09 Agustus 2012

Acheh

Oleh Dr George J. Aditjondro

BELAKANGAN ini masih ada yang bertanya-tanya, mengapa saya tertarik dan peduli terhadap pejuang HAM Acheh (maaf bila saya menulis Aceh dengan ’’Acheh’’. Sebab, beberapa kawan dari Aceh menulisnya dengan Acheh)? Anda punya hak untuk mencurigai saya. Namun, bagi saya sendiri, saya berutang budi kepada kawan-kawan Acheh yang belum saya kenal, tetapi ikut mendukung perjuangan Timor Lorosae lewat IPJET (International Platform of Jurists for East Timor). Saya mendukung referendum dan perjuangan kemerdekaan bangsa Acheh yang betul-betul mencerminkan cita-cita negara yang adil dan makmur sebagaimana dieksperimenkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam Piagam Madinah, walaupun saya bukan muslim.

Sekali lagi saya tegaskan bahwa persoalannya, bagi saya, bukan agama orang yang dijajah, melainkan prinsip bahwa penjajahan itu dilakukan atas nama saya sebagai bangsa Indonesia dan dengan uang pajak yang saya bayar pada pemerintah, yang sebagian dipakai untuk membiayai alat-alat represi negara - tentara, polisi, juga jaksa, dan pengadilan yang lebih sering berpihak kepada penguasa ketimbang kepada rakyat jelata.

Saya mendukung perjuangan rakyat Acheh menghadapi serdadu Orde Baru. Sebab, saya merasa, banyak yang dapat dipelajari oleh para pegiat HAM di Acheh, dari tingkah laku dan strategi militer di tempat-tempat lain, khususnya di Timor Lorosae. Dan, banyak lagi yang masih belum diungkapkan, tentang dampak negatif operasi-operasi militer di Acheh.

Seperti halnya di Timor Lorosae, ribuan rakyat desa yang bukan gerilyawan GAM bisa kembali menjadi korban. Walhasil, alternatif apa yang bisa kita lakukan untuk menyelesaikan benang kusut di Acheh ini, di mana tidak ada keinginan pemerintah untuk menuntaskannya?

Agar isu Acheh ini betul-betul bisa terangkat ke permukaan, dan tidak hanya menjadi ’’bola politik’’ untuk ditendang kanan kiri oleh para politisi Orde Baru, marilah kita bagi informasi ini dengan kawan-kawan lain, di dalam maupun di luar negeri. Jakarta juga tidak akan merestui referendum di Acheh, apalagi merestui hak bangsa Acheh yang sampai Belanda angkat kaki dari Acheh pada 1942 belum pernah mengaku takluk kepada Belanda. Jadi secara historis, wilayah Kesultanan Acheh tidak termasuk wilayah jajahan Hindia Belanda yang diserahkan kedaulatannya kepada RI di Den Haag, tanggal 27 Desember 1949. Jadi, dari aspek sejarah, posisi Acheh sama seperti Timor Lorosae. Rakyat Acheh punya hak untuk menentukan nasib sendiri.

Acheh adalah Acheh. Karena itu, pertahankanlah hak-hak asasi kolektif rakyat Acheh sekuat-kuatnya dengan cara damai melalui diplomasi PBB maupun lewat diplomasi NGO (ornop). Saya tidak tahu apakah rakyat Acheh akan menerima otonomi daerah seluas-luasnya. Sejarah juga membuktikan bagaimana pemerintah pusat telah gemilang menipu rakyat Acheh melalui Ikrar Lamteh dan gelar ’’Daerah Istimewa Acheh’’. Hanya keledai yang terantuk dua kali pada batu yang sama. Dengan kata lain, mengulangi kesalahan yang sama adalah kebodohan.

Jadi kesimpulan saya, sekali lagi, jangan gantungkan masa depan rakyat Acheh pada segelintir politisi avonturir di Jakarta. Rebutlah masa depan dengan usaha sendiri sebagaimana yang telah dilakukan bangsa Maubere di Timor Lorosae, walaupun mereka telah kehilangan sepertiga penduduk mereka setelah 23 tahun pendudukan Indonesia.

Apa yang bisa saya berikan kepada rakyat Acheh? Saya berusaha mulai menarik perhatian dunia pada tragedi bangsa Acheh, sejak pertengahan 1995, ketika Nigeria dipecat dari keanggotaan Commonwealth Inggris karena pembantaian para pemimpin bangsa Ogoni, yang memprotes pencemaran lingkungan hidup mereka oleh maskapai minyak multinasional, Shell. Atas dasar yang serupa, yakni penindasan hak-hak asasi bangsa Acheh demi mulusnya operasi maskapai minyak Mobil Oil, bangsa Acheh juga patut mendapat perhatian yang sama. Begitu argumentasi saya dalam tulisan itu.

