30 Juli 2013

Ngeband di Tengah Perselisihan Politik

TEL AVIV (IPS) – DUA band heavy metal, Khalas ('cukup" dalam bahasa Arab) yang digawangi musisi Israel-Arab dan Orphaned Land, band Yahudi, tampil bareng pekan ini di bawah atap Hangar 13 di pelabuhan Tel Aviv yang tengah dibenahi. Kedua band itu dijadwalkan bermain bersama musim gugur ini dalam serangkaian 18 pementasan di seluruh Eropa.

Kendati kerjasama seni ini dipuji sebagai sebuah terobosan besar –cukup jarang sebuah band Yahudi bermain bersama band Arab, bahkan sekalipun itu Israel-Arab– kedua band lebih suka bermain Rock'n'Roll heavy metal mereka dengan cabikan musikal ketimbang memainkan dawai identitas mereka yang saling bersitentang.

Abed Khathout, bassist dan pemimpin band Israel-Arab, berasal dari Acre di Israel utara. Dia menjamin dirinya membetot harapan selama latihan. "Sesama metal kami bersaudara sebelum hal lain. Musiklah yang menghubungkan kami."

"Keterputusan hubungan" terjadi dengan saudara-saudara Palestina dari grup band Khalas di wilayah-wilayah pendudukan yang berpendapat bahwa penjelajahan musik digambarkan sebagai proyek perdamaian yang dibiarkan pendudukan Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

"Berbagi panggung demi mempererat persaudaraan menunjukkan bahwa musik rock di atas politik," ujar Koby Farhi, pemimpin band Yahudi, dan penyanyi.

Musik Orphaned Land perpaduan dentaman New Age. Lirik mereka menggaungkan perdamaian profetik di antara agama-agama Abraham.

Para musisi Khalas adalah warga Israel keturunan Paletina. Mereka mendefinisikan diri mereka sebagai Palestina. Namun bagaimana mereka mendefinisikan diri mereka dihadapkan pada bagaimana orang lain mendefinisikan mereka.

"Kami seharusnya tampil pada November di Mesir. Tapi seminggu sebelum tur dibatalkan. Yah, kami berpaspor Israel," ujar Khathout.

Kocokan musik mereka dijiwai gaya hafla (pesta) Kairo. Selama pertunjukan, mereka menyanyikan dengan cara yang tepat Alf Leila wa Leila (Seribu Satu Malam), sebuah lagu hit dari penyanyi Mesir legandaris Umm Kulthum.

Orphaned Land pernah tampil di Turki dan membanggakan diri "populer di dunia Arab." Kebingungan antara identitas Turki dan Arab jamak di Israel karena akar Islam antara Turki dan Arab.
Tapi Orphaned Land di-persona non-gratakan-kan di dunia Arab. Status tak menyenangkan mereka berakar dari muasal Yahudi mereka.

Musik yang dimainkan kedua band itu punya satu pijakan mendasar –musik tanpa batas. Namun, karena perbatasan menjadi mataperkara konflik Palestina-Israel, politik pun jadi panglima, dan dalam analisis akhir, di mana Anda tinggal adalah siapa Anda.

Satu dari lima orang Israel adalah keturanan Arab Palestina. Sebagian besar menganggap diri mereka sebagai orang Palestina, atau "Israel-Palestina". Kebanyakan orang Yahudi Israel menggambarkan mereka sebagai "orang Israel-Arab". Yahudi Israel dari sayap kanan memandang mereka sebagai "musuh dalam selimut" (fifth column).

Sebagian besar orang Palestina menyebut mereka "Arab 1948" karena menetap di negara Yahudi yang baru lahir selama masa-masa sulit.

Saat Israel melancarkan perang kemerdekaan pada 1948-1949, ratusan ribu rakyat Palestina dipaksa menjadi pengungsi. Banyak di antara mereka yang tetap tinggal di Israel menjadi "pengungsi internal".
Bagi warga Palestina, perang kemerdekaan Israel merupakan Bencana Besar, atau Naqba.

Farhi bikin segala upaya untuk menyuarakan semangat kebersamaan. "Malam ini kali kedua kami bermain bersama –Orpahaned Land dan Khalas, sebagai orang Israel dan Arab," tuturnya.
Namun tentu saja kedua band itu adalah Israel. Faktanya, banyak orang Yahudi Israel –di mana menjadi Yahudi dan Israel merupakan dua entitas yang nyaris serupa– tanpa sadar menunjuk rekan-rekan Arab mereka hanya sebagai orang Arab.

Dan tampaknya sesuai karena band Arab itu tak dianggap sebagai Israel. Tidaklah mudah hidup sebagai bagian dari minoritas yang terjebak dalam perang antara bangsa mereka (Palestina) dan negara mereka (Israel).

"Kami benci bila setiap orang berharap kami menyanyi tentang pendudukan hanya karena kami Palestina," ujar Khathout.

Rakyat Palestina dari Tepi Barat dan Yerusalem Timur mungkin saja tak setuju. Sejak pemberontakan Intifadah kedua (2000-2005), mereka terus mempertahankan boikot budaya Isreal sebagai protes terhadap pendudukan.

Dalam kasus apapun, penutupan ketat yang diberlakukan di Tepi Barat dengan cara pemeriksaan, jalan-jalan khusus diperuntukkan bagi penduduk pemukim, pagar dan tembok pembatas menghalangi pertukaran budaya.

Pembatasan lalu-lalang pelintas mereda selama Ramadan. Para peziarah berumur renta dari Tepi Barat untuk sementara diizinkan berdoa di Haram es-Sharif, tempat suci ketiga umat Islam, yang berdiri di kawasan Kota Tua Yerusalem.

Meredanya pengetatan itu mungkin karena ada pembicaraan damai dalam waktu dekat ini.
Terlepas dari mataperkara perbatasan, identitas nasional merupakan batu sandungan utama. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa Israel diakui rakyat Palestina sebagai "negara Yahudi". Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas menentang definisi itu, karena jika demikian akan mengabaikan minoritas Palestina yang jumlah besar di Israel.

Di Gaza, sejak Gerakan Perlawanan Islam Hamas mengambilalih (2007) dan menyerang Israel tiada henti, artis seperti Mohammad Assaf dari Arab Idol dilarang memasuki Israel. Uni Eropa baru-baru ini mengumumkan bahwa, berlaku pada 2014, ke-28 negara anggotanya akan diwajibkan membedakan antara yang benar-benar Israel dan pemukim Israel di di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem Timur dalam semua perjanjian kerjasama dan pendanaan.

