26 September 2009

Ciptakan Topik Hangat di Google, Blogger Menangkan Ganti Rugi

SAN FRANSISCO - Seorang blogger menerima pengembalian uang ganti rugi sebesar 600 euro dari agen perjalanan wisata Thomson Holidays setelah komplain dalam blognya menyebar di internet dan menjadi topik pencarian teratas dalam mesin pencarian Google.

Blogger bernama Andrew Sharman itu akhirnya memenangkan perkara dengan agen perjalanan wisata Thomson Holidays. Karena gagal mencapai kesepakatan dengan Thomson, Sharman kemudian menuliskan pengalaman buruknya saat berlibur ke Tunisia menggunakan jasa Thomson pada blognya.

Tak disangka, tulisannya itu menarik perhatian para pengguna internet dan dibaca oleh lebih dari 10.000 orang. Hanya dengan mengetikkan keyword 'Thomson Tunisia trip' dan 'Thomson Tunisia review' pada mesin pencarian Google, hasil pencarian langsung mengarahkan pengguna untuk mengakses blog milik Sharman tersebut.

Web User, Kamis (17/9/2009), melansir, sebelumnya Sharman menulis surat sepanjang 10 halaman kepada Thomson yang berisi keluhannya ketika mengunjungi Marhaba Palace Hotel di Port El Kantaoui, Tunisia. Namun enam minggu kemudian, pihak Thomson hanya mengkonfirmasi bahwa mereka telah menerima surat keluhannya tanpa berbuat apa-apa.

Sharman yang juga seorang perancang web sekaligus agen merketing online kemudian memutuskan untuk mempublikasikan tulisannya tersebut melalui blognya yang kemudian berbedar luas dan menjadi topik pencarian teratas pada Google.

"Ketika saya mulai menyerang mereka melalui Google barulah mereka mulai menanggapi keluhan saya," kata Sharman.

Selain mengembalikan uang Sharman, pihak Thomson juga mengeluarkan kesepakatan agar Sharman meralat isi blog dengan menyebutkan masalah diantara kedua belah pihak telah diselesaikan dengan cara damai. (rah)

Sumber Okezone.com

Pendiri Google, Orang Paling Berpengaruh di Dunia Teknologi

CALIFORNIA - Pendiri Google, Sergey Brin dan Larry Page berada di urutan teratas dalam daftar orang paling berpengaruh di dunia teknologi.

Berdasarkan penilaian majalah gadget T3, Brin dan Page dinilai telah melakukan inovasi terbesar dengan membuat mesin pencari Google, dan melakukan inovasi lainnya seperti browser Google Chrome dan sistem operasi Google Android dan layanan kontroversial Google Street view.

Seperti dilansir Telegraph, Senin (21/9/2009), majalah T3 mengeluarkan daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia teknologi.

Di urutan kedua bertengger, pendiri Twitter, Evan Williams. Twitter dinilai sebagi situs mikroblogging yang paling cepat melesat pada tahun 2008 hingga 2009.

Selain Williams, CEO layanan music-streaming Spotify, Daniel Ex juga menduduki posisi tiga besar sebagai orang yang paling berpengaruh. Spotify telah membantu sekira dua juta pecinta musik untuk mendengarkan lebih dari enam juta lagu di Internet.

Sementara itu, CEO Apple, Steve Jobs hanya menempati urutan ketujuh dalam daftar tersebut. Daftar nama-nama orang berpengaruh lebih di dominasi oleh kaum pria. Tercatat nama perempuan hanya ada sembilan nama dalam daftar tersebut. Salah satu perempuan yang mendapatkan tempat adalah Martha Lane Fox, pendiri LAstminute.com yang meduduki urutan ke-37.

1. Sergey Brin dan Larry Page (Google)
2. Evan Williams (Twitter)
3. Daniel Ek (Spotify)
4. Stephen Fry (Selebriti)
5. Sir Howard Stringer (SONY)
6. Yong Nam (LG)
7. Steve Jobs (Apple)
8. Eric Schmidt (Google)
9. Mark Zuckerberg (Facebook)
10. Steve Ballmer (Microsoft) (srn)

Sumber Okezone.com

Kapal Pesiar Abramovich Dilengkapi Teknologi Anti-Paparazi

LONDON - Pemilik klub sepakbola Liga Premier Inggris, Chelsea, Roman Abramovich dikabarkan baru melengkapi kapal pesiarnya dengan teknologi canggih.


Kapal pesiar senilai USD1,2 miliar itu dipasangi sistem teknologi laser anti-paparazzi. Tujuannya agar, privasi miliuner asal Rusia itu tak terganggu dari kejaran paparazi.

