20 Oktober 2008

Teungku Hasan di Tiro dan Pemikirannya

Minggu, 19 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Oleh Maruli Tobing

Baru beberapa tahun kemerdekaan diproklamasikan, perang saudara melanda Indonesia. Pemimpin tertinggi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, SM Kartosoewirjo, menolak mengakui keberadaan RI. Sementara Soekarno menuding Kartosoewirjo membentuk negara dalam negara.


Atas perintah PM Ali Sastroamidjojo yang nasionalis sekuler, tahun 1954 angkatan udara mulai melancarkan pengeboman secara membabi buta atas desa-desa yang dikuasai Tentara Islam Indonesia (TII). Pasukan dari Pulau Jawa kemudian diterjunkan dari udara dan membakari rumah-rumah penduduk.

Ribuan penduduk tewas dan ribuan lainnya cedera. Isak tangis terdengar di sana-sini. Pada saat itulah seorang mahasiswa Indonesia asal Aceh yang belajar ilmu hukum internasional di University of Colombia (AS) dan bekerja sebagai staf perwakilan Indonesia di PBB, New York, mengirim surat kepada PM Ali Sastroamidjojo.

New York, 1 September 1954 Kepada Tuan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo Jakarta Dengan hormat,

Sampai hari ini sudah lebih setahun lamanya Tuan memegang kendali pemerintahan atas tanah air dan bangsa kita. … Tuan tidak mempergunakan kekuasaan yang telah diletakkan di tangan Tuan itu untuk membawa kemakmuran, ketertiban, keamanan, keadilan dan persatuan di kalangan bangsa Indonesia. Sebaliknya Tuan telah dan sedang terus menyeret bangsa Indonesia ke lembah keruntuhan ekonomi dan politik, kemelaratan, perpecahan, dan perang saudara.

Belum pernah selama dunia berkembang, tidak walaupun di masa penjajahan, rakyat Indonesia dipaksa bunuh membunuh antara sesama saudaranya secara yang begitu meluas sekali sebagaimana sekarang sedang Tuan paksakan di Aceh, di Jawa Barat, di Jawa Tengah, di Sulawesi Selatan, di Sulawesi Tengah dan Kalimantan.

...........................

Dan Tuan mengatakan bahwa Tuan telah memperbuat semua ini atas nama persatuan nasional dan patriotisme. Rasanya tidak ada suatu contoh yang lebih tepat dari pepatah yang mengatakan bahwa patriotisme itu adalah tempat perlindungan yang terakhir bagi seorang penjahat.

Sampai hari ini sembilan tahun sesudah tercapainya kemerdekaan bangsa, sebagian besar bumi Indonesia masih terus digenangi darah dan air mata… yang kesemuanya terjadi karena Tuan ingin melakukan pembunuhan terhadap lawan-lawan politik Tuan. Seluruh rakyat Indonesia menghendaki penghentian pertumpahan darah yang maha kejam ini....

Persoalan yang dihadapi Indonesia bukan tidak bisa dipecahkan, tetapi Tuanlah yang mencoba membuatnya menjadi sukar. Sebenarnya jika Tuan mengambil keputusan buat menyelesaikan pertikaian politik ini dengan jalan semestinya, yakni perundingan, maka besok hari juga keamanan dan ketenteraman akan meliputi seluruh tanah air kita.

Oleh karena itu, demi kepentingan rakyat Indonesia, saya menganjurkan Tuan mengambil tindakan berikut:

1. Hentikan agresi terhadap rakyat Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan.

2. Lepaskan semua tawanan-tawanan politik dari Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan.

3. Berunding dengan Teungku Muhammad Daud Beureuh, SM Kartosoewirjo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar.

Jika sampai tanggal 20 September 1954, anjuran-anjuran ke arah penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian Tuan, …. saya dan putra-putri Indonesia yang setia, akan mengambil tindakan-tindakan.....

Saya

Hasan Muhammad di Tiro

Saat itu Hasan di Tiro bukanlah sosok yang dikenal di kalangan pemimpin Indonesia. Tadinya ia hanyalah seorang mahasiswa hukum di Universitas Islam Yogyakarta, yang memperoleh beasiswa melanjutkan pendidikan di AS, tahun 1950.

Pada bagian akhir suratnya, pemuda Hasan yang lahir tahun 1925 di Desa Tanjong Bungong, Kecamatan Kuta Bakti, Kabupaten Pidie (NAD), mengancam akan mengobarkan kampanye internasional untuk membeberkan kebrutalan tersebut, dan ”kami akan mengusahakan bantuan moral dan materiel bagi Republik Islam Indonesia dalam perjuangannya menghapus rezim teroris Indonesia.”

Bangsa yang semu

Hasan Tiro memberi batas waktu bagi PM Ali untuk menghentikan agresi militernya selambat-lambatnya 20 September 1954. Pemerintah Indonesia menjawab dengan mengultimatum Hasan Tiro kembali ke Indonesia selambat-lambatnya tanggal yang sama.

Keduanya ternyata tidak memenuhi batas waktu yang ditetapkan. Hasan Tiro segera menyatakan dirinya sebagai duta keliling dan wakil tetap NII di AS serta PBB. Sementara Pemerintah RI mengambil tindakan dengan membatalkan paspor Hasan Tiro dan meminta AS mengusirnya.

Pihak Imigrasi AS di New York sempat menahan Hasan Tiro. Ia dibebaskan dengan uang jaminan 500 dolar AS. Belakangan, Pemerintah AS memberinya izin tinggal dan kewarganegaraan.

Sejak itu Hasan Tiro aktif berkampanye di forum-forum internasional. Mendesak negara-negara Islam agar memboikot Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung. Alasannya, Pemerintah RI telah membunuh para ulama di Aceh, Jabar, Jateng, Sulsel, Sulteng, dan Kalsel. Hasan Tiro juga membuat laporan ke PBB.

Perwakilan Indonesia di PBB membantahnya dan menyebut Republik Islam Indonesia yang diwakili Hasan Tiro hanya sebuah imajinasi. Republik tersebut belum pernah ada, kecuali gerombolan bersenjata yang menimbulkan gangguan keamanan.

Tahun 1957, Hasan Tiro menulis buku, Demokrasi untuk Indonesia, dalam bahasa Melayu dan Inggris. Buku tersebut mengupas konsep kebangsaan dan mengkritik pemahaman Bung Karno mengenai bangsa, demokrasi, dan Pancasila.

Menurut Hasan Tiro, Indonesia adalah nama yang muncul pada abad XIX. Jauh sebelumnya di Nusantara sudah lahir kerajaan-kerajaan berdaulat. Tetapi, Soekarno menganggap apa yang ada dalam angan-angannya mengenai suatu bangsa bernama Indonesia adalah kenyataan.

Maka bukan hal mengejutkan jika Pemerintah RI begitu gampangnya melakukan bumi hangus. Bahkan tidak ada orang yang peduli. Padahal jika bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang nyata, peristiwa ini akan membangkitkan solidaritas. Lagi pula tidak ada pemerintah di dunia ini yang tega membantai bangsanya sendiri, kecuali terhadap bangsa lain.

Ironisnya, Soekarno mengira penderitaan yang sama di bawah penjajahan kolonial dapat mengikat berbagai suku bangsa menjadi suatu bangsa yang bersatu. Ia lupa bahwa kolonial Belanda menguasai luar Jawa baru pada abad XIX. Sementara Jawa dijajah belanda pada abad XVII. Dengan sendirinya, derajat penderitaannya juga berbeda.

Menurut Hasan Tiro, pemikiran Soekarno mewakili apa yang disebut sinkretisme Jawa. Salah satu produknya adalah Pancasila, yang diklaim Soekarno digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Hasan Tiro berkesimpulan, satu-satunya yang bisa mengikat penduduk Nusantara dan melahirkan rasa kebersamaan sebagai suatu bangsa adalah agama Islam. Agama yang dianut mayoritas penduduk sejak ratusan tahun silam.

Membangun basis gerilya

Dalam perjalanan waktu, pemikiran Hasan Tiro ikut mengalami perubahan. Ia kecewa setelah berakhirnya perlawanan DI/TII. Para pemimpin DI/TII lebih banyak memilih menyerah ketimbang memperjuangkan cita-citanya sampai titik darah terakhir.

Ia kemudian membandingkan perjuangan bersenjata di berbagai negara dan menyimpulkan, stamina separatisme ternyata jauh lebih kuat ketimbang sekadar mengganti ideologi negara. Secara historis dan kultural hal ini terbukti dalam perlawanan rakyat Aceh terhadap kekuasaan kolonial Belanda.