Bagi sebagian besar Yahudi Israel, 200.000 penduduk yang tinggal di kawasan Yahudi di Yerusalem Timur bukanlah pemukim; mereka "penduduk Yerusalem" dan, tentu saja, Israel. 400.000 pemukin yang tinggal di Tepi Barat mendefinisikan diri mereka sebagai orang Israel. Bagi Uni Eropa dan banyak negara yang tak mengakui legitimasi Israel di Wilayah Pendudukan Palestina, warga Israel yang bermukim di sana ditetapkan identitas mereka dengan pemaksaan, bukan pengakuan.

"Saya menentang keras boikot," ujar Farhi. "Tujuan seni ialah harmoni dan koeksistensi di di tempat-tempat terjadinya perselisihan."

Orphaned Land dan Khalas punya impian sederhana –"berbagi bus bersama" selama tur besar mereka di Eropa. [Pierre Klochendler]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

28 Juli 2013

Berita Didanai Pemerintah AS Kembali

WASHINGTON (IPS) – MENYUSUL amandemen atas sebuah Undang-undang (UU) AS yang berlaku sekian lama, warga di negeri ini kini akan mendapatkan berita yang diproduksi pemerintah AS.
Pada 2 Juli, UU Pertukaran Informasi dan Pendidikan AS, juga dikenal sebagai UU Smith-Mundt, mulai berlaku, mencabut larangan terhadap Departeman Luar Negeri  dan badan-badan penyiaran internasional AS untuk menyebarluaskan materi program mereka di dalam batas-batas AS.
Dewan Pengawas Penyiaran (BBG), badan pemerintah federal AS yang mengawasi semua media internasional yang didanai pemerintah AS, menyatakan bahwa individu yang tinggal di AS kini akan memiliki akses ke sejumlah besar informasi baru.
“Ini adalah jurnalisme berkualitas peraih penghargaan,” ujar Lynne Weil, jurubicara BBG, “jadi mengapa warga Amerika tak boleh melihat dan mendengarkannya dalam siaran berkualitas?”
BBG kini dapat menanggapi secara positif permintaan terhadap konten dari “media, kampus, organisasi nonpemerintah, dan individu-individu yang berbasis di AS.” Artinya, para penyedia berita nasional dan lokal di AS dapat merilai materi yang diproduksi sumber-sumber BBG bila mereka menginginkan.
Para pengkritik menyebut berita yang didanai pemerintah dan disebarkan di dalam negeri ini mirip propaganda. Tapi BBG berpandangan langkah ini menunjukkan sebuah kemajuan dalam transparansi AS, krena warga negara kini punya pemahaman lebih baik mengenai jenis informasi apa yang disebarluaskan pemerintahnya ke luar negeri.
Namun, penting dicatat, warga AS juga dapat mengakses materi BBG melalui internet.
Kantor-kantor berita jaringan BBG termasuk Voice of America (VOA), Radio Free Europe/Radio Liberty, the Middle East Broadcasting Networks (Alhurra TV and Radio Sawa), Radio Free Asia, and the Office of Cuba Broadcasting (Radio and TV Marti).
Weil menegaskan, bahkan sebelum ada perubahan itu, media AS dapat mengutip laporan dari organisasi-organisasi berita itu. Bedanya, kini mereka dapat menyiarkan seluruh materi.

Propaganda?
Dalam pernyataannya, BBG menyatakan mereka mencoba “mengajak dan terhubung orang-orang di seluruh dunia dalam mendukung kebebasan dan demokrasi.”
Berbeda dari sumber berita independen dan tradisional, BBG kepanjangan tangan dari Departemen Luar Negeri dan didanai sepenuhnya dari uang pajak yang diperuntukkan untuk “diplomasi publik”.
“Diplomasi publik,” menurut Pusat Diplomasi Publik University of Southern California (USC), “dikembangkan sebagian untuk menjauhkan kegiatan pemberian informasi pemerintahan di luar negeri dari istilah ‘propaganda’, yang mengandung konotasi buruk.”
UU Smith-Mundt ditetapkan tahun 1948, pada awal Perang Dingin, untuk memberi hak kepada pemerintah melakukan diplomasi publik di luar negeri, dan sejak itu menghadapi oposisi serius.
Pada 1970-an, menjelang akhir Perang Vietnam, Senator AS William Fulbright memimpin langkah untuk memblokir akses kantor-kantor berita yang disponsori AS ke konsumen domestik. Dia menulis sebuah buku yang isinya mengecam berita-berita pemerintah sebagai propaganda dan berkata bahwa kantor-kantor berita itu “harus diberi kesempatan untuk mendapat tempat selayaknya di pusara reruntuhan Perang Dingin.”
Weil menolak tuduhan terbuka itu bahwa organisasi BBG terlibat dalam propaganda.
“Propaganda adalah sebuah istilah merendahkan dan tak bisa diterapkan terhadap apa yang dilakukan jurnalis kami. Mereka melaporkan kebenaran dan menerapkan standar jurnalistik yang tepat untuk pekerjaan mereka,” ujar Weil.
Dia menjelaskan istilah “propaganda” terbatas pada informasi palsu dan tak akurat, tapi kelompok-kelompok pemantau media mencatat tak semua propaganda berisi kebohongan.
“Bisa saja ada propaganda halus, sebagaimana ada propaganda kasar yang benar-benar ‘membelokkan’ fakta,” ujar Lisa Graves, direktur Eksekutif Center for Media and Democracy, kelompok pelaporan invesitigasi nirlaba, kepada IPS.
Definisi dalam kamus agaknya mendukung dalil Grave. Kamus Merriam-Webster, misalnya, mencantumkan definisi “propaganda” sebagai “gagasan, fakta, atau dugaan yang sengaja disebarkan untuk meyakinkan seseorang atau merusak keyakinan lawan.”
Selain perkara semantik, lembaga-lembaga di bawah BBG punya mandat menyajikan berita akurat dan dilarang bertindak sebagai corong pemerintah.
“Para reporter dan penyiar VOA harus berusaha akurat dan objektif dalam bekerja. Mereka tak berbicara untuk pemerintah AS. Mereka tak menerima arahan dan bantuan dari para pejabat pemerintah AS atau lembaga yang lebih menguntungkan atau kurang menguntungkan daripada yang diberikan kepada staf kantor berita swasta,” tulis kode etik VOA, sebagai contoh.
Kantor-kantor berita BBG juga dilarang memproduksi materi siaran untuk mempengaruhi opini publik AS.
Graves berkata dia “mengapresiasi” pedoman itu tapi dia tak yakin sepenuhnya ditegakkan.
“Sifat berita adalah mempengaruhi opini publik,” ujar Graves, “jadi bagaimana Anda membuktikan atau mencegah berita untuk melakukan itu?”
Menurut Weil, kantor-kantor berita BBG “bertugas menyajikan informasi akurat di banyak tempat kecuali jika sulit atau tak mungkin.” Dia menekankan banyak jurnalis BBG tewas atau hilang saat bertugas.
Graves berkata dia juga menghargai pentingnya diplomasi publik di banyak tempat di mana akses informasi terbatas, tapi dia skeptis bahwa AS, dengan berlimpahnya sumber berita, memenuhi syarat.
Dia juga khawatir banyak warga yang tak memperhatikan sumber utama dari berita yang mereka terima.
“Beberapa orang tahu bagaimana mereka mendapatkan berita, tapi lainnya takkan selalu menyadari daro mana informasi itu berasal,” ujarnya.
“Saya tak tahu berapa banyak orang mengenali bahkan mengetahui apa itu Voice of America.”
Sejak perubahan itu berlaku, Weil berkata BBG telah menerima banyak permintaan konten, termasuk dari media-media besar. [Kitty Stapp]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

27 Juli 2013

Dukungan untuk Penghapusan Sunat Perempuan

PBB (IPS) – Badan anak PBB (UNICEF) merilis sebuah laporan pada pekan ini yang memberikan gambaran lengkap mengenai sunat perempuan (FGM/C).
Lebih 125 juta perempuan dan gadis mengalami praktik tersebut, dan ada 30 juta perempuan dan gadis beresiko mengalaminya pada dasawarsa selanjutnya. Laporan itu merupakan hasil dari 20 tahun penelitian dari 29 negara di seluruh Afrika dan Asia, memakai survei nasional. UNICEF mulai menelisik FGM/C sepuluh tahun lalu.
Mesir menduduki peringkat tertinggi dalam jumlah, dengan 27,2 juta perempuan dan gadis, atau 91 persen, yang mengalami sunat perempuan. Kendati dilarang, mayoritas kasus FGM/C di Mesir dilakukan seorang profesional medis.
Di sejumlah negara, FGM/C menjadi praktik yang nyaris lazim. Di Somalia, angkanya 98 persen, persentase tertinggi di dunia. Di Guinea dan Djibouti angkanya 96 persen dan 93 persen. Kemungkinan anak perempuan mengalami FGM/C juga tinggi bila ibunya pernah melakukannya.
Generasi muda mungkin sedikit yang mengalami FGM/C serta lebih berpendidikan dan sadar akan dampak negatifnya bagi kesehatan, mencakup komplikasi, infeksi, dan pendarahan hebat selama kelahiran, menurut Claudia Cappa, penulis laporan itu serta spesialis statistik dan pemantauan UNICEF. Termasuk juga masalah kesehatan mental, tambah Cappa.
“Anak-anak gadis bisa menjadi agen perubahan penting untuk semua generasi,” ujar Cappa.
Laporan itu memuat untuk kali pertama data dari Iraq, satu-satunya yang mulai menjalankan survei representatif secara nasional atas praktik itu pada 2010, di mana rerata FGM/C telah berkurang setengahnya, ujar Cappa, dan ini adalah perkembangan positif.
“Anak-anak gadis ini juga punya kesempatan berinteraksi dengan anak gadis lain yang tak mengalami sunat, dan bisa melihat bahwa mereka tak terjerat stigma [sosial],” kata Cappa.
Pentingnya melibatkan lelaki dalam perjuangan melawan FGM/C adalah salah satu temuan kunci dari laporan ini, yang mengungkapkan banyak pria dan anak lelaki di 29 negara yang diteliti ingin mengakhiri praktik itu.
Dukungan tersembunyi itu berarti bahwa UNICEF dapat menggamit sumberdaya itu ke dalam sikap yang mengarah perbaikan, membantu masyarakat untuk mengakhiri sepenuhnya praktik tersebut.
Namun praktik FGM/C terus berlanjut, dan ada perbedaan antara sikap ibu-ibu, banyak di antaranya ingin praktik itu berakhir, dan perilaku mereka yang membiarkan anak perempuan mereka menjalani sunat.
Alasan mengapa FGM/C sulit berakhir antara lain, yang paling sering dilaporkan, agar bersih dan sehat, menjaga keperawanan, serta penerimaan sosial. Di beberapa negara, demi meningkatkan kenikmatan seksual lelaki juga dijadikan alasan untuk mempertahankan sunat perempuan, tulis laporan tersebut.
“Selalu ada alasan,” ujar Francesca Moneti, penasihat senior perlindungan anak UNICEF, pada konferensi pers. “Ketika anak-anak perempuan mencapai usia disunat maka ia pun disunat.”
Karena menjalani praktik itu, anak-anak perempuan diterima secara sosial dan punya “perilaku yang baik”, menurut laporan.
Efua Dorkenoo, OBE, direktur advokasi dari proyek FGM di Equality Now, menilai perlunya langkah-langkah perlindungan diterapkan di tengah masyarakat tempat praktik FGM terus berjalan, serta sistem pendukung bagi anak-anak gadis yang lari dari keluarga dan masyarakat karena menghindari praktik itu.
Juga penting bagi organisasi, termasuk UNICEF, menyadari bahwa “pendekatan pusparagam” diperlukan, melibatkan petugas kesehatan dan otoritas serta menekankan perubahan perilaku di masyarakat, ujar Dorkenoo.
“Dalam model UNICEF, mereka cenderung fokus pada perubahan perilaku masyarakat… perubahan perilaku itu proses yang sangat lama,” kata Dorkenoo kepada IPS.
“Kita tak tahu sejauh mana model pemberdayaan desa berjalan, kita tak tahu apakah benar-benar berhenti,” ujarnya. “Kerja kami di lapangan tak menunjukkan mereka benar-benar berhenti.”
Bagi Dorkenoo, FGM secara langsung menyangkut kekerasan terhadap perempuan serta terkait seputar kontrol seksualitas, sosial, dan gender. Dan menghentikan praktik kultural yang sangat mendalam itu tak mudah masyarakat mengatakan mereka telah meninggalkan FGM.
“Terlalu sederhana bila pernyataan publik diartikan FGM telah berhenti. Itu lebih sebagai faktor perasaan nyaman bagi publik Barat,” ujar Dorkenoo. “Tak ada satu ukuran yang cocok dipakai untuk semua model.”
Ketika masyarakat menyatakan akan mengakhirinya, itu nilai penting, ujar Cappa, kendati sulit menelisik apakah praktik itu sudah sepenuhnya ditinggalkan karena jeda waktu antara pernyataan masyarakat dan pengumpulan data berikutnya.
Dorkenoo berkata, kendati model pendidikan masyarakat UNICEF, termasuk penekanan pada demokrasi dan hak asasi manusia, jadi landasan yang baik dan berkontribusi meningkatkan kesadaran tentang FGM, masih banyak yang harus dilakukan di tingkat struktural.
“Sangatlah simplistik anggapan bahwa Anda pergi ke sebuah komunitas selama 30 tahun, bicara hak asasi manusia dan demokrasi, dan mengharapkan perubahan,” ujar Dorkenoo. Dia menambahkan bahwa FGM memanifestasikan diri dalam cara yang kompleks di masing-masing negara. [Lucy Westcott] 
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

25 Juli 2013

PBB Remehkan Efek Kesehatan dari Radiasi Nuklir

PBB (IPS) – PERSERIKATAN Bangsa-Bangsa menjadi sasaran kritik dari ahli-ahli medis dan anggota masyarakat sipil atas apa yang mereka sebut pernyataan tak akurat tentang dampak radioaktivitas yang masih dirasakan penduduk lokal.
Para ilmuwan dan dokter bertemu dengan pejabat tinggi PBB bulan lalu untuk membahas efek radioaktivitas di Jepang dan Ukraina, dan PBB telah memobilisasi sejumlah lembaganya, termasuk Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan Komite Ilmiah PBB tentang Efek Radiasi Atom (UNSCEAR), untuk menangani masalah tersebut.
Pada Mei, UNSCEAR menyatakan bahwa paparan radiasi setelah bencana nuklir Fukushima-Daichii tahun 2011 di Jepang “tak menimbulkan risiko kesehatan” dan risiko kesehatan dalam jangka panjang “tidak mungkin”.
“Saya pikir itu menggelikan,” kata Helen Caldicott, seorang dokter dan pemberontak, menanggapi laporan UNSCEAR.
“Ada efek kesehatan. Banyak orang mengalami sakit radiasi akut, termasuk hidung berdarah, rambut rontok, mual, dan diare,” ujarnya kepada IPS.
Laporan UNSCEAR mengkuti laporan WHO pada Februari lalu, yang juga menaksir rendahnya risiko kesehatan dan tingkat kanker yang normal di Jepang setelah bencana Fukushima, bahkan mengingatkan masih perlunya penelitian jangka panjang. Alih-alih memperingatkan, WHO justru merusak psikososial penduduk.
Ditanya mengapa UNSCEAR dan WHO merilis pernyataan seperti itu jika secara medis tak akurat, Caldicott merujuk perjanjian WHO-IAEA tahun 1959 yang memberikan IAEA –sebuah organisasi yang mempromosikan tenaga nuklir– pengawasan ketika meneliti kecelakaan nuklir.
“WHO adalah hamba IAEA,” kata Caldicott, yang terlibat perdebatan pada 2011 tentang subjek itu dengan George Monbiot, wartawan The Guardian. Monbiot berpendapat pembangkit listrik adalah alternatif yang masuk akal untuk pembangkit tenaga batubara.
“Ini skandal yang belum diekspos dalam informasi umum dan kepada publik,” kata Caldicott mengenai kesepakatan WHO-IAEA.
Ketika Majelis Umum PBB menyatakan 2006-2016 sebagai “Dekade Pemulihan dan Pembangunan Berkelanjutan dari Wilayah yang Terkena Dampak”, itu berarti sebuah “pendekatan pembangunan” untuk memperbaiki daerah yang terkena dampak nuklir Chernobyl pada 1986 di bekas Uni Soviet.
Rencana aksi PBB didasarkan pada studi ilmiah dari Chernobyl Forum 2005, yang melibatkan negara-negara anggota Belarus, Rusia, dan Ukraina bersama para ahli dari IAEA dan tujuh lembaga pembangunan paling berpengaruh di dunia, termasuk Bank Dunia, WHO, dan UNSCEAR.
Chernobyl Forum mencatat bahwa kecelakaan nuklir Chernobyl adalah “peristiwa skala rendah”. Ia menyatakan, “Sebagian besar penduduk yang tinggal di daerah-daerah terkontaminasi sebenarnya tak mengalami efek kesehatan negatif dari paparan radiasi dan bisa dengan aman membina keluarga hingga saat ini.”
Caldicott berkata WHO, “tak melakukan penelitian apapun mengenai Chernobyl, mereka hanya membuat perkiraan.” Dia mengutip sebuah laporan tahun 2009 oleh New York Academy of Sciences, yang memaparkan gambaran berbeda.

Radiasi dari penambangan uranium
IAEA mempromosikan “pengembangan sumberdaya uranium yang aman dan bertanggungjawab”, bahan baku yang digunakan untuk bahan bakar reaktor nuklir dan membuat bom nuklir.
Bagi Ashish Birulee, warga suku Ho di Jadugoda, India, penambangan uranium yang aman di komunitasnya jauh dari kenyataan, dan efek kesehatan dari radiasi sejelas foto-foto yang dia diambil untuk dokumentasi.
Birulee, mahasiswa sekaligus wartawan foto, tinggal di dekat bendungan tailing, penuh dengan limbah radioaktif dari pabrik pemurnian uranium yang dioperasikan Uranium Corporation of India.
“Kanker paru-paru, kanker kulit, tumor, kelainan bawaan, down syndrome, keterbelakangan mental,megacephaly, mandul, tak punya anak pada pasangan suami-istri, thalassemia [dan] cacat lahir yang langka seperti gastroschisis umum di daerah ini,” ujarnya kepada IPS.
“Kita seperti kelinci percobaan di sini,” katanya, menyebut kelalaian pemerintah atas masalah tersebut. “Saya mengalami paparan radiasi setiap hari dan juga menyaksikan bagaimana banyak orang menderita.”

