09 Mei 2013

Teungku Abdullah Syafi'ie:
"Hanya Satu Tujuan, Aceh Merdeka"

Panglima AGAM (Angkatan Gerakan Aceh Merdeka) Teungku Abdullah Syafi'ie yang dikabarkan oleh pihak TNI sedang sekarat akibat tertembak dalam pertempuran dengan mereka, ternyata sehat walafiat. Bahkan, pekan ini Syafi'ie sempat menerima wartawan cetak dan televisi di kawasan hutan Pasee Aceh Utara. "Alhamdulillah, saya sehat walafiat. Seperti Anda lihat, saya masih tetap memimpin pasukan," katanya kepada wartawan TEMPO Interaktif pekan ini, di sebuah tempat yang berjarak 10 kilometer dari pemukiman penduduk di kawasan pegunungan -- antara Aceh Utara dan Tengah.

Menurut Syafi'ie, ketika terjadi pertempuran di Jiem-Jiem, ia sedang mengadakan rapat dengan komandan-komandan wilayah, yang jauh dari lokasi. Karena itu, ia pun mengkedepankan alibi: Mana mungkin seseorang berada di dua tempat yang berbeda pada jam yang sama. Dan pihak TNI harus menelan pil pahit akibat kesalahan informasi yang diperoleh.

Cerita tertembaknya Syafi'ie sebenarnya dimulai setelah terjadi kontak senjata yang cukup seru antara pihak keamanan dan GAM di Jiem-Jiem 16 Januari 2000 lalu. Pertempuran kali ini memunculkan berbagai isu di tengah masyarakat, yang paling santer adalah selain seputar banyaknya korban jiwa di pihak TNI/Polri terkena tembakan AGAM, termasuk Syafi’ie.

Selain disiarkan secara luas oleh media di Indonesia, juga diberitakan oleh media luar negeri, antara lain surat kabar Utusan Malaysia terbitan 22 Februari. "Itu berita bohong yang dipropagandakan oleh pihak TNI/POLRI di Aceh untuk menjatuhkan semangat para simpatisan dan penyokong Angkatan Atjeh Merdeka yang berada di Acheh dan di tempat-tempat lain di dunia," kata juru bicara AGAM Ismail Syahputra kepada TEMPO Interaktif, Kamis pagi (24/2).

Yang terjadi setelah itu adalah perang urat saraf antara TNI dan GAM. Sampai akhirnya, Kapendam Bukit Barisan Letkol Sulystio menyuruh Syafi'ie tampil di media, untuk membuktikan bahwa dirinya sehat. Kini, meskipun melalui media terbatas, Syafi'ie sudah memperlihatkan bahwa tidak ada peluru yang menembus tubuhnya, sekedar "memenuhi" harapan dan keraguan rakyat bahwa ia sehat. Tetapi, rakyat masih trauma. Setiap hari ada yang mati, dan itu lebih banyak dialami warga sipil -- termasuk kaum perempuan dan anak-anak -- yang seharusnya tidak menjadi korban.

Abdullah Syafi'ie, memang sedang menjadi berita, sejak setahun terakhir ini. Ia sosok yang pantang menyerah. Menurut penduduk setempat dan beberapa tokoh GAM lama menyebutkan, Abdullah sudah ikut bergerilya di hutan-hutan sejak usia muda. Ketika itu ia belum prajurit, melainkan hanya bawaan seorang panglima GAM ketika bergerilya di hutan-hutan era 1980-an, dan menjadi GAM benaran setelah sang Panglima tewas diterjang peluru TNI.

Abdullah Syafi'i sendiri mengaku sudah menjadi tentara sejak 3 Desember 1976 sehari sebelum Aceh Merdeka diproklamasikan. "Berbeda dengan teman-teman, saya tidak pernah latihan di luar negeri," katanya. Lalu di mana? "Jangan tanyakan di mana. Itu rahasia," ujarnya seraya tersenyum. Tempat "rahasia" yang dimaksudkan Abdullah, menurut sumber-sumber dekatnya, adalah gunung-gunung di kawasan Pidie sampai Aceh Tengah.

