13 November 2008

Tirulah Teknologi Kampanye Obama

Franklin Roosevelt menggunakan teknologi radio, John Kennedy melalui televisi, dan Barack Obama memanfaatkan internet untuk menggalang massa. Langkah ini bisa ditiru di Indonesia apalagi regulasi kampanye online dan SMS segera disahkan.

Regulasi kegiatan kampanye secara online yang sifatnya lintas sektoral, saat ini sedang dibahas Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Menteri Komunikasi dan Informasi Mohammad Nuh mengatakan dengan regulasi itu kampanye melalui media internet dan SMS menjadi legal sebagaimana media lain, seperti surat kabar atau majalah.

Fokus dalam menyusun regulasi itu hanya pada poin-poin yang dilarang saja. Kecuali yang dilarang, semua kegiatan kampanye secara online boleh dilakukan. Aturan kampanye yang diatur menyangkut larangan melakukan black campaign.

Sebelum akhir tahun, regulasi kampanye melalui media internet dan SMS sudah selesai. Regulasi dikebut karena tahun depan kegiatan kampanye sudah berlangsung, meski saat ini juga sudah dimulai.

Calon presiden Indonesia tampaknya tidak boleh menafikkan kekuatan internet untuk menarik pendukung. Obama secara dramatis meraih sukses memanfatkan media online untuk mengorganisir, menggerakkan dan mengumpulkan jutaan dolar dana kampanyenya.

Lebih dari 3 juta donor dengan sukarela menyediakan uangnya untuk mendukung kampanye Obama. Pasukan sukarelanya yang mencapai lebih dari satu juta orang, juga secara serentak menelpon pemilih saat hari H pemungutan suara.

Saat pemilihan berlangsung, lebih dari lima juta user mengakses pidato Obama melalui YouTube. Obama juga menggunakan media SMS untuk mengingatkan jutaan pemilih baru, kapan dan kemana bisa melakukan pencoblosan.

Setahun lalu, setelah mengunjungi kantor Google di Mountain View, Obama mengatakan setelah memanfaatkan teknologi untuk kampanye, ia yakin akan berhasil menjalankan pemerintahan. Ia mengatakan perlu perangkat baru untuk menjalankan pemerintahan yaitu internet.

"Kita memiliki cara komunikasi abad 21, bicara langsung ke masyarakat Amerika. Itu akan membuat saya bisa berinteraksi dengan masyarakat secara langsung dalam upaya meningkatkan demokrasi dan memperkuat pemerintahan,”

Obama juga bersumpah untuk lebih transparan di pemerintahannya. Dia bahkan menjadi sponsor pendukung "Google for Government" yang fungsinya untuk membuat database (usaspending.gov) untuk menelusuri belanja keuangan negara. Obama juga menunjuk chief technology officer untuk mengintegrasikan teknologi ke seluruh aspek kehidupan.

Obama bisa jadi akan menggantikan pidato kepresidenan tiap hari Sabtu lewat radio menjadi pidato melalui YouTube yang bisa diakses secara global. Pidato ini juga diterjemahkan dalam banyak bahasa.

Namun masih ada pertanyaan bagaimana pemerintahan Obama menjaga pasukannya dan pendukungnya untuk tetap terorganissir dan tidak terlupakan? Juga bagaimana jutaan sukarelawan Obama yang mendukung kampanyenya terlibat dalam pengambilan kebijakan dan pembuatan undang-undang yang merepotkan?

Pemerintahan Obama bisa saja membuat jaringan yang bisa berinteraksi dengan gedung putih dan tetap mempertahankan barackobama.com. Saat masa kampanye, Obama pernah mendapat cercaan dari pendukungnya karena mendukung penyadapan.

Hampir 30 ribu pendukungnya membentuk oposisi yang melawan keputusan itu, namun Obama dan pembantunya bertindak gesit dengan membuka saluran online untuk mendiskusikan masalah itu.

sumber: inilah.com

20 Oktober 2008

Teungku Hasan di Tiro dan Pemikirannya

Minggu, 19 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Oleh Maruli Tobing

Baru beberapa tahun kemerdekaan diproklamasikan, perang saudara melanda Indonesia. Pemimpin tertinggi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, SM Kartosoewirjo, menolak mengakui keberadaan RI. Sementara Soekarno menuding Kartosoewirjo membentuk negara dalam negara.


Atas perintah PM Ali Sastroamidjojo yang nasionalis sekuler, tahun 1954 angkatan udara mulai melancarkan pengeboman secara membabi buta atas desa-desa yang dikuasai Tentara Islam Indonesia (TII). Pasukan dari Pulau Jawa kemudian diterjunkan dari udara dan membakari rumah-rumah penduduk.

Ribuan penduduk tewas dan ribuan lainnya cedera. Isak tangis terdengar di sana-sini. Pada saat itulah seorang mahasiswa Indonesia asal Aceh yang belajar ilmu hukum internasional di University of Colombia (AS) dan bekerja sebagai staf perwakilan Indonesia di PBB, New York, mengirim surat kepada PM Ali Sastroamidjojo.

New York, 1 September 1954 Kepada Tuan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo Jakarta Dengan hormat,

Sampai hari ini sudah lebih setahun lamanya Tuan memegang kendali pemerintahan atas tanah air dan bangsa kita. … Tuan tidak mempergunakan kekuasaan yang telah diletakkan di tangan Tuan itu untuk membawa kemakmuran, ketertiban, keamanan, keadilan dan persatuan di kalangan bangsa Indonesia. Sebaliknya Tuan telah dan sedang terus menyeret bangsa Indonesia ke lembah keruntuhan ekonomi dan politik, kemelaratan, perpecahan, dan perang saudara.

Belum pernah selama dunia berkembang, tidak walaupun di masa penjajahan, rakyat Indonesia dipaksa bunuh membunuh antara sesama saudaranya secara yang begitu meluas sekali sebagaimana sekarang sedang Tuan paksakan di Aceh, di Jawa Barat, di Jawa Tengah, di Sulawesi Selatan, di Sulawesi Tengah dan Kalimantan.

...........................

Dan Tuan mengatakan bahwa Tuan telah memperbuat semua ini atas nama persatuan nasional dan patriotisme. Rasanya tidak ada suatu contoh yang lebih tepat dari pepatah yang mengatakan bahwa patriotisme itu adalah tempat perlindungan yang terakhir bagi seorang penjahat.

Sampai hari ini sembilan tahun sesudah tercapainya kemerdekaan bangsa, sebagian besar bumi Indonesia masih terus digenangi darah dan air mata… yang kesemuanya terjadi karena Tuan ingin melakukan pembunuhan terhadap lawan-lawan politik Tuan. Seluruh rakyat Indonesia menghendaki penghentian pertumpahan darah yang maha kejam ini....

Persoalan yang dihadapi Indonesia bukan tidak bisa dipecahkan, tetapi Tuanlah yang mencoba membuatnya menjadi sukar. Sebenarnya jika Tuan mengambil keputusan buat menyelesaikan pertikaian politik ini dengan jalan semestinya, yakni perundingan, maka besok hari juga keamanan dan ketenteraman akan meliputi seluruh tanah air kita.

Oleh karena itu, demi kepentingan rakyat Indonesia, saya menganjurkan Tuan mengambil tindakan berikut:

1. Hentikan agresi terhadap rakyat Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan.

2. Lepaskan semua tawanan-tawanan politik dari Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan.

3. Berunding dengan Teungku Muhammad Daud Beureuh, SM Kartosoewirjo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar.

Jika sampai tanggal 20 September 1954, anjuran-anjuran ke arah penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian Tuan, …. saya dan putra-putri Indonesia yang setia, akan mengambil tindakan-tindakan.....

Saya

Hasan Muhammad di Tiro

Saat itu Hasan di Tiro bukanlah sosok yang dikenal di kalangan pemimpin Indonesia. Tadinya ia hanyalah seorang mahasiswa hukum di Universitas Islam Yogyakarta, yang memperoleh beasiswa melanjutkan pendidikan di AS, tahun 1950.

Pada bagian akhir suratnya, pemuda Hasan yang lahir tahun 1925 di Desa Tanjong Bungong, Kecamatan Kuta Bakti, Kabupaten Pidie (NAD), mengancam akan mengobarkan kampanye internasional untuk membeberkan kebrutalan tersebut, dan ”kami akan mengusahakan bantuan moral dan materiel bagi Republik Islam Indonesia dalam perjuangannya menghapus rezim teroris Indonesia.”

Bangsa yang semu

Hasan Tiro memberi batas waktu bagi PM Ali untuk menghentikan agresi militernya selambat-lambatnya 20 September 1954. Pemerintah Indonesia menjawab dengan mengultimatum Hasan Tiro kembali ke Indonesia selambat-lambatnya tanggal yang sama.

Keduanya ternyata tidak memenuhi batas waktu yang ditetapkan. Hasan Tiro segera menyatakan dirinya sebagai duta keliling dan wakil tetap NII di AS serta PBB. Sementara Pemerintah RI mengambil tindakan dengan membatalkan paspor Hasan Tiro dan meminta AS mengusirnya.

Pihak Imigrasi AS di New York sempat menahan Hasan Tiro. Ia dibebaskan dengan uang jaminan 500 dolar AS. Belakangan, Pemerintah AS memberinya izin tinggal dan kewarganegaraan.

Sejak itu Hasan Tiro aktif berkampanye di forum-forum internasional. Mendesak negara-negara Islam agar memboikot Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung. Alasannya, Pemerintah RI telah membunuh para ulama di Aceh, Jabar, Jateng, Sulsel, Sulteng, dan Kalsel. Hasan Tiro juga membuat laporan ke PBB.

Perwakilan Indonesia di PBB membantahnya dan menyebut Republik Islam Indonesia yang diwakili Hasan Tiro hanya sebuah imajinasi. Republik tersebut belum pernah ada, kecuali gerombolan bersenjata yang menimbulkan gangguan keamanan.

Tahun 1957, Hasan Tiro menulis buku, Demokrasi untuk Indonesia, dalam bahasa Melayu dan Inggris. Buku tersebut mengupas konsep kebangsaan dan mengkritik pemahaman Bung Karno mengenai bangsa, demokrasi, dan Pancasila.

Menurut Hasan Tiro, Indonesia adalah nama yang muncul pada abad XIX. Jauh sebelumnya di Nusantara sudah lahir kerajaan-kerajaan berdaulat. Tetapi, Soekarno menganggap apa yang ada dalam angan-angannya mengenai suatu bangsa bernama Indonesia adalah kenyataan.

Maka bukan hal mengejutkan jika Pemerintah RI begitu gampangnya melakukan bumi hangus. Bahkan tidak ada orang yang peduli. Padahal jika bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang nyata, peristiwa ini akan membangkitkan solidaritas. Lagi pula tidak ada pemerintah di dunia ini yang tega membantai bangsanya sendiri, kecuali terhadap bangsa lain.

Ironisnya, Soekarno mengira penderitaan yang sama di bawah penjajahan kolonial dapat mengikat berbagai suku bangsa menjadi suatu bangsa yang bersatu. Ia lupa bahwa kolonial Belanda menguasai luar Jawa baru pada abad XIX. Sementara Jawa dijajah belanda pada abad XVII. Dengan sendirinya, derajat penderitaannya juga berbeda.

Menurut Hasan Tiro, pemikiran Soekarno mewakili apa yang disebut sinkretisme Jawa. Salah satu produknya adalah Pancasila, yang diklaim Soekarno digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Hasan Tiro berkesimpulan, satu-satunya yang bisa mengikat penduduk Nusantara dan melahirkan rasa kebersamaan sebagai suatu bangsa adalah agama Islam. Agama yang dianut mayoritas penduduk sejak ratusan tahun silam.

Membangun basis gerilya

Dalam perjalanan waktu, pemikiran Hasan Tiro ikut mengalami perubahan. Ia kecewa setelah berakhirnya perlawanan DI/TII. Para pemimpin DI/TII lebih banyak memilih menyerah ketimbang memperjuangkan cita-citanya sampai titik darah terakhir.

Ia kemudian membandingkan perjuangan bersenjata di berbagai negara dan menyimpulkan, stamina separatisme ternyata jauh lebih kuat ketimbang sekadar mengganti ideologi negara. Secara historis dan kultural hal ini terbukti dalam perlawanan rakyat Aceh terhadap kekuasaan kolonial Belanda.

Sosok Hasan Tiro sendiri tahun 1970-an berubah menjadi pengusaha sukses di New York, AS. Hubungannya yang dekat dengan pemimpin Timur Tengah ikut memperlancar bisnisnya. Ia pernah menjadi penasihat Raja Faisal dari Arab Saudi dalam konferensi Islam internasional, tahun 1974. Berkat hubungannya dengan Khadafy, pemimpin Libya, ia dapat mendatangkan pemuda Aceh mengikuti latihan militer di negara tersebut.

Pada usia 51 tahun, Hasan Tiro akhirnya memutuskan kembali ke Aceh untuk mengawali suatu bentuk perjuangan baru, yakni Aceh merdeka. Dalam bukunya Price of Freedom: Unfinished Diary of Hasan Di Tiro (1984), ia menulis, dalam usia seperti ini sungguh tidak mudah meninggalkan bisnis yang sukses, kemewahan New York, serta anak dan istri yang cantik. Apalagi harus bergerilya di hutan belantara.

Hasan Tiro akhirnya berangkat ke Malaysia dan menyeberang Selat Malaka dengan menumpang perahu nelayan. Dengan berbekal tiga pistol dan dua senjata berburu, doublelope, Hasan Tiro bersama belasan orang membangun basis gerilya di kawasan hutan gunung Halimun.

Tokoh masyarakat dan ulama datang silih berganti dan menanyakan, mana senjatanya? Hasan Tiro menjawab, senjata bukan hal segalanya. Pada masa lalu banyak senjata peninggalan Jepang, tetapi tidak membawa hasil apa-apa. Hal yang lebih penting dari senjata adalah membangkitkan kesadaran melalui pendidikan dan propaganda.

Hasan Tiro mendeklarasikan kembali kemerdekaan Aceh, 4 Desember 1976, serta mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai bentuk pemerintahan darurat. Deklarasi ini disebarluaskan ke berbagai media internasional.

Akibatnya, rezim Soeharto murka dan mengirim ribuan algojo ke Aceh. Banjir darah kembali terjadi. Tetapi kali ini bersinergi dengan cita-cita perjuangan Aceh merdeka. Dengan kata lain, kebiadaban tersebut membuktikan bahwa mereka ditindas oleh kolonial Indonesia-Jawa. Maka perlawanan justru makin marak dari tahun ke tahun.

Hasan Tiro sendiri akhirnya tertembak dalam suatu pernyergapan TNI, tahun 1979. Pada tahun itu juga ia meninggalkan Aceh melalui jalur laut. Menurut Zakaria Saman, saat itu kaki Hasan Tiro keserempet peluru. Tetapi TNI mengumumkan ia tewas tertembak dan pengikutnya sempat melarikan mayatnya. Rezim Orde Baru beberapa kali mengumumkan Hasan Tiro meninggal.

Sumber: Kompas

Wali Nanggroe, Sang Pemimpin

Minggu, 19 Oktober 2008 | 01:37 WIB

Tanggal 11 September pagi, puluhan ribu manusia membanjiri Masjid Raya Banda Aceh hingga membeludak ke jalanan. Sebagian besar dari mereka datang sehari sebelumnya dari berbagai pelosok dengan menumpang truk, kendaraan pribadi, atau perahu nelayan.


Hari itu merupakan peristiwa luar biasa. Inilah kali pertama mereka akan melihat langsung Wali Nanggro (wali negara, sebutan bagi HasanTiro) yang akan tiba dari pengasingan selama 32 tahun.

Pria berusia 83 tahun ini adalah pendiri dan pemimpin tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang melancarkan perjuangan bersenjata selama 29 tahun. Selama periode itu lebih kurang 15.000 rakyat Aceh tewas bersimbah darah. Selama itu pula empat Presiden Indonesia gagal memadamkan perlawanan ini dengan kekuatan militer.

”Kami mau merdeka, bukan berunding,” kata Hasan Tiro pada masa lalu. Maka sebelum menyaksikan sang Wali menginjakkan kakinya di bumi Aceh, sebagian pengikutnya meragukan perdamaian. Bahkan tidak sedikit masih menyimpan senjata api.

Komite Peralihan Aceh (KPA), organisasi yang menampung para mantan kombatan, berulang kali menyatakan kepulangan Hasan Tiro hanya untuk melepas rindu kampung halamannya. Tetapi, di balik itu kehadiran Hasan Tiro merupakan bukti sejelas-jelasnya bahwa perdamaian itu niscaya.

Atau seperti dikemukakan banyak orang, apa yang telah diputuskan wali tidak bisa ditawar-tawar lagi, kecuali oleh keputusannya sendiri. Di luar itu pilihannya hanya dua, pengkhianat atau ikut wali.

Itulah sosok Hasan Tiro, cicit pahlawan nasional Teungku Chik di Tiro, yang sangat dihormati rakyat Aceh. Dalam perang Aceh melawan kolonial Belanda, empat generasi keluarga Chik di Tiro hampir semuanya tewas. Kecuali wanita dan bayi. Ibu Hasan Tiro, cucu Chik di Tiro, salah satu di antara mereka yang selamat. Rakyat Aceh percaya, dalam tubuh Hasan Tiro mengalir darah biru keluarga Tiro.

Tentang Teungku Hasan di Tiro

Nama: Hasan Muhammad di Tiro
Lahir: 25 September 1925 di Desa Tanjong Bungong, Pidie (Aceh). Anak kedua dari pasangan Teungku Muhammad Hasan dengan Pocut Fatimah.
Pendidikan:
- Madrasah Blang Paseh di bawah asuhan Daud Beureueh - Normal School di Bireuen
- Atas rekomendasi Daud Bereueh, melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta dan diterima di Fakultas Hukum UII. Sembari kuliah, ia bekerja sebagai staf PM Syafruddin Prawiranegara (1949-1951).
- Atas rekomendasi Syafruddin, Hasan memperoleh beasiswa Colombo Plan. Ia melanjutkan pendidikan di Colombia University dan memperoleh gelar doktor ilmu hukum internasional. Sembari kuliah, Tiro bekerja di perwakilan Indonesia di PBB. (1951-1954)
- Menlu NII-Aceh dan perwakilan tetap NII-Aceh di PBB (1954 - 1963) Kembali ke Aceh 30 Oktober 1976 - Mendeklarasikan Aceh merdeka dan membentuk GAM, 4 Desember 1997.
- Tertembak di kawasan hutan Gunung Halimun, 1979. Pada tahun itu juga meninggalkan Aceh melalui jalur laut. Pulang ke Aceh 11 September 2008. Hasan Tiro menikah dengan wanita AS dan dikaruniai seorang putra, Karim Hasan di Tiro, dan beberapa cucu.

sumber: Kompas

Hasan Tiro, Nietzsche, dan Aceh

Minggu, 19 Oktober 2008 | 02:12 WIB

Oleh Nezar Patria

Hasan Tiro dalam keadaan galau. Dia berada pada situasi batas eksistensial. Terpaku pada satu rak di toko buku di Fifth Avenue, New York, matanya tak lepas mengeja karya filsuf eksistensialis Jerman, Friedrich Nietzsche. Dia terbenam dalam aporisme Thus Spoke Zarathustra. Saat itu, September 1976. Beberapa hari lagi Hasan harus membuat keputusan penting: ke Aceh menyalakan pemberontakan bersenjata atau tetap hidup di New York sebagai pengusaha.


Dia akhirnya memilih yang pertama. Tiga bulan kemudian, dari hutan belantara Pidie, Hasan Tiro menyerukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sejak itu, di Aceh, bedil meletus lagi. Padahal daerah itu belum lama pulih dari pergolakan Darul Islam Daud Beureu’eh. Berbeda dari Beureu’eh yang mendekap Islam, Hasan menyodorkan gagasan baru: nasionalisme Aceh. Dia agak berhasil, setelah memperluas basis pendukungnya: kaum intelektual dan pemuda.

Adakah perjumpaannya dengan Nietzsche memantik pemberontakan itu? ”Kata-kata (Nietzsche) itu seperti petir melibas semua keraguanku,” tulisnya di catatan harian. Lalu selama tiga tahun dia bergerilya keluar masuk hutan. Terdesak operasi militer rezim Orde Baru, Hasan kabur ke luar negeri pada 1979. Dia sempat singgah di sejumlah negara, dan akhirnya menetap di Stockholm, Swedia.

Catatan masa gerilya itu diterbitkan di London pada 1981. Judulnya The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro. Membaca stensil 238 halaman itu, kita seperti menemukan eksistensialisme bukan lagi sekadar gagasan, tapi aksi politik. Dari catatan harian itu, entah soal taktik gerilya, negasi atas sejarah Indonesia, sampai kontemplasi hidup dan kematian, terajut dalam satu garis merah: upaya rekonstruksi sejarah. Dan, yang menarik, Hasan mengolah paragraf dari Nietzsche dalam tafsirnya atas momen kesejarahan Aceh.

Tampaknya, penting menjenguk kembali catatannya itu kini. Lelaki 83 tahun itu pulang ke tanah kelahirannya, sepekan setelah Idul Fitri lalu. Kali ini dia kembali tanpa letusan senjata. Aceh sudah tiga tahun damai. Hasan pun disambut seperti pahlawan pulang dari pengasingan. Anak-anak muda—mungkin belum lahir saat dia mencetuskan gerakan perlawanan itu—pekan lalu berdiri menyambutnya di sepanjang jalan. Mereka mengibarkan bendera Partai Aceh, satu partai lokal milik para bekas kombatan. Partai itu kini legal dan berhak ikut pemilu.

Di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Hasan Tiro disambut puluhan ribu orang. Dia dipanggil ”Wali” karena menabalkan dirinya penerus ”Wali Nanggroe”, atau ”penjaga negeri”; satu takhta darurat bentukan Kesultanan Aceh masa perang Belanda. Diceritakan, Wali terakhir adalah Teungku Ma’at di Tiro, anak Teungku Chik Muhammad Saman di Tiro, yang kita kenang sebagai pahlawan nasional itu. Ma’at tewas di Alue Bhot, Pidie, setelah bertempur dengan Belanda, 3 Desember 1911. Dia adalah paman Hasan Tiro dari garis ibu.

Dari titik inilah, perjumpaannya dengan Nietzsche lalu menjadi pergulatan penting. Sejak membaca Thus Spoke Zarathustra dan sejumlah karya Nietzsche lain, Hasan seperti mendapat kekuatan baru. Dia sadar tubuhnya mengalir darah biru pejuang. Dalam pembuka catatan hariannya, dia mengutip satu bagian dari Zarathustra , petikan pada bab ”On War and Warriors”: ... To you I do not recommend work but struggle./ To you I do not recommend peace but victory./ Let your work be a struggle./ Let your peace be a victory!

Agaknya ada dua momen penting, yang terangkum dalam catatan harian itu. Pertama, manakala Hasan menangkap apa yang disebutnya ”momen kebenaran”; menemukan kembali patriotisme Aceh yang hilang. Itu terjadi pada 1968, saat dia membolak-balik arsip The New York Times yang terbit sepanjang Mei 1873, saat Belanda menyerang Aceh. Editorial koran itu mengakui kapasitas Kesultanan Aceh yang garang bertempur dengan Belanda.

Bagi Hasan, ini satu bukti Aceh adalah ”old state”, negara tua berdaulat sejak lama. Semua itu ditulisnya dalam pamflet Atjeh Bak Mata Donya (Aceh di Mata Dunia), diterbitkan pada 1968 di New York. Dia pun menyimpulkan, energi perlawanan masa itu menyala karena kuatnya patriotisme dari generasi Aceh. ”Mereka tahu kapan harus mati terhormat,” tulisnya lagi. Dia menyesalkan generasi Aceh setelah 1945, yang menurutnya menderita ”ketaksadaran sejarah”.

Momen kedua adalah ketika dia, dengan semua bagasi masa lalunya itu, bertumbukan langsung pikiran Nietzsche di rak toko buku itu. ”Aneh sekali, selama aku belajar di kampus, mungkin aku keliru memahami Nietzsche yang sebenarnya,” tulis Hasan. Dia memang pernah mengambil program doktor di Universitas Columbia. ”Aku yakin sudah membacanya dalam begitu banyak teori dan filsafat politik. Tapi mestinya itu hasil tafsir dari orang lain,” tulisnya. Sejak ’pertemuan’ itu, Hasan mengaku ”tak pernah lepas dari Nietzsche”.

Aceh pada masa 1970-an, dengan marginalitas ekonomi politik, adalah kenyataan lain yang menajamkan semua kegelisahan seorang Hasan Tiro, cucu dari keluarga pejuang legendaris Tiro. Sejak masa kecilnya, dia merasa sebagai orang pilihan, manakala dia risih jika tangannya kerap dicium orang-orang, yang lalu memohon agar dia tak pernah lupa pada tanah kelahiran. Pada titik ini, dia sepertinya ”menemukan” dirinya dalam satu interupsi sejarah.

Maka, membaca catatan harian itu, dapat dimengerti mengapa Hasan Tiro meletakkan dirinya sebagai pusat bagi kelanjutan sejarah Aceh kontemporer. Dia merasa terpanggil memberikan tubuh dan jiwanya kepada tanah leluhurnya. Antropolog kondang James T Siegel, dalam epilog The Rope of God, karya klasik tentang pergolakan di Aceh itu, menyebut Hasan Tiro ”terasuk” tugas sejarah, yang dianggapnya sebagai takdir itu.

Tapi, dalam catatan hariannya itu, Hasan tak langsung menggelorakan nasionalisme Aceh. Dia tak bicara imagined communities seperti apa yang kelak dibentuk di Aceh. Dia memilih patriotisme lebih dulu, sebagai modal nasionalisme. Sebetulnya, ide itu pernah disinggung dalam bukunya Demokrasi untuk Indonesia (1958). Di situ, dia mengkritik Soekarno tentang nasionalisme Indonesia. Bagi dia, bukan nasionalisme itu yang paling penting, tetapi patriotisme. Rasa cinta Tanah Air akan membuat orang mau mempertahankan diri, dan ”melibatkan pengorbanan diri sendiri sebagai kewajiban moral”.

Dari sini, nyaris 20 tahun kemudian, ide ”pengorbanan diri sendiri” itu bertemu gagasan Nietzschean tentang ”the free death”. Dia mau membangkitkan Aceh sebagai entitas politik berdaulat, seperti pada masa lalu. Hasan lantas menyeret soal politik itu ke wilayah pergulatan eksistensial: makna hidup dan mati. Dia menunjukkan, hanya ”manusia bebas” dan bukan budak bagi lainnya, bisa memilih ”bagaimana harus hidup” dan ”kapan harus mati”. Tetapi, adakah retorika Nietzschean itu menjadi aneh bagi alam pikiran orang-orang Aceh?

Mungkin, sekilas tafsir itu terdengar agak janggal. Tema kebebasan memang lebih akrab bagi mereka yang besar dalam kultur Eropa, atau pendidikan Barat. Tetapi, Hasan mencoba menafsirkannya dalam konteks keacehan, terutama Islam. Baginya, Islam memberi bekal ”kehendak berkuasa” dalam menjaga dan mempertahankan hak-hak. Dia setuju dengan ujaran Nietzsche dalam Notes (1875), yang melukiskan sosok tertinggi Muslim adalah sesuatu yang melantunkan ”kesunyian gurun, raungan jauh seekor singa, dan tatapan sangar seorang pejuang”.

Hasan Tiro mengerti bahwa Islam adalah energi bagi Aceh. Tapi, dia menyalakannya dengan cara berbeda. Hasan mengartikan jihad sebagai perjuangan untuk kebebasan. Dalam satu catatan panjangnya saat memberi makna perayaan Asyura, atau hari Hasan-Husen, yang menjadi tradisi di Aceh setiap 10 Muharam, Hasan Tiro mempertegas posisinya itu.

Dikatakan, pengorbanan Imam Husin, cucu dari Rasulullah, yang dibunuh kubu Muawiyyah dan Yazid di Karbala, adalah contoh martir sejati. Husin tahu bahwa tak ada jalan selamat baginya. Dia memilih melawan mempertahankan yang benar, dan yang adil. Bagi Hasan Tiro, arti kebebasan bergantung pada ”bebas untuk mati”. Atau dalam ujaran Nietzsche, seperti dikutip Hasan Tiro: ”… To die proudly when it is no longer possible to live proudly”. Mereka yang tak bisa menentukan kapan harus mati, kata Hasan, ”akan kehilangan kebebasannya”.

Sayangnya, kita tak menemukan lagi catatan terbarunya setelah The Price of Freedom itu. Dia pulang pada usia renta, berziarah ke makam nenek moyang, dan bersalaman dengan rakyat yang dulu takzim mencium tangannya. Setelah damai, mungkin Hasan Tiro tak lagi berada pada situasi batas eksistensial. Dia, dan Aceh, agaknya sudah melampaui perbatasan itu.

Nezar Patria, Peneliti Aceh, Alumnus the London School of Economics and Political Science (LSE).

Sumber: Kompas

08 September 2008

Advertorial Journalism Warna Baru Khasanah Jurnalistik

"Advetorial Journalism", yakni model penyiaran iklan atau "pesan sponsor" yang dikemas menjadi berita lempang (straight news), belakangan ini menjadi warna baru dalam khasanah jurnalistik.

Disebut warna baru, sehubungan penyiaran iklan dengan model seperti itu, sebelumnya, atau paling tidak dua tahun ke belakangan, tidak banyak tampil mewarnai media massa di sejumlah daerah. Namun kini, nyaris bagaikan jamur di musim hujan, kata PK Yanes Setat, praktisi jurnalistik, di Denpasar, Senin.

Ketika tampil sebagai pemakalah di depan peserta Pelatihan Jurnalistik untuk anggota Poltabes Denpasar, wartawan LKBN ANTARA itu menyebutkan, dahulu memang ada model penyiaran "pesan sponsor" sejenis, namun hal itu ditempatkan pada ruang atau kolom yang khusus mengenai iklan.

Bila tidak pada kolom iklan, penyiaran "Advetorial Journalism" lewat media massa cetak selalu diberi tanda tersendiri, baik berupa "pemagaran" dengan garis tebal maupun kode khusus sebagai siaran iklan.

"Tapi sekarang, `pesan sponsor` model itu selain telah dikemas menyerupai berita lempang, juga diletakkan pada kolom berita sejenis pada umumnya, serta tanpa dengan kode tersendiri," ucapnya.

Melihat warna baru dalam khasanah jurnalistik seperti itu, Yanes mengaku prihatin. Masalahnya, lanjut dia, perlahan, mau tidak mau, karya jurnalistik akan kehilangan roh atau "taksunya".

Dikatakan, karya jurnalistik akan kehilangan roh sehubungan "Advetorial Journalism" dalam penyiarannya, tidak selalu taat dengan kaidah jurnalistik yang berlaku dalam proses pencarian dan penyiaran berita lempang pada umumnya.

"Bagaimana bisa taat dengan kaidah jurnalistik, wong yang membuat `Advetorial Journalism" sering kali bukan jurnalis, melainkan bisa saja seorang pejabat Humas, atau lembaga tertentu yang berkepentingan dengan penyiaran model itu," katanya.

Mantan ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar itu mengungkapkan, karena bukan dibuat oleh seorang jurnalis, maka pola pencarian dan penulisan "Advetorial Jurnalism" tidak melalui proses cek dan re cek untuk mendapatkan fakta obyektif.

Tidak hanya itu, siaran yang ditulis orang yang bukan jurnalis pada media massa yang bersangkutan, senantiasa juga tidak memperhatikan azas keberimbangan (cover both sides) bagi suatu tulisan yang dianggap menyerang atau merugikan pihak lain.

"Dengan kata lain, apapun `pesan sponsor` yang dituangkan oleh pihak yang berkepentingan dengan penyiaran `Adverorial Journalism`, itu saja yang tampaknya termuat dalam media massa," katanya,

Celakanya nanti, lanjut dia, kalau ada pihak lain yang merasa dirugikan atau dibohongi oleh sistem penyiaran model itu, siapa yang harus bertanggung jawab. "Apakah pengelola media massa, atau si pembuat advetorial ?. Tidak jelas," ujar Yanes yang kerap tampil sebagai pemakalah dalam pelatihan serupa di sejumlah daerah.

Mengingat itu, Yanes mengharapkan perlunya diberi tanda atau kode tersendiri dalam penyiaran "Advetorial Journalism" di media massa, sehingga nantinya tidak "menggerogoti" roh berita yang pola pencarian dan penulisannya dengan penekanan kaidah jurnalistik.

Pelatihan dua hari yang dibuka Kapoltabes Denpasar Kombes Pol Drs Gede Alit Widana SH MSi itu, diikuti sekitar 50 anggota di jajaran Poltabes Denpasar.

sumber: antara.co.id (080908)

16 Mei 2008

MAS ACHMAD SANTOSA:
Ada Pasal Monster

MELEWATI proses sembilan tahun, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik akhirnya disahkan pekan lalu. Ketika pertama kali digagas oleh koalisi lembaga swadaya masyarakat, undangundang ini sesungguhnya didorong aspirasi agar pers dan penggiat informasi berhak mengetahui informasi dari badan publik.

Kenyataannya, di tangan wakil rakyat dan pemerintah, yang mengambil alih proses penyusunannya, muncul sejumlah pasal kontroversial. Pasal-pasal itu dinilai justru mengebiri hak publik untuk memperoleh informasi. Pekan lalu Grace S. Gandhi dari Tempo mewawancarai Mas Achmad Santosa, salah seorang penyusun draf awal, yang menyatakan kecewa atas naskah akhir undangundang tersebut.

Benarkah Anda menganggap akan ada kelompok yang diuntungkan dengan terbitnya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik?

Ya. Pasal 17 dan pasal 54 akan menguntungkan kelompok kepentingan ekonomi yang monopolistik dan oligopolistik kalau tidak ada transparansi. Sistem birokrasi dan politik itu kan menghalalkan segala cara? Ada kelompok koruptor yang mau bertahan, juga sebagian kalangan militer yang menggunakan pendekatan keamanan. Kalau undang- undang ini benar-benar terbuka dan transparan, mereka akan dirugikan.


Apa kritik utama Anda terhadap undangundang ini?

Ada paradoks yang sangat kental. Di satu sisi, ada gambaran yang baik, seperti prinsip-prinsip, asas, tujuan, dan hak buat masyarakat. Tapi, di sisi lain, ada pengecualian. Ada informasi yang tidak bisa diakses ke publik.


Misalnya?

Rencana awal penjualan atau pembelian tanah atau properti oleh badan publik termasuk yang dikecualikan. Tidak boleh diakses. Jadi, kalau media mau melakukan investigative reporting dan menemukan aliran dana dalam penjualan dan pembelian ini, wartawan tidak bisa mengakses serta menggunakan informasi itu. Menurut saya, ini kelewatan. Padahal proses pengadaan barang harus transparan. Mengungkapkan kekayaan alam Indonesia juga tidak boleh. Media atau wartawan yang melaporkan peta penambangan di hutan lindung, misalnya, bisa dipidana.


Jadi ada kriminalisasi terhadap pers?

Ya. Ini kaitannya dengan pasal 54 yang saya katakan sebagai pasal monster. Pasal itu mengatakan siapa yang menguasai, mengakses, memperoleh, dan memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana disebut pasal 17 bisa dihukum pidana penjara. Padahal, untuk menentukan suatu informasi boleh diakses atau tidak, prosesnya panjang sekali. Bagaimana mau langsung dipidana, sementara prosesnya masih berjalan?


Siapa yang menentukan sebuah informasi boleh dibuka atau tidak?

Pertama, kalau ada yang meminta informasi, akan ada pejabat pengelola informasi yang menentukan informasi itu boleh dibuka atau tidak. Kalau pejabat itu menolak, pemohon bisa mengajukan keberatan ke atasan si pejabat. Kalau permintaan tetap ditolak, masalah ini masuk ke Komisi Informasi. Komisi nanti yang akan menyelesaikan kasus ini, karena fungsinya sebagai lembaga mediasi dan menjadi wasit. Kalau tidak selesai juga, bisa diajukan ke pengadilan tata usaha negara atau pengadilan negeri biasa. Kalau tidak puas juga, ke Mahkamah Agung. Bayangkan ada berapa langkah yang harus dilalui.


Media kan dibatasi tenggat? Bila proses meminta informasi panjang, kasusnya bisa lebih dulu selesai?

Betul. Maka penting supaya pasal 17 direvisi dan pasal 54 dihilangkan. Kalau tidak, semua terancam. Tidak ada itu kebebasan pers. Investigative reporting akan mati. Memorandum internal saja tidak boleh digunakan. Padahal memorandum internal suka digunakan media sebagai bukti investigasi.


Undang-undang ini bertentangan dengan Undang-Undang Pers?

Wartawan dan penggiat informasi akan ragu mengakses informasi. Di dunia, cuma Indonesia yang menggunakan pasal seperti ini. Di negara lain justru ada sanksi pidana buat mereka yang menghambat, menghalangi, dan mempersulit akses informasi. Pengecualian semestinya hanya menyangkut rahasia negara, dagang, dan pribadi. Tapi ini, rahasia negara dikaitkan sangat luas.


Pers atau masyarakat yang ingin mengetahui informasi publik bisa terancam?

Undang-undang ini lucu. Lembaga publik yang mengelola, mendokumentasikan akses informasi yang dikecualikan, ancamannya hanya kurungan dan denda yang rendah. Itu pun hukuman kurungan bisa dikompensasi dengan denda. Sebaliknya, masyarakat pengguna, termasuk wartawan dan lembaga swadaya masyarakat penggiat informasi, bisa diancam dua-tiga tahun penjara dan denda yang tinggi (Rp 10 juta).


Undang-undang ini tetap diperlukan?

Tetap perlu, karena kita membutuhkan tata kelola pemerintahan yang baik. Pemberantasan korupsi tidak mungkin jalan dengan sistem informasi yang serba tertutup.

TEMPO
Edisi. 12/XXXVII/12 - 18 Mei 2008

Pasal Monster Kebebasan Pers

Indeks kebebasan pers Indonesia meningkat. Tapi sejumlah pasal berbagai undang-undang siap menurunkannya.


BENARKAH kebebasan pers di Indonesia laksana cahaya kembang api di langit gelap? Bila merujuk indeks kebebasan pers yang dikeluarkan lembaga internasional Reporters Sans Frontieres, berkenaan dengan Hari Kebebasan Pers Sedunia pada 3 Mei, jawabannya tidak.

Dalam indeks lembaga pencatat kondisi pers dunia itu, tahun ini Indonesia naik peringkat: dari 103 tahun lalu menjadi 100. Kendati begitu, perbaikan tipis itu tak bisa bercerita banyak tentang keadaan pers Indonesia sekarang. Ada banyak alasan untuk mengatakan, bila tak ada perbaikan dari stakeholders pers Indonesia terutama pemerintah, masa terang kebebasan pers saat ini bisa segera kembali menjadi gulita.

Reporters Sans Frontieres jelas menyebut sejumlah keputusan pengadilan Indonesia yang merugikan kebebasan pers. Keputusan Mahkamah Agung menghukum Time Asia Rp 1 triliun dan memenangkan bekas pre­siden Soeharto, dalam kasus pencemaran nama baik dan re­putasi orang pertama Orde Baru itu, mendapat sorot­an tajam. Kemudian, keputusan pengadilan menghukum penjara Risang Bima Wijaya, Pemimpin Redaksi Radar Jogja, dalam kasus pencemaran nama baik, juga mencoreng kebebasan pers Indonesia.

Ancaman tidak hanya datang dari pengadilan. Sejumlah undang-undang patut disesalkan karena memuat pasal-pasal yang berpotensi mencederai kebebasan pers. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkali-kali me­ngatakan tak ada masalah dengan kebebasan pers, tapi peraturan demi peraturan yang lahir pada masa peme­rintahannya justru bertolak belakang.

Konstitusi tegas menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan. Dan Undang-Undang Pers Nomor 40/1999 dengan jelas menetapkan pers nasional tidak dikenai penyensoran, pembredelan, atau larangan penyiaran. Tapi coba lihat Undang-Undang Pemilihan Umum Nomor 10/2008.

Pasal 97 mewajibkan media massa menyediakan ha­laman dan waktu tayang yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan iklan peserta pemilu. Pasal ber­ikutnya menugasi Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers untuk mengawasinya. Pasal 99 memerinci sanksi yang bisa dijatuhkan untuk pers: mulai dari teguran, penghentian acara sementara, sampai pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran dan izin penerbitan media massa cetak.

Pasal-pasal itu jelas membingungkan. Batasan ”adil dan seimbang” bisa berbeda-beda menurut siapa yang menafsirkan. Lagi pula, media cetak Indonesia sekarang tidak lagi diharuskan memiliki surat izin penerbitan. Artinya, selain tidak memahami hak dan kewajiban pers Indonesia, penyusun undang-undang ini jelas sangat otoriter.

Ternyata Undang-Undang Kebebasan Informasi Pu­blik, yang baru disahkan pada April silam, yang seharusnya memudahkan pekerjaan wartawan, menyimpan setidak-tidaknya tiga pasal ancaman. Pasal 54 paling mengerikan karena mencantumkan pidana 2-3 tahun penjara ditambah denda bagi setiap orang yang mengakses, memperoleh, dan memberikan informasi yang dikecualikan dari pasal tentang rencana awal penjualan atau pembelian tanah serta pengungkapan kekayaan alam Indonesia. Bahkan Mas Achmad Santosa, seorang pengacara dan salah satu perumus Undang-Undang Kebebasan Informasi, menilai pasal itu sebagai ”monster” yang berpotensi melanggar hak asasi.

Masih ada Rancangan Undang-Undang Kerahasiaan Negara yang juga dipenuhi pasal ancaman. Dengan itu semua, tanpa perjuangan menolaknya, kebebasan pers memang ibarat kembang api: sebentar terang dan menawan, untuk kemudian gelap entah sampai kapan.

Majalah TEMPO
Edisi. 12/XXXVII/12 - 18 Mei 2008

15 Mei 2008

SBY-JK Bohong

Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla telah berbohong dan mengingkari janji kampanye dengan rencana menaikkan harga bahan bakar minyak. Kebohongan SBY-JK adalah:


1. Konon, tindakan menaikkan harga BBM demi menyelamatkan dana APBN. Memangnya dana APBN selama ini pro-rakyat? Dana APBN 70 persen habis untuk membayar utang luar negeri, gaji pegawai negeri sipil/pejabat 30 persen dikorupsi. Dana APBN untuk pendidikan saja sangat minim, kurang dari 20 persen.
2. Konon, Indonesia tertekan akibat kenaikan harga minyak dunia dan Indonesia kini menjadi pengimpor minyak dunia. Jelas ini kesalahan Pertamina dan Orde Baru pada 1980-an di zaman oil boom, kala produksi minyak mentah Indonesia melimpah, yang keuntungannya banyak dinikmati oleh para elite pejabat dan perusahaan asing. Toh, kini keuntungan minyak Indonesia dikuasai oleh perusahaan multinasional, semacam Exxon dan Shell.
3. Konon, pemerintah, dengan menaikkan harga BBM, akan menghemat dana APBN sampai Rp 35 triliun jika harga BBM dinaikkan sampai 30 persen, dan Rp 15 triliun akan digunakan untuk program bantuan langsung tunai.
4. Ironisnya, di saat ada beban dampak kenaikan harga BBM, seperti kenaikan harga bahan kebutuhan pokok, kenaikan tarif transportasi, dan kenaikan biaya pendidikan-kesehatan, gaji pejabat/pegawai negeri sipil akan dinaikkan 20 persen. Inikah keadilan?
5. Jelas, rencana kenaikan harga BBM didalangi oleh tim ekonomi SBY-JK yang berwatak neoliberal dan mengikuti ideologi ekonomi guru mereka, yakni para Mafia Berkeley di zaman Orba, yang membuat Indonesia terjerat utang luar negeri dan kemiskinan struktural.
6. Kenaikan harga BBM seharusnya bisa dihindari apabila korupsi bisa diberantas dan harta koruptor disita untuk negara. Atau, pejabat dari level presiden tidak korupsi dan gajinya dibuat tidak berlebihan.



Memang, kenaikan harga BBM menunjukkan pemerintah SBY-JK gagal total. Terbukti mereka menangani bencana alam dan lumpur Lapindo saja tidak mampu. SBY-JK lebih bijak jika mau belajar ke Venezuela atau Bolivia dengan program nasionalisasi migasnya!

Woro Retno Wulandari
Guru SMK Muhammadiyah Karanganyar
Desa Tegalmade RW 05 RT 06, Bekonang, Mojolaban,
Sukoharjo

koran tempo: 15 mei 08
surat pembaca

09 Mei 2008

Lebih Akrab Ketimbang Friendster

FUPEI, jejaring sosial yang menawarkan komunitas nyata, kerap mengadakan "kopi darat".

Sudah tiga tahun ini Desi Arisani, 24 tahun, jarang mengklik Friendster. "Bukanya kalau ingat saja," ujar sekretaris di salah satu badan usaha milik negara itu.

Bukan karena tak lagi suka bergaul, melainkan lantaran Desi menemukan tempat nongkrong baru yang, menurut dia, lebih asyik ketimbang situs jejaring sosial populer itu. Namanya FUPEI.

Asyiknya, FUPEI menawarkan komunitas nyata melalui aktivitas "kopi darat" dan ajang kumpul-kumpul, berbeda dengan Friendster yang cenderung hanya untuk hubungan personal. "Minimal sekali dalam sebulan," ujar Desi tentang frekuensi kumpul-kumpul tersebut.

"Kopi darat" itu diikuti 20 hingga 50 anggota. Kegiatannya bisa menonton film bareng, sahur dan buka puasa bersama, atau bakti sosial. Keakraban seperti keluarga ini tak ditemui Desi pada jejaring sosial lain yang selama ini diikutinya, seperti di Friendster, Detik Forum, atau Forum Trans7.

FUPEI sendiri adalah situs jejaring sosial asli Indonesia. Kependekan dari Friends Unity Program Especially Indonesia, jejaring sosial ini diciptakan oleh Sanny Ghaddafi, 27 tahun, seorang programmer web.

Awalnya, Sanny hanya ingin menyalurkan hobinya membuat situs web. Waktu itu, era 2004, situs jejaring sosial masih hangat-hangatnya. Selama satu bulan Sanny bersama pacarnya, Marlinda Yumin, 24 tahun, mengembangkan situs ini. Linda--panggilan Marlinda--berperan sebagai perancang web sekaligus system analyst-nya.

Selama dua tahun, FUPEI menumpang hosting gratis di sMasterWeb. Ternyata, banyak pihak yang tertarik memsanag iklan di FUPEI, misalnya Indosat, Nokia, Blitz Megaplex, serta panitia Abang-None Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara-Kepulauan Seribu.

Seiring dengan bertambahnya anggota, dua tahun belakangan ini FUPEI menyewa hosting secara komersial. Sanny mengaku biaya operasional bulanan FUPEI sekitar Rp 8 juta. Itu sudah termasuk gaji untuk dua pegawainya.

Sebagai pendatang baru, FUPEI terbilang mampu bertahan. Menurut situs Alexa.com, peringkat lalu lintas FUPEI berada di posisi 67.430 dengan jumlah pengguna Internet yang mengunjungi situs ini setara dengan 0,00137 persen dari total pengguna Internet global. Sebanyak 92,6 persen adalah pengguna yang berasal dari Indonesia.

Sanny mengklaim jumlah anggota yang pernah mendaftar ke FUPEI sebanyak 70 ribu, tapi yang aktif, berdasarkan jajak pendapat terakhir, hanya 48 persen atau sekitar 33 ribu anggota. Dalam daftar anggota di halaman situsnya terpampang 29.240 anggota.

Sanny menambahkan, selain mengikat anggota dengan sebuah komunitas lewat SouthBox dan Chatroom, FUPEI menyediakan fasilitas-fasilitas menarik, seperti pengunggahan serta pengunduhan foto, musik, dan video seperti halnya situs YouTube. "FUPEI lain bisa memberi komentar," ujar bekas mahasiswa Universitas Bina Nusantara angkatan 1999 ini.

Selain itu, ujar Sanny, FUPEI menyediakan sarana blogspot dan fitur Open ID yang bisa dipakai untuk situs-situs web lainnya. Ada pula fasilitas Official Profile bagi yang ingin berpromosi lewat blog atau link FUPEI. Disediakan pula aplikasi game dalam bentuk flash, misalnya game klasik seperti Tetris, Pacman, dan Space Invader.

Rencana ke depan, FUPEI ingin lebih dekat dengan anggotanya melalui penggunaan bahasa daerah. Tidak hanya dalam versi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dalam waktu dekat akan tersedia versi bahasa Jawa, lalu menyusul bahasa Padang, Betawi, dan Sunda. Para FuPIE-lah yang bergotong-royong menerjemahkan ke dalam berbagai bahasa daerah itu.

"Memang, berinternet akan menjadikan kita masyarakat internasional, tapi tidak ada salahnya menggali dan melestarikan budaya bangsa. Jadi kami mengawinkan sisi modern dengan tradisi," ujar Sanny.

Dalam menyambut ulang tahunnya yang keempat pada 11 Mei mendatang, FUPEI menggelar acara bazar dan gathering. Harapannya hanya satu: komunitas FUPEI tetap berkembang dengan membuat berbagai kegiatan "kopi darat". BADRIAH

Sumber: Koran Tempo, Jum’at, 09 Mei 2008
Rubrik: Suplemen

Tuan Gates

Oleh Burhan Sholihin
# Wartawan Tempo

Sepucuk undangan tergeletak di meja saya. Bentuknya biasa saja, dua lembar kertas faksimile yang agak kotor dengan noda-noda tinta. Isinya, nah ini dia, ternyata teramat penting. Pada 9 Mei 2008 Bill Gates atau William Henry Gates III, pendiri Microsoft, akan datang dan berbagi ilmu ke Jakarta.

Inilah Minggu spesial bagi para "pendekar" dunia teknologi informasi di Indonesia. Tak setiap tahun orang sehebat Bill Gates bisa mengejutkan Jakarta. Dari kegemarannya mengutak-atik komputer sejak sekolah--ia pernah mengutak-atik kode program agar bisa main komputer tanpa pembatasan waktu dan agar bisa masuk ke kelas yang banyak cewek cantiknya--Gates menjadi orang yang telah menuliskan sejarah komputer.

Dulu, komputer yang ada ukurannya sebesar lemari. Saat IBM menyodorkan komputer meja seperti ukuran sekarang, Gates menciptakan peranti lunak yang menerjemahkan perintah untuk komputer-komputer meja IBM. Peranti itu dikenal sebagai PC-DOS, yang kemudian bermetamorfosis hingga menjadi Windows Vista seperti sekarang. Berkah kepintarannya, dia menjadi orang terkaya di kolong langit ini dari 1995 hingga 2007, versi majalah Forbes. Kekayaannya US$ 58 miliar (Rp 536 triliun atau separuh dari anggaran belanja negara Indonesia!).

Kini, saat triliuner berusia 53 tahun itu datang ke Jakarta, banyak orang bertanya-tanya, apa yang membuat dia mau datang ke negeri miskin tapi sok kaya ini? Apakah dia datang dengan membawa banyak pencerahan, atau dia datang hanya karena Indonesia adalah pasar gemuk bagi Microsoft di Asia setelah Cina--dilihat dari populasi penduduknya?

Kata-kata Gates adalah petuah. Orang menunggu dia mengemukakan visinya yang jauh melompat ke depan. Lihat saja saat dia berpidato di bekas kampusnya, Harvard University. Ia bilang, asyiknya kuliah di Harvard adalah selain kuliah, mahasiswa bisa mengecap berbagai eksperimen bisnis. Itulah yang dilakukan Gates, mahasiswa yang drop out dari Harvard karena terhipnotis indahnya bisnis peranti lunak. Pada usia 17 tahun, dia telah menghasilkan duit US$ 20 ribu dolar atau Rp 184 juta.

Kalau proyek bisnisnya gagal, kata dia, orang bisa kembali ke Harvard untuk belajar. "Saya akan kembali ke kampus ini bila Microsoft gagal."

Salah satu yang tersihir oleh kata-kata itu adalah Mark Zuckerberg. Mahasiswa itu terpecut dengan pidat Gates. Lalu, dari kamar kosnya di Harvard pada 2004, dia pun menciptakan sistem pertemanan daring (online) untuk teman-teman sekampus, yakni Facebook. Situs ini tiba-tiba menjelma menjadi monster Internet yang menyaingi Friendster. Mereka menjaring 70 juta anggota aktif. Tawaran miliaran dolar pun mengalir dari Yahoo! Viacom. Akhirnya duit miliaran dolar itu mengucur dari Microsoft dan taipan Hong Kong Li Ka-shing.

Gates telah menyuntikkan semangat dan inspirasi luar biasa pada Zuckerberg sehingga pemuda 24 tahun ini menjadi triliuner termuda sejagat, versi Forbes 2008. Kekayaan Chief Executive Officer Facebook ini US$ 1,5 miliar atau Rp 13,8 triliun, cukup untuk mentraktir bakso tiga kali penduduk Jakarta.

Namun, berharap kehadiran Tuan Gates bakal menciptakan Zuckerberg-Zuckerberg baru di Indonesia dalam tempo singkat mungkin agak berlebihan. Mimpi itu terlalu di awang-awang, mengingat buruknya infrastruktur Internet di negeri ini yang dibiarkan begitu saja oleh pemerintah.

Sumber: Jum’at, 09 Mei 2008
Rubrik: Suplemen

Israel, 60 Tahun Sebagai Parasit

Oleh Faisal Assegaf, wartawan Tempo

Dapat bertahan hingga 60 tahun tentu sangat membanggakan bagi pemerintah dan rakyat Israel. Karena itu, mereka menggelar pesta besar-besaran selama sepekan untuk memperingati hari kemerdekaan tersebut. Saking istimewanya, upacara kenegaraan berlangsung pada 8 Mei, mengikuti penanggalan Yahudi, dan bukan per 15 Mei sesuai dengan kalender Masehi.

Namun, jika kita memahami bagaimana Israel bisa menjadi negara maju dan kuat, cara yang mereka tempuh sangat menjijikkan dan memalukan. Negara ini hanya mengandalkan Amerika Serikat sebagai sapi perahannya. Lewat lobi Zionis yang jahat dan kotor. Israel berhasil menggerogoti kekayaan dan kemampuan negara adi daya itu. Israel menjadi negara penerima bantuan Amerika terbesar sejak Perang Dunia Kedua. Total bantuan yang mereka peroleh hingga kini sedikitnya US$ 140 miliar atau sekitar Rp 1.260 triliun, sepertiga dari jumlah seluruh bantuan luar negeri Amerika.

Ini sungguh ironis. Bantuan terhadap Israel, yang berpendapatan per kapita di atas US$ 16 ribu, sepuluh kali lipat ketimbang untuk Etiopia, yang pendapatan per kapitanya hanya US$ 100 dan telah bertahun-tahun menderita kemiskinan. Angka di atas juga masih lebih besar daripada bantuan Amerika bagi seluruh negara Afrika ditambah Amerika Latin dan Karibia.

Hebatnya lagi, semua gratis meski di atas kertas ada yang sifatnya pinjaman. Amerika tidak pernah menagih, bahkan malah menghapus utang-utang Israel. Sebaliknya, Israel selalu menyatakan tidak pernah terlambat melunasi kewajibannya. Washington bahkan bersedia menjamin pinjaman yang diberikan.

Istimewanya lagi, Israel langsung mendapat bantuan tahunannya yang saat ini sekitar US$ 5,5 miliar di awal tahun anggaran. Berbeda dengan negara donor lain, yang memberikannya dalam empat tahap. Saking liciknya, mereka mendepositokan dana bantuan itu ke bank-bank di Amerika untuk dinikmati bunganya. Israel juga tidak perlu menjelaskan untuk apa saja bantuan itu dialokasikan.

Di bidang militer, posisi Israel juga sangat spesial. Mereka bisa membeli peralatan langsung ke pabrik senjata di Amerika, sedangkan negara lain harus lewat Pentagon. Tapi Israel lebih suka berbelanja di dalam negeri. Jika terpaksa, mereka menuntut perusahaan Amerika membeli pula barang mereka. Tidak puas sampai di situ, Israel sering menjual senjatanya ke negara-negara lain tanpa persetujuan Amerika.

Inilah bukti kekuatan lobi Zionis di Amerika. Kekuasaan mereka merentang dari sektor keuangan dan perbankan, media, pendidikan, hingga politik. Saat ini saja ada sekitar 52 organisasi pro-Israel di sana, di antaranya Komite Urusan Publik Amerika Israel (AIPAC), Komite Amerika Yahudi (AJC), dan Liga Anti Penistaan (ADL). Dua kali setahun para pelobi AIPAC mendatangi tiap anggota Kongres guna memastikan mereka tetap mendukung Israel. Tiap musim kampanye pemilihan presiden, Komite Aksi Politik (PAC) yang dibentuk AIPAC di seluruh negara bagian bisa membayar masing-masing calon anggota Kongres US$ 10 ribu.

Para pelobi Zionis ini juga menduduki posisi penting di lembaga-lembaga pemerintahan yang strategis. Profesor James Petras, yang mengarang buku berjudul The Power of Israel in USA, menyebut mereka sebagai Israeli Firsters, yakni orang-orang yang selalu menempatkan kepentingan Israel di atas segalanya. Ia mencontohkan Paul Wolfowitz, mantan Wakil Menteri Pertahanan yang kini menjabat Presiden Bank Dunia.

Alhasil, jangan heran jika Israel bisa terus menjajah Palestina. Para pejabat Amerika telah menjadi budak lobi Yahudi sehingga mereka berani melanggar aturan sendiri. Sesuai dengan Pasal 16 Undang-Undang Bantuan Luar Negeri, bantuan tidak boleh diberikan kepada negara yang terus melakukan kejahatan kemanusiaan.

Faktanya, Israel masih terus membunuh, menyiksa, dan membombardir rakyat Palestina. Bahkan setelah Konferensi Annapolis pada November tahun lalu, sedikitnya 350 orang tewas, kebanyakan warga Palestina. Jika dihitung sejak intifadah kedua meletus pada September 2000, total korban meninggal sekitar 4.400. Mereka bahkan sudah menciptakan krisis kemanusiaan dengan memblokade Jalur Gaza, yang dikuasai Hamas sejak pertengahan Juni tahun lalu.

Kekuatan lobi Yahudi telah mengubah Amerika menjadi penjara bagi mereka yang kritis terhadap Israel. Korban terbarunya adalah dua pengarang buku berjudul The Israel Lobby and US Foreign Policy, yang dipecat dari kampusnya masing-masing, yakni Profesor John Mearsheimer dari Universitas Chicago dan Profesor Stephen Walt dari Universitas Harvard.

Para warga Yahudi di Amerika kini menjadi warga kelas satu setelah Presiden George Walker Bush menandatangani Undang-Undang Pengkajian Anti-Semit Global pada Oktober 2004. Beleid ini mewajibkan Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice memberikan laporan tahunan soal tindakan anti-Semit di seluruh dunia. Ia juga harus menunjuk seorang utusan khusus yang mengepalai kantor yang mengawasi dan memerangi anti-Semit.

Aturan itu seolah menjadi pegangan bagi Israel, sehingga mereka bisa seenaknya tidak melaksanakan 200 resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait dengan konflik dengan Palestina. Amerika pun tidak perlu malu memveto draf resolusi yang merugikan Israel. Washington telah memveto 32 resolusi yang merugikan Israel sejak sekutunya itu menginvasi Libanon pada 1982. Juga tak mengherankan bila dua bakal calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Barack Husein Obama dan Hillary Rodham Clinton, mati-matian membela Israel jika diserang Iran.

