparkiran selalu tekor. Diduga karena tingkat kebocoran yang amat signifikan. Salah satu cara untuk menekan potensi kebocoran itu adalah dengan teknologi (online). Di Sydney, Australia, sebagai contoh, ketika konsumen memarkir kendaraannya, mereka cukup “diawasi” oleh sebuah mesin yang menggunakan sistem online. Hebatnya, selain dengan uang cash, transaksi pembayarannya pun bisa dilakukan dengan kartu kredit, bukan dengan pulsa telepon seluler!
Kesimpulan
Dari sisi manajemen transportasi, melakukan penggembokan (bahkan derek) bagi kendaraan yang melanggar peruntukan jalan adalah tindakan yang bisa ditoleransi. Namun, dalam konteks empiris, tindakan tersebut tidak fair. Sebab, pokok permasalahan perparkiran di Jakarta bukan terletak pada faktor teknis (jadi tidak bisa main gembok), melainkan pada manajemen pengelolaannya. Sungguh ironis jika pertumbuhan volume kendaraan bermotor di Jakarta yang begitu tinggi tidak dibarengi dengan fasilitas parking area yang memadai. Salah satu solusinya adalah mewajibkan pengelola tempat publik menyediakan parking area secara memadai, relevan dengan jumlah penghuni gedung dan atau jumlah pengunjung tempat tersebut. Untuk mewujudkan itu, tidak ada jalan lain, pemerintah Jakarta mesti membongkar ulang manajemen pengelolaan perparkirannya, baik pada tataran regulasi maupun kebijakan makro di bidang transportasi. Jika tidak, bisa ditebak, tindakan menggembok mobil, selain tidak akan efektif, usianya pun hanya seumur jagung. *
Sumber: Koran Tempo edisi Jum’at, 09 Mei 2008
Rubrik: Opini