Meskipun ia adalah "orang lama" dalam GAM, setidaknya seperti pengakuannya, Abdullah bukanlah tokoh yang populis. Dia baru dikenal dan dekat dengan wartawan pada awal 1999-an, ketika ia memegang tongkat komando Panglima AGAM Wilayah Pidie. Lelaki yang hanya sempat bersekolah sampai kelas III Madrasah Aliyah Negeri Peusangan ini, memperistri Cut Fatimah, seorang wanita dari Desa Cubo, Kecamatan Bandar Dua, Pidie, yang hingga kini masih setia mendampinginya, meskipun konon sudah lumpuh. "Istri saya lumpuh akibat dianiaya TNI semasa DOM," katanya suatu ketika.

Sampai beberapa waktu lalu, keberadaan Syafi’ie banyak diragukan orang. Ada yang menganggapnya sebagai tokoh misterius. Malah, ada mensinyalir dia sebagai "binaan" kelompok status quo langsung dari seorang bekas jenderal di Jakarta. Bahkan sebuah media terbitan Jakarta mengatakan Abdullah Syafi'ie sebagai disertir RPKAD.

Bagi kalangan yang dekat dengan orang nomor satu di AGAM ini, pendapat itu dianggap sebagai fitnah dan propaganda untuk menghancurkan GAM. Abdullah Syafi'ie sendiri mengaku sangat geram dengan fitnah ini. "Ayah saya sangat anti-TNI. Sejak kecil saya sudah dilatih bermain dengan parang. Usia 23 saya gabung dengan Wali Negara Aceh, Dr Teungku Muhammad Hasan di Tiro," katanya sebagaimana dikutip Kompas, Rabu (1/3). Menurut Syafi'ie, dia sengaja diisukan sebagai "piaraan" TNI guna memecah-belah rakyat Aceh, apalagi RPKAD sangat dibenci rakyat akibat kebiadaban selama Aceh menjadi daerah operasi militer.

Pernyataan Abdullah Syafi'ie diperkuat Tgk Ismail Syahputra, juru bicara Acheh Sumatera National Liberation Front (ASNLF). "Haha….isu apa lagi ini. Mengapa propaganda dan fitnah tak habis-habisnya dilakukan keparat TNI," katanya menjawab TEMPO Interaktif, Rabu pagi (1/3). Ismail malah menantang agar TNI membuktikan, kalau benar komandannya seperti fitnah itu. "Kalau benar, buktikan. Logikanya, panggil saja beliau kembali, mengapa repot-repot memburu beliau?" tanya.

Lantas siapa sebetulnya Abdullah Syafi'ie? Ia lahir di Peusangan, Aceh Utara, tahun 1952, dan menyelesaikan pendidikan dasarnya di Madrasah Ibtidayah Negeri (MIN) Matang Geulumpang Dua, Aceh Utara. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan ke pesantren. Usai dari pesantren, ia kemudian melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Peusangan, Aceh Utara. Waktu itu, ia sempat pula menjadi guru di MIN dan SD setempat.

Awal keterlibatannya dengan Gerakan Aceh Merdeka dimulai ketika ia bertemu dengan Hasan Tiro, Desember 1976. Begitu ketemu tokoh yang selalu dicari-cari dan begitu diidolakannya sampai sekarang itu, ia pun menjatuhkan pilihan bulat untuk bergabung dengan GAM, tepat sehari sebelum proklamasi Negara Aceh Merdeka. Esoknya, 4 Desember 1976, Aceh Merdeka pun diproklamirkan. Itulah yang menjadi awal terjadinya konflik antara pemerintah dan Aceh yang menjadi basis gerakan ini.

Setelah proklamasi itu, kelompok ini menjadi buruan pemerintah pusat. Dan akhirnya, tentara memang bisa menaklukkan mereka. Gerakan ini hilang dari peredaran, meskipun mereka tetap bergerilya, tetapi hampir tidak terdengar lagi aktivitasnya yang berarti. Begitu juga Syafi'ie yang waktu itu masih prajurit di GAM. Selama 23 tahun ia hidup di hutan dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Sampai GAM bergairah kembali pada akhir 1980-an yang mengakibatkan diberlakukannya operasi militer di Aceh, nama Abdullah Syafi'ie belum pernah terdengar. Bahkan, sampai status daerah operasi militer dicabut, orang juga belum pernah mendengar namanya.

Ketokohannya muncul secara mendadak paska DOM. Waktu itu, ia menjadi Panglima Wilayah Gerakan Aceh Merdeka untuk wilayah Pidie. Sosoknya pun begitu menjadi incaran, baik pihak aparat keamanan maupun para wartawan dalam maupun luar negeri. Para wartawan berlomba-lomba mendapatkan wawancara ekslusif dengannya. Statement dan sosoknya kerap muncul di media cetak maupun elektronik.

Ia begitu mengidolakan Dr. Teuku Chik Ditiro Hasan Muhammad atau populer Hasan Tiro -- sebagai Paduka Yang Mulia, Almukaram dan Guru yang baik -- yang menurutnya banyak memberikan dorongan dan memberikan inspirasi bagi perjuangannya. "Almukaram Wali Neugara pernah berkata: While man powerless to change his past, he still the master of his future. Because his future is largely determined by his present intention and action." --- Seseorang masih tetap sebagai pemilik masa depannya, sekalipun dia gagal dalam meraih dan menggenggam masa lalu. Karena masa depannya itu ditentukan oleh aksi dan intensinya hari ini.

Hasan Tiro, dimata Syafi'ie adalah sosok yang berjuang tanpa pamrih bagi kemerdekaan Aceh. Menurutnya, sangat wajar bila rakyat Aceh kemudian sangat menghormati tokoh yang selama 15 tahun ini menetap di Swedia itu. Itu tak lain disebabkan selain karena krisis pimpinan yang legitimated, Aceh seperti terbiarkan dalam pusaran derita dan penganiayaan berkepenjangan.

Syafi'ie pun sangat getol menepis isu yang ditiupkan kalangan militer di Aceh bahwa Hasan Tiro sudah meninggal. Ia berujar, Hasan akan segera kembali untuk memimpin langsung proses transisi penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, "Tunggu saja ya, tidak lama lagi ia akan pulang," kata Panglima Komando Pusat Angkatan Gerakan Aceh Merdeka dalam konfrensi pers seusai peringatan HUT GAM, di Pusat Komando Ditiro Sabtu 4 Desember tahun lalu. Apakah wartawan bisa bertemu? "Silakan bertemu, boleh saja, dia kan wali negara," tambah Abdullah waktu itu.

Ia memang punya tekad yang kuat untuk memerdekakan Aceh. Menurutnya, bangsa Aceh menuntut kemerdekaan dan keadilan dengan semangat perdamaian, karena dasarnya negeri dan bangsa Aceh memang anti kekerasan. "Kami memperjuangkan Aceh dengan diplomasi internasional. Untuk mencapai itu semua hanya ada satu pimpinan yakni Dr Tengku Muhammad Hasan Di Tiro," katanya.

Tetapi, ia menolak berdialog dengan pemerintahan Gus Dur, apalagi dialog boong-boongan. "Tak ada hubungan dengan Indonesia, dan tidak ada dialog dengan pembohong," katanya dengan nada emosional. Kenapa? Karena Aceh sering tertipu dan acap dianiaya. Menurutnya, Belanda dan Indonesia harus bertanggung jawab atas penderitaan rakyat Aceh selama hampir 55 tahun ini. Karena merekalah yang membuat rakyat menderita. "Seluruh dunia yang beradab sudah memperhatikan perjuangan kami Aceh Merdeka. Kami sebagai bangsa Aceh ingin memisahkan diri dari imperialisme kolonialisme Indonesia," tegasnya dengan sorot mata tajam.

Kemerdekaan yang diperjuangkan GAM saat ini menurutnya, bukan saja sebatas pengertian geografik dan politik, keluarnya Aceh dari imperialis Indonesia-Jawa, melainkan dalam pengertian yang sejati, adanya kehidupan bangsa Aceh yang sejahtera, berharkat dan bermartabat. (amaliza/mis)

----> Sumber: http://www.tempo.co.id/harian/wawancara/pro-syafie.htm

Artikel Terkait