Tak berlebihan rasanya komentar yang pernah dilontarkan Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad. Israel memang pantas dilenyapkan karena negara itu tak ubahnya parasit yang selalu merugikan. *

Sumber: Koran Tempo, Jum’at, 09 Mei 2008
Rubrik: Opini


Gagalnya Manajemen Perparkiran

Oleh Tulus Abadi, anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

Di tengah kegelisahan masyarakat atas melambungnya berbagai harga bahan kebutuhan pokok dan kenaikan harga bahan bakar minyak, Pemerintah DKI Jakarta justru menyeruak dengan kebijakan yang rada ganjil: menggembok mobil. Tindakan ini dikenakan terhadap siapa saja yang memarkir “gerobak Jepang”-nya secara sembarangan. "Tidak pandang bulu, sekalipun pejabat, kalau melanggar akan saya gembok mobilnya," gertak Prijanto, wakil gubernur. Tampaknya urusan “gembokisasi” ini bukan gertak sambal. Terbukti, hari pertama dilancarkan, 128 mobil dibuat nyahok, digembok lalu ditilang. Sudah bisa diduga, terobosan ini menangguk pro-kontra, ada yang mengapresiasi, tapi tidak sedikit yang menolak dan mencibirnya. Minimnya sosialisasi dan tingkat efektivitasnya menjadi isu yang paling dominan dipersoalkan.

Namun, sejatinya inti persoalannya bukan hanya sebatas sosialisasi atau efektivitasnya. Mengapa? Tindakan menggembok mobil (dan sepeda motor) tidak bisa dengan hanya dilihat kaca mata teknis. Sekalipun disosialisasi sampai “doweer” (meminjam istilah iklan seluler), jika jantung persoalannya tidak digarap, tindakan menggembok mobil ibarat menegakkan benang basah saja. Bahkan hanya sebagai bentuk pelarian atas kegagalan manajemen pengelolaan perparkiran di Jakarta, atau setidaknya merupakan cermin buruk bagi politik pengelolaan transportasi makro. Perparkiran merupakan subsistem dari sistem besar pengelolaan transportasi. Idealnya, perparkiran merupakan bagian dari solusi dari sistem transportasi. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, tidak hanya di Jakarta, perparkiran justru menjadi benalu (part of the problem) dari sistem transportasi itu sendiri.

Ironisnya, dalam konteks Jakarta, parkir sebagai benalu justru mendapat tempat terhormat dalam ranah regulasi, khususnya via Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran di DKI Jakarta. Perda ini secara eksplisit menganut "paradigma kuno", yaitu dibolehkannya parkir di bahu jalan (on street parking). Padahal, idealnya, pengelolaan perparkiran--dalam konteks kota besar--seharusnya menganut paradigma off street parking, yaitu parkir yang dilokalisasi pada sebuah gedung atau taman parkir; bukan di bahu jalan (apa pun jenis dan kelas jalan). Sebab, ketika on street parking masih diakomodasi dalam sebuah regulasi; efeknya jelas, mengurangi fungsi utama jalan. Jalan dibuat bukan untuk parkir (apalagi untuk pasar!), melainkan untuk sarana mobilitas pengguna jalan. Apalagi jumlah ruas jalan di Jakarta masih amat minim, hanya 8 persen dari total luas wilayah Jakarta. Lihatlah luas ruas jalan di Singapura, yang sudah mencapai titik ideal, yaitu 15 persen dari total luas wilayahnya. Jika luas ruas jalan yang masih amat minimalis ini masih juga digerogoti untuk parkir--baik liar maupun bahkan legal--oh, betapa besar kerugian sosial-ekonomi yang terjadi.

Jadi, jika merujuk pada Perda Nomor 5 Tahun 1999, sejatinya tidak ada yang salah dengan parkir di pinggir/bahu jalan. Yang salah justru tindakan penggembokan itu! Namun, dalam konteks manajemen transportasi, apa yang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta bisa dipahami, malah sebenarnya terlambat. Di belahan kota lain, yang manajemen transportasinya lebih beradab (tertata), termasuk di Bogota-Kolombia, tindakan semacam itu sudah lazim dilakukan. Artinya, jika pemerintah DKI Jakarta serius ingin mengurangi tingkat “barbarian” Kota Jakarta, tindakan yang dilakukan jangan hanya pada level pinggiran (menggembok mobil itu mah ecek-ecek).

Bongkar ulang

Secara substansial, Perda Nomor 5 Tahun 1999 mendesak untuk dibongkar ulang. Sebenarnya, sejak 2005--saat gubernurnya masih Bang Yos--telah dijanjikan agar perda ini direvisi. Selain tidak ideal lagi untuk mengelola perparkiran, perda ini tidak ramah terhadap hak-hak konsumen. Bahkan secara diametral bertentangan vis a vis dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Salah satu pasal klasik yang dianut Perda Nomor 5 Tahun 1999 adalah bahwa setiap kerusakan dan atau kehilangan barang dan atau kendaraan selama parkir menjadi tanggung jawab konsumen sendiri (gendheng tenan! ). Pencantuman "klausul baku" semacam ini adalah batal demi hukum.

Basis ideologi pengelolaan perparkiran adalah off street parking, bukan on street parking. Maka perda ini harus secara tegas mengatur bahwa setiap tempat publik wajib mempunyai area perparkiran. Sebab, faktanya, kini tidak sedikit tempat publik--termasuk milik pemerintah--yang tidak mempunyai fasilitas parking area.

Audit tempat publik

Pemerintah DKI Jakarta seharusnya juga proaktif melakukan audit ulang terhadap gedung perkantoran, mal, pusat belanja, hotel, restoran, rumah sakit, dan tempat publik lain, apakah mereka punya fasilitas perparkiran atau tidak. Kalaupun punya, apakah cukup memadai jika dibandingkan dengan jumlah karyawan atau konsumen yang menyambangi tempat publik tersebut. Contohlah Jepang, setiap warga yang ingin memiliki mobil harus mampu menunjukkan via foto bahwa di rumahnya ada fasilitas garasi. Petugas kepolisian pun akan melakukan cek ulang terhadap fasilitas yang ditunjukkan via foto itu. Jika tidak terbukti, jangan bermimpi bisa memboyong mobil ke rumahnya. Bandingkan dengan perilaku warga Jakarta, yang gemar menjadikan jalan raya sebagai garasi.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun harus berani memelopori pembangunan gedung yang secara khusus diperuntukkan sebagai area parkir. Penulis pernah mendiskusikan hal ini dengan pihak swasta (Asosiasi Pusat Belanja di Indonesia), tapi mereka keberatan karena, secara ekonomi, berapa pun tarif parkir yang dikenakan tidak akan mampu menutup biaya operasi gedung parkir tersebut. Padahal secara fungsional, parking area--baik berupa gedung maupun taman parkir--adalah fasilitas umum yang harus disediakan oleh pengelola gedung. Jangan mendirikan gedung jika tidak mampu menyediakan parking area yang memadai.

Perombakan pengelolaan perparkiran di Jakarta juga harus menyentuh aspek infrastruktur teknologi yang digunakan. Hal ini penting, karena faktanya fulus yang diraih oleh Badan Pengelola Perparkiran selalu tekor. Diduga karena tingkat kebocoran yang amat signifikan. Salah satu cara untuk menekan potensi kebocoran itu adalah dengan teknologi (online). Di Sydney, Australia, sebagai contoh, ketika konsumen memarkir kendaraannya, mereka cukup “diawasi” oleh sebuah mesin yang menggunakan sistem online. Hebatnya, selain dengan uang cash, transaksi pembayarannya pun bisa dilakukan dengan kartu kredit, bukan dengan pulsa telepon seluler!

Kesimpulan

Dari sisi manajemen transportasi, melakukan penggembokan (bahkan derek) bagi kendaraan yang melanggar peruntukan jalan adalah tindakan yang bisa ditoleransi. Namun, dalam konteks empiris, tindakan tersebut tidak fair. Sebab, pokok permasalahan perparkiran di Jakarta bukan terletak pada faktor teknis (jadi tidak bisa main gembok), melainkan pada manajemen pengelolaannya. Sungguh ironis jika pertumbuhan volume kendaraan bermotor di Jakarta yang begitu tinggi tidak dibarengi dengan fasilitas parking area yang memadai. Salah satu solusinya adalah mewajibkan pengelola tempat publik menyediakan parking area secara memadai, relevan dengan jumlah penghuni gedung dan atau jumlah pengunjung tempat tersebut. Untuk mewujudkan itu, tidak ada jalan lain, pemerintah Jakarta mesti membongkar ulang manajemen pengelolaan perparkirannya, baik pada tataran regulasi maupun kebijakan makro di bidang transportasi. Jika tidak, bisa ditebak, tindakan menggembok mobil, selain tidak akan efektif, usianya pun hanya seumur jagung. *



Sumber: Koran Tempo edisi Jum’at, 09 Mei 2008
Rubrik: Opini