25 April 2013

Kemenangan Korporasi, Kekalahan Korban Pelanggaran HAM

WASHINGTON (IPS) – MAHKAMAH AGUNG Amerika Serikat menolak gugatan hukum yang diajukan oleh mereka yang diduga korban pelanggaran hak asasi manusia terhadap perusahaan minyak Royal Dutch Shell. Putusan yang dirilis Rabu lalu itu dianggap sebagai kekalahan serius bagi komunitas Ogoni di Delta Niger, yang diduga mengalami pelanggaran HAM berat selama pertengahan 1990-an oleh pemerintahan militer yang berkuasa saat itu.
Selain itu, putusan tersebut melukai sistem pengadilan AS yang berupaya meminta ganti rugi atas kesalahan-kesalahan yang diduga dilakukan perusahaan-perusahaan multinasional, khususnya di negara-negara berkembang.
Pada kasus Kiobel versus Royal Dutch Petroleum yang mendapat perhatian luas, para korban menuduh perusahaan minyak itu terlibat dalam kejahatan terhadap mereka, termasuk penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, pemerkosaan, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Namun para hakim, dipimpin Hakim Agung John Roberts, memutuskan kaitan Shell dengan Amerika Serikat terlalu lemah, meski faktanya mereka menjalankan bisnis di negara tersebut, dan karenanya tak bisa digugat di bawah hukum AS. Para pengkritik menyatakan, justru hukum AS, yang dikenal dengan Alien Tort Statute (ATS), dibuat untuk menangani perkara semacam itu.
“Putusan hari ini benar-benar tragedi,” ujar Raha Wala, dewan senior dari Human Rights First, kelompok advokasi berbasis di Washington, kepada IPS segera setelah putusan itu dikeluarkan.
“Ini artinya pintu keadilan ditutup bagi sekelompok orang asing yang tak tahu ke mana mesti berpaling untuk menyampaikan gugatan ganti-rugi atas isu pelanggaran hak asasi manusia internasional, termasuk penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum. Saya kira Mahkamah Agung mengabaikannya sama sekali hari ini dengan putusan tersebut.”
Dalam kasus ini, para penggugat menyatakan komunitas Ogoni memprotes kerusakan lingkungan dan degradasi lahan akibat eksplorasi minyak di Ogini, Delta Niger. Respon yang mereka hadapi, selama 1993 dan 1994, militer Nigeria secara sistematis menargetkan desa-desa Ogoni dalam kampanye teror penjarahan, pemerkosaan, pembunuhan, dan pengrusakan harta benda.
Puncaknya, sekelompok enviromentalis, dikenal dengan Ogoni Sembilan, termasuk dramawan terkemuka Ken Saro-Wiwa, dieksekusi. Mereka digantung setelah diadakan pengadilan militer, yang secara luas dikutuk sebagai tidak sah.
Komunitas Ogoni berharap merengkuh keadilan di pengadilan AS. Mereka mengajukan gugatan perdata terhadap Royal Dutch Shell berdasarkan ATS. Selama puluhan tahun, undang-undang ini dipakai sebagai saluran hukum untuk menuntut tanggungjawab individu, perusahaan, dan pemerintah atas pelanggaran HAM internasional.
Namun putusan Rabu lalu, sesudah perjuangan berpuluh tahun, kini malah melemahkan undang-undang tersebut. (Riwayat lengkap kasus ini bisa ditemukan di sini)
“Pada dasarnya apa yang dinyatakan Mahkamah Agung bahwa ATS –yang dirancang untuk memungkinkan tuntutan hukum bagi pelanggaran hukum negara maupun hukum internasional– tak bisa lagi diterapkan secara ekstra-teritorial,” ujar Wala.
“Jadi apa yang kita miliki adalah dugaan atas tindak kekerasan kejam, termasuk penyiksaan, yang difasilitasi perusahaan multinasional besar di Nigeria, pada dasarnya takkan terjawab karena Mahkamah Agung menafsirkan UU ini secara sempit.”
Bahkan, Wala mengatakan putusan Rabu lalu bertolak belakang dengan penerapan ATS selama puluhan tahun.
“MA menafsirkan UU ini dengan cara tak konsisten dengan preseden hukum selama 30 tahun terakhir,” katanya. “Selama waktu itu, ATS berulangkali dipakai untuk mengadili kasus-kasus HAM di pengadilan federal. Putusan hari ini benar-benar merugikan para korban pelanggaran HAM.”

Pengadilan negara bagian terbuka
Putusan itu hampir pasti berdampak pada upaya global untuk memberikan ganti-rugi bagi para korban pelanggaran HAM terkait korporasi. Beberapa pihak juga khawatir, hal itu akan mempersulit upaya meniadakan tempat berlindung yang aman bagi diduga para penyiksa dan penjahat perang.
Sementara kasus ini dipandang sebagai langkah mundur dari kecenderungan ke arah pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat, Marco Simons, direktur legal Earth Rights International, kelompok advokasi Washington, berpendapat bahwa pintu bagi ATS belumlah tertutup.
“Mulai sekarang, jika perusahaan multinasional asing terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan di negara lain, Anda tak bisa menuntutnya di AS hanya karena mereka beroperasi di AS,” ujarnya.
“Tidaklah cukup bahwa terdakwa adalah sebuah korporasi yang menjalankan bisnis di AS –kini perlu ada kaitan yang lebih besar dengan AS.”
Pada saat yang sama, dia mencatat, putusan Rabu lalu hanya berlaku untuk pengadilan federal. Selanjutnya, dan yang lebih penting, hakim tak memutuskan bahwa korporasi kebal terhadap ATS, sebagaimana diusulkan para pengacara Shell.
“Jadi, korporasi asing yang berbisnis di AS masih bisa digugat berdasarkan ATS untuk kejahatan yang mereka lakukan di seluruh dunia, tapi hanya pada tingkat pengadilan negara bagian,” jelasnya.
“Di luar itu, kita benar-benar tak tahu apakah pertalian tambahan diperlukan. Ini bisa berarti bahwa hanya kasus melawan korporasi AS yang dapat diadili, atau mungkin kasus yang melibatkan beberapa perusahaan di AS, seperti korporasi yang pengambilan keputusannya dibuat di sini.”
Dia mengatakan isu ini akan diperdebatkan di pengadilan untuk beberapa waktu ke depan. [Joe Hitchon]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

Artikel Terkait