20 Oktober 2008

Wali Nanggroe, Sang Pemimpin

Minggu, 19 Oktober 2008 | 01:37 WIB

Tanggal 11 September pagi, puluhan ribu manusia membanjiri Masjid Raya Banda Aceh hingga membeludak ke jalanan. Sebagian besar dari mereka datang sehari sebelumnya dari berbagai pelosok dengan menumpang truk, kendaraan pribadi, atau perahu nelayan.


Hari itu merupakan peristiwa luar biasa. Inilah kali pertama mereka akan melihat langsung Wali Nanggro (wali negara, sebutan bagi HasanTiro) yang akan tiba dari pengasingan selama 32 tahun.

Pria berusia 83 tahun ini adalah pendiri dan pemimpin tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang melancarkan perjuangan bersenjata selama 29 tahun. Selama periode itu lebih kurang 15.000 rakyat Aceh tewas bersimbah darah. Selama itu pula empat Presiden Indonesia gagal memadamkan perlawanan ini dengan kekuatan militer.

”Kami mau merdeka, bukan berunding,” kata Hasan Tiro pada masa lalu. Maka sebelum menyaksikan sang Wali menginjakkan kakinya di bumi Aceh, sebagian pengikutnya meragukan perdamaian. Bahkan tidak sedikit masih menyimpan senjata api.

Komite Peralihan Aceh (KPA), organisasi yang menampung para mantan kombatan, berulang kali menyatakan kepulangan Hasan Tiro hanya untuk melepas rindu kampung halamannya. Tetapi, di balik itu kehadiran Hasan Tiro merupakan bukti sejelas-jelasnya bahwa perdamaian itu niscaya.

Atau seperti dikemukakan banyak orang, apa yang telah diputuskan wali tidak bisa ditawar-tawar lagi, kecuali oleh keputusannya sendiri. Di luar itu pilihannya hanya dua, pengkhianat atau ikut wali.

Itulah sosok Hasan Tiro, cicit pahlawan nasional Teungku Chik di Tiro, yang sangat dihormati rakyat Aceh. Dalam perang Aceh melawan kolonial Belanda, empat generasi keluarga Chik di Tiro hampir semuanya tewas. Kecuali wanita dan bayi. Ibu Hasan Tiro, cucu Chik di Tiro, salah satu di antara mereka yang selamat. Rakyat Aceh percaya, dalam tubuh Hasan Tiro mengalir darah biru keluarga Tiro.

Tentang Teungku Hasan di Tiro

Nama: Hasan Muhammad di Tiro
Lahir: 25 September 1925 di Desa Tanjong Bungong, Pidie (Aceh). Anak kedua dari pasangan Teungku Muhammad Hasan dengan Pocut Fatimah.
Pendidikan:
- Madrasah Blang Paseh di bawah asuhan Daud Beureueh - Normal School di Bireuen
- Atas rekomendasi Daud Bereueh, melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta dan diterima di Fakultas Hukum UII. Sembari kuliah, ia bekerja sebagai staf PM Syafruddin Prawiranegara (1949-1951).
- Atas rekomendasi Syafruddin, Hasan memperoleh beasiswa Colombo Plan. Ia melanjutkan pendidikan di Colombia University dan memperoleh gelar doktor ilmu hukum internasional. Sembari kuliah, Tiro bekerja di perwakilan Indonesia di PBB. (1951-1954)
- Menlu NII-Aceh dan perwakilan tetap NII-Aceh di PBB (1954 - 1963) Kembali ke Aceh 30 Oktober 1976 - Mendeklarasikan Aceh merdeka dan membentuk GAM, 4 Desember 1997.
- Tertembak di kawasan hutan Gunung Halimun, 1979. Pada tahun itu juga meninggalkan Aceh melalui jalur laut. Pulang ke Aceh 11 September 2008. Hasan Tiro menikah dengan wanita AS dan dikaruniai seorang putra, Karim Hasan di Tiro, dan beberapa cucu.

sumber: Kompas

Artikel Terkait