Radiasi dari uji coba nuklir
Selama Perang Dingin, Uni Soviet dilakukan 456 ujicoba nuklir di lokasi pengujian Semipalatinsk –kini Kazakhstan.
“Berdasarkan informasi yang dikumpulkan selama misi dan penelitian setelahnya, ada cukup bukti yang mengindikasikan sebagian besar daerah tersebut memiliki sedikit atau tak ada sisa radioaktivitas yang secara langsung dikaitkan dengan ujicoba nuklir di Kazakhstan,” menurut IAEA.
Tapi keterangan IAEA berbeda dari orang-orang yang tinggal di sekitar Semipalatinsk. Menurut panitia persiapan Organisasi Perjanjian Pelarangan Ujicoba Nuklir Menyeluruh (CTBTO), “Sejumlah cacat genetik dan penyakit di wilayah tersebut, dari kanker hingga impotensi, cacat lahir hingga kelainan lainnya, disebabkan ujicoba nuklir.”
“Bahkan ada sebuah museum mutasi di lembaga kesehatan regional di Semey, kota terbesar dekat lokasi pengujian nuklir tua,” kata laporan tersebut.
“Apapun radiasinya –gamma, alpha atau beta– itu membunuh sel atau mengubah biokimia dari molekul DNA,” ujar Caldicott, yang telah bekerja pada isu nuklir selama 43 tahun. “Suatu hari [sel itu] akan mulai membelah lewat mitosis dengan cara tak beraturan, memproduksi trilyunan sel [bermutasi], dan itulah kanker,” katanya.
“Anda takkan tahu terpapar radiasi atau tidak,” ujar Caldicott. “Anda tak bisa merasakan atau melihat unsur-unsur radioaktif dalam makanan, dan ketika kanker berkembang, tentu saja ia tak menunjukkan asal-usulnya."

Fukushima di Sungai Hudson
Sementara itu, dua pembangkit nuklir di Indian Point Energy Centre –hanya 60 kilometer dari markas PBB di New York– sedang berjuang untuk izin baru, membuat masalah kesehatan dan radiasi lebih relevan bagi para diplomat dari 193 negara anggota PBB yang tinggal dan bekerja di daerah tersebut.
Para pengkritik menjuluki Indian Point, yang terletak di atas dua jalur patahan, sebagai “Fukushima di Hudson”, mengacu pada bencana nuklir di Jepang yang dipicu gempa bumi dan tsunami.
Namun, ada beberapa perbedaan antara Fukushima dan Indian Point. “Fukushima berada di atas laut, dan anginnya membantu. Angin meniup sebagian besar radiasi ke laut,” kata Manna Jo Greene, direktur lingkungan untuk Hudson River Sloop Clearwater, mencatat bahwa radiasi tetaplah bencana.
Tapi angin di New York akan meniup gumpalan radiasi dari utara ke selatan dan dari timur ke barat. “Ada 20 juta orang yang tinggal [dalam radius 100 kilometer], dan ada 9 juta orang antara Indian Point dan laut terdekat,” kata Greene.
“Jika ada masalah di Indian Point,” dia menambahkan, “ada risiko sangat besar karena radiasi bisa bergerak ke arah tenggara dan memapar jutaan orang sebelum tertiup ke laut.” [George Gao] 
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

19 Juli 2013

Aktivis Hak Perempuan Arab Saudi Ajukan Banding

PBB (IPS) – DUA aktivis hak-hak perempuan Arab Saudi mengajukan banding pada Jumat pekan ini setelah dihukum 10 bulan penjara karena membantu seorang perempuan yang diduga dianiaya suaminya.
Pada 15 Juni, Wajeha Al-Huwaider dan Fawzia Al-Oyouni dinyatakan bersalah oleh pengadilan distrik di Al-Khobar karena takhbib, sebuah unsur dalam hukum syariat yang menyebutkan mereka menghasut seorang perempuan untuk menentang suaminya dan menafkahi seorang istri tanpa sepengetahuan si suami. Larangan bepergian selama dua tahun akan menyertai hukuman penjara mereka.
Kedua perempuan itu menolong seorang perempuan Kanada, Nathalie Morin, yang menghubungi Al-Huwaider agar membantunya setelah dikunci dalam sebuah ruangan oleh suaminya tanpa cukup makanan dan air.
Namun ketika mereka mendekati rumahnya, mereka dihadang dan ditangkap, ujar Suad Abu-Dayyeh, konsultan program Middle East and North Africa for Equality Now. Equality Now, organisasi hak asasi manusia internasional, menyeru para pendukungnya untuk mengirim surat demi ancang-ancang tenggat waktu gugatan banding pada Jumat pekan ini.
