14 Mei 2010

Dua Jam Bersama Hasan Tiro

Nasional
TEMPO NO. 13/XXIX/29 Mei - 4 Juni 2000
Pemimpin Gerakan Aceh Merdeka itu masih sehat walafiat. Selama dua jam ia menerima TEMPO di apartemennya di Stockholm, Swedia.
_________________________________________________________________
LELAKI itu merapatkan mantelnya. Ia berdiri di pintu balkon menghadapke luar apartemen. Angin dingin musim semi berembus. Lima belas derajat Celsius. Kering, menusuk seperti jarum. Di luar, laut M_laren yang menggenangi Kota Stockholm berpendar-pendar. Di atasnya, sebuah bukit warna cokelat menyembul dari permukaan air. Udara cerah. Awan meriaki biru langit.

"Lihat pemandangan itu," katanya. "Mirip sekali dengan Aceh." Lelaki itu, Hasan Muhammad di Tiro, 75 tahun, kembali merapatkan mantelnya. Rambutnya yang putih tersisir ke samping. Rautnya keras dan giginya kusam termakan usia. Sesekali ia tersenyum.

Bagi sebagian besar orang Aceh, Hasan Tiro adalah legenda. Ia jarang muncul ke depan publik. Wawancara dengan pers dilakukan terbatas hanya kepada wartawan asing. Pernah ia melakukan wawancara kepada media Indonesia, tapi itu hanya dilakukannya melalui telepon internasional.

Tiro memang sosok yang jarang tampil ke muka publik. Dalam perundingan putaran terakhir antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Indonesia dan Henry Dunant Centre di Jenewa, Swiss, 12 Mei lalu, ia memang sempat muncul. "Kami sempat bercanda," kata Duta Besar/Perwakilan Tetap Indonesia di PBB, Hassan Wirajuda, yang mewakili Indonesia dalam pertemuan itu. Tapi setelah itu ia raib. Pers yang memburunya tak menemukan jejaknya. Menurut seorang stafnya, dari Jenewa ia langsung terbang ke Zurich bersama Menteri Negara GAM Malik Mahmud.

Sebagai presiden National Liberation Front of Acheh Sumatra (NLFAS), organisasi yang lebih dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka, tak aneh jika Hasan Tiro banyak bersembunyi. Selama bertahun-tahun, terutama setelah mendeklarasikan berdirinya Negara Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976, ia adalah incaran nomor satu aparat keamanan Indonesia dengan tuduhan sebagai pemimpin pemberontakan Aceh. Keluar-masuk hutan selama tiga tahun (1976-1979), pada 29 Maret 1979 Tiro akhirnya memutuskan untuk meninggalkan tempat persembunyiannya di Aceh dan berlayar ke luar negeri. Ia sempat ke Amerika dan beberapa negara lain sebelum akhirnya menetap di Stockholm, Swedia, hingga kini.

TEMPO diterima staf GAM dan Hasan Tiro dengan tangan terbuka. Di sebuah apartemen pinggiran kota itulah kami bertemu, Sabtu dua pekan lalu. Apartemen itu tidak terlalu luas, sekitar 100 meter persegi. Di ruang tengah apartemen itu terletak seperangkat sofa warna kuning yang berhadapan dengan meja kerja Tiro yang besar. Di atas meja kerja itulah Tiro menumpuk map, kertas, dan sebuah vandel bendera Aceh Merdeka serta sebuah miniatur bola dunia. Di samping meja itu terdapat meja kecil yang dipenuhi foto koleksinya. Foto Hasan Tiro bersama pasukan GAM, foto ketika ia berada di Amerika, foto istri dan anaknya, Karim di Tiro, serta foto seorang jabang bayi yang masih merah. "Itu anaknya Karim. Cucu saya," katanya.

Agak ke samping terdapat sebuah meja kerja lagi. Sebuah dinding yang dipenuhi oleh kliping media yang memuat berbagai pemberitaan tentang Aceh dan GAM serta foto Hasan Tiro dalam berbagai kesempatan pertemuan internasional.

Siang itu Hasan Tiro tampil bersahaja. Ia mengenakan setelan warna biru. Tubuhnya yang tak besar, sekitar 160 sentimeter, dibalut mantel warna biru tua. Dibandingkan dengan fotonya pada tahun 1980-an yang banyak beredar, ia kelihatan lebih kurus. Tapi wajahnya cerah dan matanya berbinar. Suaranya masih jernih meski kadang tersendat. Yang menarik, ia menggunakan bahasa Inggris. Menurut kalangan dekatnya, Tiro memang enggan berbahasa Indonesia meski ia mampu. Kebenciannya pada Indonesia menyebabkan ia lebih suka memakai bahasa Aceh atau bahasa asing lainnya dalam berkomunikasi.

TEMPO, yang berulang kali meminta agar obrolan kami itu direkam dan dijadikan bahan wawancara, ditolaknya dengan halus. Begitu juga ketika TEMPO ingin memotretnya. "Bukan sekarang saatnya," katanya.

