Wartawan membicarakan banyak hal, menyangkut orang banyak. Karena itu, banyak yang harus di- lakukan, mulai dari penataran, pengaturan, bredel, sampai aksi kekerasan. Dunia tak pernah bebas dari persoalan ini. Dalam masa yang panjang, kebebasan pers dan hak publik mendapatkan informasi jadi topik perdebatan. Kebebasan harus terus diperjuangkan.
WARTAWAN membicarakan banyak hal, menyangkut orang banyak. Karena itu, banyak yang harus di- lakukan, mulai dari penataran, pengaturan, bredel, sampai aksi kekerasan. Dunia tak pernah bebas dari persoalan ini. Dalam masa yang panjang, kebebasan pers dan hak publik mendapatkan informasi jadi topik perdebatan. Kebebasan harus terus diperjuangkan.
Kebebasan pers bisa dihancurkan dari luar, dirusak dari dalam. Menurut International Press Institute, sepanjang 2002 ada 54 wartawan yang terbunuh, dan terjadi aksi kekerasan terhadap jurnalis serta media di 176 negeri. Gangguan itu bertambah sesudah peristiwa World Trade Center, New York, yang mencetuskan perang melawan terorisme. Pemerintah di berbagai negara menjadikan isu perang melawan terorisme sebagai justifikasi kepentingan jangka pendek. Kriteria keamanan digariskan bersama terbitnya aturan yang mengekang. Kebebasan arus informasi direduksi, kemungkinan menahan wartawan atau membungkam media jadi terbuka. Semua berlangsung atas nama perang melawan terorisme: di Uzbekistan, Hong Kong, Malaysia, Filipina, India, dan Indonesia.
Sepanjang 2002, kebebasan pers di Asia merosot. Tak ada tanda-tanda realisasi hak asasi manusia akan membaik di negeri-negeri pecahan Uni Soviet di wilayah Asia. Kehadiran Amerika Serikat di Asia Tengah—yang katanya untuk demokratisasi dan memerangi terorisme—tampaknya berdampak kebalikan dari hasrat menegakkan demokrasi. Wartawan Uzbekistan harus melakukan self censorship. Dengan memerangi terorisme, Kazakhstan membatasi kemerdekaan pers karena mengharapkan investasi AS di sektor minyak dan gas bumi.
Di Afganistan, pers menghadapi ancaman dan serangan fisik tentara AS. Di Tajikistan, pers juga tak bebas. Di Nepal, 2002 merupakan tahun traumatik ketika wartawan berupaya menulis lebih bebas perihal pemberontak Maois. Sejak menyiapkan kongres ke-16 Partai Komunis, November 2002, Republik Rakyat Cina kian keras terhadap media. Internet cafe ditutup dan website hanya bisa terkoneksi di daratan Cina. Wartawan yang menulis tentang korupsi berisiko dipenjara. Di Indonesia, Undang-Undang Penyiaran, Undang-Undang Antiterorisme, dan Undang-Undang Rahasia Negara dikhawatirkan memunculkan represi terhadap pers. Kekerasan terhadap wartawan oleh aparat keamanan dan warga sipil bukan cerita baru.
Kekerasan juga terjadi di Amerika Latin, Afrika, dan Timur Tengah. Dalam tiga setengah bulan pertama 2003, 21 jurnalis tewas di Kolombia, India, Thailand, dan Irak. Di Irak, bahkan 14 wartawan tewas. Pada 2002, 56 wartawan terbunuh di 19 negara, 15 di antaranya tewas di Kolombia. Pada 2001, 55 jurnalis mati di 28 negara. Angka tertinggi dicatat Kolombia (11) dan Afganistan (8). Indonesia menyumbang satu korban, sementara AS, Prancis, Inggris, Spanyol turut serta dalam daftar ini.
Kendati bukan negeri aman, Indonesia mencatat penurunan angka kekerasan. Seperti terungkap dalam seminar South East Asian Press Alliance, hingga November 2002 "hanya" ada 56 kasus. Tahun 2001 dibukukan 95 kasus, dan tahun 2000 tercatat 115 kejadian. Tapi kini warga sipil lebih ganas dari alat negara. Kekerasan terbanyak dilakukan anggota parlemen, disusul aparat pemerintah, personel TNI, kemudian massa. Mahasiswa turut sebagai pelaku, walau hanya untuk dua kasus. Peringkat kebebasan pers di Indonesia mulai membaik dibanding di Filipina dan Thailand.
Pengekangan gerak wartawan, rintangan terhadap arus informasi, aksi fisik terhadap pers sangat memprihatinkan. Ia harus dilawan. Tapi apakah fair bicara tentang kebebasan pers jika yang dilihat hanya bahaya dari luar? Ada "gelanggang pertempuran" lain, yaitu ancaman yang muncul dari dalam diri pers sendiri.
Sering dikatakan, menghalangi kerja wartawan adalah mencederai hak publik akan informasi. Tapi pernahkah publik mempergunakan haknya, menentukan dan menagih apa yang ingin mereka ketahui? Yang terjadi, pers memilih informasi untuk disajikan kepada publik. Kalaupun ada survei selera audience, yang dipelajari arah keinginan khalayak. Itu pun dilakukan lebih banyak untuk memotret pasar guna merintis sukses penjualan.
Siapakah publik yang kepentingannya dibela? Publik bisa berarti pasar yang menghidupi industri pers. Untuk media cetak di Indonesia, publik—audience dan pemasang iklan—adalah sebagian kecil masyarakat urban. "Publik" dalam jurnalistik adalah terminologi berbagai lingkup. Suatu saat mereka para pemburu gain di bursa saham, di saat lain warga Jakarta penghuni bantaran kali. Publik juga dapat berarti hanya pemeluk Hindu, pendukung partai politik tertentu, dokter, hakim, atau para pedagang di Glodok. Di saat lain, ia sungguh-sungguh tak terbatas, manusia yang tidak dibedakan oleh umur, jenis kelamin, kasta, profesi, ras, bangsa, agama. Dalam melayani mereka, pers harus mengerti persoalan apa dan mengenai publik yang mana.
Karena itu, laporan media tak mungkin memenuhi keinginan atau memuaskan semua orang. Itulah yang mengharuskan wartawan arif menentukan pilihan. Yang dapat menolong pers adalah pemahaman yang baik akan konsepsi "kepentingan publik" dan "hal-hal yang menarik bagi khalayak" sebagai dasar ukuran nilai berita.
Kepentingan publik adalah alasan terkuat. Karena itu, media menjadi institusi sosial. Tapi keharusan menghidupi diri memaksa pers menjual informasi sebagai komoditas, mencetak laba. Pada saat itu media adalah institusi bisnis. Manakala pertimbangan "kepentingan publik" kalah oleh pertimbangan "hal-hal yang menarik bagi khalayak", pers hanya bisa memperdagangkan publikasi pemuas nafsu bergunjing, pelayan angan-angan syahwat, atau pemuas bakat mencerca. Yang jadi kunci ialah keterikatan pada nasib orang banyak, keyakinan bahwa profesi dilakukan demi peradaban, dan kesadaran memilih.
Pilihan dibuat oleh wartawan ataupun media. Walau ada ukuran jurnalisme yang jadi pegangan, pada akhirnya wartawan jadi penentu. Karenanya, hasil pilihan selalu subyektif, dan obyektivitas menjadi nonsense. Sekali wartawan memilih atau menentukan apa yang ditulis dan apa yang tidak, memutuskan laporan A di halaman depan, laporan B di halaman dalam, ia sudah subyektif. Tapi subyektivitas bukan dosa selama kenyataan yang disampaikan dikemukakan secara berimbang. Jurnalisme hanya bisa sampai di situ, pada taraf subyektif yang fair, jujur melihat kenyataan.
Kejujuran adalah modal pokok. Ia melebihi syarat apa pun. Tanpa memperhitungkan kejujuran, jurnalisme tak mengenal istilah off the record atau not for attribution—yang diminta narasumber justru karena menaruh kepercayaan. Hanya, tak ada sekolah dan pelatihan yang dapat mentransfer kejujuran. Kejujuran tumbuh bersama manusia. Itu adalah hati nurani.
Adalah nurani yang membuat orang punya komitmen. Komitmen berarti integritas, dan itu keputusan pribadi. Ia akar kebebasan atau kebebasan itu sendiri. Dan itulah kehormatan jurnalisme. Untuk wartawan "yang sesungguhnya" atau "media yang sebenarnya", kebebasan bersifat "tak boleh tidak", dan ia harus tak tergoyahkan.
Tapi memelihara komitmen sangatlah sulit, terlebih ketika menemukan kenyataan yang menyentuh kepentingan wartawan sebagai manusia. Komitmen pun tak mudah dipertahankan ketika ada keharusan menyesuaikan diri. Kebebasan yang direduksi terpaksa diterima ketika pers mendukung "revolusi" Bung Karno pada 1960-an, atau "pers pembangunan" yang harus memelihara stabilitas sepanjang sejarah Orde Baru. Kita pernah lupa, kesulitan memelihara komitmen tak sewajarnya membuat komitmen terabaikan.
Kemerdekaan pers selalu diganggu oleh political constraint dan economic constraint. Rintangan politik mencegah jurnalis melaporkan kenyataan yang sesungguhnya. Pertimbangan ekonomi mempengaruhi keputusan media membuat pilihan. Memberikan coverage bagus buat memancing iklan bisa melunturkan kebebasan. Juga bukanlah kejujuran jika keputusan menolak iklan rokok, minuman keras, atau obat tertentu dibuat setelah pemasukan iklan lain dirasa cukup aman.
Kebebasan terkait erat dengan potret pers sendiri. "Budaya amplop", misalnya, adalah kebiasaan yang dapat meruntuhkan kebebasan, sekalipun ia dianggap "pemberian tak mengikat". Hubungan "sangat bersahabat"—yang disembunyikan di belakang istilah lobby—antara editor dan pengusaha, politikus, atau pejabat, dapat membuat editor kehilangan jatidiri. Berpangkalan terlalu lama dan jadi anggota wartawan unit X atau Y, seperti yang kini terpelihara baik, dapat pula merusak kebebasan.
Membiarkan diri tak sanggup membicarakan kebenaran karena pertimbangan kedekatan dan hubungan baik sama berbahayanya dengan membiarkan regulasi yang membatasi kemerdekaan. Memaki seraya melempar wartawan dengan kotak tisu sama laknatnya dengan menjatuhkan hukuman 11 tahun penjara bagi pengelola Internet di Beijing yang memetik artikel dari website mancanegara karena mengganggu kenyamanan Partai Komunis Cina. Kedua-duanya harus diperangi, walau kemenangan mutlak tak mungkin diraih. Kemerdekaan pers tak bisa ditemukan, hanya bisa didekati. Berharap rintangan sirna sama sekali sama dengan mengharapkan Tuhan tak lagi menghadirkan setan di tengah umat manusia.
*) Wartawan, pengajar pada Departemen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia
Nomor | T12320056 |
Edisi | 12/32 |