Minggu, 19 Oktober 2008 | 03:00 WIB
Oleh Maruli Tobing
Baru beberapa tahun kemerdekaan diproklamasikan, perang saudara melanda Indonesia. Pemimpin tertinggi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, SM Kartosoewirjo, menolak mengakui keberadaan RI. Sementara Soekarno menuding Kartosoewirjo membentuk negara dalam negara.
Atas perintah PM Ali Sastroamidjojo yang nasionalis sekuler, tahun 1954 angkatan udara mulai melancarkan pengeboman secara membabi buta atas desa-desa yang dikuasai Tentara Islam Indonesia (TII). Pasukan dari Pulau Jawa kemudian diterjunkan dari udara dan membakari rumah-rumah penduduk.
Ribuan penduduk tewas dan ribuan lainnya cedera. Isak tangis terdengar di sana-sini. Pada saat itulah seorang mahasiswa Indonesia asal Aceh yang belajar ilmu hukum internasional di University of Colombia (AS) dan bekerja sebagai staf perwakilan Indonesia di PBB, New York, mengirim surat kepada PM Ali Sastroamidjojo.
New York, 1 September 1954 Kepada Tuan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo Jakarta Dengan hormat,
Sampai hari ini sudah lebih setahun lamanya Tuan memegang kendali pemerintahan atas tanah air dan bangsa kita. … Tuan tidak mempergunakan kekuasaan yang telah diletakkan di tangan Tuan itu untuk membawa kemakmuran, ketertiban, keamanan, keadilan dan persatuan di kalangan bangsa Indonesia. Sebaliknya Tuan telah dan sedang terus menyeret bangsa Indonesia ke lembah keruntuhan ekonomi dan politik, kemelaratan, perpecahan, dan perang saudara.
Belum pernah selama dunia berkembang, tidak walaupun di masa penjajahan, rakyat Indonesia dipaksa bunuh membunuh antara sesama saudaranya secara yang begitu meluas sekali sebagaimana sekarang sedang Tuan paksakan di Aceh, di Jawa Barat, di Jawa Tengah, di Sulawesi Selatan, di Sulawesi Tengah dan Kalimantan.
...........................
Dan Tuan mengatakan bahwa Tuan telah memperbuat semua ini atas nama persatuan nasional dan patriotisme. Rasanya tidak ada suatu contoh yang lebih tepat dari pepatah yang mengatakan bahwa patriotisme itu adalah tempat perlindungan yang terakhir bagi seorang penjahat.
Sampai hari ini sembilan tahun sesudah tercapainya kemerdekaan bangsa, sebagian besar bumi Indonesia masih terus digenangi darah dan air mata… yang kesemuanya terjadi karena Tuan ingin melakukan pembunuhan terhadap lawan-lawan politik Tuan. Seluruh rakyat Indonesia menghendaki penghentian pertumpahan darah yang maha kejam ini....
Persoalan yang dihadapi Indonesia bukan tidak bisa dipecahkan, tetapi Tuanlah yang mencoba membuatnya menjadi sukar. Sebenarnya jika Tuan mengambil keputusan buat menyelesaikan pertikaian politik ini dengan jalan semestinya, yakni perundingan, maka besok hari juga keamanan dan ketenteraman akan meliputi seluruh tanah air kita.
Oleh karena itu, demi kepentingan rakyat Indonesia, saya menganjurkan Tuan mengambil tindakan berikut:
1. Hentikan agresi terhadap rakyat Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan.
2. Lepaskan semua tawanan-tawanan politik dari Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan.
3. Berunding dengan Teungku Muhammad Daud Beureuh, SM Kartosoewirjo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar.
Jika sampai tanggal 20 September 1954, anjuran-anjuran ke arah penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian Tuan, …. saya dan putra-putri Indonesia yang setia, akan mengambil tindakan-tindakan.....
Saya
Hasan Muhammad di Tiro
Saat itu Hasan di Tiro bukanlah sosok yang dikenal di kalangan pemimpin Indonesia. Tadinya ia hanyalah seorang mahasiswa hukum di Universitas Islam Yogyakarta, yang memperoleh beasiswa melanjutkan pendidikan di AS, tahun 1950.
Pada bagian akhir suratnya, pemuda Hasan yang lahir tahun 1925 di Desa Tanjong Bungong, Kecamatan Kuta Bakti, Kabupaten Pidie (NAD), mengancam akan mengobarkan kampanye internasional untuk membeberkan kebrutalan tersebut, dan ”kami akan mengusahakan bantuan moral dan materiel bagi Republik Islam Indonesia dalam perjuangannya menghapus rezim teroris Indonesia.”
Bangsa yang semu
Hasan Tiro memberi batas waktu bagi PM Ali untuk menghentikan agresi militernya selambat-lambatnya 20 September 1954. Pemerintah Indonesia menjawab dengan mengultimatum Hasan Tiro kembali ke Indonesia selambat-lambatnya tanggal yang sama.
Keduanya ternyata tidak memenuhi batas waktu yang ditetapkan. Hasan Tiro segera menyatakan dirinya sebagai duta keliling dan wakil tetap NII di AS serta PBB. Sementara Pemerintah RI mengambil tindakan dengan membatalkan paspor Hasan Tiro dan meminta AS mengusirnya.
Pihak Imigrasi AS di New York sempat menahan Hasan Tiro. Ia dibebaskan dengan uang jaminan 500 dolar AS. Belakangan, Pemerintah AS memberinya izin tinggal dan kewarganegaraan.
Sejak itu Hasan Tiro aktif berkampanye di forum-forum internasional. Mendesak negara-negara Islam agar memboikot Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung. Alasannya, Pemerintah RI telah membunuh para ulama di Aceh, Jabar, Jateng, Sulsel, Sulteng, dan Kalsel. Hasan Tiro juga membuat laporan ke PBB.
Perwakilan Indonesia di PBB membantahnya dan menyebut Republik Islam Indonesia yang diwakili Hasan Tiro hanya sebuah imajinasi. Republik tersebut belum pernah ada, kecuali gerombolan bersenjata yang menimbulkan gangguan keamanan.
Tahun 1957, Hasan Tiro menulis buku, Demokrasi untuk Indonesia, dalam bahasa Melayu dan Inggris. Buku tersebut mengupas konsep kebangsaan dan mengkritik pemahaman Bung Karno mengenai bangsa, demokrasi, dan Pancasila.
Menurut Hasan Tiro, Indonesia adalah nama yang muncul pada abad XIX. Jauh sebelumnya di Nusantara sudah lahir kerajaan-kerajaan berdaulat. Tetapi, Soekarno menganggap apa yang ada dalam angan-angannya mengenai suatu bangsa bernama Indonesia adalah kenyataan.
Maka bukan hal mengejutkan jika Pemerintah RI begitu gampangnya melakukan bumi hangus. Bahkan tidak ada orang yang peduli. Padahal jika bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang nyata, peristiwa ini akan membangkitkan solidaritas. Lagi pula tidak ada pemerintah di dunia ini yang tega membantai bangsanya sendiri, kecuali terhadap bangsa lain.
Ironisnya, Soekarno mengira penderitaan yang sama di bawah penjajahan kolonial dapat mengikat berbagai suku bangsa menjadi suatu bangsa yang bersatu. Ia lupa bahwa kolonial Belanda menguasai luar Jawa baru pada abad XIX. Sementara Jawa dijajah belanda pada abad XVII. Dengan sendirinya, derajat penderitaannya juga berbeda.
Menurut Hasan Tiro, pemikiran Soekarno mewakili apa yang disebut sinkretisme Jawa. Salah satu produknya adalah Pancasila, yang diklaim Soekarno digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Hasan Tiro berkesimpulan, satu-satunya yang bisa mengikat penduduk Nusantara dan melahirkan rasa kebersamaan sebagai suatu bangsa adalah agama Islam. Agama yang dianut mayoritas penduduk sejak ratusan tahun silam.
Membangun basis gerilya
Dalam perjalanan waktu, pemikiran Hasan Tiro ikut mengalami perubahan. Ia kecewa setelah berakhirnya perlawanan DI/TII. Para pemimpin DI/TII lebih banyak memilih menyerah ketimbang memperjuangkan cita-citanya sampai titik darah terakhir.
Ia kemudian membandingkan perjuangan bersenjata di berbagai negara dan menyimpulkan, stamina separatisme ternyata jauh lebih kuat ketimbang sekadar mengganti ideologi negara. Secara historis dan kultural hal ini terbukti dalam perlawanan rakyat Aceh terhadap kekuasaan kolonial Belanda.
Sosok Hasan Tiro sendiri tahun 1970-an berubah menjadi pengusaha sukses di New York, AS. Hubungannya yang dekat dengan pemimpin Timur Tengah ikut memperlancar bisnisnya. Ia pernah menjadi penasihat Raja Faisal dari Arab Saudi dalam konferensi Islam internasional, tahun 1974. Berkat hubungannya dengan Khadafy, pemimpin Libya, ia dapat mendatangkan pemuda Aceh mengikuti latihan militer di negara tersebut.
Pada usia 51 tahun, Hasan Tiro akhirnya memutuskan kembali ke Aceh untuk mengawali suatu bentuk perjuangan baru, yakni Aceh merdeka. Dalam bukunya Price of Freedom: Unfinished Diary of Hasan Di Tiro (1984), ia menulis, dalam usia seperti ini sungguh tidak mudah meninggalkan bisnis yang sukses, kemewahan New York, serta anak dan istri yang cantik. Apalagi harus bergerilya di hutan belantara.
Hasan Tiro akhirnya berangkat ke Malaysia dan menyeberang Selat Malaka dengan menumpang perahu nelayan. Dengan berbekal tiga pistol dan dua senjata berburu, doublelope, Hasan Tiro bersama belasan orang membangun basis gerilya di kawasan hutan gunung Halimun.
Tokoh masyarakat dan ulama datang silih berganti dan menanyakan, mana senjatanya? Hasan Tiro menjawab, senjata bukan hal segalanya. Pada masa lalu banyak senjata peninggalan Jepang, tetapi tidak membawa hasil apa-apa. Hal yang lebih penting dari senjata adalah membangkitkan kesadaran melalui pendidikan dan propaganda.
Hasan Tiro mendeklarasikan kembali kemerdekaan Aceh, 4 Desember 1976, serta mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai bentuk pemerintahan darurat. Deklarasi ini disebarluaskan ke berbagai media internasional.
Akibatnya, rezim Soeharto murka dan mengirim ribuan algojo ke Aceh. Banjir darah kembali terjadi. Tetapi kali ini bersinergi dengan cita-cita perjuangan Aceh merdeka. Dengan kata lain, kebiadaban tersebut membuktikan bahwa mereka ditindas oleh kolonial Indonesia-Jawa. Maka perlawanan justru makin marak dari tahun ke tahun.
Hasan Tiro sendiri akhirnya tertembak dalam suatu pernyergapan TNI, tahun 1979. Pada tahun itu juga ia meninggalkan Aceh melalui jalur laut. Menurut Zakaria Saman, saat itu kaki Hasan Tiro keserempet peluru. Tetapi TNI mengumumkan ia tewas tertembak dan pengikutnya sempat melarikan mayatnya. Rezim Orde Baru beberapa kali mengumumkan Hasan Tiro meninggal.
Sumber: Kompas