"Anda sudah baca buku ini?" tanya Tiro tiba-tiba. Tangannya menggenggam sebuah buku seukuran diktat kuliah bersampul kuning, The Drama of Achehnese History 1873-1978. Itu adalah naskah teater tentang Perang Aceh yang ditulis Tiro pada 1978. Naskah 56 halaman itu memadukan dua pengetahuan Tiro sekaligus: sejarah Aceh dan musik klasik. Tiro memakai komposisi Purcell, Johann Sebastian Bach, Beethoven, dan beberapa komposer Barat lainnya untuk membuka dan menutup adegan. Tiga halaman pengantar drama itu ditulis oleh Husaini Hasan, Menteri Pendidikan Aceh Merdeka-tokoh yang belakangan meninggalkan Hasan Tiro dan mendirikan Majelis Pemerintahan GAM.

"Coba Anda baca bagian ini keras-keras," demikian Tiro meminta. Dalam kata pengantarnya Husaini Hasan menceritakan suka duka Hasan Tiro menulis naskah itu ketika bergerilya di hutan-hutan Mampre di Gunung Patisah Pidie, Aceh, akhir tahun 1970-an. "Tengku (Hasan Tiro) menulis dari pukul 7 pagi hingga 6 petang. Kami tak punya lampu jika malam.

Itu semua dilakukannya sewaktu kami semua berhari-hari menunggu suplai makanan dari kampung," tulis Husaini.

Tiba-tiba, Tiro beranjak ke pojok ruangan. Ia menyetel kaset Johann Sebastian Bach. Toccata & Fugue dan Air in G. String sayup-sayup segera merambati ruangan. Sunyi. Tak ada suara selain gesekan biola dan naskah drama yang dibaca TEMPO pelan-pelan. Sekali lagi lelaki itu termenung. Tubuhnya disorongkannya ke depan. Wajahnya serius. Matanya seperti menembus dinding apartemen. "Drama" satu babak itu berakhir. Tiro kembali berdiri.

Hasan Tiro lelaki yang romantis. Ia menikmati kesendiriannya. Anak dan istrinya tinggal di Amerika. Karim di Tiro, 31 tahun, adalah doktor di sebuah universitas di Negeri Paman Sam itu. Wajah Karim tampan, badannya gagah. Maklum, ibunya perempuan Amerika. Hasan Tiro sangat bangga pada anaknya.

Tiro kembali mengeluarkan sebuah buku. Sebuah jurnal ilmiah yang memuat tulisan Karim. Pada halaman pertama buku itu, Karim menorehkan tanda tangan di bawah sebuah kalimat pendek, "For Papa". Ketika menunjukkan buku itu, mata Tiro berbinar.

"Anda dulu sekolah di mana?" tanyanya tiba-tiba. Ketika mendengar jawaban Universitas Indonesia, lelaki itu tiba-tiba menyemprot, "That's stupid". Tak jelas apa yang diejek oleh Tiro. Tapi rasanya kata "Indonesia" memang selalu membuatnya gusar. Di mata Tiro, Indonesia adalah sebuah gagasan yang absurd.

Dalam sebuah artikel yang ditulisnya pada November 1980, The Legal Status of Acheh Sumatra under International Law, Tiro menyebut penyerahan kedaulatan Aceh dari Belanda kepada Indonesia pada 1949 sebagai sesuatu yang ilegal. Basis hukum yang dipakainya adalah

Resolusi PBB yang mewajibkan negara kolonialis menyerahkan daerah jajahannya kepada penduduk asli. Indonesia, menurut Tiro, bukanlah penduduk asli Aceh. "Penyerahan kedaulatan itu dilakukan tanpa pemilihan umum yang menyertakan seluruh masyarakat, termasuk masyarakat Aceh," katanya dalam wawancara dengan televisi Hilversum Belanda pada 1996.

Dengan kata lain, di mata Tiro, Indonesia adalah negara yang dipaksakan keberadaannya oleh Sukarno. Daerah seperti Aceh, Padang, Maluku, Kalimantan, yang sesungguhnya punya hak untuk menjadi kawasan yang berdaulat, dibelenggu dalam satu ikatan "Indonesia" oleh presiden pertama Indonesia itu. Sukarno memang terobsesi oleh gagasan negara kesatuan. Wilayah Indonesia, menurut Sukarno-lalu didukung Muhammad Yamin-adalah wilayah bekas jajahan Belanda yang wujudnya adalah Indonesia seperti yang kita lihat sekarang.

Tapi Tiro membantah konsep "Indonesia" itu. Menurut dia, perjuangan kemerdekaan melawan Belanda dari setiap daerah adalah upaya setiap anak bangsa untuk membebaskan kawasannya sendiri dan bukan untuk "Indonesia". Gagasan Indonesia barulah muncul belakangan. Itulah sebabnya penyerahan kedaulatan 1949 ditandai Tiro sebagai beralihnya penjajahan Belanda menjadi penjajahan Indonesia/Jawa di Aceh.

Dibandingkan dengan era 1950, pada tahun 1980-an ada pengerasan sikap pada diri Tiro. Dalam buku Demokrasi untuk Indonesia yang ditulisnya di Amerika pada 1958 (buku ini dicetak ulang dua kali di Jakarta pada 1999 lalu), yang menjadi pusat kritiknya adalah gagasan negara persatuan Sukarno. Menurut Tiro, dengan wilayah yang luas sangat tidak mungkin jika Indonesia dipaksakan menjadi negara persatuan. Dalam buku itu Tiro mengusulkan federalisme sebagai pilihan yang terbaik untuk demokrasi Indonesia. Artinya, pada era ini Tiro masih memberi alternatif bagi penyelesaian hubungan pusat-daerah.


Tapi akumulasi nasib buruk yang menimpa rakyat Aceh selama bertahun-tahun membuat seorang Hasan Tiro tidak memiliki pilihan lain kecuali memerdekakan Aceh. Bantuan Aceh untuk Republik pada masa-masa awal perang kemerdekaan dijawab pemerintahan Sukarno dan Soeharto dengan menjadikan Aceh, sebagaimana kawasan lain, sebagai prioritas nomor dua secara politik dan ekonomi. Karena ketidakpercayaan terhadap pemerintahan Jakarta selama bertahun-tahun itu pulalah ide otonomi daerah yang ditawarkan Abdurrahman Wahid tidak pernah ditanggapi Tiro dan kelompoknya.

"Saya ingin memperdengarkan satu kaset pada Anda," kata Hasan Tiro tiba-tiba. Ia mengambil sebuah kaset bersampul putih dan sebuah tape recorder. Kaset itu berisi pidato Tiro di muka pasukan GAM di Tripoli, Libya, pada 1985. Sebuah pidato yang membakar semangat pasukan yang disampaikannya dalam bahasa Arab, Prancis, Inggris, dan Aceh. Beberapa kali TEMPO berusaha menanyakan konteks peristiwa pidato itu, tapi ia cuma menjawab pendek, "Just listen."

Tiro memang sering tak ingin menjawab. Beberapa pertanyaan tentang ide Aceh merdeka dijawabnya pendek sebelum akhirnya ia beralih ke topik lain. Beberapa kali ia bahkan cuma menyahut, "Baca saja buku ini," sambil menunjuk beberapa buku yang pernah ia tulis.

Pada masa mudanya Tiro memang banyak menulis. Selain Drama dan Legal Status of Acheh Sumatra, ia juga pernah menulis The Prince of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro. Buku 226 halaman ini merupakan catatan hariannya ketika ia berperang di hutan Aceh pada 1976-1979.

Di buku itulah ia menggambarkan kepulangannya kembali ke Aceh pada 1976-setelah 25 tahun tinggal di Amerika-seperti kedatangan Napoleon yang mendarat di Teluk Juan dari Pulau Elba atau Julius Caesar yang melintasi Rubicon. Pada 30 Oktober 1976 itu ia melukiskan dirinya dengan mengutip sebuah karya Nietzche, Thus Spoke Zarathustra:

Di tempat pendaratannya, di Kualatari datang menjemput pasukan Tiro di bawah pimpinan Daud Paneuk, tokoh yang kini juga tinggal di Swedia dan belakangan meninggalkan Tiro dengan membentuk MP GAM. "Sungguh tidak mudah meninggalkan kehidupan saya di Riverdale New York dan memilih tinggal di hutan yang pekat sebagai pemimpin gerilya," tulis Tiro.

Ia kini memang tidak tinggal di Aceh. Ia memimpin pasukan gerilyanya dari jauh. Sebuah negara di kawasan Skandinavia, hampir 8.000 mil dari tanah kelahirannya. Ide Aceh Sumatra merdeka yang diambilnya dari daerah kekuasaan Kesultanan Iskandar Muda dulu masih dipercaya pendukungnya sebagai perekat bagi persatuan bangsa Aceh dan Sumatra.

Kepemimpinannya di kalangan GAM dipatuhi, meskipun sebagian orang menggugat Hasan Tiro karena kepemimpinannya di GAM tidak lepas dari unsur mengalirnya darah Tiro dalam dirinya. Untuk waktu yang lama GAM memang belum bisa lepas dari pola suksesi ala kesultanan ini.

Hari menjelang sore. Jam dinding di rumah Tiro menunjukkan pukul empat sore. Tapi pada musim semi yang memanjangkan siang, petang itu matahari masih terik. TEMPO mohon diri dan Tiro mengantar sampai ke luar. Di muka pintu ia mengepalkan tangannya dan berteriak dengan suara bergetar, "Sumatra!" Dari balik pintu lift yang perlahan tertutup, masih tampak lelaki itu merapatkan mantelnya, sekali lagi.

Arif Zulkifli (Stockholm, Swedia)

Artikel Terkait