Sosok Hasan Tiro sendiri tahun 1970-an berubah menjadi pengusaha sukses di New York, AS. Hubungannya yang dekat dengan pemimpin Timur Tengah ikut memperlancar bisnisnya. Ia pernah menjadi penasihat Raja Faisal dari Arab Saudi dalam konferensi Islam internasional, tahun 1974. Berkat hubungannya dengan Khadafy, pemimpin Libya, ia dapat mendatangkan pemuda Aceh mengikuti latihan militer di negara tersebut.

Pada usia 51 tahun, Hasan Tiro akhirnya memutuskan kembali ke Aceh untuk mengawali suatu bentuk perjuangan baru, yakni Aceh merdeka. Dalam bukunya Price of Freedom: Unfinished Diary of Hasan Di Tiro (1984), ia menulis, dalam usia seperti ini sungguh tidak mudah meninggalkan bisnis yang sukses, kemewahan New York, serta anak dan istri yang cantik. Apalagi harus bergerilya di hutan belantara.

Hasan Tiro akhirnya berangkat ke Malaysia dan menyeberang Selat Malaka dengan menumpang perahu nelayan. Dengan berbekal tiga pistol dan dua senjata berburu, doublelope, Hasan Tiro bersama belasan orang membangun basis gerilya di kawasan hutan gunung Halimun.

Tokoh masyarakat dan ulama datang silih berganti dan menanyakan, mana senjatanya? Hasan Tiro menjawab, senjata bukan hal segalanya. Pada masa lalu banyak senjata peninggalan Jepang, tetapi tidak membawa hasil apa-apa. Hal yang lebih penting dari senjata adalah membangkitkan kesadaran melalui pendidikan dan propaganda.

Hasan Tiro mendeklarasikan kembali kemerdekaan Aceh, 4 Desember 1976, serta mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai bentuk pemerintahan darurat. Deklarasi ini disebarluaskan ke berbagai media internasional.

Akibatnya, rezim Soeharto murka dan mengirim ribuan algojo ke Aceh. Banjir darah kembali terjadi. Tetapi kali ini bersinergi dengan cita-cita perjuangan Aceh merdeka. Dengan kata lain, kebiadaban tersebut membuktikan bahwa mereka ditindas oleh kolonial Indonesia-Jawa. Maka perlawanan justru makin marak dari tahun ke tahun.

Hasan Tiro sendiri akhirnya tertembak dalam suatu pernyergapan TNI, tahun 1979. Pada tahun itu juga ia meninggalkan Aceh melalui jalur laut. Menurut Zakaria Saman, saat itu kaki Hasan Tiro keserempet peluru. Tetapi TNI mengumumkan ia tewas tertembak dan pengikutnya sempat melarikan mayatnya. Rezim Orde Baru beberapa kali mengumumkan Hasan Tiro meninggal.

Sumber: Kompas

Wali Nanggroe, Sang Pemimpin

Minggu, 19 Oktober 2008 | 01:37 WIB

Tanggal 11 September pagi, puluhan ribu manusia membanjiri Masjid Raya Banda Aceh hingga membeludak ke jalanan. Sebagian besar dari mereka datang sehari sebelumnya dari berbagai pelosok dengan menumpang truk, kendaraan pribadi, atau perahu nelayan.


Hari itu merupakan peristiwa luar biasa. Inilah kali pertama mereka akan melihat langsung Wali Nanggro (wali negara, sebutan bagi HasanTiro) yang akan tiba dari pengasingan selama 32 tahun.

Pria berusia 83 tahun ini adalah pendiri dan pemimpin tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang melancarkan perjuangan bersenjata selama 29 tahun. Selama periode itu lebih kurang 15.000 rakyat Aceh tewas bersimbah darah. Selama itu pula empat Presiden Indonesia gagal memadamkan perlawanan ini dengan kekuatan militer.

”Kami mau merdeka, bukan berunding,” kata Hasan Tiro pada masa lalu. Maka sebelum menyaksikan sang Wali menginjakkan kakinya di bumi Aceh, sebagian pengikutnya meragukan perdamaian. Bahkan tidak sedikit masih menyimpan senjata api.

Komite Peralihan Aceh (KPA), organisasi yang menampung para mantan kombatan, berulang kali menyatakan kepulangan Hasan Tiro hanya untuk melepas rindu kampung halamannya. Tetapi, di balik itu kehadiran Hasan Tiro merupakan bukti sejelas-jelasnya bahwa perdamaian itu niscaya.

