Proses panjang penciptaan perdamaian yang hakiki seperti digambarkan di atas menjadi lebih rumit karena adanya dimensi tambahan berupa proses rekonstruksi pascabencana tsunami
TERLEPAS dari apa yang dihasilkan dalam perundingan perdamaian (peace talk) Aceh antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, proses perdamaian (peace process) di Nanggroe Aceh Darussalam masih harus menempuh jalan panjang.
Langkah yang ditempuh pemerintah dan GAM sekarang ini masih merupakan tahap awal yang memerlukan tindak lanjut formal, diharapkan dapat terwujud sebelum 17 Agustus 2005. Artinya, perdamaian belum dapat dikatakan telah tercapai, sebelum kedua belah pihak menandatangani sebuah dokumen kesepakatan secara resmi.
Dengan kata lain, tahapan sekarang masih dalam tataran penciptaan kesepakatan perdamaian (peace-making). Dari sudut pandang resolusi konflik, fase ini merupakan tahapan yang `termudah` dari keseluruhan proses perdamaian. Dalam tahapan ini, tantangan terberat hanyalah bagaimana mengompromikan perbedaan-perbedaan untuk menemukan sebuah kesepakatan yang akan dituangkan ke dalam perjanjian formal antara pihak-pihak yang bertikai.
Masalah lebih sulit adalah tahapan penjagaan perdamaian (peace-keeping), yaitu tahap implementasi atas kesepakatan yang dihasilkan selama proses peace-making. Dari pengalaman di banyak konflik, tahapan ini kerap gagal di tengah jalan, yang pada gilirannya akan membuat konflik semakin akut. Pengalaman penyelesaian konflik di Aceh sendiri juga menunjukkan hal itu. Proses damai yang diakhiri dengan lahirnya kesepakatan Cessation of Hostility Agreement (COHA) runtuh dengan mudah ketika proses implementasinya gagal di tengah jalan.
Dalam hal ini, ada tiga tantangan utama dari tahapan yang akan dihadapi, yakni di bidang program, monitoring, dan problem perusak perdamaian (spoilers of peace). Di bidang program, keberhasilan untuk mengimplementasikan kesepakatan damai di Aceh akan tergantung pada pelaksanaan perlucutan senjata (disarmament), demobilisasi (demobilisation) dan reintegrasi (reintegration). Apabila GAM menyetujui Aceh tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), perlucutan senjata menjadi prasyarat transformasi GAM menjadi aktor politik.
Pada saat bersamaan, setiap pihak harus juga melakukan demobilisasi pasukan, dalam bentuk penarikan pasukan nonorganik TNI dari Provinsi Aceh dan pengintegrasian kembali pasukan GAM ke dalam masyarakat melalui berbagai program seperti pelatihan kerja, perekrutan mantan anggota GAM menjadi anggota Polri, dan program-program income-generating lainnya. Yang agak menjanjikan adalah, kedua belah pihak yang berhadapan di lapangan, TNI dan GAM, telah menyatakan komitmen mereka untuk melaksanakan apa pun yang dihasilkan di Helsinki.
Pelaksanaan ketiga program tersebut di lapangan akan bergantung pula pada efektif tidaknya pengawasan (monitoring). Pengalaman dalam proses pengimplementasian COHA menunjukkan sulit sekali menentukan pihak mana yang sebenarnya tidak menjalankan kesepakatan penghentian permusuhan. Masing-masing pihak menolak untuk dituding sebagai pihak yang melanggar kesepakatan dan bahkan kemudian terjebak dalam sikap saling tuduh yang berakhir pada kegagalan COHA. Kehadiran observers dari Filipina dan Thailand, yang dikoordinasikan Henry Dunant Centre (HDC) tidak banyak menolong, karena kehadiran mereka tidak disertai dengan kewenangan yang cukup dalam menjamin terlaksananya kesepakatan damai.
Kini, apabila nantinya pemerintah RI dan GAM sepakat untuk menghentikan permusuhan pascakesepakatan damai formal Helsinki Agustus mendatang, kewenangan Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang diminta untuk melakukan monitoring mission akan tetap problematik apabila mereka tidak diberi otoritas yang dipatuhi dalam menentukan pihak mana yang melakukan pelanggaran.
Apabila mereka tidak diberikan kewenangan untuk melaksanakan peace-keeping mission, meskipun terbatas hanya diminta melakukan monitoring belaka, maka kesepakatan Helsinki `kalau berhasil` akan dihadapkan pada permasalahan serupa yang dihadapi COHA sebelumnya.
Hal ini dapat terjadi karena dalam konflik di Aceh, seperti halnya dalam konflik di mana pun, selalu ada kelompok yang dinamakan perusak perdamaian (spoilers of peace). Kelompok spoilers of peace ini bisa saja muncul dari kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik, baik dari lingkungan TNI/Polri, GAM atau kelompok-kelompok kriminal dalam masyarakat, yang didorong dan termotivasi oleh greed.
Kelompok-kelompok ini, yang biasanya bertindak di luar kontrol lembaga induk mereka, merasa terganggu oleh adanya proses perdamaian, karena kepentingan pribadi mereka terganggu olehnya. Oleh karena itu, kalau proses perdamaian di Aceh diharapkan berjalan dengan baik, baik TNI dan GAM harus menemukan dan menyepakati sebuah mekanisme yang dapat menindak kelompok-kelompok yang berniat merusak kesepakatan damai.
Tahapan terakhir yang juga tidak kalah pentingnya adalah peace-building, yakni bagaimana membangun sebuah keadaan dan tatanan sosial-politik-ekonomi di Provinsi Aceh yang dapat mencegah terjadinya kembali konflik di masa mendatang. Tahapan ini menjadi penting karena perdamaian harus dipelihara, khususnya dalam masyarakat di mana konflik telah berakar dengan dalam (deep-rooted conflict). Peran masyarakat madani atau masyarakat warga (civil society), khususnya lembaga swadaya masyarakat (LSM), intelektual dan ulama, menjadi sangat penting dalam menjalankan proses peace-building ini.
Namun, dalam konteks Aceh, proses panjang penciptaan perdamaian yang hakiki seperti digambarkan di atas menjadi lebih rumit karena adanya dimensi tambahan berupa proses rekonstruksi pascabencana tsunami. Dalam hal ini, kesungguhan pemerintah merupakan faktor kunci bagi keberhasilan seluruh proses peace-building. Dalam suasana pasca-tsunami, masyarakat korban bencana merupakan kelompok masyarakat yang memiliki harapan sangat besar terhadap perhatian pemerintah. Masyarakat ini juga sangat sensitif terhadap kerja pemerintah, yang pada gilirannya akan menentukan bisa tidaknya pemerintah untuk mendapatkan kembali rasa kepercayaan masyarakat Aceh.
Oleh karena itu, proses rekonstruksi menjadi konteks penting bagi proses perdamaian di Provinsi Aceh. Jalan panjang menuju sebuah Aceh yang damai secara berkelanjutan harus dimulai dari situ. Apabila pemerintah gagal memenuhi harapan masyarakat untuk membangun sebuah Aceh baru yang lebih maju dan sejahtera, provinsi itu akan selalu sarat dengan benih-benih separatisme. Dengan kata lain, tanggung jawab utama untuk menjamin perdamaian di Aceh terletak di pundak pemerintah, baik pusat maupun daerah.***
Penulis Rizal Sukma
Media Indonesia - 18 July 2005