Sudah tiga tahun berturut-turut, saya menempatkan Acheh dalam prioritas utama matakuliah saya, Sosiologi Gerakan-Gerakan Kemerdekaan Pascakolonial di Departemen Sosiologi & Antropologi Universitas Newcastle tempat saya mengajar. Tahun lalu, satu-satunya dosen tamu yang saya undang dalam matakuliah ini adalah Saudara M. Dahlan, aktivis Acheh Merdeka yang saya kenal di Sydney, dari siapa saya sudah berkuliah banyak tentang sejarah Acheh yang berbeda dengan yang pernah saya dapat di sekolah, sambil menonton video rekamanan pidato-pidato M. Hasan di Tiro dari Swedia dan Negeri Belanda.

Tahun ini, dengan memanfaatkan tesis PhD yang gemilang dari ahli ilmu politik Filipina, Jacqueline Siapno, saya punya bahan untuk mengajarkan kepada mahasiswa saya, penderitaan maupun perlawanan perempuan Acheh dalam menghadapi represi serdadu Orde Baru di sana. Saya betul-betul terkejut membaca salah satu kesimpulan tesisnya bahwa perempuan Acheh menikmati lebih banyak kesetaraan hak dengan kaum prianya di zaman Kesultanan Acheh daripada sesudah Acheh ’’berintegrasi’’ dengan Indonesia.

Pada Januari lalu, dalam konferensi tentang Perempuan Timor Lorosae dan Hukum Internasional di Lisboa, saya ikut mempublikasikan kasus pelanggaran HAM, terutama kepada wanita Acheh yang sangat saya kagumi sebagaimana keberanian pahlawan Tjut Nyak Dhien. Percaya dan yakinlah, kampung janda tidak hanya ada bertebaran di Acheh, tetapi juga di Timor Lorosae dan Papua Barat. Hanya itu dukungan yang dapat saya berikan untuk perjuangan kawan-kawan menentang kezaliman serdadu-serdadu yang kita hidupi dari uang pajak kita serta upeti bumi alam Acheh kepada Jakarta. Saya berharap, kita menyelesaikan perbedaan pendapat bukan dengan kotak peluru, namun dengan kotak suara. Kita tidak ingin terperosok pada lubang yang sama karena tidak mau belajar dari sejarah. Sejarah yang ditulis dengan jujur, berimbang adalah mahaguru yang bijak kita perhatikan. Konon lagi, sejarah Acheh - juga sejarah di daerah lain, termasuk tokohnya - acapkali dimanipulasi selama Orde Baru. Sejarah itu seringkali memang ditulis oleh para pemenang, bukan oleh para korban. History is written by the victors, not by the victims.

Sekali lagi, perbedaan, agama, etnik, tempat, sosial budaya, dan jarak bukan hambatan untuk berbuat kemanusiaan. Sebab, secara jujur, kita mempunyai nurani yang sama, yakni memanusiakan manusia dan memandang manusia sebagai manusia. Kaum Muslimin menyebutnya rahmatan lil alamin dan saya sebagai orang Nasrani mengartikan hidup ini harus berfaedah bagi manusia lain. Sebagai seorang pengagum Gandhi, saya tergerak oleh ucapan sang Mahatma, bahwa: ’’there is enough for everybody’s need, but not enough for everybody’s greed,’’ yang telah diterjemahkan secara agak bebas menjadi: ’’bumi menyediakan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi tidak akan cukup untuk memuaskan keserakahan manusia.’’

Saya melihat, banyak penindasan di Acheh terjadi. Sebab, mereka yang paling banyak menikmati manfaat sumber-sumber daya alam di Acheh, yakni Mobil Oil, segelintir perusahaan raksasa, serta segelintir keluarga kapitalis-birokrat di Jakarta dengan perantaraan ’’mafia Acheh’’-nya tidak ingin berbagi dengan rakyat jelata, kaum duafa yang tinggal di gampong-gampong di Aceh. Saya mengusulkan agar ada penentuan nasib sendiri bagi bangsa Acheh lewat suatu referendum, yang diawasi oleh PBB dan ornop-ornop HAM internasional. Mengapa? Sebab, duka Acheh adalah duka saya, duka Anda, dan duka kita semua. 

(Tulisan ini pernah saya baca di kolom opini Serambi Indonesia tahun 1999 ketika perjuangan referendum Aceh sedang berada di puncak, tapi saya lupa tanggal pemuatannya)

Artikel Terkait