Atau seperti dikemukakan banyak orang, apa yang telah diputuskan wali tidak bisa ditawar-tawar lagi, kecuali oleh keputusannya sendiri. Di luar itu pilihannya hanya dua, pengkhianat atau ikut wali.

Itulah sosok Hasan Tiro, cicit pahlawan nasional Teungku Chik di Tiro, yang sangat dihormati rakyat Aceh. Dalam perang Aceh melawan kolonial Belanda, empat generasi keluarga Chik di Tiro hampir semuanya tewas. Kecuali wanita dan bayi. Ibu Hasan Tiro, cucu Chik di Tiro, salah satu di antara mereka yang selamat. Rakyat Aceh percaya, dalam tubuh Hasan Tiro mengalir darah biru keluarga Tiro.

Tentang Teungku Hasan di Tiro

Nama: Hasan Muhammad di Tiro
Lahir: 25 September 1925 di Desa Tanjong Bungong, Pidie (Aceh). Anak kedua dari pasangan Teungku Muhammad Hasan dengan Pocut Fatimah.
Pendidikan:
- Madrasah Blang Paseh di bawah asuhan Daud Beureueh - Normal School di Bireuen
- Atas rekomendasi Daud Bereueh, melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta dan diterima di Fakultas Hukum UII. Sembari kuliah, ia bekerja sebagai staf PM Syafruddin Prawiranegara (1949-1951).
- Atas rekomendasi Syafruddin, Hasan memperoleh beasiswa Colombo Plan. Ia melanjutkan pendidikan di Colombia University dan memperoleh gelar doktor ilmu hukum internasional. Sembari kuliah, Tiro bekerja di perwakilan Indonesia di PBB. (1951-1954)
- Menlu NII-Aceh dan perwakilan tetap NII-Aceh di PBB (1954 - 1963) Kembali ke Aceh 30 Oktober 1976 - Mendeklarasikan Aceh merdeka dan membentuk GAM, 4 Desember 1997.
- Tertembak di kawasan hutan Gunung Halimun, 1979. Pada tahun itu juga meninggalkan Aceh melalui jalur laut. Pulang ke Aceh 11 September 2008. Hasan Tiro menikah dengan wanita AS dan dikaruniai seorang putra, Karim Hasan di Tiro, dan beberapa cucu.

sumber: Kompas

Hasan Tiro, Nietzsche, dan Aceh

Minggu, 19 Oktober 2008 | 02:12 WIB

Oleh Nezar Patria

Hasan Tiro dalam keadaan galau. Dia berada pada situasi batas eksistensial. Terpaku pada satu rak di toko buku di Fifth Avenue, New York, matanya tak lepas mengeja karya filsuf eksistensialis Jerman, Friedrich Nietzsche. Dia terbenam dalam aporisme Thus Spoke Zarathustra. Saat itu, September 1976. Beberapa hari lagi Hasan harus membuat keputusan penting: ke Aceh menyalakan pemberontakan bersenjata atau tetap hidup di New York sebagai pengusaha.


Dia akhirnya memilih yang pertama. Tiga bulan kemudian, dari hutan belantara Pidie, Hasan Tiro menyerukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sejak itu, di Aceh, bedil meletus lagi. Padahal daerah itu belum lama pulih dari pergolakan Darul Islam Daud Beureu’eh. Berbeda dari Beureu’eh yang mendekap Islam, Hasan menyodorkan gagasan baru: nasionalisme Aceh. Dia agak berhasil, setelah memperluas basis pendukungnya: kaum intelektual dan pemuda.

Adakah perjumpaannya dengan Nietzsche memantik pemberontakan itu? ”Kata-kata (Nietzsche) itu seperti petir melibas semua keraguanku,” tulisnya di catatan harian. Lalu selama tiga tahun dia bergerilya keluar masuk hutan. Terdesak operasi militer rezim Orde Baru, Hasan kabur ke luar negeri pada 1979. Dia sempat singgah di sejumlah negara, dan akhirnya menetap di Stockholm, Swedia.

Catatan masa gerilya itu diterbitkan di London pada 1981. Judulnya The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro. Membaca stensil 238 halaman itu, kita seperti menemukan eksistensialisme bukan lagi sekadar gagasan, tapi aksi politik. Dari catatan harian itu, entah soal taktik gerilya, negasi atas sejarah Indonesia, sampai kontemplasi hidup dan kematian, terajut dalam satu garis merah: upaya rekonstruksi sejarah. Dan, yang menarik, Hasan mengolah paragraf dari Nietzsche dalam tafsirnya atas momen kesejarahan Aceh.

Tampaknya, penting menjenguk kembali catatannya itu kini. Lelaki 83 tahun itu pulang ke tanah kelahirannya, sepekan setelah Idul Fitri lalu. Kali ini dia kembali tanpa letusan senjata. Aceh sudah tiga tahun damai. Hasan pun disambut seperti pahlawan pulang dari pengasingan. Anak-anak muda—mungkin belum lahir saat dia mencetuskan gerakan perlawanan itu—pekan lalu berdiri menyambutnya di sepanjang jalan. Mereka mengibarkan bendera Partai Aceh, satu partai lokal milik para bekas kombatan. Partai itu kini legal dan berhak ikut pemilu.

Di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Hasan Tiro disambut puluhan ribu orang. Dia dipanggil ”Wali” karena menabalkan dirinya penerus ”Wali Nanggroe”, atau ”penjaga negeri”; satu takhta darurat bentukan Kesultanan Aceh masa perang Belanda. Diceritakan, Wali terakhir adalah Teungku Ma’at di Tiro, anak Teungku Chik Muhammad Saman di Tiro, yang kita kenang sebagai pahlawan nasional itu. Ma’at tewas di Alue Bhot, Pidie, setelah bertempur dengan Belanda, 3 Desember 1911. Dia adalah paman Hasan Tiro dari garis ibu.

Dari titik inilah, perjumpaannya dengan Nietzsche lalu menjadi pergulatan penting. Sejak membaca Thus Spoke Zarathustra dan sejumlah karya Nietzsche lain, Hasan seperti mendapat kekuatan baru. Dia sadar tubuhnya mengalir darah biru pejuang. Dalam pembuka catatan hariannya, dia mengutip satu bagian dari Zarathustra , petikan pada bab ”On War and Warriors”: ... To you I do not recommend work but struggle./ To you I do not recommend peace but victory./ Let your work be a struggle./ Let your peace be a victory!

Agaknya ada dua momen penting, yang terangkum dalam catatan harian itu. Pertama, manakala Hasan menangkap apa yang disebutnya ”momen kebenaran”; menemukan kembali patriotisme Aceh yang hilang. Itu terjadi pada 1968, saat dia membolak-balik arsip The New York Times yang terbit sepanjang Mei 1873, saat Belanda menyerang Aceh. Editorial koran itu mengakui kapasitas Kesultanan Aceh yang garang bertempur dengan Belanda.

Bagi Hasan, ini satu bukti Aceh adalah ”old state”, negara tua berdaulat sejak lama. Semua itu ditulisnya dalam pamflet Atjeh Bak Mata Donya (Aceh di Mata Dunia), diterbitkan pada 1968 di New York. Dia pun menyimpulkan, energi perlawanan masa itu menyala karena kuatnya patriotisme dari generasi Aceh. ”Mereka tahu kapan harus mati terhormat,” tulisnya lagi. Dia menyesalkan generasi Aceh setelah 1945, yang menurutnya menderita ”ketaksadaran sejarah”.

Momen kedua adalah ketika dia, dengan semua bagasi masa lalunya itu, bertumbukan langsung pikiran Nietzsche di rak toko buku itu. ”Aneh sekali, selama aku belajar di kampus, mungkin aku keliru memahami Nietzsche yang sebenarnya,” tulis Hasan. Dia memang pernah mengambil program doktor di Universitas Columbia. ”Aku yakin sudah membacanya dalam begitu banyak teori dan filsafat politik. Tapi mestinya itu hasil tafsir dari orang lain,” tulisnya. Sejak ’pertemuan’ itu, Hasan mengaku ”tak pernah lepas dari Nietzsche”.

Aceh pada masa 1970-an, dengan marginalitas ekonomi politik, adalah kenyataan lain yang menajamkan semua kegelisahan seorang Hasan Tiro, cucu dari keluarga pejuang legendaris Tiro. Sejak masa kecilnya, dia merasa sebagai orang pilihan, manakala dia risih jika tangannya kerap dicium orang-orang, yang lalu memohon agar dia tak pernah lupa pada tanah kelahiran. Pada titik ini, dia sepertinya ”menemukan” dirinya dalam satu interupsi sejarah.