Teknologi laser anti-paparazi itu mampu memindai setiap sensor elektronik yang terdapat di setiap kamera digital. Begitu kapal memindai adanya kamera di dekatnya maka secara otomatis kapal pesiar tersebut akan mengeluarkan laser yang membuat kamera tidak dapat mengambil gambar ke arah kapal, karena laser di bagian luar akan mengacaukan bidikan lensa kamera para paparazzi.

Namun, belum diketahui apakah teknologi tersebut dapat menghalau kerja kamera analog. Demikian dilansir SMH, Jumat (25/9/2009).

Apa yang dilakukan Abramovich memicu protes dari para fotografer yang sering mengambil gambar-gambar eksklusif para tokoh terkenal, seperti selebritis. Lokasi yang sering menjadi incaran fotografer tersebut antara lain kapal pesiar di wilayah-wilayah tertentu.

Kapal pesiar Abramovich diklaim sebagai kapal pesiar termewah, termahal, dan terbesar di dunia. Kapal pesiar tersebut memiliki dua kolam renang, dua helipad, dan fasilitas bioskop mini yang terpasang di 24 kamar.

Kaca jendela di kapal pesiar itu juga tahan peluru, bahkan sebentar lagi kapal pesiar itu akan dilengkapi sistem pertahanan dan persenjataan. Kapal yang pekan lalu bersandar di Hamburg tersebut dijaga oleh tim kemanan yang telah terlatih untuk menghadapi pembajakan.

Abramovic juga memiliki empat kapal lain yang diberi label 'Abramovich Navy'. Selain itu, pria kelahiran 24 Oktober 1966 itu memiliki pesawat jet pribadi, Boeing 767, tiga helikopter, dan sejumlah mobil sport papan atas. (stf)

Sumber Okezone.com

02 Maret 2009

Resensi buku Aceh Pungo

Oleh Baun Thoib Soaloon Siregar

Judul : Aceh Pungo
Penulis : Taufik Al Mubarak
Penerbit : Bandar Publishing Banda Aceh
Tebal Buku : 282+xxii Halaman
Cetakan : 1, Februari 2009
Harga : Rp.49. 000


Ketika saya mencari-cari buku referensi kuliah pada sebuah toko buku, tiba-tiba seseorang (entah penjual atau pembeli) nyeletuk: ”Aceh pungo, dua uroe teuk, kon le ureung Aceh nyang pungo, Batak-Batak pih kapungo.” Saya hanya menangkap potongan ungkapan tadi dan tidak tahu sama sekali pangkal ujung pembicaraan. Karena penasaran saya bertanya: “Pakon, Dek!” Ia lantas menunjuk sebuah buku pada rak bagian tengah, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Oh, ini rupanya “Aceh Pungo”. Lalu, apa kaitannya dengan Batak? Kenapa pula orang Batak harus ikut-ikutan pungo? Apakah ini terkait dengan demo maut yang terjadi di Medan baru-baru ini, atau...? Ah, daripada menduga-duga, lebih baik buku ini dibaca dulu, pikirku seketika.

Bersampul hitam pekat, buku terbaru terbitan Bandar Publishing (BP) Banda Aceh ini diberi judul “Aceh Pungo” (AP) dengan tulisan warna putih mencolok, tapi berkesan lusuh dan tampak retak-retak. Entah apa yang ingin divisualisasi melalui gambar sampul tersebut. Apakah ini potret Aceh yang tenggelam dalam kelam, Aceh yang tak terduga, Aceh yang malang dan berkabung, atau Aceh yang diselimuti kegelapan, kebodohan, keterbelakangan, dan kejahatan, di mana yang muncul dan tampak jelas di permukaan hanyalah sederet kegilaan? Atau ini sebuah simbol jubah hitam kebesaran dan kebanggaan mengusung identitas dan budaya kegilaan? Semua atau sebagiannya mungkin benar, tapi mungkin juga salah. Penulis tampaknya membiarkan kita menerka-nerka tafsir yang serba mungkin dalam rasa penasaran, kebingungan, dan keingintahuan. Sebab, biarpun warna hitam sering kali identik dengan sifat-sifat negatif dan jahat, tetapi dalam banyak hal, hitam juga menjadi penyelaras, pembeda, bahkan pemanis konfigurasi tampilan warna. Hitam juga dianggap warna netral yang bisa cocok dan berpadu dengan warna-warna lain dalam membangun citra estetika dan eksotis.

