Panglima AGAM (Angkatan Gerakan Aceh Merdeka) Teungku
Abdullah Syafi'ie yang dikabarkan oleh pihak TNI sedang sekarat akibat
tertembak dalam pertempuran dengan mereka, ternyata sehat walafiat. Bahkan,
pekan ini Syafi'ie sempat menerima wartawan cetak dan televisi di kawasan hutan
Pasee Aceh Utara. "Alhamdulillah, saya sehat walafiat. Seperti Anda lihat,
saya masih tetap memimpin pasukan," katanya kepada wartawan TEMPO
Interaktif pekan ini, di sebuah tempat yang berjarak 10 kilometer dari
pemukiman penduduk di kawasan pegunungan -- antara Aceh Utara dan Tengah.
Menurut Syafi'ie, ketika terjadi pertempuran di Jiem-Jiem,
ia sedang mengadakan rapat dengan komandan-komandan wilayah, yang jauh dari
lokasi. Karena itu, ia pun mengkedepankan alibi: Mana mungkin seseorang berada
di dua tempat yang berbeda pada jam yang sama. Dan pihak TNI harus menelan pil
pahit akibat kesalahan informasi yang diperoleh.
Cerita tertembaknya Syafi'ie sebenarnya dimulai setelah
terjadi kontak senjata yang cukup seru antara pihak keamanan dan GAM di
Jiem-Jiem 16 Januari 2000 lalu. Pertempuran kali ini memunculkan berbagai isu
di tengah masyarakat, yang paling santer adalah selain seputar banyaknya korban
jiwa di pihak TNI/Polri terkena tembakan AGAM, termasuk Syafi’ie.
Selain disiarkan secara luas oleh media di Indonesia, juga
diberitakan oleh media luar negeri, antara lain surat kabar Utusan Malaysia
terbitan 22 Februari. "Itu berita bohong yang dipropagandakan oleh pihak
TNI/POLRI di Aceh untuk menjatuhkan semangat para simpatisan dan penyokong
Angkatan Atjeh Merdeka yang berada di Acheh dan di tempat-tempat lain di
dunia," kata juru bicara AGAM Ismail Syahputra kepada TEMPO Interaktif,
Kamis pagi (24/2).
Yang terjadi setelah itu adalah perang urat saraf antara TNI
dan GAM. Sampai akhirnya, Kapendam Bukit Barisan Letkol Sulystio menyuruh
Syafi'ie tampil di media, untuk membuktikan bahwa dirinya sehat. Kini, meskipun
melalui media terbatas, Syafi'ie sudah memperlihatkan bahwa tidak ada peluru
yang menembus tubuhnya, sekedar "memenuhi" harapan dan keraguan
rakyat bahwa ia sehat. Tetapi, rakyat masih trauma. Setiap hari ada yang mati,
dan itu lebih banyak dialami warga sipil -- termasuk kaum perempuan dan
anak-anak -- yang seharusnya tidak menjadi korban.
Abdullah Syafi'ie, memang sedang menjadi berita, sejak
setahun terakhir ini. Ia sosok yang pantang menyerah. Menurut penduduk setempat
dan beberapa tokoh GAM lama menyebutkan, Abdullah sudah ikut bergerilya di
hutan-hutan sejak usia muda. Ketika itu ia belum prajurit, melainkan hanya
bawaan seorang panglima GAM ketika bergerilya di hutan-hutan era 1980-an, dan
menjadi GAM benaran setelah sang Panglima tewas diterjang peluru TNI.
Abdullah Syafi'i sendiri mengaku sudah menjadi tentara sejak
3 Desember 1976 sehari sebelum Aceh Merdeka diproklamasikan. "Berbeda
dengan teman-teman, saya tidak pernah latihan di luar negeri," katanya.
Lalu di mana? "Jangan tanyakan di mana. Itu rahasia," ujarnya seraya
tersenyum. Tempat "rahasia" yang dimaksudkan Abdullah, menurut
sumber-sumber dekatnya, adalah gunung-gunung di kawasan Pidie sampai Aceh
Tengah.
Meskipun ia adalah "orang lama" dalam GAM,
setidaknya seperti pengakuannya, Abdullah bukanlah tokoh yang populis. Dia baru
dikenal dan dekat dengan wartawan pada awal 1999-an, ketika ia memegang tongkat
komando Panglima AGAM Wilayah Pidie. Lelaki yang hanya sempat bersekolah sampai
kelas III Madrasah Aliyah Negeri Peusangan ini, memperistri Cut Fatimah, seorang
wanita dari Desa Cubo, Kecamatan Bandar Dua, Pidie, yang hingga kini masih
setia mendampinginya, meskipun konon sudah lumpuh. "Istri saya lumpuh
akibat dianiaya TNI semasa DOM," katanya suatu ketika.
Sampai beberapa waktu lalu, keberadaan Syafi’ie banyak
diragukan orang. Ada yang menganggapnya sebagai tokoh misterius. Malah, ada
mensinyalir dia sebagai "binaan" kelompok status quo langsung dari
seorang bekas jenderal di Jakarta. Bahkan sebuah media terbitan Jakarta
mengatakan Abdullah Syafi'ie sebagai disertir RPKAD.
Bagi kalangan yang dekat dengan orang nomor satu di AGAM
ini, pendapat itu dianggap sebagai fitnah dan propaganda untuk menghancurkan
GAM. Abdullah Syafi'ie sendiri mengaku sangat geram dengan fitnah ini.
"Ayah saya sangat anti-TNI. Sejak kecil saya sudah dilatih bermain dengan
parang. Usia 23 saya gabung dengan Wali Negara Aceh, Dr Teungku Muhammad Hasan
di Tiro," katanya sebagaimana dikutip Kompas, Rabu (1/3). Menurut
Syafi'ie, dia sengaja diisukan sebagai "piaraan" TNI guna
memecah-belah rakyat Aceh, apalagi RPKAD sangat dibenci rakyat akibat
kebiadaban selama Aceh menjadi daerah operasi militer.
Pernyataan Abdullah Syafi'ie diperkuat Tgk Ismail Syahputra,
juru bicara Acheh Sumatera National Liberation Front (ASNLF). "Haha….isu
apa lagi ini. Mengapa propaganda dan fitnah tak habis-habisnya dilakukan
keparat TNI," katanya menjawab TEMPO Interaktif, Rabu pagi (1/3). Ismail
malah menantang agar TNI membuktikan, kalau benar komandannya seperti fitnah
itu. "Kalau benar, buktikan. Logikanya, panggil saja beliau kembali,
mengapa repot-repot memburu beliau?" tanya.
Lantas siapa sebetulnya Abdullah Syafi'ie? Ia lahir di
Peusangan, Aceh Utara, tahun 1952, dan menyelesaikan pendidikan dasarnya di
Madrasah Ibtidayah Negeri (MIN) Matang Geulumpang Dua, Aceh Utara. Kemudian, ia
melanjutkan pendidikan ke pesantren. Usai dari pesantren, ia kemudian
melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Peusangan, Aceh Utara. Waktu itu,
ia sempat pula menjadi guru di MIN dan SD setempat.
Awal keterlibatannya dengan Gerakan Aceh Merdeka dimulai
ketika ia bertemu dengan Hasan Tiro, Desember 1976. Begitu ketemu tokoh yang
selalu dicari-cari dan begitu diidolakannya sampai sekarang itu, ia pun
menjatuhkan pilihan bulat untuk bergabung dengan GAM, tepat sehari sebelum proklamasi
Negara Aceh Merdeka. Esoknya, 4 Desember 1976, Aceh Merdeka pun diproklamirkan.
Itulah yang menjadi awal terjadinya konflik antara pemerintah dan Aceh yang
menjadi basis gerakan ini.
Setelah proklamasi itu, kelompok ini menjadi buruan pemerintah
pusat. Dan akhirnya, tentara memang bisa menaklukkan mereka. Gerakan ini hilang
dari peredaran, meskipun mereka tetap bergerilya, tetapi hampir tidak terdengar
lagi aktivitasnya yang berarti. Begitu juga Syafi'ie yang waktu itu masih
prajurit di GAM. Selama 23 tahun ia hidup di hutan dan berpindah-pindah dari
satu tempat ke tempat lain. Sampai GAM bergairah kembali pada akhir 1980-an
yang mengakibatkan diberlakukannya operasi militer di Aceh, nama Abdullah
Syafi'ie belum pernah terdengar. Bahkan, sampai status daerah operasi militer
dicabut, orang juga belum pernah mendengar namanya.
Ketokohannya muncul secara mendadak paska DOM. Waktu itu, ia
menjadi Panglima Wilayah Gerakan Aceh Merdeka untuk wilayah Pidie. Sosoknya pun
begitu menjadi incaran, baik pihak aparat keamanan maupun para wartawan dalam
maupun luar negeri. Para wartawan berlomba-lomba mendapatkan wawancara ekslusif
dengannya. Statement dan sosoknya kerap muncul di media cetak maupun
elektronik.
Ia begitu mengidolakan Dr. Teuku Chik Ditiro Hasan Muhammad
atau populer Hasan Tiro -- sebagai Paduka Yang Mulia, Almukaram dan Guru yang
baik -- yang menurutnya banyak memberikan dorongan dan memberikan inspirasi
bagi perjuangannya. "Almukaram Wali Neugara pernah berkata: While man
powerless to change his past, he still the master of his future. Because his
future is largely determined by his present intention and action." ---
Seseorang masih tetap sebagai pemilik masa depannya, sekalipun dia gagal dalam
meraih dan menggenggam masa lalu. Karena masa depannya itu ditentukan oleh aksi
dan intensinya hari ini.
Hasan Tiro, dimata Syafi'ie adalah sosok yang berjuang tanpa
pamrih bagi kemerdekaan Aceh. Menurutnya, sangat wajar bila rakyat Aceh
kemudian sangat menghormati tokoh yang selama 15 tahun ini menetap di Swedia
itu. Itu tak lain disebabkan selain karena krisis pimpinan yang legitimated,
Aceh seperti terbiarkan dalam pusaran derita dan penganiayaan berkepenjangan.
Syafi'ie pun sangat getol menepis isu yang ditiupkan
kalangan militer di Aceh bahwa Hasan Tiro sudah meninggal. Ia berujar, Hasan
akan segera kembali untuk memimpin langsung proses transisi penyelenggaraan
pemerintahan di Aceh, "Tunggu saja ya, tidak lama lagi ia akan
pulang," kata Panglima Komando Pusat Angkatan Gerakan Aceh Merdeka dalam
konfrensi pers seusai peringatan HUT GAM, di Pusat Komando Ditiro Sabtu 4
Desember tahun lalu. Apakah wartawan bisa bertemu? "Silakan bertemu, boleh
saja, dia kan wali negara," tambah Abdullah waktu itu.
Ia memang punya tekad yang kuat untuk memerdekakan Aceh.
Menurutnya, bangsa Aceh menuntut kemerdekaan dan keadilan dengan semangat
perdamaian, karena dasarnya negeri dan bangsa Aceh memang anti kekerasan.
"Kami memperjuangkan Aceh dengan diplomasi internasional. Untuk mencapai
itu semua hanya ada satu pimpinan yakni Dr Tengku Muhammad Hasan Di Tiro,"
katanya.
Tetapi, ia menolak berdialog dengan pemerintahan Gus Dur,
apalagi dialog boong-boongan. "Tak ada hubungan dengan Indonesia, dan
tidak ada dialog dengan pembohong," katanya dengan nada emosional. Kenapa?
Karena Aceh sering tertipu dan acap dianiaya. Menurutnya, Belanda dan Indonesia
harus bertanggung jawab atas penderitaan rakyat Aceh selama hampir 55 tahun
ini. Karena merekalah yang membuat rakyat menderita. "Seluruh dunia yang
beradab sudah memperhatikan perjuangan kami Aceh Merdeka. Kami sebagai bangsa
Aceh ingin memisahkan diri dari imperialisme kolonialisme Indonesia,"
tegasnya dengan sorot mata tajam.
Kemerdekaan yang diperjuangkan GAM saat ini menurutnya,
bukan saja sebatas pengertian geografik dan politik, keluarnya Aceh dari
imperialis Indonesia-Jawa, melainkan dalam pengertian yang sejati, adanya
kehidupan bangsa Aceh yang sejahtera, berharkat dan bermartabat. (amaliza/mis)
----> Sumber: http://www.tempo.co.id/harian/wawancara/pro-syafie.htm