Maka, membaca catatan harian itu, dapat dimengerti mengapa Hasan Tiro meletakkan dirinya sebagai pusat bagi kelanjutan sejarah Aceh kontemporer. Dia merasa terpanggil memberikan tubuh dan jiwanya kepada tanah leluhurnya. Antropolog kondang James T Siegel, dalam epilog The Rope of God, karya klasik tentang pergolakan di Aceh itu, menyebut Hasan Tiro ”terasuk” tugas sejarah, yang dianggapnya sebagai takdir itu.

Tapi, dalam catatan hariannya itu, Hasan tak langsung menggelorakan nasionalisme Aceh. Dia tak bicara imagined communities seperti apa yang kelak dibentuk di Aceh. Dia memilih patriotisme lebih dulu, sebagai modal nasionalisme. Sebetulnya, ide itu pernah disinggung dalam bukunya Demokrasi untuk Indonesia (1958). Di situ, dia mengkritik Soekarno tentang nasionalisme Indonesia. Bagi dia, bukan nasionalisme itu yang paling penting, tetapi patriotisme. Rasa cinta Tanah Air akan membuat orang mau mempertahankan diri, dan ”melibatkan pengorbanan diri sendiri sebagai kewajiban moral”.

Dari sini, nyaris 20 tahun kemudian, ide ”pengorbanan diri sendiri” itu bertemu gagasan Nietzschean tentang ”the free death”. Dia mau membangkitkan Aceh sebagai entitas politik berdaulat, seperti pada masa lalu. Hasan lantas menyeret soal politik itu ke wilayah pergulatan eksistensial: makna hidup dan mati. Dia menunjukkan, hanya ”manusia bebas” dan bukan budak bagi lainnya, bisa memilih ”bagaimana harus hidup” dan ”kapan harus mati”. Tetapi, adakah retorika Nietzschean itu menjadi aneh bagi alam pikiran orang-orang Aceh?

Mungkin, sekilas tafsir itu terdengar agak janggal. Tema kebebasan memang lebih akrab bagi mereka yang besar dalam kultur Eropa, atau pendidikan Barat. Tetapi, Hasan mencoba menafsirkannya dalam konteks keacehan, terutama Islam. Baginya, Islam memberi bekal ”kehendak berkuasa” dalam menjaga dan mempertahankan hak-hak. Dia setuju dengan ujaran Nietzsche dalam Notes (1875), yang melukiskan sosok tertinggi Muslim adalah sesuatu yang melantunkan ”kesunyian gurun, raungan jauh seekor singa, dan tatapan sangar seorang pejuang”.

Hasan Tiro mengerti bahwa Islam adalah energi bagi Aceh. Tapi, dia menyalakannya dengan cara berbeda. Hasan mengartikan jihad sebagai perjuangan untuk kebebasan. Dalam satu catatan panjangnya saat memberi makna perayaan Asyura, atau hari Hasan-Husen, yang menjadi tradisi di Aceh setiap 10 Muharam, Hasan Tiro mempertegas posisinya itu.

Dikatakan, pengorbanan Imam Husin, cucu dari Rasulullah, yang dibunuh kubu Muawiyyah dan Yazid di Karbala, adalah contoh martir sejati. Husin tahu bahwa tak ada jalan selamat baginya. Dia memilih melawan mempertahankan yang benar, dan yang adil. Bagi Hasan Tiro, arti kebebasan bergantung pada ”bebas untuk mati”. Atau dalam ujaran Nietzsche, seperti dikutip Hasan Tiro: ”… To die proudly when it is no longer possible to live proudly”. Mereka yang tak bisa menentukan kapan harus mati, kata Hasan, ”akan kehilangan kebebasannya”.

Sayangnya, kita tak menemukan lagi catatan terbarunya setelah The Price of Freedom itu. Dia pulang pada usia renta, berziarah ke makam nenek moyang, dan bersalaman dengan rakyat yang dulu takzim mencium tangannya. Setelah damai, mungkin Hasan Tiro tak lagi berada pada situasi batas eksistensial. Dia, dan Aceh, agaknya sudah melampaui perbatasan itu.

Nezar Patria, Peneliti Aceh, Alumnus the London School of Economics and Political Science (LSE).

Sumber: Kompas