04 Maret 2010

Elemen Sipil:
Isu Teroris Jangan Cederai Damai Aceh


Banda Aceh-Penggerebekan dan penangkapan yang diduga kelompok ‘teroris’ di Aceh Besar, kemudian dilanjutkan dengan pengepungan kawasan yang diidentifikasi sebagai areal latihan tersangka ‘teroris’ dinilai telah mengusik rasa damai rakyat Aceh.

“Aksi sweeping kendaraan bermotor dan juga rumah-rumah penduduk yang dilakukan aparat, telah mengembalikan ingatan penduduk akan kondisi masa konflik,” ujar Manager Program Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF), T. Banta Syahrizal, dalam pernyataan yang dikirim ke Harian Aceh, Rabu (3/3).



Menurut Banta, perburuan terhadap kelompok yang diduga terkait jaringan ‘teroris’ bisa membuat rakyat Aceh kembali was-was dengan nasib keberlanjutan damai Aceh yang masih muda.

Banta meminta agar isu terorisme tidak perlu dibesar-besarkan karena bisa berdampak pada buruknya kondisi keamanan di Aceh. Banta juga menyesalkan pernyataan pihak keamanan yang meyakini aktivitas kelompok tersangka teroris mulai meluas ke beberapa Kabupaten di Aceh. Kondisi ini, sebutnya, akan mengiring pihak keamanan memperketat aksi sweeping ke kampung-kampung, sehingga bisa mencederai perdamaian.

“Layaknya operasi keamanan, efek bawaannya akan melakukan sweeping secara intens ke kampung-kampung. Rasa trauma masyarakat akan kembali muncul,” jelasnya.

ACSTF, sebagai lembaga swadaya masyarakat yang concern mendorong keberlangsungan perdamaian Aceh, kata Banta, pihaknya meminta dan menekankan kepada kepolisian untuk lebih segera mengungkap tabir isu teroris di Aceh yang simpang siur agar tidak menimbulkan multi-tafsir dalam masyarakat. “Kami menilai pendekatan penggeledahan rumah-rumah dalam pemukiman masyarakat ini haruslah lebih selektif dan jangan asal geledah sehingga berdampak negatif bagi kondisi dan psikologis warga,” katanya mengingatkan.

Sementara Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Aceh (PRA), Thamren Ananda, yang dimintai pendapatnya terkait isu terorisme Aceh, berpendapat pihaknya tidak melihat isu tersebut untuk menggagalkan perdamaian di Aceh. “Saya rasa kita tidak boleh selalu membangun rasa curiga yang berlebihan terhadap Jakarta,” katanya. Menurut Thamren, sikap tersebut (rasa curiga, red) malah akan menghancurkan rasa saling percaya.

“Untuk tidak melahirkan prasangka kita minta pihak kepolisian untuk membuktikan keberadaan teroris tersebut,” pintanya.

Pemerintah Harus Beri Pemahaman
Agar isu terorisme tidak terus berkembang, Manager Program ACSTF,  T. Banta Syahrizal, juga meminta Pemerintah Aceh memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat tentang isu terorisme di Aceh, sehingga tidak menimbulkan keresahan. “Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan khusus untuk penanganan pola-pola aksi dan penyelesaian kasus seperti ini agar tidak berlarut-larut dan mengganggu damai Aceh,” pesannya.

Kepada masyarakat diminta untuk mewaspadai penyebaran isu terorisme dan tidak menelan mentah-mentah argumen yang disampaikan berbagai pihak terkait isu ini. ”Harus selalu ada kelompok kritis dalam masyarakat untuk menyorot secara intens pola-pola kasus seperti itu. Jangan sampai muncul kecurigaan publik bahwa ini hanyalah akal-akalan pihak yang berkepentingan untuk menjadikan Aceh kembali merah darah dengan konflik baru, lalu mengeruk kepentingan di atasnya, benar adanya,” ungkapnya di akhir pernyataan.

Sementara itu, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jaleswari Pramodhawardani, meminta pihak kepolisian agar berpegang pada aturan yang benar dalam memberantas aksi terorisme, seperti diamanatkan Undang-undang Antiterorisme. “Jika aturan pemberantasan aksi terorisme tidak dijalankan dengan benar, perburuan teroris akan mengganggu perdamaian di Aceh,” tegasnya saat dihubungi Harian Aceh, Rabu (3/3) malam. Jaleswari meminta agar dalam memburu kelompok teroris, pihak polisi harus mengedepankan aturan, sehingga tidak justru menimbulkan konflik baru di Aceh.

“Dalam melakukan perburuan teroris, polisi perlu berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait lainnya di Aceh, sehingga menciptakan suasana panik di Aceh, apalagi Aceh baru terbebas dari konflik berkepanjangan,” ujar peneliti yang banyak menulis buku ini.fik

Harian Aceh, 4 Maret 2010







Artikel Terkait