Menurut saya, buku ini dapat dikatakan sebagai cerita tentang fenomena keanehan dan kegilaan masyarakat modern dalam skop yang luas dalam bahasa “Aceh”. Artinya, meskipun mungkin terdapat penekanan pada lokalitas masyarakat Aceh dengan mengambil setting dan simbol-simbol ke-Acehan yang khas, namun substansi lika-liku keanehan/kegilaan sosial politik yang diangkat dalam buku ini sebenarnya jauh menembus batas-batas demografi Aceh Darussalam. Apakah ini terkait dengan konsep think globally act locally, saya tidak tahu pasti. Yang jelas, fenomena seperti korupsi, jilat-menjilat, praktik hedonisme, demokrasi paradoks, kontradiksi antara idealisme dan realisme, premanisme dan kekerasan, dan kejujuran dan kesederhanaan merupakan isu-isu global yang juga melanda masyarakat di bagian dunia yang lain atau setidaknya daerah lain di Nusantara. Uniknya, dan inilah salah satu yang membuat buku ini menarik dan layak dibaca oleh semua orang. Semua itu disampaikan dan dibungkus dengan apik dalam bahasa Aceh pungo dalam pengertian yang luas (bahasa kegilaan dan keunikan orang Aceh).

Buku setebal 282 plus xxii halaman ini ditulis oleh Taufik Al Mubarak, jurnalis muda yang bekerja di koran Harian Aceh. Buku ini merupakan kompilasi tulisannya pada Pojok Gampong yang diasuhnya di koran tempatnya menempa diri, ditambah beberapa tulisannya pada media lain. Buku dengan kata pengantar dari Muhammad Nazar (Wakil Gubernur Aceh) ini terdiri dari tiga bagian: (1) Politek Ureung Gampong (Politik Orang Kampung); (2) Politek Pungo (Politik Gila); dan (3) Politek Hana Titiek (Politik tanpa Titik). Sekilas, melihat ketiga judul bagian tersebut, pembaca akan mengira bahwa buku ini adalah buku politik. Sebenarnya tidak. Walaupun banyak tulisan yang beraroma politik, namun secara substansial, buku tidak sepenuhnya berbicara tentang politik. Ada aura lain di dalamnya seperti komunikasi, teknologi, agama, bahasa, filosofi, ekonomi, dan pendidikan. Saya tidak bisa memastikan alasan apa dibalik pencantuman judul tersebut. Mungkinkah penulis berniat mengetengahkan semua itu dalam perspektif politik? Tidak juga. Memang ada satu judul tulisan pada bagian ketiga yang menjadi judul bagian tersebut, tapi hal ini tidak berlaku pada bagian pertama dan kedua. Apa karena unsur psikologi pemasaran agar tampak sensasional dan menarik konsumen atau barangkali ini terkait dengan demam politik yang semakin merambah semua sudut kehidupan akhir-akhir ini sehingga semua hal selalu dikait-kaitkan dengan politik? Terserah pembaca.

Di antara kelebihan buku ini adalah kelihaian penulis dalam mengendus problematika sosial politik yang berkembang dalam masyarakat—yang kebanyakan tampaknya hanyalah persoalan-persoalan biasa dan nyaris tak menjadi perhatian publik, lalu mengemasnya dalam tulisan-tulisan bernada kritik yang simpel tapi tajam. Bahkan, dalam banyak tulisan justru sangat inspiratif (menggugah emosi dan kesadaran terhadap hal-hal yang sebelumnya terlewatkan begitu saja). Lebih lanjut, dengan plus minusnya, beberapa tulisan malah berbau propaganda dan cenderung provokatif, sebagaimana pengakuan penulisnya. Hal ini tentunya sangat bergantung pada posisi dan perspektif orang yang membaca. Bagi saya, dengan tetap mengedepankan etika, bentuk dan pola komunikasi haruslah mencerminkan tujuan dan mempertimbangkan kondisi mental dan psikologi sasaran. Jadi, berkomunikasi dengan orang bebal, tungang atawa klo prip tentu saja sangat berbeda dengan orang dengan kualitas indra dengar, pikir, dan renung yang masih jernih.

Dari segi penyampaian, buku ini memperkenalkan sebuah gaya yang khas dengan beberapa ciri umum seperti topik acuan yang merakyat dan diberi label yang memikat tapi sebisa mungkin cukup familiar di telinga pembaca, menggunakan gaya bercerita, sering kali dibungkus dalam dialog singkat yang didesain sedemikian rupa sehingga tampak ril dan hidup, dan konsisten dengan bahasa “pasar” yang lugas dan acap kali kocak sehingga enak dibaca sekaligus mudah dipahami. Meskipun pada beberapa tempat, penulis menggunakan simbolisme, tapi ia tidak membiarkan pembaca mencari tahu sendiri makna yang ingin disampaikannya, melainkan menuntut mereka secara tautologis tahap-demi tahap menuju medan makna. Terus terang dan terbuka tanpa terjebak dalam hiperbolisme, bahkan membuka selebar-lebarnya hal-hal yang tertutup dan terbungkus kepada khalayak, itulah gambaran lain dari karakter buku ini. Dengan demikian, secara sadar penulis telah beranjak jauh meninggalkan gaya-gaya penulisan yang eufimistis dan simbolis menuju disfimisme dan realisme. Maklum, zaman sudah berubah, tak ada yang mesti ditutupi. Jurnalisme harus konsisten sebagai media pencerahan dan pencerdasan masyarakat.

Dengan kelebihan dan kekurangannya, hal ini sangat berbeda dengan “Celoteh Budaya Politik Aceh” (CBPA) terbit tahun 2003 yang berisi kumpulan tulisan mantan bupati Bireun Mustafa A. Glanggang pada rubrik “Tingkap” di Harian Serambi Indonesia. Meskipun CBPA juga berupa kritik sosial, tapi buku ini mengandalkan ragam gaya bahasa simbolisme, eufimisme, dan personifikasi yang sering kali dibalut cerita fiktif dalam menggambarkan fenomena sosial budaya dan politik pada masanya. Gaya penulisan AP juga memiliki perbedaan dengan “Dari Panteu Menuju Insan Kamil” (DPMIK), kumpulan tulisan Ampuh Devayan dalam kolom ”Panteu” harian Serambi Indonesia yang terbit dalam bentuk buku baru-baru ini. DPMIK mengusung gaya penulisan yang lebih formal, bernuansa sastra dan lebih ilmiah.

Meskipun di satu sisi, gaya penyampaian yang demikian sangat positif dalam konteks pendidikan politik dan pembangunan iklim demokrasi dewasa ini, namun dalam tingkatan tertentu, penulis tampaknya tidak bisa melepaskan begitu saja unsur subjektivitas dan emosionalitasnya sebagaimana tercermin dari beberapa tulisannya. Oleh karena itu, bisa saja di kemudian hari ada pihak yang beranggapan bahwa penulis cenderung tendensius, bahkan cenderung terjerumus dalam sinisme, atau bahkan satire.

Desain dan tampilan buku ini cukup elegan dan menarik. Cuma saja di dalamnya tidak didapati lembaran yang memuat informasi tentang KDT (Katalog dalam Terbitan) serta informasi penting tentang cuplikan UU tentang Hak Cipta sebagaimana pada buku-buku terbitan lain. Selain itu, pemaksaan pencantuman judul baru pada lembaran baru membuat banyak sekali halaman yang kosong yang tidak terpakai sama sekali.

Menyangkut ejaan dan tata bahasa sebenarnya sudah cukup baik, namun penulisan kata “pungo” baik di halaman kulit maupun di dalam teks seharusnya dimiringkan karena kata tersebut termasuk kata asing yang belum terserap sepenuhnya ke dalam bahasa Indonesia. Terakhir, foto penulisnya sedang merokok pada halaman profil, kurang tepat. Sebab kondisi tersebut dapat memunculkan image yang negatif bagi sebagian pembaca. Sejatinya foto yang ditampilkan adalah foto netral tanpa rokok, agar penulisnya dapat diterima oleh semua kalangan pembaca.

Bagaimanapun, buku ini sudah cukup baik dan relatif mampu mewujudkan misinya sebagai kritik sosial yang berusaha memotret fenomena “kegilaan” dan keunikan masyarakat Aceh kontemporer dalam berbagai aspek. Meskipun sekian banyak topik tulisan dalam buku ini memang belum mampu menampung totalitas realita ke-pungo-an masyarakat Aceh dalam berbagai hal yang dengan susah payah dikorek penulisnya. Namun demikian, kerja keras ini pantas diapresiasi. Kita tentu tidak berharap ke-pungo-an ini berlanjut atau malah semakin menjadi-jadi apalagi sampai merembes ke masyarakat tetangga sebelah (Batak) sebagaimana celotehan pemuda di toko buku kemarin. Selamat kepada Taufik Al Mubarak, dan bagi pembaca, selamat membaca.

Penulis adalah Staff Balai Bahasa Lampineung Banda Aceh dan Pemenang Resensi Buku Pemikiran Ulama Dayah Aceh pada tahun 2007.

note: tulisan ini sudah dimuat di Tabloid Kontras edisi No.478 Tahun XI, 26 Februari-4 Maret 2009.

BUKU INI BISA DIDAPATKAN DI TOKO BUKU GRAMEDIA DI JAKARTA, BANDUNG, YOGYAKARTA, SURABAYA