KUNJUNGAN Abd al-Halim Murad, kepala gerakan Salafi al-Asalah Bahrain, ke Suriah untuk menemui pemberontak Suriah merupakan upayanya dan Salafi Teluk lainnya untuk membajak revolusi Suriah. Sayangnya, pemerintah Saudi dan Bahrain melirikcara lain ketika Salafi Sunni mereka mencoba menembus oposisi Suriah untuk memerangi Assad, Alawi, Syiah, Hizbullah, dan Iran.
Rezim Assad menggunakan strategi sektarian yang berakibat meluasnya “jihadisme” dengan kekerasan untuk mendukung klaimnya bahwa oposan rezimnya adalah ciptaan kelompok-kelompok teroris Salafi radikal dari luar negeri. Meski ada klaim sepihak dari Assad, para aktivis Salafi garis keras tetap memanfaatkan ketidakstabilan dan kekerasan di beberapa negara Arab, termasuk Suriah, untuk menyebarkan doktrin mereka dan memaksakan praktik sosial yang lebih konservatif kepada rekan-rekan mereka.
Beberapa orang Salafi tak percaya perubahan politik secara damai dan bertahap serta secara aktif bekerja untuk merusak sistem politik yang baru lahir, termasuk dengan meneror dan membunuh minoritas Syiah, Alawi, dan Kristen.
Kelompok Salafi radikal baru-baru ini melakukan kekerasan di Mali dan negara-negara Sahel lainnya di Afrika, serta Nigeria, Uganda, dan Kenya. Mereka juga melakukan kekerasan atas nama “jihad” di Mesir, Sinai, Suriah, Irak, Yaman, dan tempat lain di Timur Tengah.
Ketika Arab Spring menyentuh lebih banyak negara dan rezim –misalnya, di Arab Saudi, Bahrain, Sudan, dan otoritas Palestina– berada di bawah tekanan dari rakyat mereka sendiri, mereka mulai menggunakan sektarianisme dan mempromosikan elemen radikal dalam sekte-sekte itu untuk kelangsungan mereka sendiri dan situasi regionalnya. “Jihadis” Salafi lebih dari senang untuk membantu. Sayangnya, sebagian warga Muslim harus menanggung beban kekerasan ini.
Dari mana Salafisme modern berasal?
Sejak akhir 1960-an, ketika Raja Faisal menyatakan penggunaan Islam sebagai sebuah prinsip dasar bagi kebijakan luar negeri Saudi, Arab Saudi memperluas citra Islam Wahabi-Salafinya di kalangan pemuda Muslim di seluruh dunia.
Kala itu, Faisal berniat untuk menggunakan Islam Saudi untuk memerangi nasionalisme Arab “sekuler” yang dipimpin Gamal Abdul Nassir dari Mesir, Baathisme yang dipimpin Suriah dan Irak, serta Komunis ateis yang dipimpin Uni Soviet.
Interpretasi Islam Wahabi-Salafi, yang diekspor Saudi selama setengah abad, berangkat dari ajaran sarjana Islam abad ke-13 Ibnu Taimiyah dan sarjana Arab abad ke-18 Ibnu Abdul Wahhab. Itu juga tak bisa lepas dari mazhab Hambali konservatif dari hukum Islam dalam Sunni.
Singkatnya, doktrin keagamaan Wahhabi-Salafi tak toleran terhadap agama lain seperti Kristen dan Yahudi serta sekte-sekte Muslim seperti Syiah dan Ahmadiyah, yang tak mengikuti ajaran Islam Sunni. Doktrinnya juga membatasi hak-hak perempuan sebagai anggota yang setara dalam keluarga dan masyarakat dan menggunakan interpretasi Wahhabi untuk memadamkan setiap kritik terhadap rezim atas nama memerangi fitnah.
Yang lebih merisaukan, kekerasan dalam pandangan Salafi merupakan alat sah untuk melawan apa yang disebut musuh-musuh Islam tanpa perlu persetujuan otoritas agama yang diakui secara nasional. Setiap aktivis yang mengaku Salafi bisa mengeluarkan fatwa untuk melancarkan jihad melawan musuh, Muslim maupun non-Muslim.
Osama Bin Ladin melakukannya pada 1990-an, yang memulai siklus kekerasan dan terorisme terhadap umat Islam dan “kafir”,termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya.
Banyak aktivis Salafi radikal di Mali dan negara-negara Afrika lainnya menerima pendidikan agama di Universitas Imam Muhammad di Arab Saudi, tempat persemaian Islam Salafi dan salah satu lembaga pendidikan Islam paling konservatif di dunia.
Pemerintah Saudi dan beberapa pengusaha kaya Saudi menggelontorkan dana untuk menyebarkan Islam melalui beasiswa, proyek-proyek lokal dan LSM Islam, serta membangun masjid dan pencetakan Alquran dan teks-teks keagamaan lainnya yang menyokong Wahhabi-Salafi.
Sejak awal 1970-an, dakwah Wahhabi-Salafi dilakukan organisasi-organisasi nonpemerintah yang dibikin dan didanai Saudi, seperti Liga Muslim Dunia, Organisasi Bantuan Kemanusiaan Internasional (IIRO), Asosiasi Pemuda Muslim Dunia, dan al-Haramain.
Beberapa organisasi terlibat dalam kegiatan teroris di negara-negara Muslim dan non-Muslim dan telah dibubarkan pemerintah Saudi. Banyak pemimpinnya dipenjara atau dihukum mati. Yang lainnya melarikan diri dan meniti karier di organisasi-organisasi teroris baru di Yaman, Maroko, Irak, Somalia, Indonesia, Libya, Mali, dan tempat lain.
Selama bertahun-tahun, para pejabat Saudi beranggapan bahwa selama “jihad” dengan kekerasan dilancarkan di luar negeri, rezim itu aman. Pandangan itu berubah drastis setelah 12 Mei 2003 ketika para teroris menyerang jantung ibukota Saudi.
Dakwah Wahhabi meletakkan dasar bagi “jihadisme” Salafi di Afrika dan dunia Arab. Bahan ajar Saudi dijiwai penafsirannya atas Islam, yang menimbulkan pandangan sempit, tak toleran, dan berbasis konflik dalam pikiran pemuda di sana.
Berbeda dari fokus awal Raja Faisal, sasaran dakwah saat ini adalah sesama Muslim, dengan interpretasi agama yang berbeda, dan kelompok agama lainnya. Apa yang disebut jihadis itu telah membunuh ratusan Muslim, yang mereka anggap sebagai “korban sampingan” dalam perang melawan “musuh dekat dan jauh” Islam.
Sementara partai-partai politik Islam arus utama ambil bagian dalam pemerintahan di seluruh dunia Islam, dan Washington mulai melibatkan partai-partai Islam sebagai mitra, Salafi radikal merusak transisi demokrasi dan reformasi politik yang sah. Mereka menentang demokrasi sebagaimana yang dipahami di seluruh dunia, memandangnya sebagai buatan manusia dan bukan aturan Allah.
Dan apa yang harus dilakukan?
Kekerasan yang berkobar di Suriah dan kekuatan yang yang menempel pada rezim itu memberi lingkungan subur bagi kelompok Salafi untuk membuat pijakan di negara tersebut. Keamanan nasional serta kepentingan strategis Barat dan negara-negara Arab yang demokratis menjamin bahwa mereka menetralisir dan mengalahkan proyek Salafi.
Sebagai langkah awal, mereka harus bekerjasama dengan para pemberontak Suriah untuk mempercepat kejatuhan rezim Assad. Untuk itu perlu mempersenjatai para pemberontak dengan senjata yang memadai untuk melawan mesin militer Assad, terutama tank, buldoser, dan pesawatnya.
Washington dan London juga harus membahas serius dengan Saudi tentang ancaman jangka panjang Salafisme radikal dan peran penting dakwah Wahhabi Saudi dalam memelihara ideologi dan aktivitas Salafi radikal. Hasil positif pembicaraan itu akan membantu membangun tatanan politik yang demokrastis dan stabil pasca-Arab Spring. Bahkan, pembicaraan seperti itu sebenarnya sudah terlambat.
Selama bertahun-tahun, rekan-rekan saya dan saya menasehati para pembuat kebijakan senior tentang potensi dan bahaya jangka panjang dari doktrin agama yang berpikiran sempit, eksklusif, dan tak toleran ini. Sayangnya, hubungan ekonomi dan keamanan yang mesra antara Barat dan rezim Saudi telah mencegah setiap dialog serius dengan Saudi tentang ekspor dan ideologi berbahayaitu. [EmileNakhleh]
* Penulis adalah mantan direktur Political Islam Strategic Analysis Program CIA dan penulis A Engagement Necessary:Reinventing America’s Relations with Muslim World.
Translated by Farohul Mukthi
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik