- Opini
POLEMIK mengenai diakomodir atau tidaknya calon kepala daerah dari unsur perseorangan (independen) masih juga terjadi. Pro-kontra tentang hal tersebut bergeliat pada tataran elit politisi di DPRA pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-VIII/2010, yang menyatakan Pasal 256 UUPA bertentangan dengan konstitusi, sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 256 UUPA berbunyi, “Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Sehingga dengan adanya Putusan MK tersebut, ketentuan dalam pasal ini dianggap nihil. Karenanya, calon perseorangan dianggap dibolehkan, yang mengacu pada ketentuan nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008.
Berbagai respons muncul berkaitan Putusan MK tersebut. Banyak yang pro dan mendukungnya. Namun ada pula yang kontra dan bersikukuh menolak, dengan berbagai argumentasi, justifikasi, dan kepentingan-kepentingannya. Beberapa mahasiswa ilmu politik FISIP Unsyiah, bertanya pada saya, bagaimana konsekuensi juridis jika ada pihak, baik secara perseorangan ataupun institusional, menolak Putusan MK. Bagi saya, ini pertanyaan bagus yang patut diapresiasi, dan kiranya dapat mewakili pertanyaan sebagian besar rakyat Aceh saat ini tentang hal tersebut.
Berkaitan dengan pertanyaan di atas, dalam artikel ini, saya akan menjelaskan beberapa hal. Pertama, bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi diakui dan diatur secara tegas dalam Konstitusi Republik Indonesia, yaitu UUD 1945. Dalam UUD 1945, pengaturan mengenai eksistensi MK diatur sebanyak 12 kali dalam tiga pasal batang tubuh dan satu pasal aturan peralihan, yakni Pasal 7B, Pasal 24, Pasal 24C, dan Pasal III Aturan Peralihan.
Banyaknya pengaturan mengenai MK, dapat menjadi salah satu indikator bahwa kehadiran dan keberadaan MK merupakan sesuatu yang penting dalam membangun negara demokrasi, yang berkedaulatan hukum. Sehingga, jika ada orang Aceh yang menolak Putusan MK, sama halnya dengan menolak MoU Helsinki. Hal ini karena, dalam Alinea Kedua Mukadimah MoU Helsinki jelas dinyatakan bahwa “Para pihak (RI-GAM, pen) bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia”. Intinya, Pemerintahan rakyat Aceh, baik eksekutif (Gubernur/bupati/walikota) maupun legislatifnya (DPRA/DPRK) harus tunduk pada sistem negara kesatuan dan Konstitusi Republik Indonesia. Ini tegas dan jelas.
Kedua, berkaitan dengan eksistensi MK, dalam Pasal 24C UUD 1945, tegas dinyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Mengacu pada ketentuan dalam Pasal 24C UUD 1945, jelas bahwa Putusan MK terhadap pengujian undang-undang (judicial review) bersifat final. Artinya, ini merupakan Putusan Akhir yang tak ada lagi upaya hukum lainnya. Tak boleh kasasi dan peninjuan kembali. Bahkan untuk mendukung norma konstitusional ini, ditegaskan lagi dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Dengan demikian, sejak putusan tersebut diucapkan, maka putusan tersebut langsung memiliki kekuatan hukum tetap, final dan mengikat.
Ketiga, perlu dikemukakan bahwa kegiatan judicial review atau pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konsitusi, bukanlah tindakan merubah atau mengamandemen undang-undang. Pengujian undang-undang adalah kompentensi dunia peradilan (justisia). Sedangkan perubahan undang-undang adalah ranah fungsi legislatif.
Karenanya, adalah pernyataan yang amat keliru, jika proses pengujian UUPA oleh MK harus berkonsultasi dan mendapat pertimbangan dari DPRA. Pernyataan tersebut (Serambi, h.5, 30 Maret 2011) yang telah diutarakan beberapa kali, justru melemahkan iklim demokrasi. Salah satu syarat negara demokrasi, adalah adanya peradilan yang bebas dan mandiri. Sehingga, jika ada “kewajiban” MK berkonsultasi untuk mendapat pertimbangan DPRA, itu sama artinya, MK tidak bebas dan tidak mandiri.
Hemat saya, ketentuan dalam Pasal 269 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang berbunyi, “Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA”, berlaku untuk proses perubahan UUPA, bukan untuk pengujiannya. Perubahan UUPA dilakukan oleh DPR RI dan Presiden. Sedangkan Pengujian UUPA dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Perlu juga dikemukakan bahwa jika proses pembentukan dan perubahan undang-undang dilakukan oleh DPR dan Presiden (legislatif dan eksekutif). Sedangkan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi, yang hakimnya berjumlah 9 (sembilan) orang, dengan keanggotaannya diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Jadi hakim MK mewakili unsur legislatif, eksekutif, dan judikatif. Ini bermakna, komponen dan otoritasi MK lebih paripurna ketimbang para pembuat undang-undang.
Keempat, mencermati kewenangan dan integritas serta keterwakilan unsur hakim dalam MK, sehingga dari sisi politik hukum, posisi putusan MK dapat ditempatkan di atas hirarki undang-undang. Karena MK dalam Putusannya berwenang menyatakan ayat, atau pasal, atau bab, bahkan suatu undang-undang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Konsekuensi dari putusan ini adalah: ayat, atau pasal, atau bab, bahkan suatu undang-undang menjadi tidak mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 57-1 UU 24/2003 ttg MK). Sehingga, keberadaannya, misalnya Pasal 256 UUPA, hanya berupa slapende regeling an sich alias ketentuan tidur yang tak lagi berfungsi.
Dalam hal ayat, pasal, bab, atau suatu undang-undang yang dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat oleh MK, maka undang-undang yang berlaku terhadap hal berkaitan adalah undang-undang yang berlaku sebelumnya, atau ketentuan yang bersifat umum tentang hal tersebut. Hal ini mengacu pada asas lex posterior derogat lex prior, dan lex spesialis derogat lex generalis. Hukum terkini mengesampingkan hukum terdahulu, dan hukum khusus mengesampingkan hukum umum. Namun, jika hukum terkini batal atau hukum khusus dinyatakan tidak lagi mempunyai mengikat, maka yang berlaku adalah hukum terdahulu dan hukum bersifat umum.
Sehingga, konsekuensi dengan tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat Pasal 256 UUPA, maka sebagai gantinya dapat diberlakukan ketentuan-ketentuan umum sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, yang merupakan produk pasca Putusan MK yang mengabulkan permohonan adanya calon perseorang secara nasional untuk diusulkan sebagai calon Kepala/Wakil Kepala Daerah.
Kelima, sepanjang sepengetahuan saya di Republik Indonesia, belum pernah terjadi Putusan MK yang dianulir oleh Presiden maupun oleh DPR. Putusan MK bersifat erge omnes. Artinya mengikat seluruh warga negara. Sehingga, adanya upaya coba-coba untuk mengabaikan Putusan MK dalam proses perubahan Qanun Aceh tentang Pilkada oleh elit Politisi di DPRA, sesuatu yang patut diprihatinkan.
Semoga upaya tidak mengakomodir Putusan MK 35/2010, hanya upaya coba-coba saja, yang tidak serius. Karena jika diseriusi, akibatnya, Raqan Pilkada bakal tak akan disahkan oleh Gubernur. Dan kalau pun disahkan, dapat pula berpotensi dimohonkan pengujiannya ke Mahkamah Agung oleh pihak berkepentingan dengan alasan Qanun yang bersangkutan bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.
* Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unsyiah.
Pasal 256 UUPA berbunyi, “Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Sehingga dengan adanya Putusan MK tersebut, ketentuan dalam pasal ini dianggap nihil. Karenanya, calon perseorangan dianggap dibolehkan, yang mengacu pada ketentuan nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008.
Berbagai respons muncul berkaitan Putusan MK tersebut. Banyak yang pro dan mendukungnya. Namun ada pula yang kontra dan bersikukuh menolak, dengan berbagai argumentasi, justifikasi, dan kepentingan-kepentingannya. Beberapa mahasiswa ilmu politik FISIP Unsyiah, bertanya pada saya, bagaimana konsekuensi juridis jika ada pihak, baik secara perseorangan ataupun institusional, menolak Putusan MK. Bagi saya, ini pertanyaan bagus yang patut diapresiasi, dan kiranya dapat mewakili pertanyaan sebagian besar rakyat Aceh saat ini tentang hal tersebut.
Berkaitan dengan pertanyaan di atas, dalam artikel ini, saya akan menjelaskan beberapa hal. Pertama, bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi diakui dan diatur secara tegas dalam Konstitusi Republik Indonesia, yaitu UUD 1945. Dalam UUD 1945, pengaturan mengenai eksistensi MK diatur sebanyak 12 kali dalam tiga pasal batang tubuh dan satu pasal aturan peralihan, yakni Pasal 7B, Pasal 24, Pasal 24C, dan Pasal III Aturan Peralihan.
Banyaknya pengaturan mengenai MK, dapat menjadi salah satu indikator bahwa kehadiran dan keberadaan MK merupakan sesuatu yang penting dalam membangun negara demokrasi, yang berkedaulatan hukum. Sehingga, jika ada orang Aceh yang menolak Putusan MK, sama halnya dengan menolak MoU Helsinki. Hal ini karena, dalam Alinea Kedua Mukadimah MoU Helsinki jelas dinyatakan bahwa “Para pihak (RI-GAM, pen) bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia”. Intinya, Pemerintahan rakyat Aceh, baik eksekutif (Gubernur/bupati/walikota) maupun legislatifnya (DPRA/DPRK) harus tunduk pada sistem negara kesatuan dan Konstitusi Republik Indonesia. Ini tegas dan jelas.
Kedua, berkaitan dengan eksistensi MK, dalam Pasal 24C UUD 1945, tegas dinyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Mengacu pada ketentuan dalam Pasal 24C UUD 1945, jelas bahwa Putusan MK terhadap pengujian undang-undang (judicial review) bersifat final. Artinya, ini merupakan Putusan Akhir yang tak ada lagi upaya hukum lainnya. Tak boleh kasasi dan peninjuan kembali. Bahkan untuk mendukung norma konstitusional ini, ditegaskan lagi dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Dengan demikian, sejak putusan tersebut diucapkan, maka putusan tersebut langsung memiliki kekuatan hukum tetap, final dan mengikat.
Ketiga, perlu dikemukakan bahwa kegiatan judicial review atau pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konsitusi, bukanlah tindakan merubah atau mengamandemen undang-undang. Pengujian undang-undang adalah kompentensi dunia peradilan (justisia). Sedangkan perubahan undang-undang adalah ranah fungsi legislatif.
Karenanya, adalah pernyataan yang amat keliru, jika proses pengujian UUPA oleh MK harus berkonsultasi dan mendapat pertimbangan dari DPRA. Pernyataan tersebut (Serambi, h.5, 30 Maret 2011) yang telah diutarakan beberapa kali, justru melemahkan iklim demokrasi. Salah satu syarat negara demokrasi, adalah adanya peradilan yang bebas dan mandiri. Sehingga, jika ada “kewajiban” MK berkonsultasi untuk mendapat pertimbangan DPRA, itu sama artinya, MK tidak bebas dan tidak mandiri.
Hemat saya, ketentuan dalam Pasal 269 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang berbunyi, “Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA”, berlaku untuk proses perubahan UUPA, bukan untuk pengujiannya. Perubahan UUPA dilakukan oleh DPR RI dan Presiden. Sedangkan Pengujian UUPA dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Perlu juga dikemukakan bahwa jika proses pembentukan dan perubahan undang-undang dilakukan oleh DPR dan Presiden (legislatif dan eksekutif). Sedangkan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi, yang hakimnya berjumlah 9 (sembilan) orang, dengan keanggotaannya diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Jadi hakim MK mewakili unsur legislatif, eksekutif, dan judikatif. Ini bermakna, komponen dan otoritasi MK lebih paripurna ketimbang para pembuat undang-undang.
Keempat, mencermati kewenangan dan integritas serta keterwakilan unsur hakim dalam MK, sehingga dari sisi politik hukum, posisi putusan MK dapat ditempatkan di atas hirarki undang-undang. Karena MK dalam Putusannya berwenang menyatakan ayat, atau pasal, atau bab, bahkan suatu undang-undang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Konsekuensi dari putusan ini adalah: ayat, atau pasal, atau bab, bahkan suatu undang-undang menjadi tidak mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 57-1 UU 24/2003 ttg MK). Sehingga, keberadaannya, misalnya Pasal 256 UUPA, hanya berupa slapende regeling an sich alias ketentuan tidur yang tak lagi berfungsi.
Dalam hal ayat, pasal, bab, atau suatu undang-undang yang dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat oleh MK, maka undang-undang yang berlaku terhadap hal berkaitan adalah undang-undang yang berlaku sebelumnya, atau ketentuan yang bersifat umum tentang hal tersebut. Hal ini mengacu pada asas lex posterior derogat lex prior, dan lex spesialis derogat lex generalis. Hukum terkini mengesampingkan hukum terdahulu, dan hukum khusus mengesampingkan hukum umum. Namun, jika hukum terkini batal atau hukum khusus dinyatakan tidak lagi mempunyai mengikat, maka yang berlaku adalah hukum terdahulu dan hukum bersifat umum.
Sehingga, konsekuensi dengan tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat Pasal 256 UUPA, maka sebagai gantinya dapat diberlakukan ketentuan-ketentuan umum sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, yang merupakan produk pasca Putusan MK yang mengabulkan permohonan adanya calon perseorang secara nasional untuk diusulkan sebagai calon Kepala/Wakil Kepala Daerah.
Kelima, sepanjang sepengetahuan saya di Republik Indonesia, belum pernah terjadi Putusan MK yang dianulir oleh Presiden maupun oleh DPR. Putusan MK bersifat erge omnes. Artinya mengikat seluruh warga negara. Sehingga, adanya upaya coba-coba untuk mengabaikan Putusan MK dalam proses perubahan Qanun Aceh tentang Pilkada oleh elit Politisi di DPRA, sesuatu yang patut diprihatinkan.
Semoga upaya tidak mengakomodir Putusan MK 35/2010, hanya upaya coba-coba saja, yang tidak serius. Karena jika diseriusi, akibatnya, Raqan Pilkada bakal tak akan disahkan oleh Gubernur. Dan kalau pun disahkan, dapat pula berpotensi dimohonkan pengujiannya ke Mahkamah Agung oleh pihak berkepentingan dengan alasan Qanun yang bersangkutan bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.
* Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unsyiah.
Sumber Serambi Indonesia, Kamis 31 Maret 2011