“Mereka tak menyuruh Nathalie melawan suaminya atau berusaha meyakinkannya meninggalkan suaminya. Faktanya, mereka belum pernah bertemu dengan Nathalie,” ujar Abu-Dayyeh kepada IPS.
Abu-Dayyeh percaya tuduhan terhadap mereka dibuat-buat dan Arab Saudi sebenarnya meringkus kedua perempuan itu karena riwayat aktivisme hak asasi manusia mereka.
“Pemerintah Saudi jelas membuat skenario agar Fawzia dan Wajeha, perempuan pemberani yang ingin menolong perempuan lain yang membutuhkan, ditahan atas aktivisme yang mereka lakukan,” tutur Abu-Dayyeh.
“Kedua perempuan ini menjadi aktivis sejak lama, dan sekian lama pemerintah Saudi ingin membungkam mereka. Mereka kini dijadikan contoh agar aktivis lain tak berbicara bebas,” tambah Abu-Dayyeh.
Al-Huwaider dan Al-Oyouni telah bergiat dalam sejumlah kampanye kemanusiaan dan perempuan di Arab Saudi, termasuk Women2Drive, yang menentang larangan menyupir bagi perempuan.
Dalam sebuah video YouTube yang direkam pada Hari Perempuan 2008, Al-Huwaider terlihat menyupir di sekitar daerah pinggiran yang lengang dan bicara dengan para pendukung online dari jok kemudi. Arab Saudi menganut tafsir yang amat konservatif dari hukum Islam yang melarang perempuan mengemudi.
Tahun lalu, Al-Huwaider masuk urutan 82 dalam Arabian Business, daftar 100 perempuan Arab paling berpengaruh, namun dia menghilang dari daftar tahun ini. Dia juga salah satu pendiri Perkumpulan untuk Perlindungan dan Pembelaan Hak-Hak Perempuan di Arab Saudi.
“Kedua perempuan ini dihukum atas pekerjaan mereka dalam hak asasi manusia dan hak-hak perempuan,” ujar Joe Stork, wakil direktur divisi Timur Tengah dan Afrika Utara Human Rights Watch. “Itu bukanlah tindak pidana.”
Penerapan takhbib, di mana pria maupun perempuan mencampuri pernikahan atau pertunangan, mengubah salah satu melawan yang lain, terasa aneh dalam kasus ini, dan kemungkinan hal itu dipakai untuk menutupi apa yang dinilai otoritas sebagai kejahatan sesungguhnya: aktivisme Al-Huwaider dan Al-Oyouni.
“Itu sedikit tak biasa dari sudut pandang hukum Islam klasik, yang mungkin tak sejalan dengan praktik takhbib di Saudi selama ini, yang biasanya lebih bersinggungan dengan menganjurkan seorang perempuan meninggalkan atau menceraikan suaminya, atau menikah dengan orang yang tidak sah,” ujar Marion Katz, associate profesor jurusan Studi Islam dan Timur Tengah di New York University.
Ketika Al-Huwaider kali pertama dimintai keterangan setahun lalu mengenai peristiwa itu, pertanyaan yang diajukan pihak berwenang lebih banyak tentang pekerjaannya sebagai aktivis pembela hak asasi manusia dan perempuan, kata Stork.
Keberhasilan gugatan banding, melihat catatan Arab Saudi selama ini, tampaknya tak mungkin, ujar Stork.
“Saya takkan berharap,” ujar Stork. “[Arab Saudi] telah membuat keputusan untuk benar-benar mengekang aktivisme hak asasi manusia.”
Di negerinya sendiri, merengkuh dukungan merupakan hal sulit bagi Al-Huwaider dan Al-Oyouni, karena perempuan dilarang bicara bebas di negeri itu dan pemerintah mengendalikan media.
“Hak-hak perempuan dan anak gadis seringkali sangat dihambat,” ujar Abu-Dayyeh. “Di Arab Saudi, tak ada organisasi masyarakat madani yang mengambil isu itu.”
Kendati ada secercah kecil perkembangan positif untuk meningkatkan dan memperluas hak-hak perempuan di sana, termasuk mengirim atlet perempuan pertama Sarah Attar ke Olimpiade di London tahun lalu, dan anak-anak gadis di sekolah swasta berhak berolahraga, serta mengizinkan perempuan mengendarai sepeda, kasus dua aktivis itu merupakan langkah mundur bagi Kerajaan.
“Arab Saudi masih perlu melakukan banyak hal untuk memastikan perempuan dan anak gadis dilindungi dan hak-hak asasi mereka dijamin,” tutur Abu-Dayyeh, menegaskan, “Mengizinkan hal itu terjadi akan menguntungkan seluruh masyarakat.” [Lucy Westcott]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

16 Juli 2013

Partai Politik: Lembaga Terkorup di Dunia

WASHINGTON (IPS) – PARTAI politik dinilai publik di banyak negara sebagai lembaga paling korup di tengah masyarakat, menurut survei terbaru lembaga pengawas antikorupsi Transparency International (TI) yang dirilis Selasa lalu.
Barometer Korupsi Global dari TI, yang didasarkan wawancara lebih dari 114.000 responden di 107 negara, juga menemukan mayoritas responden (54 persen) percaya pemerintah mereka, sebagian maupun seluruhnya, dikendalikan segelintir kelompok besar yang bertindak demi kepentingan mereka sendiri.
Lebih satu dari empat responden (27 persen) melaporkan bahwa mereka membayar suap selama 12 bulan sebelumnya saat berurusan dengan lembaga-lembaga publik, seperti polisi atau pengadilan.
Tapi praktik suap jauh lebih lazim di beberapa negara ketimbang di negara lain. Di Australia, Denmark, Finlandia, dan Jepang, misalnya, satu persen responden melaporkan membayar suap kepada pejabat publik untuk mendapatkan pelayanan dalam satu tahun terakhir.
Suap jauh lebih umum di negara-negara miskin, terutama di Afrika. Lebih dari enam di antara 10 responden melaporkan membayar suap di Kamerun, Kenya, Liberia, Libya, Mozambik, Sierra Leone, Uganda, dan Zimbabwe. Hampir tiga dari empat responden di Yaman juga mengatakan menyuap pejabat, setidaknya sekali selama setahun.
Sebagian besar responden mengatakan mereka percaya korupsi di negara mereka memburuk sejak 2011 ketika Barometer Korupsi Global terakhir dirilis. Barometer terbaru, yang melibatkan lebih banyak orang di lebih banyak negara dibanding sebelumnya, adalah yang kedelapan sejak 2003.
Pada sisi lebih positif, dua-pertiga responden percaya orang-orang biasa dapat membuat perbedaan dalam memerangi korupsi di negara mereka; dua-pertiga responden ini mungkin tak membayar suap.
Mayoritas, berkisar 51 hingga 72 persen, mengatakan mereka bersedia mengambil satu dari beberapa aksi tertentu, dari bergabung dengan organisasi antikorupsi, ambil bagian dalam protes damai, dan menandatangani petisi.
“Ada keinginan luas untuk terlibat melalui beragam cara, yang sebagian besar seharusnya diambil gerakan antikorupsi untuk melawan korupsi dalam skala lebih besar,” menurut TI, sebuah organisasi nonpemerintah (LSM) yang saat ini memiliki 90 cabang di seluruh dunia.
Survei terbaru muncul bertepatan dengan gelombang perhatian publik internasional –dan mobilisasi– melawan korupsi. Baru-baru ini, demonstrasi publik besar-besaran di kota-kota besar di Brasil memperlihatkan kemarahan rakyat atas praktik korupsi tiada henti di negara itu, sementara gerakan antikorupsi India pada 2011 terus bergema di sana.
Dari China hingga Nigeria, masyarakat petani dan penduduk miskin kota menemukan diri tanah mereka dirampas kaum kaya dan mereka yang punya koneksi politik, yang menggunakan koneksi tersebut dalam peradilan dan aparat pemerintahan dalam perampasan tanah.
Sementara itu, gerakan Duduki Wall Street di Amerika Serikat dan protes populer yang pecah di Yunani, Spanyol, dan negara Eropa selatan lainnya dalam menanggapi Eurocrisis memfokuskan perhatian pada kekuasaan luar biasa pada pemerintah yang dimanfaatkan kepentingan korporasi dan keuangan swasta.
Barometer Korupsi Global menjadi salah satu dari sejumlah indeks, seperti Rule of Law Index yang diterbitkan World Justice Project (WJP), yang menampilkan isu transparansi dan korupsi serta digunakan institusi global, termasuk Bank Dunia, lembaga bantuan bilateral , dan organisasi sektor swasta, untuk menilai risiko investasi dan bisnis di suatu negara.
TI juga menerbitkan Indeks Persepsi Korupsi setiap tahun, yang tahun lalu menilai 176 negara berdasarkan penilaian analis risiko, pelaku usaha, serta para profesional lokal dan internasional lainnya.
Barometer, sebaliknya, mewawancarai secara acak orang yang tinggal di negara-negara yang tercakup dalam survei. Edisi tahun ini meliputi lebih banyak responden dan negara dibanding sebelumnya.
Semua responden diminta menilai pada skala satu hingga lima (satu berarti “tak ada masalah sama sekali”) seberapa serius korupsi sebagai sebuah masalah bagi negara mereka. Nilai rata-rata di semua negara adalah 4,1, meski ada perbedaan yang luas di antara negara-negara, terutama antara negara-negara utara yang kaya dan negara-negara termiskin di dunia.
Dari mereka yang berkata membayar suap selama setahun lalu, 31 persen membayarnya ke polisi, sementara 24 persen menyebut peradilan. Rerata suap ke polisi yang berkisar 75 persen atau lebih tinggi lagi ditemukan di Republik Demokratik Kongo (DRC), Ghana, Indonesia, Kenya, Liberia, Nigeria, dan Sierra Leone.
Institusi dengan tingkat suap tertinggi berikutnya terutama berhubungan dengan layanan registrasi, terutama dalam hal kepemilikan dan pengalihan tanah. TI mencatat angka tertinggi ditemukan pada masyarakat pascakonflik dan negara-negara dalam masa transisi, seperti Afghanistan, Kamboja, Irak, Liberia, Pakistan, dan Sierra Leone –negara yang juga mengalami tingkat tinggi kelaparan dan gizi buruk.
Institusi berikutnya yang lazim dengan praktik suap antara lain layanan kesehatan (17 persen) dan pendidikan (16 persen), menurut Barometer Korupsi Global.
Di luar pembayaran suap, 64 persen responden percaya bahwa hubungan personal memainkan peran tak pantas dalam menyelesaikan sesuatu di sektor publik. Lebih dari 80 persen responden di Israel, Italia, Lebanon, Malawi, Maroko, Nepal, Paraguay, Rusia, Ukraina dan Vanuatu menyinggung pentingnya hubungan personal.
Selain itu, persepsi bahwa pemerintah dikendalikan segelintir kelompok besar demi kepentingan sendiri, bukan kepentingan publik, tampaknya diterima sangat luas, bahkan di antara negara-negara terkaya di dunia, ujar Barometer.
Sementara hanya lima persen responden di Norwegia, 83 persen di Yunani, 70 persen di Italia, 66 persen di Spanyol, dan 64 persen di Amerika meyakini pemerintah mereka dijalankan “sebagian besar” atau “seluruhnya” .”.. oleh beberapa kepentingan besar yang menguntungkan diri mereka sendiri.”
Adapun untuk lembaga-lembaga penting, partai politik dipandang sebagai yang paling korup, mencatatkan rerata global sebesar 3,8 persen pada skala satu sampai lima. Polisi di urutan kedua dengan 3,7 persen, diikuti pegawai negeri sipil, parlemen, dan pengadilan masing-masing 3,6 persen. Sektor swasta dan layanan kesehatan masing-masing berkisar 3,3 persen, diikuti sistem pendidikan (3.2) dan media (3,1). Lembaga-lembaga yang dianggap tingkat korupsinya rendah termasuk militer (2.9), lembaga swadaya masyarakat (2.7), dan lembaga keagamaan (2,6).
Partai politik dipandang paling korup oleh responden di 51 negara, termasuk Argentina, Brasil, Inggris, Kanada, Chili, Kolombia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, India, Irak, Israel, Italia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Nigeria, Norwegia, Palestina, Portugal, Spanyol, Thailand, Turki, Amerika Serikat, dan Uruguay.
Polisi dipandang paling korup di 36 negara, antara lain di Bangladesh, Bolivia, Mesir, Ethiopia, Ghana, Indonesia, Kenya, Malaysia, Meksiko, Mozambik, Nigeria, Pakistan, Filipina, Rwanda, Senegal, Afrika Selatan, Sri Lanka, Tanzania, Uganda, Venezuela, dan Vietnam.
Beberapa negara tercatat lebih dari sekali karena para responden menilai lebih dari satu lembaga yang paling korup. [Jim Lobe]
*Blog Jim Lobe mengenai kebijakan luar negeri AS dapat dibaca di http://www.lobelog.com

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

14 Juli 2013

Meretas Pasar Baru Makanan dari Serangga

MÁLAGA, Spanyol (IPS) – SEBUAH gudang seluas 280 meter persegi di Coín, suatu kotamadya di Málaga, provinsi selatan Spanyol, menjadi tempat peternakan yang unik. Di sana, serangga dikembang-biakkan untuk konsumsi manusia dan produksi pakan hewan. Namun, kendati Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) mengabsahkan serangga sebagai makanan, ada sejumlah hambatan untuk mengembangkan industri ini.
“Kami mengeringkan jangkrik dan belalang, lalu menepungkannya menjaga hampir semua protein dan unsur nutrisi lainnya, yang bisa ditambahkan ke dalam biskuit, sereal, atau penganan penambahn energi,” ujar Laetitia Giroud, warganegara Prancis serta direktur penjualan dan pengembangan produk di Insagri, perusahaan yang menjalankan peternakan tersebut.
Sistem kendali mutu telah ditetapkan untuk setiap jenis serangga yang dikembangkan-biakkan di peternakan di Coín. Ribuan lalat askar hitam  dan larva mealworm dibiakkan untuk memproduksi pakan reptil, ikan, dan ternak, sementara belalang dan jangkrik diproses untuk konsumsi manusia.
Mealworm juga bisa dikeringkan dan dan digunakan untuk membuat keripik dengan taburan sedikit garam, menjadikannya camilan yang sangat baik,” ujar Giroud kepada Tierramérica.
Insagri, yang akan mulai menjual produknya pada Agustus, sudah mendapatkan pembeli bagi serangga tepungnya. Nantinya ia akan dihidangkan di restoran-restoran di Inggris, Prancis dan Belgia. Perusahaan-perusahaan yang mengkhususkan diri dalam produksi saus tomat dan makanan lainnya juga menaruh minat.
Ketiganya, plus Belanda, hanyalah sebagian kecil negara di Eropa yang mengatur “penjualan serangga untuk konsumsi manusia,” ujar Eduardo Galante, ketua Himpunan Entomologi Spanyol dan direktur Pusat Keanekaragam Hayati Iberia-Amerika di Universitas Alicante, Spanyol selatan.
Di Spanyol, tempat Insagri didirikan dengan tujuan memproduksi pakan ternak serta pasar makanan anjing dan kucing, “tak ada jaminan hukum yang mengizinkan memakan serangga di restoran (yang dibeli dari pemasok luar negeri) tapi membolehkan menjualnya untuk konsumsi,” kata Galante.
Galante mencontohkan satu kasus pada 2008 di mana otoritas kesehatan melarang sebuah toko penjual penganan dari serangga di La Boquería, sebuah pasar besar yang jadi daya tarik wisata populer di Barcelona.
Hambatan itu berlawanan dengan rekomendasi dari FAO mengenai konsumsi serangga dan produk sampingannya sebagai upaya memerangi kelaparan dunia.
Sebuah laporan FAO yang dirilis 13 Mei, “Serangga yang dapat Dimakan: Prospek Masa Depan bagi Makanan dan Ketahanan Pangan”, mencatat bahwa serangga ialah “sumber makanan bernutrisi tinggi dan menyehatkan” karena “mengandung lemak, protein, vitamin, serat, dan mineral yang tinggi.”
Menurut Giroud, selain kurangnya peraturan yang memadai, ada “hambatan budaya” yang mencegah manusia mengkonsumsi serangga di Spanyol, berbeda dari beberapa negara di Amerika Latin, Afrika, dan Asia yang sudah jadi praktik lazim.
“Makan serangga itu menjijikkan,” kata Marisa, penduduk Málaga dan ibu seorang putri berumur delapan tahun. Namun, dia menambahkan, gagasan memakan serangga setelah diproses dan ditepungkan adalah sesuatu yang “menarik”, karena “setidaknya dengan cara itu Anda tak melihat (serangga itu).”
Menurut taksiran FAO, serangga merupakan bagian dari makanan tradisional untuk sedikitnya dua milyar penduduk di seluruh dunia, dan ada lebih dari 1.900 spesies serangga yang dapat dimakan. Yang paling sering dimakan termasuk kumbang, ulat, lebah dan tawon, semut, belalang padi, jangkrik, dan belalang.
Spanyol selatan menawarkan “kondisi cuaca ideal untuk membesarkan serangga, yang membutuhkan suhu antara 28 dan 35 derajat celcius,” ujar Giroud. Dia menekankan, mengembang-biakkan serangga untuk makanan dan pakan “lebih murah dan lebih ramah lingkungan” ketimbang ternak karena hanya butuh sedikit lahan dan air serta makanan lebih tahan lama.
“Untuk mendapatkan satu kilogram protein dari ternak, Anda butuh 13 kilogram tetumbuhan, sementara jumlah protein yang sama yang diperoleh dari belalang, Anda hanya butuh 1,5 kilogram pakan,” tegasnya.
Selain itu, dia menekankan bahwa Insagri “satu-satunya perusahaan di Eropa yang memakai pakan organik untuk serangganya.” Misalnya, larva mealworm dengan campuran tepung organik yang disuplai produsen terdekat.
Giroud juga memaparkan bahwa makan serangga lebih sehat “karena mengandung risiko jauh lebih rendah menularkan penyakit pada manusia.” Dia menunjukkan fakta bahwa serangga memiliki darah dingin dan tidak berdarah panas seperti sapi atau babi.
Konsep peternakan serangga berskala besar untuk menopang makanan manusia relatif baru, kendati ada contoh peternakan jangkrik di Laos, Thailand, dan Vietnam, catat laporan FAO, yang memicu perbedaan pendapat di Spanyol.
“Usulan FAO untuk memerangi kelaparan dunia dengan memakan serangga tidaklah mengatasi akar masalahnya,” ujar Esther Vivas, peneliti speasialis kebijakan pangan dan pertanian. Dia menegaskan solusi itu “tidak memberikan masukan baru melainkan berurusan dengan penyebab kelaparan.”
Vivas, jurnalis-cum-sosiolog dan anggota Pusat Studi Gerakan Sosial di Universitas Pompeu Fabra di Barcelona, berkata, “makanan harus dibikin lebih bisa diakses bagi penduduk dunia, karena ada cukup makanan yang diproduksi untuk dikonsumsi semua orang.”
Menurut data FAO, sementara saat ini ada tujuh milyar penduduk di dunia, ada cukup makanan yang diproduksi setiap hari untuk 12 milyar orang.
Kendati begitu, FAO mencatat dalam laporannya bahwa penangkapan ikan besar-besaran, perubahan iklim, dan kekeringan dapat berdampak besar bagi produksi makanan bagi sembilan milyar manusia –prediksi jumlah penduduk dunia pada 2050.
“Justru di masa krisis sekaranglah, ketika konsumsi yang bijak dan melindungi lingkungan dibutuhkan lebih diperlukan dari sebelumnya, lebih mudah mendobrak hambatan budaya untuk mengkonsumsi serangga,” ujar Giroud, yang meluncurkan peternakan serangganya dengan Julien Foucher, juga berkebangsaan Prancis, dengan investasi awal 24.000 euro (31.494 dolar); 5.000 euro (6.561 dolar) dari modal awal disumbangkan lembaga nirlaba Valle del Guadalhorce Rural Development Group, yang didukung European Agricultural Fund for Rural Development (EAFRD).
“Serangga merupakan alternatif terbaik untuk mendorong perubahan makanan,” tambah Giroud.
Galante, secara terpisah, menegaskan, “Kita makan spesies crustacea, dan serangga serumpun dengannya. Kita makan udang dan lobster, yang serupa dengan belalang padi, begitu pula dengan kerang, gurita, dan udang.”
Entomolog Spanyol itu, yang juga profesor jurusan Zoologi di Universitas Alicante, menambahkan terdapat serangga yang telah jadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari selama bertahun-tahun, kendati kita seringkali mengabaikannya. Misalnya cochineal, seekor serangga yang dipakai untuk memproduksi pewarna merah-gelap alami yang dikenal dengan carmine. Ia lazim digunakan dalam berbagai produk makanan serta kosmetik, khususnya lipstik, dan kadangkala dilabeli dengan E120.
Galante berujar dia telah makan “segala jenis serangga, beberapa di antaranya sangatlah lezat,” meski dia mengakui ada rasa jijik karena pengaruh kebanyakan budaya di Eropa.
Dia tak percaya pemanfaatan serangga sebagai sumber makanan akan membantu mengakhiri kelaparan dunia. Namun dia menganggap hal itu “sebagai upaya meretas pasar makanan baru.” [Inés Benítez]
*Artikel ini diterbitkan kali pertama di suratkabar Amerika Latin, yang jadi bagian dari jaringan Tierramérica

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik