17 Mei 2013

Jalan Panjang Proses Perdamaian Aceh


Proses panjang penciptaan perdamaian yang hakiki seperti digambarkan di atas menjadi lebih rumit karena adanya dimensi tambahan berupa proses rekonstruksi pascabencana tsunami
TERLEPAS dari apa yang dihasilkan dalam perundingan perdamaian (peace talk) Aceh antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, proses perdamaian (peace process) di Nanggroe Aceh Darussalam masih harus menempuh jalan panjang.

Langkah yang ditempuh pemerintah dan GAM sekarang ini masih merupakan tahap awal yang memerlukan tindak lanjut formal, diharapkan dapat terwujud sebelum 17 Agustus 2005. Artinya, perdamaian belum dapat dikatakan telah tercapai, sebelum kedua belah pihak menandatangani sebuah dokumen kesepakatan secara resmi.

Dengan kata lain, tahapan sekarang masih dalam tataran penciptaan kesepakatan perdamaian (peace-making). Dari sudut pandang resolusi konflik, fase ini merupakan tahapan yang `termudah` dari keseluruhan proses perdamaian. Dalam tahapan ini, tantangan terberat hanyalah bagaimana mengompromikan perbedaan-perbedaan untuk menemukan sebuah kesepakatan yang akan dituangkan ke dalam perjanjian formal antara pihak-pihak yang bertikai.

Masalah lebih sulit adalah tahapan penjagaan perdamaian (peace-keeping), yaitu tahap implementasi atas kesepakatan yang dihasilkan selama proses peace-making. Dari pengalaman di banyak konflik, tahapan ini kerap gagal di tengah jalan, yang pada gilirannya akan membuat konflik semakin akut. Pengalaman penyelesaian konflik di Aceh sendiri juga menunjukkan hal itu. Proses damai yang diakhiri dengan lahirnya kesepakatan Cessation of Hostility Agreement (COHA) runtuh dengan mudah ketika proses implementasinya gagal di tengah jalan.

Dalam hal ini, ada tiga tantangan utama dari tahapan yang akan dihadapi, yakni di bidang program, monitoring, dan problem perusak perdamaian (spoilers of peace). Di bidang program, keberhasilan untuk mengimplementasikan kesepakatan damai di Aceh akan tergantung pada pelaksanaan perlucutan senjata (disarmament), demobilisasi (demobilisation) dan reintegrasi (reintegration). Apabila GAM menyetujui Aceh tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), perlucutan senjata menjadi prasyarat transformasi GAM menjadi aktor politik.

Pada saat bersamaan, setiap pihak harus juga melakukan demobilisasi pasukan, dalam bentuk penarikan pasukan nonorganik TNI dari Provinsi Aceh dan pengintegrasian kembali pasukan GAM ke dalam masyarakat melalui berbagai program seperti pelatihan kerja, perekrutan mantan anggota GAM menjadi anggota Polri, dan program-program income-generating lainnya. Yang agak menjanjikan adalah, kedua belah pihak yang berhadapan di lapangan, TNI dan GAM, telah menyatakan komitmen mereka untuk melaksanakan apa pun yang dihasilkan di Helsinki.

Pelaksanaan ketiga program tersebut di lapangan akan bergantung pula pada efektif tidaknya pengawasan (monitoring). Pengalaman dalam proses pengimplementasian COHA menunjukkan sulit sekali menentukan pihak mana yang sebenarnya tidak menjalankan kesepakatan penghentian permusuhan. Masing-masing pihak menolak untuk dituding sebagai pihak yang melanggar kesepakatan dan bahkan kemudian terjebak dalam sikap saling tuduh yang berakhir pada kegagalan COHA. Kehadiran observers dari Filipina dan Thailand, yang dikoordinasikan Henry Dunant Centre (HDC) tidak banyak menolong, karena kehadiran mereka tidak disertai dengan kewenangan yang cukup dalam menjamin terlaksananya kesepakatan damai.

Kini, apabila nantinya pemerintah RI dan GAM sepakat untuk menghentikan permusuhan pascakesepakatan damai formal Helsinki Agustus mendatang, kewenangan Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang diminta untuk melakukan monitoring mission akan tetap problematik apabila mereka tidak diberi otoritas yang dipatuhi dalam menentukan pihak mana yang melakukan pelanggaran.

Apabila mereka tidak diberikan kewenangan untuk melaksanakan peace-keeping mission, meskipun terbatas hanya diminta melakukan monitoring belaka, maka kesepakatan Helsinki `kalau berhasil` akan dihadapkan pada permasalahan serupa yang dihadapi COHA sebelumnya.

Hal ini dapat terjadi karena dalam konflik di Aceh, seperti halnya dalam konflik di mana pun, selalu ada kelompok yang dinamakan perusak perdamaian (spoilers of peace). Kelompok spoilers of peace ini bisa saja muncul dari kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik, baik dari lingkungan TNI/Polri, GAM atau kelompok-kelompok kriminal dalam masyarakat, yang didorong dan termotivasi oleh greed.

Kelompok-kelompok ini, yang biasanya bertindak di luar kontrol lembaga induk mereka, merasa terganggu oleh adanya proses perdamaian, karena kepentingan pribadi mereka terganggu olehnya. Oleh karena itu, kalau proses perdamaian di Aceh diharapkan berjalan dengan baik, baik TNI dan GAM harus menemukan dan menyepakati sebuah mekanisme yang dapat menindak kelompok-kelompok yang berniat merusak kesepakatan damai.

Tahapan terakhir yang juga tidak kalah pentingnya adalah peace-building, yakni bagaimana membangun sebuah keadaan dan tatanan sosial-politik-ekonomi di Provinsi Aceh yang dapat mencegah terjadinya kembali konflik di masa mendatang. Tahapan ini menjadi penting karena perdamaian harus dipelihara, khususnya dalam masyarakat di mana konflik telah berakar dengan dalam (deep-rooted conflict). Peran masyarakat madani atau masyarakat warga (civil society), khususnya lembaga swadaya masyarakat (LSM), intelektual dan ulama, menjadi sangat penting dalam menjalankan proses peace-building ini.

Namun, dalam konteks Aceh, proses panjang penciptaan perdamaian yang hakiki seperti digambarkan di atas menjadi lebih rumit karena adanya dimensi tambahan berupa proses rekonstruksi pascabencana tsunami. Dalam hal ini, kesungguhan pemerintah merupakan faktor kunci bagi keberhasilan seluruh proses peace-building. Dalam suasana pasca-tsunami, masyarakat korban bencana merupakan kelompok masyarakat yang memiliki harapan sangat besar terhadap perhatian pemerintah. Masyarakat ini juga sangat sensitif terhadap kerja pemerintah, yang pada gilirannya akan menentukan bisa tidaknya pemerintah untuk mendapatkan kembali rasa kepercayaan masyarakat Aceh.

Oleh karena itu, proses rekonstruksi menjadi konteks penting bagi proses perdamaian di Provinsi Aceh. Jalan panjang menuju sebuah Aceh yang damai secara berkelanjutan harus dimulai dari situ. Apabila pemerintah gagal memenuhi harapan masyarakat untuk membangun sebuah Aceh baru yang lebih maju dan sejahtera, provinsi itu akan selalu sarat dengan benih-benih separatisme. Dengan kata lain, tanggung jawab utama untuk menjamin perdamaian di Aceh terletak di pundak pemerintah, baik pusat maupun daerah.***


Penulis Rizal Sukma
Media Indonesia - 18 July 2005

16 Mei 2013

Konflik Aceh, Jalan Panjang Menuju Perdamaian


         Pengantar:

        Untuk memperjelas pemahaman kita mengenai konflik di Aceh dan proses dialog untuk mencari penyelesaian damai, Sinar Harapan menurunkan artikel oleh Wiryono Sastrohandoyo, perunding Indonesia dalam masalah Aceh, yang dimuat dalam empat seri tulisan, 7-10 Mei. Dia akan mengulas latar belakang dan konteks proses yang tengah dijalani dan kini terancam gagal, serta rekomendasi pilihan tindakan.

        Waktu itu awal Januari 2002, menjelang akhir bulan puasa Ramadhan, ketika Menlu Hassan Wirajuda menanyakan kesediaan saya untuk menerima posisi sebagai perunding di pihak Pemerintah Indonesia atas masalah Aceh.

        Perundingan-perundingan sebenarnya sudah dilancarkan dua tahun sebelumnya dengan hasil-hasil yang membesarkan hati, tetapi kemudian perundingan ditangguhkan selama sekitar 7 bulan.

        Saya menerima tawaran itu sebagai sebuah kewajiban patriotik, tetapi dengan keraguan dan rasa takut yang besar. Saya benar-benar memulai kewajiban saya sebagai perunding ketika proses yang terhenti itu dimulai kembali di Jenewa, Swiss, 2 Februari 2002.



Latar Belakang

        Aceh memiliki sejarah militansi memerangi orang-orang Portugis di tahun 1520-an dan menantang penjajah Belanda dari 1873 sampai 1913, dan melancarkan perlawanan Islam terhadap Republik Indonesia di tahun 1953. Perlawanan itu, pemberontakan, disebut Darul Islam, bertujuan mendirikan sebuah Republik Islam atas seluruh wilayah Indonesia, hal yang juga menjadi tujuan kelompok-kelompok Islam militan di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.

        Pemberontakan ini berakhir 1962, ketika, Pemerintahan Soekarno memberi jaminan bahwa Aceh akan diberi status sebagai sebuah daerah istimewa dengan otonomi luas di bidang agama, hukum adat dan pendidikan. Tetapi, selama bertahun-tahun, janji ini secara umum tidak terpenuhi.

        Pemberontakan separatis di Aceh dewasa ini dimulai 4 Desember 1976, ketika Muhammad Hasan di Tiro mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Di Tiro dan para pengikut setianya telah terlibat adalam pemberontakan Darul Islam 1953, tetapi kali ini pemberontakan mereka yang diberi nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) secara jelas berniat memisahkan diri dari Republik Indonesia.

        Tidak lama setelah deklarasi kemerdekaan tersebut, kekuatan bersenjata GAM mulai menyerang pasukan pemerintah, hal yang mengundang kembali operasi penumpasan pemberontakan oleh pemerintah.

        Pada tahun 1983, kekuatan GAM sudah dikalahkan di lapangan dan Di Tiro lari keluar negeri. Ia bersama beberapa pengikutnya akhirnya menjadi warganegara Swedia.

        Dalam sebagian besar dekade 1980-an, GAM menguat lagi, merasionalisasi status politiknya dan memperkuat sayap militer Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Dalam periode ini, sebagian dari 400 kader Aceh dilaporkan dikirim ke Libya untuk latihan militer. Tahun 1989, GAM merasa cukup kuat untuk sekali lagi menjajal pemerintah Indonesia, menyerang pasukan pemerintah, warga sipil dan orang-orang yang dicurigai sebagai mata-mata. Pemerintah membalas dengan operasi militer dan tindak penumpasan berskala besar.

        Pada tahun 1992, tampak bahwa Pemerintah mengendalikan situasi sepenuhnya. Tetapi, operasi militer yang ditandai dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia dalam skala, memicu keberatan publik terhadap Pemerintah di Jakarta. Pelanggaran hak asasi manusia di Aceh menjadi sorotan publik tidak lama setelah Presiden Soeharto melengser dari kekuasaan dalam kerusuhan politik Mei 1998.

        Ditekan oleh teriakan publik di seluruh Indonesia atas penganiayaan dan pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, Pangab Jenderal Wiranto meminta maaf atas ekses-ekses militer dari 1989 sampai 1998 dan mencabut status Aceh sebagai sebuah daerah operasi militer (DOM), menjanjikan penarikan sejumlah besar tentara dari provinsi itu. Meski demikian, perdamaian tak kunjung datang, karena GAM memanfaatkan demoralisasi militer, melancarkan serangan besar-besaran. Konfrontasi bersenjata dimulai lagi.

        Pertengahan 1994, organisasi GAM pecah ketika para pejabat GAM yang berbasis di Kuala Lumpur membelot dari kepemimpinan GAM yang berbasis di Swedia, termasufk Hasan di Tiro. Tampaknya perbedaan utama antara dua faksi GAM ini ialah mengenai bentuk pemerintahan Aceh setelah kemerdekaan.

        Di Tiro lebih suka sebuah monarki dengan dirinya sebagai Sultannya, sedangkan kelompok Kuala Lumpur menghendaki sebuah republik Islam modern. Di Tiro yang mengklaim diri sebagai keturunan Sultan Aceh mendapatkan dukungan dari sebagian terbesar kekuatan GAM yang beroperasi di provinsi itu.



Sebuah Peluang

        Selama pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, terdapat sebuah jendela peluang bagi perdamaian di Aceh yang bisa diraih bersama kedua pihak, setidaknya untuk sementara waktu. Tawaran dialog dari pemerintahan Wahid diterima secara positif oleh faksi GAM pimpinan Hasan di Tiro. Mei 2000, wakil dari Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani di Jenewa sebuah dokumen yang disebut "Saling Pengertian bagi Jeda Kemanusiaan untuk Aceh".

        Tujuannya, memberi kesempatan bagi penyaluran bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan rakyat Aceh. Hal ini dicapai melalui serangkaian perundingan rahasia yang dimediasi Henri Dunant Center, sebuah LSM internasional. Saling pengertian yang ditandai tangani itu merupakan langkah membangun rasa saling percaya (Confidence Building Measures/CBM) yang menciptakan landasan bersama bagi kedua pihak untuk melanjutkan dialog.

        Kendati perkembangan ini disambut baik oleh rakyat Aceh yang tercabik-cabik oleh perang, namun tidak demikian halnya bagi banyak kalangan di Jakarta. Salah satu alasannya, DPR merasa tidak dikonsultasi, sedangkan alasan lainnya bahwa tidak terjadi perdebatan di media massa atau di mana pun tempat para pakar dan kaum akademisi bisa mengutarakan pandangan mereka.

        Perunding dari pihak Indonesia adalah Dr N. Hassan Wirajuda, waktu itu Wakil Tetap RI di PBB di Jenewa, yang kemudian menjadi Menlu RI. Pemerintah RI dengan hati-hati menjelaskan bahwa Dr Wirajuda, ketika mewakili Pemerintah, tidak berunding dalam kapasitasnya sebagai Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa.

        Keterangan ini untuk meredam banyak kritikan bahwa dengan berunding dengan GAM Pemerintah sudah melakukan kesalahan besar dan pihak GAM sudah mengantongi sebuah kemenangan diplomatik, karena kesediaan berunding dengan GAM mengimplikasikan pengakuan, menempatkan GAM, setidaknya secara teoretis, dalam posisi sejajar dengan Pemerintah. Bagi sejumlah anggota parlemen, akademisi dan media massa, pertemuan di Jenewa itu memprensentasikan internasionalisasi masalah Aceh.

        Reaksi negatif ini menjadi lebih mudah dimengerti karena banyak kalangan menilai lepasnya provinsi Timor Timur sebagai konsekuensi dari internasionalisasi masalah Timor Timur.

        Kendati demikian, pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid terus mengupayakan dialog. Meski dengan begitu banyak kesulitan, sebagian akibat situasi di lapangan, dialog terus melangkah laju sehingga pada Januari 2001 kedua pihak mencapai "Saling Pengertian Sementara" yang berisi banyak ketentuan yang memungkinkan pengaturan mengenai pemeriksaan pelanggaran yang terjadi dan menjalankan upaya-upaya membangun saling kepercayaan.

        Sampai pertengahan 2001, pihak Pemerintah terus menawarkan otonomi khusus, dan kedua pihak sepakat mengadakan dialog informal yang melibatkan berbagai pihak, yaitu semua sektor masyarakat Aceh, termasuk GAM. Tetapi selama tujuh bulan sesudah itu, dari Juli 2001 sampai Februari 2002, dialog macet, terutama karena kesulitan-kesulitan di lapangan akibat meningkatnya kontak senjata.

        Sementara itu, Megawati Soekarnoputri yang lebih berpandangan nasionalis dibanding Wahid, telah mengambil alih kekuasaan, dan ia menunjuk perunding pihak Indonesia, Dr Hasan Wirajuda sebagai Menlu RI.

        DALAM wilayah Asia Tenggara dan di antara beragam negara yang menjalin hubungan bilateral dengan Indonesia, dan juga pada forum-forum internasional seperti Gerakan Non-Blok (GNB), Konferensi Organisasi Islam (OKI), Uni Eropa (EU) dan lain-lain, terdapat dukungan sangat kuat bagi kedaulatan dan integritas wilayah Republik Indonesia, khususnya dalam hubungan dengan kasus Aceh dan bahkan dengan masalah Papua.

        Di sisi lain GAM tidak mendapatkan dukungan eksternal atas klaimnya untuk menjadi negara tersendiri, kecuali mungkin dari beberapa LSM (lembaga swadaya masyarakat).

        Memang benar GAM mendapat latihan militer dari Libya tetapi tidak lebih dari itu. Sampai tingkat tertentu, GAM memang mengendalikan suatu kekuatan dan mendapat dukungan tertentu, yang masih sulit untuk diestimasikan, dari rakyat Aceh sendiri.

        Sementara itu, berkembang kekhawatiran yang luas dengan berlanjutnya kekerasan yang menyebabkan begitu seringnya pelanggaran hak asasi manusia dan menyebabkan begitu banyak orang Aceh meninggalkan tempat tinggal mereka. Sedangkan semua ini menyebabkan buruknya kehidupan sosial-ekonomi di Aceh.

        Kekhawatiran ini diterjemahkan dalam bentuk tekanan domestik dan internasional atas kedua pihak (RI dan GAM) agar segera menghentikan konflik, menciptakan perdamaian yang tahan lama dan membangun kembali kehidupan sosial-ekonomi di provinsi NAD.

        Sejumlah pengamat telah mengidentifikasi salah satu hambatan paling ekstrem bagi perdamaian di Aceh, dan itu adalah situasi bahwa praktik korupsi sedemikian meluas.

        Pihak-pihak yang menikmati keuntungan dari praktik ini tidak berniat memecahkan atau menghentikannya. Terdapat laporan bahwa terus terjadi penyelundupan besar-besaran barang-barang mewah di pelabuhan bebas Sabang.

        Pemerasan dan perlindungan bagi pemeras oleh tentara RI maupun oleh gerilyawan GAM sudah menjadi wabah yang meluas dari ujung ke ujung Aceh.

        Senjata dari sumber-sumber luar secara rutin dibawa masuk lewat pantai oleh perahu-perahu penangkap ikan. Ini adalah praktik perdagangan senjata yang membuat GAM dan kelompok-kelompok kriminal lainnya mendapatkan perlengkapan senjata yang baik.

        Pemerintahan RI sampai tingkat tertentu bisa menekan praktik korupsi ini dengan mengekang para pejabat lokal dan otoritas lain di Aceh agar lebih bertanggung jawab. Tetapi pengekangan ini kemungkinan membawa dampak buruk tersendiri.



Situasi 2002

        Pada waktu saya dipercayakan dengan tugas memimpin dialog dari sisi Indonesia, sekitar 10.000 orang sudah tewas di Aceh sebagai akibat dari konflik dan pembunuhan yang rata-rata 5 orang per hari. Kerusakan luar biasa telah menyebabkan kehidupan sosial-ekonomi Aceh anjlok, padahal provinsi ini terhitung kaya dengan sumber-sumber alam.

        Masyarakat Aceh sudah lelah oleh konflik. Dengan keberhasilan - sampai tingkat tertentu - menyelesaikan konflik di Maluku dan Sulawesi Tengah melalui proses perdamaian Malino, Pemerintah RI merasakan adanya momentum untuk juga segera menyelesaikan masalah Aceh. Pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, telah mengafirmasi secara terbuka lewat berbagai pernyataan dan dokumen bahwa penyelesaian terbaik ialah melalui dialog dalam kerangka sebuah pendekatan komprehensif, yang juga mencakup penggunaan militer dan pekerjaan polisi. Pada efeknya, hal ini adalah kebijakan dua jalur.

        Tetapi, terlepas dari kebijakan dua jalur itu, terdapat persepsi yang luas dalam Pemerintah, termasuk parlemen, bahwa kekuatan bersenjata Indonesia berada di atas angin di Aceh. Sampai hari ini, banyak dari mereka yang berpersepsi seperti ini merasa bahwa tidak perlu mengadakan perundingan dengan sebuah gerakan separatis yang kalah dan lemah yang tidak mendapat dukungan internasional.

        Bahkan ada juga, tidak sedikit, yang berkeyakinan bahwa hanya ada satu hal yang dilakukan terhadap gerakan separatis ialah menumpasnya, habis perkara. Dalam atmosfer seperti ini, terbukti dialog sulit sekali dilakukan. Meski demikian, saya terus berupaya agar dialog bisa terus digulirkan dengan pihak GAM. Saya menafsirkan mandat yang diberikan kepada saya yaitu melanjutkan proses negosiasi dengan pikiran mengkonsolidasi yang sudah dicapai selama ini dalam bentuk dokumen - kalau mungkin dalam bentuk sebuah "persetujuan sementara" - yang mencakup butir konsensus dan butir pengembangannya lebih lanjut sehingga pertemuan-pertemuan lanjutan antara kedua pihak akan memiliki fondasi bagi tumpuannya. Sebagaimana disepekati sebelumnya, kedua pihak membentuk sebuah Dewan Bersama untuk Dialog Politik dengan lima tokoh internasional terkemuka yang diterima kedua pihak sebagai penasihat.



Panduan Usulan

        Setelah mendapat penjelasan tentang situasi di Aceh dan tentang perkembangan-perkembangan sebelumnya, saya sebagai perunding merancang sebuah "Panduan Usulan" untuk saya gunakan sendiri dalam perundingan-perundingan. Dalam panduan itu diakui keinginan rakyat Aceh untuk memerintah diri mereka sendiri secara damai dalam kebebasan dan demokrasi. Hal ini akan dicapai melalui tiga langkah aksi utama.

        Pertama, konflik akan dihentikan dan perdamaian ditegakkan selama periode transisi, dan otonomi khusus akan diterima sebagai penyelesaian final atas konflik. Kedua, selama periode transisi, sikap permusuhan dihentikan, sedangkan proses penciptaan saling percaya diintensifkan, dan kehidupan sosial-ekonomi di Aceh dinormalkan dengan program bantuan kemanusiaan dan bantuan ekonomi dari Pemerintah Indonesia dan komunitas internasional. Dan ketiga, dialog yang mencakup semua unsur masyarakat Aceh, termasuk GAM, akan menjadi forum konsultatif bagi pencapaian penyelesaian damai yang ternegosiasikan atas masalah Aceh. Penyelesaian ini didasarkan atas Undang-Undang Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam (NAD), sebuah Undang-Undang yang disetujui di masa Presiden Abdurrahman Wahid yang memberi status otonomi khusus bagi propinsi Aceh. Setelah selesainya dialog semua unsur Aceh tersebut, maka diadakan persiapan penyelenggaraan pemilihan umum di Aceh untuk memungkinkan para pengikut GAM berpartisipasi dalam pemilihan nasional Indonesia 2004.

        Dalam pertemuan Februari 2002, sebagai perunding saya menjelaskan kepada Henri Dunant Centre dan semua penasihat tentang gagasan yang menjadi isi Panduan Usulan yang saya gariskan. Secara umum mereka menanggapinya secara positif, khususnya karena menurut Panduan Usulan itu dimungkinkan dialog terus berjalan tanpa secara eksplisit membahas isu sensitif tentang tuntutan GAM untuk kemerdekaan Aceh. Satu-satunya sumber kesulitan ialah inti posisi Pemerintah dan itu adalah (keharusan) penerimaan oleh GAM atas tawaran otonomi dari Pemerintah yang dinyatakan dalam Undang-Undang NAD. Penerimaan otonomi tersebut oleh GAM mengimplikasikan ditinggalkannya tuntutan kemerdekaan Aceh.

        Kedua pihak berunding secara intensif dalam pertemuan Februari itu tetapi pada akhirnya, pihak GAM tidak bersedia menandatangani sebuah pernyataan bersama yang sedianya menjadi hasil pertemuan tersebut. Waktu itu GAM beralasan membutuhkan waktu lebih banyak untuk mempertimbangkan tawaran otonomi tersebut. Dan karena rancangan pernyataan bersama itu tidak bisa dikeluarkan bersama oleh kedua pihak, disepakati bahwa fasilitator, Henri Dunant Centre, akan mengeluarkannya atas namanya sendiri.

        Naskah rancangan pernyataan bersama itu secara jelas menyatakan bahwa kedua pihak sepakat menggunakan Undang-Undang NAD sebagai titik awal diskusi-diskusi, dan " selama periode penciptaan saling percaya di mana kedua pihak menghentikan permusuhan dan kemudian bergerak maju menuju pemilihan yang demokratis di Aceh dalam tahun 2004." Oleh karena itu dokumen ini menjadi semacam "peta jalan" untuk proses perdamaian ke depan, menetapkan penghentikan permusuhan, dialog semua unsur masyarakat Aceh dan pemilihan.

        PERTEMUAN lanjutan antara GAM dan wakil Pemerintah awal Mei 2002 membuahkan formalisasi dokumen Februari yang dikeluarkan Henri Dunant Centre. Pada tanggal 10 Mei 2002, kedua pihak menandatangani sebuah Pernyataan Bersama dengan isi yang secara esensial sama dengan dokumen Februari tersebut.

        Kesulitan timbul ketika kedua pihak mengintrepretasikan secara berbeda isi dokumen yang sama. Pemerintah berpikir bahwa dokumen itu sudah mengamankan komitmen GAM menerima Undang-Undang NAD sebagai sebuah langkah awal. Sedangkan GAM tampak mengerti isi dokumen itu hanya sebagai bahan pertama untuk dibahas bersama.

        Jurubicara utama GAM, Sofyan Ibrahim Tiba, setibanya kembali di Aceh, membantah dengan keras bahwa GAM sudah menerima Undang-Undang NAD. Perbedaan tafsir ini kemudian diperburuk oleh unsur-unsur bersenjata yang mengklaim sebagai kekuatan GAM yang mulai menyerang fasilitas-fasilitas pemerintah, khususnya tiang-tiang listrik dan membunuh warga sipil yang tidak bersalah, termasuk perempuan dan anak-anak.

        TNI bereaksi dengan mengerahkan lebih banyak serdadu ke Aceh dan mengintensifkan operasi penumpasan kerusuhan. Kejadian ini mengikuti pola bahwa setiap kali kedua pihak mencapai suatu persetujuan, unsur-unsur di lapangan pasti mengeluarkan pernyataan-pernyataan bantahan atau penolakan lalu melancarkan aksi kekerasan, hal yang setiap kali merusak proses dialog.

        Jadi, pertemuan ketiga, yang semestinya dilaksanakan Juni 2002, batal digelar karena situasi buruk di lapangan. Kemudian, 19 Agustus 2002, Pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan baru tentang Aceh: GAM diberi kesempatan sampai akhir bulan puasa Ramadhan, berakhir 7 Desember 2002, untuk menerima tawaran otonomi khusus sebagai prasyarat bagi dialog lebih lanjut, atau harus menghadapi kekuatan militer Indonesia.

        Pada kenyataannya, proses dialog kini terhenti, tanpa jaminan apa pun bahwa GAM akan kembali ke meja perundingan. Sementara itu kekerasan kian meningkat dan terus menelan semakin banyak korban jiwa. Upaya pembunuhan juga terjadi belum lama ini atas diri Gubernur Aceh.

        Tidak lama sebelum berakhirnya bulan Agustus 2002, Pemerintah memperlunak sikap dengan pengumuman dari Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. "Kami mengharapkan babak perundingan baru dengan GAM dalam bulan September, mungkin bukan perundingan formal, tetapi kami akan terus meretas jalan bagi penyelesaian secara damai," demikian pengumuman tersebut.



Basis Dialog

        Di awal September, Pemerintah mengajukan sebuah rancangan persetujuan untuk menghentikan sikap permusuhan kepada Henri Dunant Centre (HDC) dan kelompok penasihat. Kedua pihak ini membuat perbaikan atas rancangan tersebut. Ini berarti keduanya menerima rancangan itu sehingga bisa dijadikan sebagai basis bagi dialog lebih lanjut antara Pemerintah dan GAM.

        Dan memang demikianlah yang terjadi: rancangan yang sudah diperbaiki dan dikonsolidasikan HDC itu dirundingkan dengan wakil GAM dan dalam serangkaian pertemuan tidak langsung kedua pihak (Pemerintah dan GAM) difasilitasi oleh diplomasi bolak-balik HDC di Singapura, Paris, Jenewa dan Stockholm.

        Proses ini makan waktu beberapa pekan. Pada 19 November 2002, HDC mengumumkan bahwa kedua pihak telah memberi komitmen untuk menyepapati sebuah persetujuan. Meski beberapa isu masih harus diselesaikan, persetujuan penghentian permusuhan direncanakan untuk disepakati 9 Desember 2002.

        Secara esensial, rancangan persetujuan itu menuntut pembentukan sebuah Komite Keamanan Bersama oleh Pemerintah Indonesia, GAM dan HDC yang terdiri dari 150 anggota. Komite ini bertugas memantau pelaksanaan penghentian permusuhan, menginvestigasi pelanggaran-pelanggaran dan untuk mengambil langkah-langkah, termasuk sanksi-sanksi guna memulihkan ketenangan.

        Undang-Undang Otonomi Khusus NAD akan menjadi titik awal bagi dialog semua unsur masyarakat Aceh menuju pemilihan umum 2004. Masalah-masalah yang belum terselesaikan, termasuk rincian mengenai waktu dan cara penyerahan senjata oleh GAM dan hal-hal yang mesti dilakukan oleh TNI. Keseluruhan proses dirancang untuk membuang senjata dari politik.

        Selagi HDC merasa yakin bahwa penandatanganan persetujuan tersebut akan terlaksana sesuai jadwal, sebenarnya ada banyak kejutan yang mesti diselesaikan hingga saat-saat terakhir.

        Syukurlah bahwa komunitas internasional merasa berkepentingan dalam proses ini dan menunjukkan dukungannya yaitu menyelenggarakan konferensi negara-negara donor di Tokyo, 3 Desember 2002, 6 hari menjelang penandatanganan perjanjian tersebut. Konferensi yang dipandu bersama oleh Jepang, AS dan badan-badan pendanaan internasional itu bertujuan menghimpun dana bagi pembangunan kembali Aceh setelah kedua pihak menandatnagani Persetujuan Penghentian Permusuhan itu.

        Negara-negara lain yang ambil bagian dalam konferensi itu adalah Australia, Kanada, Swedia, Denmark, Prancis, Jerman, Indonesia, Qatar, Malaysia, Pilipina, Swiss, Thailand dan Inggris. Juga hadir wakil dari Uni Eropa, Bank Pembangunan Asia, Bank Dunia, Program Pembangunan PBB (UNDP) dan HDC. GAM diundang ke konferensi itu tetapi tidak menghadirkan wakilnya.



Kegelisahan Kawasan

        Penyelenggaraan konferensi itu adalah manifestasi keprihatinan masyarakat internasional atas kenyataan ketidakstabilan terus-menerus di Indonesia, yang sebagiannya disebabkan oleh perkara Aceh.

        Kalau perkara Aceh dan juga perkara Papua, Maluku dan di beberapa propinsi lain semuanya bisa diselesaikan dalam beberapa bulan ke depan, hal ini merupakan pemulihan keadaan bagi negara-negara tetangga Indonesia yang gelisah akan dampak dari konflik internal di Indonesia bagi stabilitas kawasan Asia Tenggara. Bagi Indonesia sendiri, penyelesaian masalah-masalah internal ini, sampai tingkat tertentu, akan memulihkan posisinya dalam komunitas internasional dan di antara investor domestik dan asing.

        Disepakati dalam konferensi Tokyo tentang Perdamaian dan Rekonstruksi di Aceh bahwa begitu persetujuan ditandatangani, sebuah misi multi-agen akan dikirim ke Aceh untuk menghitung kebutuhan bagi perbaikan sosial-ekonomi di porpinsi itu. Negara-negara dan lembaga-lembaga internasional yang berpartisipasi kemudian akan mengumpulkan dana yang dibutuhkan bagi bantuan kemanusiaan, untuk mendukung pembubaran pasukan, mendorong investasi jangka pendek yang berdaya guna bagi masyarakat, perbaikan fasilitas pendidikan dan kesehatan dan pembangunan infrastruktur.

        Kelompok Konsultatif untuk Indonesia (CGI) akan mengkoordinasikan bantuan tersebut, sedangkan komunitas-komunitas lokal dan masyarakat sipil akan dilibatkan untuk menjamin bahwa dana-dana tersebut memang sampai ke tangan masyarakat yang membutuhkan sesegera mungkin secara bertanggungjawab dan transparan. Konsepnya ialah, menjamin bahwa rakyat benar-benar bisa segera merasakan buah dari perdamaian dan dengan demikian proses perdamaian itu sendiri diperkuat.

        Persetujuan Penghentian Permusuhan ditandatangani di Jenewa 9 Desember 2002. Tetapi pada Januari 2003 sudah mulai kelihatan bahwa jalan menuju perdamaian benar-benar penuh tantangan, terutama dalam dua bulan pertama. Banyak hal tergantung pada ketrampilan dan kebijaksanaan Komite Keamanan Bersama (JSC) di bawah kendali Mayjen Thanungsak Tuvinan dari Thailand dan wakilnya Brigjen Nogomora Lomodag dari Pilipina.

        Tidak lama setelah penandatanganan persetujuan itu, 30 Desember 2002, sudah terjadi 50 insiden pertempuran antara kekuatan GAM dan pasukan keamanan Indonesia. Sejak Persetujuan Penghentian Permusuhan ditegakkan, korban tewas yang jatuh memang berkurang secara berarti, tetapi belakangan ini meningkat lagi.

        Juga telah timbul soal akibat penolakan GAM belum lama ini atas kehadiran pengamat dari Pilipina dalam ISC. GAM menilai wakil Filipina itu tidak bisa berdiri netral karena pemerintah Pilipina terlibat dalam pertempuran dengan gerakan Moro yang hendak memisahkan diri, dan juga karena Indonesia pernah menjadi penengah bagi perjanjian damai antara pemerintah Pilipina dan kelompok separatis lain di negeri itu tahun 1996. Soal ini kemudian diselesaikan dengan kesepakatan bahwa wakil Pilipina yang sudah ada dalam ISC dipertahankan sedangkan tambahannya digantikan oleh pengamat dari Thailand. (Sinar Harapan)

        DAMPAK umum dari penandatanganan perjanjian Penghentian Permusuhan (COHA) di Jenewa 9 Desember 2002 ialah kegembiraan besar rakyat Aceh - dan ini terutama karena perjanjian itu sudah dianggap sebagai sebuah perjanjian perdamaian.

        Rakyat Aceh merasa bahwa perdamaian sudah di tangan mereka dan mereka tak hendak melepaskannya lagi. Tetapi faktanya ialah, senjata terus saja menyalak. Dengan kerinduan yang begitu besar akan perdamaian setelah sekian lama dilelahkan konflik, maka kegagalan pelaksanaan perjanjian tersebut merupakan pukulan sangat berat bagi rakyat Aceh.

        Di Jakarta, COHA yang disambut secara berhati-hati dan tanpa banyak kritik itu dipertegas oleh komitmen Presiden Megawati Soekarnoputri sendiri yang didemonstrasikan dengan segera mengunjungi Aceh menyusul penandatanganan di Jenewa itu. Unit-unit GAM kembali ke barak-barak mereka, sementara sebuah tim multi-agen dari PBB mengunjungi Aceh untuk mengkalkulasi kebutuhan pembangunan kembali Aceh. Di Jakarta, Pemerintah menggalang tim bantuan kemanusiaan bagi rakyat Aceh dan juga memprioritaskan bantuan bagi warga pengungsi Aceh.

        Dalam waktu sebulan JSC yang memantau pelaksaan COHA tersebut mulai masuk Aceh. Insiden dengan korban tewas turun secara dramatis, dan perkembangan positif ini semestinya menjadi momentum perdamaian, tetapi nyatanya tidak demikian. Permusuhan jalan terus, sampai pada titik yang sedemikian sulit sehingga sangat sulit dibayangkan bahwa kesepakatan itu masih bisa dilaksanakan.

        Saling tuding antara TNI dan GAM - mengenai pelanggaran persetujuan - pun terjadi. Ini ditambah dengan menyebarnya laporan bahwa anggota JSC diintimidasi warga sipil setempat, hal yang dibantah pihak militer. Dengan alasan keamanan, anggota JSC pun mundur dari Aceh, ini sejalan dengan keluhan Pemerintah bahwa JSC tidak efektif karena pernyataan-pernyataan serba negatif dari oknum-uknum GAM tentang JSC. Ketimbang memenuhi isi COHA - dihentikannya permusuhan - GAM justru menggalang demonstrasi pro-kemerdekaan dan mengacau-balaukan informasi guna menciptakan persepsi umum bahwa hasil akhir pelaksanaan pertujuan Jenewa adalah kemerdekaan Aceh.

        Bersama semua itu GAM merekrut tenaga-tenaga baru untuk perjuangannya dan mengangkat perwira-perwira baru, sekaligus melakukan perluasan struktur politiknya dari kampung ke kampung.
Pemerintahan bawah tanah yang dikembangkan GAM ini disertai praktik pemungutan pajak yang disebut "Pajak Nanggroe". Ini tentu saja sebuah penyimpangan dan tindak kejahatan.

        Dengan ulah GAM ini jadwal kerja JSC sama sekali terganggu hal yang juga berdampak pada citra buruk Henri Dunant Centre (HDC) yang bertugas sebagai pengawas penyerahan senjata (peletakan senjata) GAM.



HDC Gagal

        Pemerintah kemudian mengajukan protes keras kepada HDC, menuding GAM telah melanggar kewajiban-kewajibannya dalam COHA. Atas dasar ini Pemerintah menuntut segera diadakan sidang Dewan Bersama (Joint Council) yang terdiri dari Pemerintah, GAM dan HDC.

        Dewan Bersama ini diciptakan COHA sendiri dengan tugas menyelesaikan perselihan akibat pelaksanaan COHA yang tidak bisa diselesaikan JSC. Tuntutan diadakannya pertemuan Dewan Bersama itu diajukan kepada HDC awal April 2003 dan Pemerintah menyebutnya sebagai upaya terakhir untuk menyelamatkan COHA.

        Tidak lama sesudah itu Presiden Megawati mengirim utusan khusus kepada PM Swdia untuk menyampaikan secara resmi kepada Pemerintah Swedia bahwa sejumlah warganegara Swedia - Hasan Di Tiro dan beberapa letnan terkemuka pendukungnya - terlibat dalam aksi pemberontakan dan aksi kejahatan lainnya yang menyebabkan banyaknya jatuh korban di Indonesia.
Pemerintah Swedia menjawab dengan minta bukti-bukti konkret untuk itu, hal yang tampaknya sedang dipersiapkan Pemerintah RI.

        Dalam suratnya untuk Pemerintah RI, GAM menolak menghadiri pertemuan Dewan Bersama. Pemerintah pun mulai menyiapkan operasi militer di Aceh karena proses menuju perdamaian tampaknya sudah menjadi berantakan.

        Pertengahan April, GAM berubah pikiran, dengan memberitahu Pemerintah RI, melalui HDC, bahwa mereka bersedia menghadiri pertemuan Dewan Bersama. Pemerintah menyambut baik hal ini, namun GAM masih harus memberi persetujuan tentang tempat dan tanggal pertemuan tersebut. Pemerintah memilih Tokyo, GAM memilih Jenewa sebagai tempat pertemuan.

        Dengan enggan Pemerintah menyetujui tempat Jenewa dan menetapkan pertemuan pada tanggal 25 April. GAM setuju tetapi tidak lama kemudian berubah pikiran lagi, terutama menyangkut tanggal pertemuan.

        Pemerintah menawarkan kompromi bahwa pertemuan pembukaan 25 April dan pertemuan sesungguhnya tanggal 26 dan 27. Tetapi tanpa alasan yang jelas HDC tidak bisa meyakinkan GAM untuk menerima kompromi dari Pemerintah RI.

        GAM hanya mau bertemu tanggal 27 April, hari Minggu, tetapi seluruh soal tidak bisa hanya diselesaikan dalam satu hari pertemuan. HDC tidak bisa membawa GAM ke meja pertemuan sehingga Dewan Bersama gagal terlaksana.



Selalu Berkhianat

        Pemerintah sudah mengambil semua langkah yang fleksibel bersamaan dengan kesabaran yang kian mendekati batas. Di pihak lain GAM sama sekali tidak menunjukkan fleksibiltasnya dengan alasan yang tidak jelas, dan juga tampak mempermainkan itikad baik Pemerintah.

        Maka pertanyaan besar sekarang ialah: Apakah berikutnya? Jawabannya boleh jadi bisa ditarik dari kelakuan GAM di masa lalu. Sejak perundingan dimulai awal Januari 2000, kelakuan khas GAM adalah berkhianat! GAM menerima suatu pengaturan, seperti jeda kemanusiaan, tapi menggunakannya hanya untuk tujuan konsolidasi kekuatan, hanya untuk membuka kembali pertempuran ketika pihaknya yakin memiliki kekuatan politik dan senjata yang memadai. Di sini lain Pemerintah selalu mencoba konsisten dengan pernyataan 19 Agustus bahwa akan berpegang teguh pada strategi menggunakan semua jalan damai sebelum memutuskan sebuah "tindakan yang tepat" yang oleh sebagian besar orang ditafsirkan sebagai operasi militer.

        Pernyataan bersama 10 Mei dan COHA 9 Desember memang bukanlah dokumen yang sempurna tetapi memadai sebagai peta jalan yang jelas dengan penerimaan Undang-Undang NAD sebagai titik tolak, disusul dengan penghentian permusuhan, dialog segenap unsur masyarakat Aceh dan akhirnya pemilihan umum 2004.

        Ketika format yang akurat dan jadwal dialog semua unsur Aceh itu belum diputuskan, pemilihan yang disebutkan dalam COHA adalah pemilihan umum Indonesia 2004. Hal ini sama sekali tidak bisa ditafsirkan sebagai berkaitan dengan referendum dan kemerdekaan.

        Faktanya ialah, komitmen fundamental Pemerintah dan GAM telah dinyatakan dalam bagian pembukaan COHA, di mana dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia dan GAM mempunyai sasaran obyektif yang sama memenuhi aspirasi rakyat Aceh untuk hidup dengan aman secara bermartabat, damai, sejahtera dan adil.

        Tetapi yang terjadi, GAM tidak berupaya mencari jalan menuju perdamaian, melainkan menjadikan perdamaian sebagai jalan untuk mencapai tujuan mereka sendiri. Padahal satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan bersama ialah dengan mematuhi naskah dan semangat COHA dan mempertahankan fokus pada tujuan bersama.

        Dengan menjalankan seluruh kesabaran dan flesibilitas di hadapan GAM yang "bertingkah", Pemerintah yakin bahwa telah mempertahankan sebuah pilihan moral yang tinggi. Kalau sekarang Pemerintah harus memformulasikan kembali kebijakan atas Aceh, hendaknya tetap dengan moral yang tinggi itu dan dengan itu Pemerintah bisa memilih salah satu dari dua pilihan: menjalankan operasi militer, atau mencoba lagi jalan damai.

        Memulai kembali proses perdamaian, untuk sebagian orang, secara politis, tampak tidak lagi menjadi pilihan yang menarik. Sedangkan di sisi lain, pandangan bahwa perdamaian harus diupayakan dengan segala cara sudah dinyatakan oleh banyak politisi terkemuka, oleh para ulama dan orang-orang Aceh pada umumnya. Dalam COHA ditetapkan batas waktu 5 bulan bagi GAM merampungkan proses melepaskan senjata. Secara teoretis ini baru akan berakhir 9 Juli mendatang, sehingga sesudah tanggal itu akan menjadi sah bagi Pemerintah bila hendak melancarkan operasi militer di Aceh. Hal inilah yang kini sedang terus dibicarakan.



Perang Kemanusiaan

        Ketika operasi militer akhirnya diputuskan, operasi itu mesti dipersiapkan secara berhati-hati, sehingga yang terjadi di lapangan nanti bukanlah perang dalam pengertian tradisional melainkan perang kemanusiaan yang didasarkan pada pengakuan bahwa situasi politik yang sedemikian rumit di Aceh tidak bisa semata-mata diselesaikan secara militer.

        Lebih dari itu, ada risiko bahwa aksi militer bisa menjadi bumerang bagi RI kalau korban sipil menjadi berlebihan. Karenanya operasi militer harus dirancang tidak saja untuk memenangkan pertempuran dan kontak senjata, tetapi terutama memenangkan hati dan pikiran rakyat Aceh. Tuntutan dewasa ini ialah, walapun operasi militer itu sah adanya, operasi itu sendiri harus sedemikian rupa sehingga menghindari "kerusakan besar-besaran". Apabila korban sipil berjatuhan, rasa dendam baru timbul pada sebagian rakyat Aceh, dan ini hanya akan mempersulit pencapaian tujuan dari apa yang disebut sebagai "perang kemanusiaan" itu.

        Sesungguhnya, masyarakat Aceh sudah seharusnya mendukung operasi militer itu, setidaknya sampai tingkat tertentu, dan oleh karena itu operasi tersebut harus dijalankan dengan cara yang tidak merugikan kepentingan dan hidup mereka. Dengan kata lain, aspek kemanusiaan dari operasi militer harus menjadi pertimbangan utama. Ini berarti bahwa operasi militer tidak berjalan sendirian, melainkan diintegrasikan dengan upaya-upaya lain yang dijalankan serempak di bidang sosial, ekonomi, politik dan lain-lain.

        Di atas semuanya itu, operasi militer tersebut haruslah sesingkat mungkin. Seperti kata filosof militer Cina, Sun Tzu: "Belum ada contoh dari bangsa manapun yang memetik keuntungan dari perang yang panjang". Kasus Aceh bisa menjadi kekecualian bagi kata-kata Sun Tzu itu, bila nanti harus terjadi perang 26 tahun lagi, sebagaimana telah terjadi sebelumnya, di Aceh. (Sinar Harapan)

----> http://www.kbri-canberra.org.au/s_issues/aceh/articles/articles_jalanpanjang.htm

10 Mei 2013

Pahlawan Baru Ciptaan Jakarta

Ketua SIRA ditangkap. Jadilah ia pahlawan baru yang dengan naif diciptakan Jakarta.

LELAKI itu menaiki tangga kantor Markas Polisi Resor Aceh Besar dengan kepala tengadah. Selasa pekan lalu, dengan diantar oleh tiga pengacaranya, ia memasuki fase baru dalam kehidupannya sebagai seorang aktivis: meringkuk dalam sel dingin polisi. Muhammad Nazar, Ketua Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA), hari itu resmi ditahan aparat.

Polisi menuduh Nazar telah menyebarkan kebencian kepada pemerintah Jakarta. Dalam pidatonya menjelang pelaksanaan Sidang Raya Rakyat Aceh untuk Kedamaian (Sira-Rakan) beberapa pekan lalu, Nazar dianggap telah mengeluarkan pernyataan yang menghasut. Ia mengatakan Aceh bukan bagian dari Negara Indonesia dan menyebut Indonesia sebagai neokolonialis.

Penahanan Nazar adalah salah satu bukti memburuknya hubungan Jakarta dan Aceh. Jeda Kemanusiaan yang disepakati oleh pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Mei lalu terbukti tak mampu meredam konflik antara kedua kekuatan. Keadaan tetap memburuk dan korban terus jatuh.

Ketika aparat memburunya setelah surat panggilan polisi tak digubris, pria 28 tahun itu disembunyikan sejumlah aktivis mahasiswa di sebuah tempat di pinggiran Kota Banda Aceh. "Mereka bukan ingin menangkap saya. Mereka ingin menghentikan tuntutan referendum," kata Nazar kepada wartawan TEMPO J. Kamal Farza. Sebelum ditangkap, ia yakin ada orang yang ingin membunuhnya. Ditemukannya mayat dengan pakaian yang sama dengan pakaiannya meyakinkan Nazar bahwa ia sedang diincar.

Nazar sebetulnya pendatang baru dalam khazanah perjuangan bangsa Aceh. Pria kelahiran Pidie yang baru saja menikah itu berusia empat tahun ketika pemimpin GAM Hasan Tiro mendeklarasikan Aceh Merdeka, 1976. Nazar tak dikenal ketika kekerasan memuncak di bumi Serambi Mekah saat Jakarta menjadikan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM) hingga 1998.

Nama Nazar baru muncul belakangan. Ia mencuat ke permukaan ketika lebih dari 300 mahasiswa dan aktivis lembaga swadaya masyarakat memilihnya menjadi Ketua SIRA pada awal tahun lalu. SIRA adalah organisasi presidium yang menghimpun 104 lembaga mahasiswa dan LSM yang bertujuan menuntut referendum bagi Aceh.

Salah satu prestasi SIRA adalah ketika berhasil menghimpun massa untuk hadir dalam acara Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum, 8 November 1999. Lembaga itu mengklaim hajatan di pelataran Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, itu diikuti oleh 2 juta penduduk Aceh. "Kami ingin membuktikan bahwa referendum didukung rakyat," kata Nazar saat itu. Jakarta dibuat terperanjat dengan aksi tersebut.

Tapi, setelah itu, aktivitas SIRA menurun. Ada memang demo-demo di Jakarta untuk memelihara Isu referendum, tapi umumnya kurang bergaung karena tertelan peristiwa lain yang lebih berskala nasional.

Baru dalam Sira-Rakan yang lalu, referendum kembali nyaring terdengar. Ini membuat Jakarta keras bereaksi. Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono bahkan memperingatkan agar GAM dan SIRA tidak main-main dengan Jakarta. "Pemerintah akan mengambil langkah-langkah penegakan hukum dan keamanan," kata Susilo. Inilah untuk pertama kalinya nama GAM disandingkan dengan SIRA sebagai lawan politik Jakarta dalam masalah Aceh.

Secara pribadi, hubungan SIRA dengan GAM cukup baik. Panglima Perang GAM Teungku Abdullah Sjafii kepada TEMPO mengatakan bahwa mahasiswa, termasuk aktivis SIRA, adalah anak-anak GAM. "Tak kan berpisah anak dengan bapak seperti tak akan berpisah manis dengan gula," kata Sjafii.

Tapi, sebagai organisasi, keduanya berbeda. SIRA menuntut referendum dan GAM menuntut kemerdekaan tanpa syarat. Ketika menggelar aksi massal November tahun lalu, Nazar menegaskan bahwa tuntutan referendum adalah jalan tengah atas kekerasan sikap GAM dan Jakarta.

Namun, belakangan, Nazar berubah. Kepada TEMPO ia menegaskan bahwa organisasinya akan mendesak pemerintah Belanda agar mengembalikan kedaulatan Aceh yang sebelumnya diserahkan kepada Indonesia. "Belanda tidak berhak menyerahkan sebuah negara berdaulat kepada bekas jajahannya," katanya. Dengan kata lain, Nazar berpendapat bahwa Aceh bukan merupakan bagian dari Indonesia. Dibandingkan dengan ide referendum, pernyataan ini merupakan pergeseran sikap.

Menurut koordinator Kontras, Munarman, perubahan ini bisa dipahami. Dalam banyak hal, Jakarta telah menjadikan SIRA sebagai musuh. Tuntutan referendumnya tak digubris, bahkan aktivisnya diperangi. Itulah sebabnya Nazar mengeras. "Ini menjadikan Nazar terseret dalam wacana GAM," kata tokoh yang pernah menjadi koordinator Kontras Aceh itu.

Dengan analisis semacam ini, penangkapan Nazar rasanya memang sebuah kesalahan besar yang telah dilakukan Jakarta. Alih-alih menarik simpati rakyat Aceh, pemerintah malah menciptakan musuh baru. Jakarta dengan naif telah menjadikan Nazar sebagai simbol baru dari perlawanan rakyat Aceh. []

Arif Zulkifli
Majalah TEMPO: Edisi. 12/I/27 November - 03 Desember 2000

09 Mei 2013

Teungku Abdullah Syafi'ie:
"Hanya Satu Tujuan, Aceh Merdeka"

Panglima AGAM (Angkatan Gerakan Aceh Merdeka) Teungku Abdullah Syafi'ie yang dikabarkan oleh pihak TNI sedang sekarat akibat tertembak dalam pertempuran dengan mereka, ternyata sehat walafiat. Bahkan, pekan ini Syafi'ie sempat menerima wartawan cetak dan televisi di kawasan hutan Pasee Aceh Utara. "Alhamdulillah, saya sehat walafiat. Seperti Anda lihat, saya masih tetap memimpin pasukan," katanya kepada wartawan TEMPO Interaktif pekan ini, di sebuah tempat yang berjarak 10 kilometer dari pemukiman penduduk di kawasan pegunungan -- antara Aceh Utara dan Tengah.

Menurut Syafi'ie, ketika terjadi pertempuran di Jiem-Jiem, ia sedang mengadakan rapat dengan komandan-komandan wilayah, yang jauh dari lokasi. Karena itu, ia pun mengkedepankan alibi: Mana mungkin seseorang berada di dua tempat yang berbeda pada jam yang sama. Dan pihak TNI harus menelan pil pahit akibat kesalahan informasi yang diperoleh.

Cerita tertembaknya Syafi'ie sebenarnya dimulai setelah terjadi kontak senjata yang cukup seru antara pihak keamanan dan GAM di Jiem-Jiem 16 Januari 2000 lalu. Pertempuran kali ini memunculkan berbagai isu di tengah masyarakat, yang paling santer adalah selain seputar banyaknya korban jiwa di pihak TNI/Polri terkena tembakan AGAM, termasuk Syafi’ie.

Selain disiarkan secara luas oleh media di Indonesia, juga diberitakan oleh media luar negeri, antara lain surat kabar Utusan Malaysia terbitan 22 Februari. "Itu berita bohong yang dipropagandakan oleh pihak TNI/POLRI di Aceh untuk menjatuhkan semangat para simpatisan dan penyokong Angkatan Atjeh Merdeka yang berada di Acheh dan di tempat-tempat lain di dunia," kata juru bicara AGAM Ismail Syahputra kepada TEMPO Interaktif, Kamis pagi (24/2).

Yang terjadi setelah itu adalah perang urat saraf antara TNI dan GAM. Sampai akhirnya, Kapendam Bukit Barisan Letkol Sulystio menyuruh Syafi'ie tampil di media, untuk membuktikan bahwa dirinya sehat. Kini, meskipun melalui media terbatas, Syafi'ie sudah memperlihatkan bahwa tidak ada peluru yang menembus tubuhnya, sekedar "memenuhi" harapan dan keraguan rakyat bahwa ia sehat. Tetapi, rakyat masih trauma. Setiap hari ada yang mati, dan itu lebih banyak dialami warga sipil -- termasuk kaum perempuan dan anak-anak -- yang seharusnya tidak menjadi korban.

Abdullah Syafi'ie, memang sedang menjadi berita, sejak setahun terakhir ini. Ia sosok yang pantang menyerah. Menurut penduduk setempat dan beberapa tokoh GAM lama menyebutkan, Abdullah sudah ikut bergerilya di hutan-hutan sejak usia muda. Ketika itu ia belum prajurit, melainkan hanya bawaan seorang panglima GAM ketika bergerilya di hutan-hutan era 1980-an, dan menjadi GAM benaran setelah sang Panglima tewas diterjang peluru TNI.

Abdullah Syafi'i sendiri mengaku sudah menjadi tentara sejak 3 Desember 1976 sehari sebelum Aceh Merdeka diproklamasikan. "Berbeda dengan teman-teman, saya tidak pernah latihan di luar negeri," katanya. Lalu di mana? "Jangan tanyakan di mana. Itu rahasia," ujarnya seraya tersenyum. Tempat "rahasia" yang dimaksudkan Abdullah, menurut sumber-sumber dekatnya, adalah gunung-gunung di kawasan Pidie sampai Aceh Tengah.

Meskipun ia adalah "orang lama" dalam GAM, setidaknya seperti pengakuannya, Abdullah bukanlah tokoh yang populis. Dia baru dikenal dan dekat dengan wartawan pada awal 1999-an, ketika ia memegang tongkat komando Panglima AGAM Wilayah Pidie. Lelaki yang hanya sempat bersekolah sampai kelas III Madrasah Aliyah Negeri Peusangan ini, memperistri Cut Fatimah, seorang wanita dari Desa Cubo, Kecamatan Bandar Dua, Pidie, yang hingga kini masih setia mendampinginya, meskipun konon sudah lumpuh. "Istri saya lumpuh akibat dianiaya TNI semasa DOM," katanya suatu ketika.

Sampai beberapa waktu lalu, keberadaan Syafi’ie banyak diragukan orang. Ada yang menganggapnya sebagai tokoh misterius. Malah, ada mensinyalir dia sebagai "binaan" kelompok status quo langsung dari seorang bekas jenderal di Jakarta. Bahkan sebuah media terbitan Jakarta mengatakan Abdullah Syafi'ie sebagai disertir RPKAD.

Bagi kalangan yang dekat dengan orang nomor satu di AGAM ini, pendapat itu dianggap sebagai fitnah dan propaganda untuk menghancurkan GAM. Abdullah Syafi'ie sendiri mengaku sangat geram dengan fitnah ini. "Ayah saya sangat anti-TNI. Sejak kecil saya sudah dilatih bermain dengan parang. Usia 23 saya gabung dengan Wali Negara Aceh, Dr Teungku Muhammad Hasan di Tiro," katanya sebagaimana dikutip Kompas, Rabu (1/3). Menurut Syafi'ie, dia sengaja diisukan sebagai "piaraan" TNI guna memecah-belah rakyat Aceh, apalagi RPKAD sangat dibenci rakyat akibat kebiadaban selama Aceh menjadi daerah operasi militer.

Pernyataan Abdullah Syafi'ie diperkuat Tgk Ismail Syahputra, juru bicara Acheh Sumatera National Liberation Front (ASNLF). "Haha….isu apa lagi ini. Mengapa propaganda dan fitnah tak habis-habisnya dilakukan keparat TNI," katanya menjawab TEMPO Interaktif, Rabu pagi (1/3). Ismail malah menantang agar TNI membuktikan, kalau benar komandannya seperti fitnah itu. "Kalau benar, buktikan. Logikanya, panggil saja beliau kembali, mengapa repot-repot memburu beliau?" tanya.

Lantas siapa sebetulnya Abdullah Syafi'ie? Ia lahir di Peusangan, Aceh Utara, tahun 1952, dan menyelesaikan pendidikan dasarnya di Madrasah Ibtidayah Negeri (MIN) Matang Geulumpang Dua, Aceh Utara. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan ke pesantren. Usai dari pesantren, ia kemudian melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Peusangan, Aceh Utara. Waktu itu, ia sempat pula menjadi guru di MIN dan SD setempat.

Awal keterlibatannya dengan Gerakan Aceh Merdeka dimulai ketika ia bertemu dengan Hasan Tiro, Desember 1976. Begitu ketemu tokoh yang selalu dicari-cari dan begitu diidolakannya sampai sekarang itu, ia pun menjatuhkan pilihan bulat untuk bergabung dengan GAM, tepat sehari sebelum proklamasi Negara Aceh Merdeka. Esoknya, 4 Desember 1976, Aceh Merdeka pun diproklamirkan. Itulah yang menjadi awal terjadinya konflik antara pemerintah dan Aceh yang menjadi basis gerakan ini.

Setelah proklamasi itu, kelompok ini menjadi buruan pemerintah pusat. Dan akhirnya, tentara memang bisa menaklukkan mereka. Gerakan ini hilang dari peredaran, meskipun mereka tetap bergerilya, tetapi hampir tidak terdengar lagi aktivitasnya yang berarti. Begitu juga Syafi'ie yang waktu itu masih prajurit di GAM. Selama 23 tahun ia hidup di hutan dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Sampai GAM bergairah kembali pada akhir 1980-an yang mengakibatkan diberlakukannya operasi militer di Aceh, nama Abdullah Syafi'ie belum pernah terdengar. Bahkan, sampai status daerah operasi militer dicabut, orang juga belum pernah mendengar namanya.

Ketokohannya muncul secara mendadak paska DOM. Waktu itu, ia menjadi Panglima Wilayah Gerakan Aceh Merdeka untuk wilayah Pidie. Sosoknya pun begitu menjadi incaran, baik pihak aparat keamanan maupun para wartawan dalam maupun luar negeri. Para wartawan berlomba-lomba mendapatkan wawancara ekslusif dengannya. Statement dan sosoknya kerap muncul di media cetak maupun elektronik.

Ia begitu mengidolakan Dr. Teuku Chik Ditiro Hasan Muhammad atau populer Hasan Tiro -- sebagai Paduka Yang Mulia, Almukaram dan Guru yang baik -- yang menurutnya banyak memberikan dorongan dan memberikan inspirasi bagi perjuangannya. "Almukaram Wali Neugara pernah berkata: While man powerless to change his past, he still the master of his future. Because his future is largely determined by his present intention and action." --- Seseorang masih tetap sebagai pemilik masa depannya, sekalipun dia gagal dalam meraih dan menggenggam masa lalu. Karena masa depannya itu ditentukan oleh aksi dan intensinya hari ini.

Hasan Tiro, dimata Syafi'ie adalah sosok yang berjuang tanpa pamrih bagi kemerdekaan Aceh. Menurutnya, sangat wajar bila rakyat Aceh kemudian sangat menghormati tokoh yang selama 15 tahun ini menetap di Swedia itu. Itu tak lain disebabkan selain karena krisis pimpinan yang legitimated, Aceh seperti terbiarkan dalam pusaran derita dan penganiayaan berkepenjangan.

Syafi'ie pun sangat getol menepis isu yang ditiupkan kalangan militer di Aceh bahwa Hasan Tiro sudah meninggal. Ia berujar, Hasan akan segera kembali untuk memimpin langsung proses transisi penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, "Tunggu saja ya, tidak lama lagi ia akan pulang," kata Panglima Komando Pusat Angkatan Gerakan Aceh Merdeka dalam konfrensi pers seusai peringatan HUT GAM, di Pusat Komando Ditiro Sabtu 4 Desember tahun lalu. Apakah wartawan bisa bertemu? "Silakan bertemu, boleh saja, dia kan wali negara," tambah Abdullah waktu itu.

Ia memang punya tekad yang kuat untuk memerdekakan Aceh. Menurutnya, bangsa Aceh menuntut kemerdekaan dan keadilan dengan semangat perdamaian, karena dasarnya negeri dan bangsa Aceh memang anti kekerasan. "Kami memperjuangkan Aceh dengan diplomasi internasional. Untuk mencapai itu semua hanya ada satu pimpinan yakni Dr Tengku Muhammad Hasan Di Tiro," katanya.

Tetapi, ia menolak berdialog dengan pemerintahan Gus Dur, apalagi dialog boong-boongan. "Tak ada hubungan dengan Indonesia, dan tidak ada dialog dengan pembohong," katanya dengan nada emosional. Kenapa? Karena Aceh sering tertipu dan acap dianiaya. Menurutnya, Belanda dan Indonesia harus bertanggung jawab atas penderitaan rakyat Aceh selama hampir 55 tahun ini. Karena merekalah yang membuat rakyat menderita. "Seluruh dunia yang beradab sudah memperhatikan perjuangan kami Aceh Merdeka. Kami sebagai bangsa Aceh ingin memisahkan diri dari imperialisme kolonialisme Indonesia," tegasnya dengan sorot mata tajam.

Kemerdekaan yang diperjuangkan GAM saat ini menurutnya, bukan saja sebatas pengertian geografik dan politik, keluarnya Aceh dari imperialis Indonesia-Jawa, melainkan dalam pengertian yang sejati, adanya kehidupan bangsa Aceh yang sejahtera, berharkat dan bermartabat. (amaliza/mis)

----> Sumber: http://www.tempo.co.id/harian/wawancara/pro-syafie.htm

08 Mei 2013

Pemilu Bebas dan Adil, Kecuali bagi Ahmadi

KARACHI (IPS) – SYED HASAN, dokter berusia 25 tahun yang berpraktik di sebuah rumahsakit swasta di Lahore, berencana menghabiskan waktunya pada 11 Mei, hari pemilihan umum Pakistan, di tempat tidurnya.

Sebagai penganut Ahmadiyah, Hasan berikrar memboikot pemilu mendatang dengan alasan hak komunitasnya, berjumlah sekira empat juta orang, dihilangkan.

Sejak Konstitusi Pakistan melabeli mereka non-Muslim, para Ahmadi –yang meyakini ulama abad ke-19 Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi– menjadi minoritas yang terus-menerus teraniaya di Pakistan.

Diskriminasi ini sangat terasa di kotak suara. Penganut Ahmadiyah dipaksa mendaftar suaranya di bawah kategori terpisah dari warga lain dan karenanya menerima status non-Muslim, sebuah penyangkalan terhadap identitas keagamaan mereka, ujar Amjad M. Khan, ketua Perhimpunan Pengacara Muslim Ahmadiyah, bermarkas di AS, kepada IPS lewat surat elektronik.

Menurut Hasan, “Jika kami ingin memilih sebagai Muslim Pakistan, begitulah kami menganggap diri kami, kami harus mencela komunitas Ahmadi dan pemimpin spiritual kami, Mirza Ghulam Ahmad, sebagai nabi palsu,” yang dia sendiri tak bermaksud menyebut dirinya sebagai nabi.

Dia berujar bahwa keyakinannya lebih penting ketimbang ikut pemilu.

Walau pilihan itu sudah jelas bagi banyak Ahmadi, para pemuka masyarakat sipil dan partai politik khawatir apa arti boikot itu bagi demokrasi di negara berpenduduk 170 juta ini, di mana harapan untuk “pemilu yang bebas dan adil” menjulang menjelang pemungutan suara.

Bagi Adnan Rehmat, ketua ‘Intermedia’ –organisasi pengembangan media yang berpengaruh berbasis di Islamabad, “Bila 200.000 Ahmadi dewasa tak memberikan suara karena … hukum mencabut hak-hak mereka… itu berarti pemilu secara teknis tidak bebas dan adil”. Itu juga mengindikasikan ada “kesalahan serius” pada fungsi negara.

“Ahmadi… didiskriminasi pada tingkat yang tak belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan dalam sejarah kami sendiri yang penuh warna,” ujar Mohammad Hanif, novelis dan jurnalis Pakistan. Dia menambahkan, memaksa Ahmadi mengidentifikasi diri mereka sendiri secara berbeda di kotak suara “lebih buruk dari orang-orang yang kehilangan hak memilih –ini membunuh kemanusiaan mereka.”



Dekade diskriminasi

Sejak berdiri pada 1947 hingga Muhammad Zia-ul-Haq berkuasa sebagai diktator militer pada 1985, Pakistan memiliki sistem pemilu yang memungkinkan semua warga negara punya hak sama untuk memilih kandidat politiknya, terlepas dari preferensi agamanya.

Dalam upaya “Islamisasi” Pakistan, Zia-ul-Haq menetapkan sebuah sistem terpisah bagi apa yang dia disebut non-Muslim, yang hanya punya hak pilih 5 persen kursi parlemen.

Sistem itu efektif merampok masyarakat dari perwakilan politiknya, mencegah Ahmadi menduduki pos-pos strategis di pemerintahan atau bahkan mendapatkan pekerjaan di lembaga-lembaga negara seperti kepolisian.

Pada 2002, untuk memenuhi tuntutan kelompok Islam garis keras, mantan Presiden Pervez Musharrafmengeluarkan Maklumat No 15. Isinya, para Ahmadi dimasukkan pada “daftar pemilih tambahan”, suatu langkah yang disebut Amjad M. Khan “laknat bagi keadilan Islam”.

Sejak itu, ujarnya, pemerintah dengan sengaja menutup mata atas “apartheid pemilih” di Pakistan, melanggar Pasal 25 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, yang sudah ditandatangani Pakistan pada 2008.

Kendati sebagian orang menilai diskriminasi itu murni masalah politik, bagi Muslim Ahmadiyah itu masalah hidup atau mati. Celah hukum memungkinkan kaum ektremis berkedok agama menyerang komunitas minoritas, sementara undang-undang antipenodaan agama yang kontroversial membuka jalan bagi berlanjutnya intoleransi.

Bulan lalu, Jamaat-i-Ahmadiyya menerbitkan laporan tahunan 2012, menyatakan 19 anggota komunitasnya dibunuh tahun lalu; total sekira 226 Ahmadi tewas dalam kekerasan sektarian sejak 1984.

Hampir tiga tahun lalu, pada 28 Mei 2010, 94 Muslim Ahmadiyah dibantai di masjid-masjid mereka selama shalat Jumaat di timur kota Lahore. Tak satu pun pelakunya diadili.

Tahun ini, oposisi Pakistan Tehreek-e-Insaf (PTI), dipimpin mantan bintang kriket Imran Khan, mengambil sikap melawan diskriminasi itu atas nama minoritas yang teraniaya. Zohair Ashir, jurubicara PTI, berujar kepada IPS bahwa partainya menganggap semua warga Pakistan punya hak sama di mata hukum.

“Memalukan bahwa pemerintah di masa lalu tak memperbaiki begitu banyak ketidakadilan dan ketimpangan dalam sistem,” katanya. Dia menambahkan, jika meraih kekuasaan, PTI akan “mengatasi semua masalah tersebut secara cepat dan tepat”.

Dia berhenti sejenak saat ditanya secara khusus apa langkah kongkret yang akan diambil untuk menjamin partisipasi penganut Ahmadiyah dalam politik. “Secara hipotesis, pada tahap ini menentukan langkah legislatif yang perlu diambil dan kapan waktunya. Memperbaiki perekonomian, krisis energi, dan memerangi terorisme adalah bidang prioritas utama dan mendesak bagi kami.”

Hanya sedikit orang yang percaya pemilu nanti akan membawa perubahan.

Berbicara kepada IPS lewat telepon dari Chenab Nagar, sebuah kota di provinsi Punjab di mana 95 persen dari 70.000 penduduknya adalah penganut Ahmadiyah, seorang jurnalis 37 tahun bernama Aamir Mehmoodberkata bahwa dia “tak bisa membayangkan ada politisi atau partai yang punya keberanian utuk memulai sebuah perdebatan dan penentangan soal undang-undang diskriminatif di negara kami yang dipakai untuk mengekang kaum minoritas”.

Karena hari pemungutan suara kian mendekat, pelbagai kelompok dan individu yang bertindak untuk melindungi “kesucian Nabi Muhmmad” menyerukan dukungan atas aturan pemilu diskriminatif dan mencela rencana boikot.

“Jika mereka (Ahmadi) ingin mengubah keputusan ini (Maklumat 2002), mereka harus menempuh jalur pengadilan dan parlemen,” kata Qasim Farooqi, jurubicara Ahlu Sunnah Wal Jamaah (ASWJ), organisasi sektarian yang dilarang.

“Boikot bukanlah jawabannya,” kata Farooqi. “Memberikan suara adalah penting. Ahmadi harus memainkan perannya –dengan tidak berpartisipasi dalam pemilu, mereka hanya bikin negara ini lemah.”

Ketegangan yang mendidih ini menjadi pertanda buruk bagi Ahmadi, yang cepat atau lambat akan menanggung beban amarah kelompok Islam lain. Bulan lalu, tujuh Ahmadi dihukum dengan sejumlah tuduhan termasuk “menodai Alquran” dan “menyebut diri Muslim”. Mereka juga dituduh mencetak dan menyebarkan informasi “yang menghina Tuhan” dalam bentuk suratkabar komunitas, ‘Al-Fazal’.

Para pemuka Ahmadiyah menuturkan bahwa koran itu, salah satu yang tertua di Pakistan, hanya didistribusikan di lingkaran komunitas mereka sendiri. [Zofeen Ebrahim]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

07 Mei 2013

Indonesia Juga Republik untuk Orang Aceh?

"MANA hukum yang didengung-dengungkan itu? Rakyat ditembak, kami dipukul, mana... mana hukum itu?" seorang pemuda berikat kepala dengan sehelai kain bertuliskan referendum berteriak lantang.Sehari sebelum Sira-Rakan dibuka, pemuda itu menyetop beberapa mobil Tim Jeda Kemanusiaan di jalan raya kawasan Meureudu dan Ulee Gle, Kabupaten Pidie. Bukan hanya Fadhil (25), sang pemuda itu yang berteriak. Ada hampir lima ratus orang keluar ke jalan raya menyetop mobil Tim Jeda Kemanusiaan.

Tua muda, hingga anak-anak "menyerbu" mobil-mobil itu. Mereka tengah putus asa, tidak bisa ke Banda Aceh untuk mengikuti Sira-Rakan. Mobil yang mereka tumpangi dihalang aparat. Dan korban pun berjatuhan.

Tim Jeda Kemanusiaan yang dibentuk berdasarkan kesepakatan Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tak bisa berbuat banyak menghadapi desakan warga semacam ini. Mereka hanya menampung aspirasi dan berharap warga bersabar. Tim itu mencatat banyak hal di sana dan di sejumlah lokasi lain dengan kasus yang sama.

Hari-hari menjelang Sira-Rakan, adalah hari yang ketat penjagaan aparat keamanan di jalan raya. Tak kecuali, personel di mobil Tim Jeda Kemanusiaan pun diperiksa identitasnya. Selain mobil tim itu, tak terlihat kendaraan lain yang lalu lalang di jalan raya, kecuali ambulans.

Lalu, apa artinya semua ini? Abdul Gani Nurdin, seorang anggota Tim Jeda Kemanusiaan hanya geleng-geleng kepala. "Ada pengekangan terhadap hak-hak sipil, itu yang saya lihat. Tetapi yang menjadi persoalan lagi adalah jatuhnya korban jiwa, dan ini menjadi persoalan lain pula yang saling terkait," kata Gani yang juga tokoh LSM di Aceh.

Prof Dr Abdullah Ali, mantan Rektor Universitas Syiah Kuala yang juga anggota tim itu melihat berbagai persoalan yang terjadi sekarang tak bisa dipisahkan dari hukum kausalitas. Ada sebab, maka ada akibatnya. Sekarang harus dilihat mengapa terjadinya konflik di Aceh, jangan melihat semata-mata akibat dari konflik itu dengan segala macam model penanganannya tetapi mengabaikan unsur "sebab" yang menjadi akar permasalahan.

Ketika kemudian terjadi pengentalan solidaritas warga yang tertekan, di sanalah muncul suatu perasaan kebersamaan untuk keluar dari lingkaran yang menyakitkan itu. Bentuk-bentuk pengentalan solidaritas itu terbaca dengan jelas kini di Aceh.

Gani malah melihat persoalan Aceh makin kompleks ketika sentuhan ke akar masalah semakin jauh dari kebijakan pemerintah pusat. Yang terjadi kini adalah pendekatan keamanan dengan operasi yang dinamakan Cinta Meunasah yang katanya dikendalikan oleh kepolisian. Korban terus berjatuhan, dan akar masalah makin jauh tak tersentuh.

Akar masalah itu antara lain adalah tuntutan agar berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) diproses secara hukum. "Yang sudah ada menumpuk, belum lagi kasus-kasus baru yang muncul tiap hari," katanya. Penekanan terhadap kesejahteraan juga harus lebih dikedepankan. Lalu kemudian rakyat menginginkan hidup dalam kondisi aman di desa-desa. "Tetapi ketika kemudian mereka harus mengungsi dan jatuh pula korban tiap hari, ini artinya apa," tanya Gani.

Ada suatu hal yang tak bisa dipungkiri adalah adanya kelompok bersenjata lain selain aparat keamanan Indonesia (TNI dan Polisi) di Aceh. Sering terjadi kontak senjata antara kelompok AGAM (sayap militer GAM) dengan aparat keamanan, dan membawa korban. Sebenarnya, menurut kacamata Gani, ini tidak akan menjadi persoalan manakala kedua pihak yaitu pemerintah dan GAM yang telah duduk di meja perundingan menaati segala ketentuan yang telah digariskan bersama. "Di sini saya melihat harus adanya itikad baik, bila tidak maka korban-korban lanjutan akan terus terjadi," katanya. Sakitnya, yang menjadi korban adalah penduduk yang tak berdosa.

Bila masuk dalam pembicaraan seperti ini, maka aparat keamanan dan GAM saling memberi argumen. GAM menembak karena mengaku untuk mempertahankan diri. Sementara aparat keamanan mengatakan, mereka tidak menguber gerilyawan GAM tetapi sipil bersenjata. Alasannya, yang ditindak adalah pelaku kriminal dan memegang senjata secara tidak sah.

Bila sudah begini, kontak senjata dan korban-korban yang berjatuhan tampaknya akan menjadi cerita panjang. Kekerasan sepertinya bagai episode yang terus bersambung dalam sebuah cerita panjang tentang Aceh.


***
JEDA Kemanusiaan sesungguhnya dimaksudkan untuk menghentikan berbagai bentuk kekerasan itu, sehingga memberi kesempatan bagi rakyat untuk menikmati hak-hak mereka. Pemerintah Indonesia dan GAM dengan fasilitator Henry Dunant Centre di Geneva, Swiss, menyepakati dilangsungkan langkah jeda itu. Tiga bulan tahap pertama sudah dilalui, lalu tiga bulan selanjutnya hingga pertengahan Januari 2001 tengah dijalankan.

Harapan besar yang akan didapat nantinya adalah adanya penyelesaian secara politik kasus Aceh. Tidak ada senjata yang berbicara untuk penyelesaian masalah, tetapi dialog-dialog antara kedua pihak.

Satu pernyataan bersama yang dikeluarkan ketika masa jeda pertama dimulai sangat menyentuh. Nilai-nilai kemanusiaan terasa dikedepankan.

Angkatan bersenjata kedua belah pihak tidak saling menyerang. Dan, ini artinya kekerasan tidak akan ada lagi. Kekerasan hanya menimbulkan korban, bukan menyelesaikan masalah. Korbannya pun bukan saja pihak bersenjata yang bertikai, tetapi juga rakyat sipil.

Masa jeda itu, meskipun tengah dilangsungkan hingga kini, namun tetap mencoreng nilai-nilai kemanusiaan yang disepakati. Saling membela diri dengan berbagai argumen dalam memberi keterangan kepada pers pasca-insiden masih mewarnai pernyataan-pernyataan kedua pihak. Ketika kemudian muncul pertanyaan, siapa sebetulnya pihak yang benar? Rakyatlah yang paling tahu karena mereka merasakan sendiri apa yang terjadi di sekelilingnya.

Yang pasti, rakyat tak menginginkan semuanya itu terjadi. Mereka merindukan sebuah kedamaian yang terasa telah lama hilang dalam kehidupannya.

Tengoklah bagaimana misalnya para korban tindak kekerasan di Aceh dalam sebuah pertemuan yang dihadiri sekitar 300 orang di Banda Aceh baru-baru ini mengeluarkan pernyataan kerinduan akan kedamaian itu. Mereka yang datang untuk sebuah pertemuan yang dinamakan "Kongres Korban Pelanggaran HAM" menuntut negara bertanggung jawab atas apa yang mereka alami.

Peserta kongres itu umumnya telah mengalami sejumlah peristiwa yang menyakitkan. Banyak pula di antaranya yang cacat fisik akibat perlakuan tidak manusiawi selama ini. Mereka tak menginginkan kejadian serupa terjadi lagi. Dan karena itu pula, model pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah diminta untuk tidak digunakan lagi pada masa mendatang. Lebih dari itu, mereka melihat tak ada keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan kasus demi kasus kekerasan secara baik. Buktinya, tindak kekerasan terus terjadi. Ujung-ujungnya, suara kemerdekaan pula yang diteriakkan mereka dalam sebuah rekomendasi yang dikeluarkan pada hari penutupan kongres.


***
PERSOALAN Aceh kini menjadi sangat kompleks. Bukan lantaran Sira-Rakan mengeluarkan rekomendasi yang menyentakkan banyak pihak di Jakarta, tetapi sebenarnya jauh hari sebelum itu persoalan tersebut telah terlihat berlarut-larut dalam penyelesaian.

Luka-luka baru terus bermunculan di hati rakyat, sementara luka lama belum lagi sembuh. Pernyataan-pernyataan Sira-Rakan barangkali adalah sebuah bentuk lain untuk kembali mengingatkan pemerintah Jakarta bahwa sesungguhnya di Aceh kini telah terjadi suatu hal yang akan membuat Indonesia kehilangan sebuah provinsi lagi setelah Timor Timur dengan segala risikonya.

Dan yang terlihat kemarin dalam Sira-Rakan adalah suatu gerakan sipil yang dimotori kalangan muda, termasuk mahasiswa. Tempatnya pun di kampus. Tak ada bendera GAM, tak ada bunyi senjata. Semuanya tertib, meskipun memakan korban jiwa di jalan raya karena dihalang aparat keamanan.

Tuduhan bahwa Sira-Rakan didalangi GAM adalah suara-suara yang kemudian terdengar di Jakarta. Termasuk di dalamnya bagaimana polling yang dilakukan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) dipersoalkan karena Sira-Rakan mengklaim polling menjaring 92 persen lebih responden yang jumlahnya 2,7 juta memilih opsi merdeka.

Dalam kondisi begini, teriakan Jakarta yang memprotes hal-hal tersebut agaknya bukanlah jalan keluar terbaik. Persoalan dasarnya adalah kemampuan memulihkan kepercayaan rakyat bahwa Republik Indonesia ini adalah negerinya orang di Aceh juga, termasuk mereka yang menghadiri Sira-Rakan. Dan itu semua memerlukan langkah konkret secepatnya, bukan janji-janji belaka. (nj)

-----> Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0011/24/nasional/indo26.htm (Jumat, 24 November 2000)

06 Mei 2013

Musim Semi Arab Memperburuk Nasib Umat Syiah di Mesir

KAIRO (IPS) – MASSA yang mengepung rumah Mohamed Nour, seorang penganut Syiah yang tinggal di distrikBab El-Shaariya, Kairo, mengklaim mengusung misi “menangkal” Mesir dari keyakinan Islam Syiah. Tanpa intervensi, doktrin Syiah akan menyebar ke seluruh Mesir “bagai kanker,” mereka memperingatkan.

Lahir sebagai Muslim Sunni, Nour pindah ke Islam Syiah hampir dua dekade lalu. Dia menghadapi ancaman dan gangguan tiada henti sejak tetangganya yang Sunni tahu kepindahannya ke Syiah awal tahun ini.

“Tetangga saya tak bicara lagi dengan saya dan mereka berusaha mengusir saya dari sini,” tuturnya. “Orang-orang melempar batu ke rumah saya, mengancam lewat telepon, dan membakar mobil saya. Saya cemas akan keselamatan keluarga saya.”

Perpecahan antara Islam Sunni dan Syiah bisa ditelusuri saat Nabi Muhammad wafat pada 632. Tapi permusuhan terhadap komunitas minoritas Syiah di Mesir mengakar kuat dalam politik modern.

Selama 29 tahun berkuasa, mantan presiden Mesir Hosni Mubarak terus mengungkapkan kebencian yang mendalam terhadap Iran, membikin kebijakan luar negeri yang mengekang “gelombang Syiah,” meyakini bahwa Iran mengekspor Islam Syiah untuk memperluas pengaruh politiknya di dunia Arab.

Permusuhan antara Mesir yang didominasi Sunni dan Iran yang didominasi Syiah mencuat pada awal-awal Revolusi Islam Iran pada 1979. Kedua negara memutus hubungan diplomatik setelah mantan presiden MesirAnwar Sadat meneken perjanjian damai dengan Israel dan memberikan suaka politik kepada Shah Reza Pahlavi, presiden Iran yang dijungkalkan dan lantas eksil ke Mesir.

“Rezim Mubarak sangat mencurigai minoritas Syiah,” ujar Ishaak Ibrahim, peneliti hak-hak beragama di Egyptian Initiative for Personal Rights (EIPR). “Mereka mengasumsikan semua penganut Syiah loyal kepada Iran, mengawasi kegiatan mereka dengan ketat, dan melarang adanya pertemuan. Banyak umat Syiah dipenjara dengan beragam tuduhan (dibuat-buat).”

Para aktivisi berkata lengsernya Mubarak pada 2011 membuka angin segar sesaat bagi umat Syiah di Mesir, yang berjumlah sekira 800 ribu hingga dua juta orang. Namun keterbukaan itu segera disumbat, dan kondisinya kian memburuk sejak pemerintahan Islamis Presiden Mohamed Morsi berkuasa tahun lalu.

Negara terus menerapkan langkah-langkah diskriminatif terhadap umat Syiah, sementara membiarkan masyarakat terkena bahaya ekstrimis Salafi yang terus tumbuh, ujar Ahmad Rasem El-Nafis, seorang ulama terkemuka Syiah.

“Jauh lebih buruk sekarang di bawah Morsi karena tak ada jaminan keamanan,” ujarnya. “Kelompok Salafi menyiarkan kebohongan mengenai kami dan melakukan kejahatan terhadap kami (tanpa pernah dihukum). Saya pernah jadi sasaran pada Juli 2011… dan saya menerima ancaman hampir setiap hari.”

Salafi, aliran Sunni radikal yang dipengaruhi Wahhabisme Saudi, dipaksa bergerak di bawah tanah oleh pemerintahan otoriter Mubarak. Sejak revolusi, mereka menggalang kekuatan secara politik dan meraih lebih dari seperempat suara pada pemilihan anggota parlemen tahun lalu, hanya kalah dari Ikhwanul Muslimin.

Islam Syiah memiliki jejak sejarah yang panjang di Mesir. Kairo didirikan pada 969 oleh dinasti Fatimiyah, penganut Syiah, yang memerintah Mesir selama 200 tahun dan membangun identitasnya. Bahkan sekarang pun kaum Sunni Mesir berziarah ke situs keramat Syiah seperti El-Hussein dan Sayeda Zeinab, dan tanpa disadari menggabungkan praktik-praktik Syiah ke dalam tradisi dan ritual penguburan mereka.

“Anda tak bisa dengan mudah membedakan antara Sunni dan Syiah lewat perilaku mereka,” tegas El-Nafis. “Perbedaan di antara kedua aliran Islam ini murni dipompa dan dibesar-besarkan berlandaskan politik.”

Guna menghindari persekusi, banyak umat Syiah menjalankan keyakinan mereka di bawah Sufisme, suatu tarekat Islam yang mengacu pada Imam Syiah Ahl Al-Beyt, keluarga Nabi Muhammad.

“Kami (umat Syiah) tetap tak bisa bertemu secara terbuka sebagai sebuah kelompok,” ujar El-Nafis. “Bila saya mengunjungi seorang penganut Syiah di rumahnya, orang-orang Salafi akan berkata kami sedang menjalankanhusseineya (rumah ibadah Syiah). Dan bila saya pergi ke masjid dengan penganut Syiah lain, kami pasti akan diganggu.”

Pada Desember 2011, pasukan keamanan Mesir melarang ratusan umat Syiah untuk merayakan perayaan keagamaan Asyura di Masjid El-Hussein, Kairo. Polisi mengusir paksa penganut Syiah dari masjid setelah kelompok-kelompok Salafi menuduh mereka menjalankan ritual “barbar.”

Bahkan Syiah menghadapi fanatisme dan sistem hukum, yang menurut kelompok hak asasi melanggar prinsip kebebasan beragama.

Juli tahun lalu, pengadilan pidana menghukum Mohamed Asfour, seorang warga Mesir yang pindah Syiah, satu tahun penjara karena “menodai rumah ibadah” dan “menghina sahabat Nabi”. Jaksa berkata Asfour bersalah telah menempatkan sebuah batu di bawah kepalanya selagi berdoa di sebuah masjid kampung, sebuah praktik yang ditentang Muslim Sunni.

Penangkapannya dilakukan menyusul minggu-minggu perlakuan kejam setelah penduduk kampung tahu Asfour pindah keyakinan ke Islam Syiah. Kepindahannya memicu kebencian dari para tetangganya dan mertuanya, yang kabarnya memaksanya menceraikan istrinya yang Sunni.

“Mesir adalah negara Sunni dan kita harus melindungi masyarakat dari pengaruh Syiah,” kata Khaled Fahmi, pedagang tekstil dari Kairo yang menuduh Iran “menggunakan agen bayaran” untuk memengaruhi orang untuk pindah ke Syiah. “Warga Mesir yang miskin dan butahuruf dengan mudah ditipu oleh kebohongan mereka.”

Sebagaimana banyak orang Sunni yang konservatif di Mesir, Fahmi marah dengan tawaran hangat-hangat kuku pemerintah Mesir untuk memulihkan hubungan dengan Iran.

Presiden Morsi menghadapi kritik tajam di dalam negeri kala menghadiri pertemuan regional di Teheran, Agustus tahun lalu. Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengalami penghinaan dilempar sepatu kala mengunjungi Kairo pada Februari lalu.

Awal bulan ini, sekelompok demonstran yang sebagian besar Salafi mengepung kediaman utusan diplomatik Iran di Kairo. Mereka memprotes protokol pertukaran turisme yang baru, yang memastikan kedatangan wisatawan Iran di Mesir untuk kali pertama selama 30 tahun terakhir.

Reaksi itu mendorong pemerintah untuk menunda kunjungan turis berikutnya. [Cam McGrath]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik