03 Desember 2010

Bila Konglomerat Merambah Bisnis Media

Deskripsi
Lima tahun reformasi ditandai dengan tumbuh dan gugurnya sejumlah media. Dan konglomerat mulai menancapkan kehadirannya di lahan yang dulu sarat idealisme itu.

PERKEMBANGAN media massa lima tahun terakhir ini benar-benar menakjubkan. Angin kebebasan yang bertiup setelah pengunduran diri Presiden Soeharto telah menjadi motor pendorong utama. Hal ini langsung terlihat pada lonjakan jumlah media cetak ketika B.J. Habibie berkuasa. Dalam periode awal transisi itu (1998-1999), media yang paling banyak diterbitkan pengusaha pers adalah tabloid. Biaya produksinya tidak terlalu besar. Jumlah wartawan yang diperlukan juga tidak banyak. Selain itu, tabloid cenderung bersemangat pamflet, sehingga paling cocok menyuarakan gejolak perubahan waktu itu. Karakter bisnisnya yang bersifat hit and run juga ikut menunjang. 

Namun, memasuki tahun 2000, pamor tabloid meredup dengan cepat. Satu per satu tabloid lenyap dari peredaran, tanpa kabar berita atau pemberitahuan. Ada dua penyebabnya: tabloid nyaris tidak mendapat iklan, sedangkan minat pembaca mulai berpindah ke media yang diolah secara berkualitas. Seiring dengan itu, kaum pemilik modal pun mengalihkan perhatian dan uangnya ke media elektronik—seperti televisi dan radio. 

Tentang bulan madu antara media cetak dan perubahan politik ini, Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) memiliki catatan kecil. Dari situ diketahui, sebelum reformasi, di seluruh Indonesia cuma ada 289 media cetak. Tapi, setelah pemerintah memudahkan pengurus- an surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP), jumlah izin melonjak hingga di atas 2.000 lembar. Sedangkan untuk televisi, ada lima izin baru yang diterbitkan. 

Namun euforia kebebasan pers rupanya tak selalu setarikan napas dengan kemampuan mengelola bisnis. Sejumlah media cetak—beberapa di antaranya dari penerbitan ternama—belakangan mulai megap-megap. Yang lain bahkan sudah gulung tikar atau terpaksa menjual mayoritas sahamnya kepada pihak lain. 

Ada juga media yang memang sengaja terbit ”seumur jagung”, konon dimaksudkan untuk sekadar membela kepentingan politik satu-dua kelompok yang sedang berkuasa. Tapi kebanyakan mati karena tak laku dijual alias tak mampu menghadapi ketatnya persaingan bisnis. Nasib mereka mengingatkan kita pada sepenggal bait syair Chairil Anwar yang terkenal ini: ”Sekali berarti sudah itu mati.” 

Jenis media cetak yang paling banyak tutup adalah media politik. Ini tentu erat kaitannya dengan animo pembaca yang berpaling ke ufuk lain, terutama karena capek dan jenuh menghadapi berita-berita politik. Media politik yang terpaksa tutup warung adalah tabloid Detak, majalah D&R, tabloid Dinamika, dan banyak lagi yang mungkin bahkan jarang terdengar namanya. 

Ketua SPS Leo Batubara mengemukakan satu kenyataan yang cukup menarik, yakni banyak media yang terbit tanpa lebih dulu melakukan survei pasar. ”Mereka cuma mengandalkan insting,” kata Leo. Sayangnya, insting itu lebih sering meleset ketimbang tepat. Situasi umum juga kurang mendukung, antara lain karena nilai rupiah melorot sehingga harga kertas meningkat. Akibatnya, biaya produksi melambung tinggi dan media cetak yang modalnya pas-pasan berguguran satu demi satu. 

Menurut data SPS, dari semua media cetak yang ada, hanya 20 persen yang mampu meraup untung dan bertahan hidup. Mereka termasuk kelompok mapan dengan modal solid seperti Kompas-Gramedia, Jawa Pos, dan Femina. 

Di tengah situasi sulit, Jawa Pos, yang terkenal inovatif, bahkan mampu berekspansi. Mereka mengembangkan sayap ke kota-kota kecil dengan menerbitkan harian bernama depan Radar. Hingga kini, grup media yang bermarkas di Surabaya itu sudah memiliki puluhan Radar. Komitmen Grup Jawa Pos untuk mengembangkan pers lokal memang layak dipuji. Walaupun begitu, tidak semua medianya bertahan hidup. Ada juga koran dan tabloidnya yang gulung tikar, seperti Sinema, Sensasi, dan Berlian. 

Jatuh-bangun tak cuma dialami media cetak. Situs berita di Internet mengalami nasib yang sama. Setelah berpijar sebentar, satu demi satu situs berita itu meredup. Dalam kelompok yang tidak beruntung itu ada Astaga dan Satunet, yang sempat mendapat dukungan dana dari M-Web. Situs berita yang masih bertahan cuma Detik.com. 

Di luar soal perebutan tiras yang begitu ketat, seperti disebutkan tadi, media-media tumbang lantaran tipisnya perolehan iklan. Dalam hal yang satu itu, media cetak dan Internet memang mendapat saingan berat dari televisi. 

Sukses TV meraup iklan terutama lantaran kemampuannya menyedot penonton, yang jumlahnya hampir mencapai setengah jumlah penduduk negeri ini. Bandingkan dengan jumlah pembaca koran, yang tidak beringsut dari angka 10 juta orang. Maka wajar saja bila para pemasang iklan lebih suka memajang iklannya di layar gelas. 

Kendati nasib kebanyakan media cetak dan Internet begitu terpuruk, ada saja kekuatan bisnis besar yang tetap mau menanamkan modal di lahan yang rawan itu. Kelompok Lippo, misalnya, kini menguasai mayoritas saham PT Media Investor, yang menerbitkan harian dan majalah Investor Indonesia serta situs berita Media Investor Online. 

Kepemilikan Lippo itu diakui oleh Ace Suhaedi Madsupi. Bekas wartawan Kompas yang kini bekerja untuk Lippo itu—dalam wawancara untuk penerbitan buku Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tentang perjuangan serikat pekerja pers—menyatakan, ”PT Media Investor merupakan perusahaan yang sebagian besar sahamnya dikuasai oleh Lippo.” Namun petinggi Lippo, Roy Tirtadji, menampik adanya andil tersebut. ”Siapa bilang kami punya saham di situ?” ujarnya saat diwawancarai oleh Leanika Tanjung dari TEMPO. 

Di luar kelompok Lippo, konglomerat yang disebut-sebut terjun ke bisnis media adalah keluarga Nursalim. Mereka tadinya cuma ikut menanam modal kecil-kecilan di harian sore Sinar Harapan. Tapi kabarnya mereka sekarang telah meningkatkan kepemilikan itu menjadi kepemilikan mayoritas. Hal itu, menurut sumber TEMPO, dilakukan melalui Boyke Gozali, adik kandung Itjih Nursalim. 

Alkisah, Boyke masuk ke Sinar Harapan karena diajak H.B.L. Mantiri, yang merupakan temannya satu gereja. Mula-mula ia cuma meminjamkan duit, tapi kemudian pinjaman dalam jumlah besar itu diubah menjadi kepemilikan saham. Hanya, persis seperti Roy Tirtadji di Investor, Boyke membantah ikut andil di Sinar Harapan. ”Saya enggak pernah punya saham di Sinar Harapan,” katanya. 

Bos kelompok Ometraco itu mengaku tak punya pengalaman di bisnis media. Karena itu, kendati ia sempat memiliki izin televisi, izin tersebut kemudian dijualnya ke pihak lain. ”Bisnis media itu sangat susah. Sekarang saja banyak media yang tutup dan enggak mampu bersaing,” ujarnya. 

Soal Sinar Harapan, Boyke mengaku cuma membantu dengan cara memasang iklan, bukan dengan menyetorkan modal. Contohnya saat perusahaannya akan melaporkan neraca perusahaan ke publik atau melakukan rapat umum pemegang saham. ”Itu karena saya kenal Pak Mantiri dan Aristides Katoppo,” ujarnya. 

Sikap andap asor konglomerat yang terjun ke bisnis media juga terjadi di layar kaca. Di sini, taipan yang kerap disebut-sebut dan sejak dulu memang sudah malang-melintang adalah Anthoni Salim. Benar, secara resmi namanya cuma tercantum di Indosiar sebagai pemilik 33 persen saham PT Prima Visualindo, yang menguasai 27,74 persen saham Indosiar. 

Tapi di kalangan pelaku pasar modal telah lama beredar cerita bahwa putra bungsu Sudono Salim itu menguasai saham beberapa stasiun TV lainnya melalui PT Bhakti Investama, yang dikomandani Hary Tanoesoedibyo. Bhakti pula yang kabarnya digunakan Salim untuk membeli kembali perusahaan-perusahaannya di Badan Penyehatan Perbankan Nasional. 

Langkah-langkah raksasa Bhakti itu terasa mengejutkan lantaran Bhakti tadinya cuma perusahaan sekuritas kecil. ”Dari mana ia punya uang untuk mencaplok perusahaan besar?” ujar seorang analis. Padahal, sejak Februari 2002, Bhakti sudah menguasai 53 persen saham Bimantara Citra, perusahaan yang tadinya dikuasai Bambang Trihatmodjo. Dan seperti diketahui, sebelumnya, Bimantara memiliki tiga stasiun televisi: RCTI, Global TV, dan Metro TV. Bhakti kabarnya juga punya andil di SCTV melalui PT Abhimata Mediatama, yang memiliki 39,6 persen saham PT Surya Citra Media. 

Belakangan Hary juga disebut-sebut masuk ke Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Tanda-tandanya terlihat lantaran ia menempatkan tiga orang dekatnya di Bimantara pada jajaran direksi TPI. Hary kabarnya masuk setelah menyuntik US$ 5 juta ke stasiun TV milik Siti Hardijanti ”Tutut” Rukmana yang sedang terlilit utang itu.

Duit itu selanjutnya digunakan untuk membayar utang obligasi TPI ke PT Indosat. Sebenarnya utang itu berjumlah Rp 333 miliar, tapi TPI cukup membayar Rp 150 miliar alias mendapat diskon 50 persen. Dari jumlah itu, yang US$ 5 juta akan dibayar tunai, sementara sisanya dibayar dengan menyerahkan obligasi senilai US$ 10 juta. 

Masuknya Hary Tanoesoedibyo, menurut sumber TEMPO, tak lain atas permintaan bos besar TPI sendiri, Tutut. Putri tertua bekas presiden Soeharto itu kabarnya tak ingin stasiun televisinya jatuh ke tangan pihak lain. 

Yang juga menarik, dalam setiap pembelian saham perusahaan televisi, Bhakti tetap menjaga keberadaan pemilik lama, yang kebanyakan berasal dari Keluarga Cendana. Ia bisa menggusur pemilik lain, tapi Keluarga Cendana tetap dipertahankan. 

Toh, Hary membantah keterlibatannya dalam aksi membeli saham perusahaan-perusahaan TV. ”Itu rumor,” katanya. Ia juga menyanggah dijadikan tunggangan Salim untuk menguasai TV. ”Kami bersih. Tak ada modal dari Grup Salim,” ujarnya kepada TEMPO beberapa waktu lalu. 

Mengapa konglomerat tergiur terjun ke bisnis media? Keuntungan finansial jelas menjadi pertimbangan utama. Pada tahun 2001, dari Rp 9,27 triliun kue iklan yang tersedia, 92 persen dikuasai oleh Indosiar, SCTV, RCTI, dan TPI. Selain ada keuntungan materi, mereka menyadari betapa media berpotensi menguasai arus informasi. ”Mereka butuh televisi untuk mengontrol pemberitaan,” ujar Veven Sp. Wardhana, Direktur Institute for Media & Social Studies. 

Tentang hal ini, Ishadi S.K., bekas Direktur Utama TVRI yang sekarang menjadi Direktur Utama Trans TV, mengajukan jawaban yang bernas. Katanya, bisnis televisi merupakan perpaduan unik antara kepentingan politik dan ekonomi. 

Harus diakui, media, terutama televisi, bisa digunakan untuk bermacam tujuan, dari memoles atau merusak citra seorang tokoh sampai secara sangat efektif mempengaruhi opini publik, baik melalui seleksi berita, talk show, maupun liputan khusus. Dengan trik-trik visual efektif, penonton dengan mudah akan bisa dipengaruhi. Tak aneh bila Ishadi mengatakan, ”Siapa yang menguasai televisi juga bisa menguasai Indonesia.” Benar atau tidak, mari kita lihat buktinya. 

Nugroho Dewanto, Ali Nur Yasin 

**** 

Belanja Iklan TV 2001 

======================================== 
Nama Stasiun Jumlah Persen 
-"- (Rp Triliun) 
======================================== 
Indosiar 2,6 28 
SCTV 2,32 25 
RCTI 2,23 24 
TPI 1,4 15 
Anteve 0,465
Metro TV 0,259
======================================== 

-- Sumber: Riset AC Nielsen 

+++ 

Posisi Hary Tanoesoedibyo di Kerajaan 
Media Elektronik Milik Keluarga Cendana 

Bhakti Investama : 53% --> Bimantara : 
- RCTI 69,8% 
- Global TV 70% 
- Metro TV 25% 
Injeksi US$ 5 juta --> TPI 

Abhimata Mediatama : 39,6% --> Surya Citra Media 100% --> SCTV 

Anthoni Salim : 33% --> Prima Visualindo --> 27,74% --> Indosiar 

+++ 

PEMAIN BARU YANG SIAP BERTARUNG 

Nama Stasiun : Trans-TV 
Pemilik : Grup PARA 
Program : 35 persen berita, selebihnya infotaiment dan olahraga 
Jangkauan : Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, Yogyakarta, Solo ++ 

Nama Stasiun : TV-7 
Pemilik : Kelompok Kompas-Gramedia 
Program : 40 persen berita, selebihnya infotaiment 
Jangkauan : Jakarta, Bbandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan ++ 

Nama Stasiun : Global TV 
Pemilik : Grup Bimantara 
Program : Musik dan gaya hidup anak muda 
Jangkauan : Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan ++ 

Nama Stasiun : Lativi 
Pemilik : Pasaraya 
Program : 40 persen berita, selebinhnya infotaiment 
Jangkauan : Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Semarang, Yogyakarta, Solo 

---Sumber--- 
Majalah TEMPO 25 Mei 2003
NomorT12320054
Edisi12/32
Halaman94
RubrikLiputan Khusus
PenulisDewanto, Nugroho , Yasin, Ali Nur,

Artikel Terkait