TEL AVIV (IPS) – KEMBANG API mewarnai langit Tel Aviv pekan lalu begitu ribuan bendera Isreal berkibar yang menandai peringatan ke-65 berdirinya negara ini. Pada saat yang sama, sekelompok kecil aktivis Israel menjelajahi sisi lain, yang seringkali diabaikan, dari terciptanya negara mereka: pengusiran paksa ratusan ribu rakyat Palestina.
Kelompok Israel itu bernama Zochrot (dalam bahasa Ibrani, “laku mengingat”). Mereka meluncurkan peta pertama berbahasa Ibrani pada Hari Kemerdekaan Israel tahun ini. Peta itu merinci ratusan kampung Palestina lenyap dalam sejarah Palestina dari awal gerakaan Zionis hingga perang tahun 1967.
Peta juga memasukkan desa-desa Yahudi dan Suriah yang hancur, sejak akhir 1800-an.
Setiap bekas desa dan kota ditandai dengan sebuah titik –warna merah, biru, kuning, merah muda, ungu, atau hijau– untuk menunjukkan kategori, serta kapan dan bagaimana penduduknya mengungsi. Nama-nama komunitas Israel yang dibangun di atas perkampungan Palestina juga ditandai.
“Sudah waktunya, bukan?” ujar Eitan Bronstein, pendiri Zochrot, sembari tertawa tentang mengapa organisasinya memutuskan bikin sebuah peta Nakba dalam bahasa Ibrani.
“Bagi kami, itu sangat penting bukan hanya untuk menunjukkan kerusakan, tapi juga latar belakang apa yang terjadi hari ini. Sangat penting untuk mengakui bahwa tempat kita tinggal sekarang berdekatan dengan (bekas) kota, atau kampung, atau sebagainya (milik Palestina),” katanya.
Nakba (“malapetaka” dalam bahasa Arab) merujuk pada 750.000 warga Palestina yang diusir-paksa atau minggat dari rumah dan desa mereka sebelum dan selama berdirinya negara Israel pada 1947-48.
Pasukan Israel mengosongkan penduduk dan menghancurkan lebih dari 500 desa Palestina saat itu, dan pada tahun-tahun berikutnya. Sejak itu, pengungsi Palestina dilarang kembali ke rumah. Saat ini, Palestina merupakan populasi pengungsi terbesar di dunia, dan sebagian besar masih tinggal di kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat, Jalur Gaza, Yordania, Suriah, dan Lebanon.
Hanna Farah, pria berusia 52 tahun, berasal dari desa Kufr Bir’im,Palestina, tak jauh dari perbatasan Lebanon di wilayah Galilee, Israel utara. Keluarganya dipaksa pindah pada 1984, dan dia dibesarkan sebagai seorang pengungsi paksa internal (IDPs) di desa ibunya, Jesh, juga di Galilee.
“(Desa) saya senantiasa dari Kufr Bir’im –selalu dan selamanya,” tutur Farah, kini tinggal di Jaffa, pada acara peluncuran peta Nakba. Dia berkata dia berharap peta Nakba dalam bahasa Ibrani akan membuka mata rakyat Israel mengenai sejarah mereka, dan membantu mereka mengakui Nakba.
“Saat mereka pergi ke taman dan menikmati barbaque, mereka sedang duduk di batu-batu rumah Palestina. Mungkin (peta) ini akan menjadi sedikit efek kejut,” ujar Farah. “Sebagian besar menutup mata. Mereka tak ingin melihat karena tak nyaman bagi mereka. Mungkin kini mereka akan terbuka untuk melihat masalah sebenarnya dan membahasanya pada tingkat nyata.”
Rivka Vitenberg, aktivis Israel, menekankan pentingnya membahas Nakba, khususnya di masyarakat di mana hanya narasi Israel yang diajarkan di sekolah, dan pengalaman rakyat Palestina diabaikan.
“Ketika saya tumbuh di sini, sepanjang waktu para guru mengatakan bahwa kami hanya punya satu negara dan orang-orang Arab punya 22 negara. ketika saya mulai tahu sudut pandang rakyat Palestina, saya melihat hal itu tak tepat sama sekali. Ada orang-orang yang tinggal di sini,” kata Vitenberg.
“Saya ingin orang-orang mengingat Nakba. Ini bagian sangat penting dalam sejarah. Kami harus mengetahuinya.”
Pada Februari lalu, sebuah studi dari Council of Religious Institutions of the Holy Land menunjukkan bahwa buku pelajaran sekolah Israel maupun Palestina menampilkan “narasi nasional sepihak”, dan peristiwa sejarah –seperti Nakba bagi warga Palestina, atau bagi rakyat Israel disebut perang kemerdekaan– “ditampilkan secara selektif untuk memperkuat narasi nasional masing-masing komunitas.”
Namun, menurut Eitan Bronstein dari Zochrot, sudah ada pergeseran bertahap dalam masyarakat Israel yang mulai membahas Nakba secara lebih terbuka. Ini sebagian berkat kian meningkatnya tuntutan pengungsi Palestina untuk kembali ke rumah, dan upaya pemerintah Israel untuk memendam isu Nakba.
Pada 2011, Israel mengesahkan undang-undang kontroversial –dikenal dengan UU Nakba– yang melarang institusi-institusi menerima dana negara untuk menggelar acara memperingati Nakba. Versi orisinal dari undang-undang itu, yang akhirnya dibatalkan, menyebut peringatan Nakba sebagai tindak pidana yang dapat diganjar hukuman sampai tiga tahun penjara.
“Bila ini terjadi sepuluh tahun lalu, orang akan bertanyta, apa ini? Mereka tak tahu apa kata itu (Nakba). Sekarang, dijamin lebih banyak orang membuka diri untuk mengetahuinya,” kata Bronstein.
“Kami akan membagikannya (peta ini) kepada para dosen, guru sekolah menengah atas, kepala sekolah, perpustakaan, wartawan… Saya sangat berharap bahwa ini akan membuka lebih banyak ruang untuk berdiskusi.” [Jillian Kestler-DAmours]
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik