Oleh Carey L. Biron
WASHINGTON (IPS) – BERTEMU untuk kali pertama di Washington, perwakilan komisi HAM dari Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang baru saja terbentuk menyatakan mereka berencana mulai melakukan kerja sesungguhnya pada akhir bulan ini.
“Dalam beberapa bulan terakhir, kami telah menguraikan isu-isu prioritas. Kini kami berencana mulai bekerja untuk menyoroti isu-isu itu dalam kelompok-kelompok kerja akhir bulan ini di Jeddah,” kata ketua komisi, Siti Ruhaini Dzuhayatin, kepada wartawan di Washington, Kamis pekan lalu.
“Secara khusus, komisi ini diharapkan menghapus kesalahan persepsi atas masalah ketidakcocokan yang dirasakan antara Islam dan prinsip-prinsip HAM universal.”
Pada poin terakhir, dia dan orang-orang yang terlibat dalam lembaga baru ini menekankan bahwa mandat komisi adalah menangani hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya dalam konteks penerapan universal –bahwa komisi takkan mencoba menerapkan pemahaman HAM cangkokan apapun seperti yang ditapis melalui Islam. Mereka juga menegaskan OKI sendiri lembaga politik, bukan agama.
Didirikan pada 1969 dan mewakili 56 negara dan Otoritas Palestina, OKI adalah organisasi antarpemerintah terbesar kedua setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Gagasan membentuk sebuah lembaga HAM di bawah OKI kali pertama mengemuka pada 2005 saat negara-negara anggota menyepakati rencana 10 tahun ke depan yang mencakup pembentukan komisi itu.
Rencana 10 tahun itu juga merupakan sebuah upaya besar untuk mendefiniskan ulang identitas OKI, yang mengacu seputar gagasan moderasi dan modernisasi. Pada pertengahan 2011, OKI secara resmi mendirikan Komisi HAM Permanen Independen dan memilih 18 anggota komisi, yang akan menjalankan peran penasihat bagi Dewan Menteri Luar Negeri OKI.
Para anggotanya terdiri dari pengacara, aktivis, akademisi dan diplomat, serta empat perempuan, termasuk ketua komisi, seorang sosiolog asal Indonesia. Masing-masing kawasan utama OKI –Asia, Afrika, dan dunia Arab– mendapat alokasi enam anggota komisi.
Pada Kamis, Siti Ruhaini Dzuhayatin melaporkan bahwa komisi telah menghabiskan setahun terakhir untuk merumuskan kerangka acuan dan aturan prosedur. Satu bagian penting dari proses itu adalah menyepakati area prioritas, yang mencakup isu perempuan dan anak, hak politik dan minoritas, serta konflik Israel-Palestina.
Selama empat dekade masa jabatan OKI, topik terakhir itu menjadi salah satu penentu bagi lembaga, yang kini dianggap sebagai agenda tetap.
“Ini bukan dari sudut pandang politik, tapi lebih perspektif HAM,” catatnya. “Misalnya, bagaimana konflik mempengaruhi kehidupan warga, terutama perempuan dan anak-anak; hak mereka atas pembangunan, hak perdamaian, keamanan dan pendidikan.”
Kapasitas penasihat
Di luar cakupan yang luas itu, rincian lebih kecilnya belum diputuskan mengenai proses anggota komisi memilih isu mana yang difokuskan. Rizwan Sheikh, direktur eksekutif sekretariat sementara komisi di Jeddah, berkata kepada IPS bahwa komisi akan menerima agenda dari atas dan bawah, yang berarti dari Dewan Menteri Luar Negeri OKI dan akar rumput.
Otonomi dan independensi komisi menjadi penentu bagi orang-orang yang terlibat dalam lembaga baru itu, sebagaimana dipertanyakan banyak pengamat luar. Seperti dimandatkan, masing-masing anggota komisi akan dicalonkan oleh negara masing-masing dan kemudian dipilih, melalui pemungutan tertutup, oleh Dewan Menteri Luar Negeri.
Namun Sheikh menekankan bahwa ini akan menjadi kebijaksanaan kolektif dari komisi untuk memutuskan bagaimana dan kapan melanjutkan agendanya.
“Anggaran dasar yang mengaturnya memberikan komisi sebuah tingkat independensi yang belum pernah ada dalam kerja OKI selama empat dekade terakhir –untuk kali pertama dalam sejarahnya, OKI membentuk sebuah lembaga yang terdiri atas ahli-ahli independen,” kata Sheikh.
“Independensi selanjutnya dijamin oleh fakta bahwa sifat badan ini sebagai penasihat. Bila hal ini tak terlaksana, akan ada pertimbangan politik tertentu yang dapat menunggangi kerja komisi. Tapi jelas bahwa ini adalah sebuah badan penasihat yang memberi dorongan kepada komisi … untuk bertindak dengan cara jujur dan bersahaja dalam memberikan pendapatnya.”
Begitu mulai bekerja pada akhir Desember, beberapa isu yang mungkin bisa komisi tawarkan pendapatnya, saran Sheikh, meliputi kekerasan terhadap perempuan, buruh anak, anak-anak dalam konflik bersenjata, dan topik-topik lebih sensitif seperti pernikahan di bawah umur, hak untuk pendidikan, dan sejenisnya.
Pada dua sesi permulaan yang digelar komisi tahun ini, kekerasan terbaru terhadap Muslim Rohingya di barat Myanmar, pertumparan darah di Suriah, dan pembakaran Alquran di Afghanistan merupakan perihal yang dicatat paling mendesak.
Demikian juga resolusi terbaru PBB, didukung OKI, yang menentang intoleransi beragama, meski tindakan ini memicu kekhawatiran awal di antara kelompok-kelompok HAM saat OKI mendorong sebuah larangan global atas “penodaan agama”, sikap itu kemudian berbalik.
Lihat dan Tunggu
Untuk saat ini, para anggota komisi memutuskan, sebagai salah satu langkah awal, mereka akan meminta setiap negara anggota OKI untuk menyampaikan semua undang-undang nasional yang relevan dengan bidang-bidang prioritas komisi, sehingga komisi dapat mulai menguji dan membandingkan praktiknya saat ini.
Namun, anggaran lembaga ini –yang akan diberikan negara-negara anggota OKI– belum diketahui publik. Padahal, keberhasilan komisi bergantung pada satu bagian informasi ini, yang juga akan menyodorkan pandangan seberapa aktif negara-negara anggota bersedia dan memungkinkan komisi bekerja semestinya.
“Kami sangat berharap lembaga ini menjadi independen dan punya alat untuk berpendapat kepada negara-negara anggota OKI serta menegaskan kembali HAM universal,” ujar Joelle Fiss, peneliti senior Human Rights First, kelompok advokasi berbasis di Washington, kepada IPS.
Seperti halnya Fiss, banyak pengamat menahan diri untuk menilai prospek komisi baru ini.
“Tiap kali sebuah lembaga internasional yang sangat dihormati seperti OKI peduli isu semacam ini, itu penting,” kata Ibrahim Hooper, jurubicara Dewan Hubungan Amerika-Islam, kelompok kebebasan sipil Muslim terbesar di AS, kepada IPS.
“Kita akan lihat sejauh mana ia berperan. Tapi untuk sekarang ia patut didukung pejabat pemerintahan AS dan negara lain. Akhirnya, tentu saja, kita perlu mengevaluasi pekerjaan komisi untuk melihat bahwa ia menangani isu-isu khusus dunia Muslim.”*
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik