27 April 2013

Putri yang Hilang

GUWAHATI, India (IPS) – MEREKA seakan-akan sudah menyerah bakal melihat putri mereka lagi. Mereka adalah keluarga Adivasi dari sebuah dusun terpencil di negara bagian Assam, India, terletak di kaki gunung Himalaya. Lanksap yang indah di sekelilingnya memeram kehampaan yang mereka rasakan.

Tiga dari empat putri mereka hilang dalam lima tahun terakhir.

“Miskin dan bodoh, keluarga ini benar-benar tak tahu di mana putri mereka pergi,” ujar Sunita Changkakati, direktur eksekutif Pusat Pembangunan Pedesaan Assam, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Guwahati.


Adivasi, kelompok suku asli yang leluhurnya didatangkan dari India tengah oleh kerajaan Inggris untuk bekerja di perkebunan teh di Assam, rentan terhadap ancaman perdagangan manusia. Kendati para perempuan dari daerah suku di dataran rendah Assam dan lainnya dari negara-negara bagian terdekat di timurlaut juga sudah menjadi korban.


Para agen yang licik mendekati dan memburu mangsa yang gampang ditipu di desa-desa. Mereka seringkali mengiming-imingi dengan banyak uang, daya pikat kehidupan kota, atau harapan lepas dari kehidupan yang membosankan. Mereka bahkan membuai gadis-gadis yang mudah dipengaruhi dengan kemungkinan menikah dengan dalih cinta, “menikahinya” dengan rahasia, tapi alih-alih memberikan bulan madu yang dijanjikan, mereka mengirim gadis-gadis ini ke prostitusi.


Dalam beberapa tahun terakhir, media melaporkan tentang gadis-gadis dari timurlaut India dan daerah lain di Assam diselamatkan dari rumah bordil di Delhi, Mumbai, Pune, dan kota-kota lain di negeri itu.


Menurut catatan Departemen Penyelidikan Kriminal dari pemerintah negara bagian Assam, jumlah gadis korban perdagangan manusia yang dijual keluar negara bagian mulanya sangat kecil, hanya 4 orang pada 2005, lalu terus naik menjadi 37 (2009), 54 (2011), dan 79 (2012).


Angka ini bisa lebih tinggi lagi karena keluarga jarang melaporkan putri mereka yang hilang.


Tak semua gadis yang hilang berakhir dalam perdagangan seksual. Tampak aneh memang, banyak dari mereka, beberapa di antaranya berusia di bawah 18 tahun –usia yang ditetapkan dewasa berdasarkan Konstitusi India– didapati menikah dengan petani-petani tua di tempat-tempat yang jauh seperti negara bagian Punjab dan Haryana.


Aborsi dan pembunuhan janin perempuan membuat rasio jenis kelamin laki-laki dan perempuan tak seimbang di dua negara bagian India utara itu. Akibatnya, tak ada perempuan yang bisa dinikahi kaum pria di desa-desa ini. Karena itu muncul praktik “membeli” istri dari pedagang. Mendapatkan seorang pengantin dari daerah timurlaut mungkin sebelumnya tak pernah terjadi. Kini tak begitu, apalagi jika ada sedikit kesamaan budaya.


Beberapa gadis yang diculik juga mendapati diri mereka berada di kawasan pembantu rumahtangga di kota-kota metropolitan di India. Direkrut keluarga-keluarga kaya, “mereka sering digaji murah, bekerja nyaris seperti pekerja paksa,” ujar Stephen Ekka dari Pajhra (artinya “musim semi kehidupan), sebuah LSM di Tezpur di timur laut negara bagian Assam.


“Perdagangan manusia tak selalu berarti mereka dijual ke dalam perdagangans seksual,” tutur Ekka, yang juga anggota komunitas Adivasi. “Siapapun yang terkungkung paksa dalam sebuah lapangan pekerjaan dapat dianggap diperdagangkan.”


Rajeeb Kumar Sharma, sekretaris jenderal Organisasi Global untuk Pengembangan Hidup (GOLD), sebuah LSM di Guwahati, menceritakan kasus seorang pekerja domestik yang direkrut sebuah agen yang bermarkas di Delhi. Pria itu mengeluh sakit perut. Saat diperiksa di rumahsakit, sebuah organ tubuhnya ternyata tak ada tanpa sepengetahuannya. Pria malang itu diberi tahu bahwa karena sudah begitu banyak uang yang harus dikeluarkan agen, dia harus menutupinya dengan membawa orang lain berbadan sehat dari desanya.


Kemiskinan dan pengangguran merupakan faktor utama yang mendorong penduduk desa untuk bebruat nekat; kurangnya mobilitas sosial, pendidikan, dan kesempatan bagi anak-anak muda melipatgandakan masalah itu.


Perkebunan teh terkenal di Assam, lapangan kerja utama bagi penduduk di negara bagian dan penyumbang pendapatan, menghadapi masa-masa sulit dalam beberapa tahun belakangan. Guna memangkas biaya, perkebunan hanya mempekerjakan buruh lepas, khususnya saat musim petik. Bukan hal luar biasa para gadis pergi mencari pekerjaan. Tapi orangtua mereka tetap tak menyadari dari mana uang itu didapatkan.


Bahkan di dusun paling terpencil, kata “Delhi” kini membangkitkan pengakuan instan dan dianggap sebagai kata ajaib guna merengkuh gelimang kekayaan. Seringkali, seorang gadis “dari Delhi” datang, mengenakan pakaian “mewah” dan berpoles tebal, serta membual betapa banyak uang yang dia dapatkan. Ini acapkali sebuah muslihat, sebuah godaan atas pesona semu untuk memikat gadis-gadis lain.


Terjerat, banyak gadis pergi untuk menjemput impian, dan kembali setelah mendapatkan mimpi buruk, tentu jika mereka memang kembali. Changkakati dari Pusat Pembangunan Pedesaan Assam baru-baru ini menemukan seorang gadis di sebuah desa yang baru berumur 14 tahun dan menyusui bayi 6 bulan. “Saat kami tanya ibu si gadis, dia bilang putrinya menikah. Si suami (katanya) berasal dari Bihar, tapi karena punya sebuah toko di Delhi, dia tak bisa bersama mereka. Si ibu jelas-jelas berdusta, tapi kita mau bilang apa?”


Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah LSM seperti yang digeluti Changkakati atau Stephen Ekka berupaya meningkatkan kesadaran mengenai perdagangan manusia, menolong korban, dan merehabilitas mereka. Lembaga-lembaga mahasiswa lokal dan organisasi macam Perkumpulan Perempuan Adivasi dari Assam, yang berkantor di Majbaat dekat kota Udalguri, ikut membantu. Anggota mereka punya akses ke komunitas lokal, yang mempermudah memantau gadis-gadis yang hilang di daerah tersebut.


LSM di negara bagian telah menerapkan Ujjwala, sebuah skema memerangi perdagangan manusia, khususnya gadis-gadis yang dijual untuk pelacuran. Komite-komite kewaspadaan mencari tahu kemungkinan kasus perdagangan manusia, dan bekerjasama dengan kepolisian untuk menyelamatkan para gadis. Pada 2012, 78 gadis dirawat di rumah singgah.


Namun, sulit untuk merehabilitasi para gadis yang diselamatkan, terutama jika mereka kembali setelah beberapa tahun. Hambatan utamanya stigma sosial. “Beberapa gadis kembali dengan kondisi kesehatan yang sangat buruk,” kata Ekka. “Mereka terlihat depresi tapi tak mau bicara banyak tentang apa yang telah menimpa mereka.”


Departemen Penyelidikan Kriminal negara bagian telah mendirikan 14 unit anti-perdagangan manusia. Pos siap-siaga khusus ditempat di stasiun-stasiun kereta. [Ranjita Biswas]






Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

25 April 2013

Kemenangan Korporasi, Kekalahan Korban Pelanggaran HAM

WASHINGTON (IPS) – MAHKAMAH AGUNG Amerika Serikat menolak gugatan hukum yang diajukan oleh mereka yang diduga korban pelanggaran hak asasi manusia terhadap perusahaan minyak Royal Dutch Shell. Putusan yang dirilis Rabu lalu itu dianggap sebagai kekalahan serius bagi komunitas Ogoni di Delta Niger, yang diduga mengalami pelanggaran HAM berat selama pertengahan 1990-an oleh pemerintahan militer yang berkuasa saat itu.
Selain itu, putusan tersebut melukai sistem pengadilan AS yang berupaya meminta ganti rugi atas kesalahan-kesalahan yang diduga dilakukan perusahaan-perusahaan multinasional, khususnya di negara-negara berkembang.
Pada kasus Kiobel versus Royal Dutch Petroleum yang mendapat perhatian luas, para korban menuduh perusahaan minyak itu terlibat dalam kejahatan terhadap mereka, termasuk penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, pemerkosaan, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Namun para hakim, dipimpin Hakim Agung John Roberts, memutuskan kaitan Shell dengan Amerika Serikat terlalu lemah, meski faktanya mereka menjalankan bisnis di negara tersebut, dan karenanya tak bisa digugat di bawah hukum AS. Para pengkritik menyatakan, justru hukum AS, yang dikenal dengan Alien Tort Statute (ATS), dibuat untuk menangani perkara semacam itu.
“Putusan hari ini benar-benar tragedi,” ujar Raha Wala, dewan senior dari Human Rights First, kelompok advokasi berbasis di Washington, kepada IPS segera setelah putusan itu dikeluarkan.
“Ini artinya pintu keadilan ditutup bagi sekelompok orang asing yang tak tahu ke mana mesti berpaling untuk menyampaikan gugatan ganti-rugi atas isu pelanggaran hak asasi manusia internasional, termasuk penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum. Saya kira Mahkamah Agung mengabaikannya sama sekali hari ini dengan putusan tersebut.”
Dalam kasus ini, para penggugat menyatakan komunitas Ogoni memprotes kerusakan lingkungan dan degradasi lahan akibat eksplorasi minyak di Ogini, Delta Niger. Respon yang mereka hadapi, selama 1993 dan 1994, militer Nigeria secara sistematis menargetkan desa-desa Ogoni dalam kampanye teror penjarahan, pemerkosaan, pembunuhan, dan pengrusakan harta benda.
Puncaknya, sekelompok enviromentalis, dikenal dengan Ogoni Sembilan, termasuk dramawan terkemuka Ken Saro-Wiwa, dieksekusi. Mereka digantung setelah diadakan pengadilan militer, yang secara luas dikutuk sebagai tidak sah.
Komunitas Ogoni berharap merengkuh keadilan di pengadilan AS. Mereka mengajukan gugatan perdata terhadap Royal Dutch Shell berdasarkan ATS. Selama puluhan tahun, undang-undang ini dipakai sebagai saluran hukum untuk menuntut tanggungjawab individu, perusahaan, dan pemerintah atas pelanggaran HAM internasional.
Namun putusan Rabu lalu, sesudah perjuangan berpuluh tahun, kini malah melemahkan undang-undang tersebut. (Riwayat lengkap kasus ini bisa ditemukan di sini)
“Pada dasarnya apa yang dinyatakan Mahkamah Agung bahwa ATS –yang dirancang untuk memungkinkan tuntutan hukum bagi pelanggaran hukum negara maupun hukum internasional– tak bisa lagi diterapkan secara ekstra-teritorial,” ujar Wala.
“Jadi apa yang kita miliki adalah dugaan atas tindak kekerasan kejam, termasuk penyiksaan, yang difasilitasi perusahaan multinasional besar di Nigeria, pada dasarnya takkan terjawab karena Mahkamah Agung menafsirkan UU ini secara sempit.”
Bahkan, Wala mengatakan putusan Rabu lalu bertolak belakang dengan penerapan ATS selama puluhan tahun.
“MA menafsirkan UU ini dengan cara tak konsisten dengan preseden hukum selama 30 tahun terakhir,” katanya. “Selama waktu itu, ATS berulangkali dipakai untuk mengadili kasus-kasus HAM di pengadilan federal. Putusan hari ini benar-benar merugikan para korban pelanggaran HAM.”

Pengadilan negara bagian terbuka
Putusan itu hampir pasti berdampak pada upaya global untuk memberikan ganti-rugi bagi para korban pelanggaran HAM terkait korporasi. Beberapa pihak juga khawatir, hal itu akan mempersulit upaya meniadakan tempat berlindung yang aman bagi diduga para penyiksa dan penjahat perang.
Sementara kasus ini dipandang sebagai langkah mundur dari kecenderungan ke arah pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat, Marco Simons, direktur legal Earth Rights International, kelompok advokasi Washington, berpendapat bahwa pintu bagi ATS belumlah tertutup.
“Mulai sekarang, jika perusahaan multinasional asing terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan di negara lain, Anda tak bisa menuntutnya di AS hanya karena mereka beroperasi di AS,” ujarnya.
“Tidaklah cukup bahwa terdakwa adalah sebuah korporasi yang menjalankan bisnis di AS –kini perlu ada kaitan yang lebih besar dengan AS.”
Pada saat yang sama, dia mencatat, putusan Rabu lalu hanya berlaku untuk pengadilan federal. Selanjutnya, dan yang lebih penting, hakim tak memutuskan bahwa korporasi kebal terhadap ATS, sebagaimana diusulkan para pengacara Shell.
“Jadi, korporasi asing yang berbisnis di AS masih bisa digugat berdasarkan ATS untuk kejahatan yang mereka lakukan di seluruh dunia, tapi hanya pada tingkat pengadilan negara bagian,” jelasnya.
“Di luar itu, kita benar-benar tak tahu apakah pertalian tambahan diperlukan. Ini bisa berarti bahwa hanya kasus melawan korporasi AS yang dapat diadili, atau mungkin kasus yang melibatkan beberapa perusahaan di AS, seperti korporasi yang pengambilan keputusannya dibuat di sini.”
Dia mengatakan isu ini akan diperdebatkan di pengadilan untuk beberapa waktu ke depan. [Joe Hitchon]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

22 April 2013

Peta Pengusiran dalam Bahasa Ibrani

TEL AVIV (IPS) – KEMBANG API mewarnai langit Tel Aviv pekan lalu begitu ribuan bendera Isreal berkibar yang menandai peringatan ke-65 berdirinya negara ini. Pada saat yang sama, sekelompok kecil aktivis Israel menjelajahi sisi lain, yang seringkali diabaikan, dari terciptanya negara mereka: pengusiran paksa ratusan ribu rakyat Palestina.
Kelompok Israel itu bernama Zochrot (dalam bahasa Ibrani, “laku mengingat”). Mereka meluncurkan peta pertama berbahasa Ibrani pada Hari Kemerdekaan Israel tahun ini. Peta itu merinci ratusan kampung Palestina lenyap dalam sejarah Palestina dari awal gerakaan Zionis hingga perang tahun 1967.
Peta juga memasukkan desa-desa Yahudi dan Suriah yang hancur, sejak akhir 1800-an.
Setiap bekas desa dan kota ditandai dengan sebuah titik –warna merah, biru, kuning, merah muda, ungu, atau hijau– untuk menunjukkan kategori, serta kapan dan bagaimana penduduknya mengungsi. Nama-nama komunitas Israel yang dibangun di atas perkampungan Palestina juga ditandai.
“Sudah waktunya, bukan?” ujar Eitan Bronstein, pendiri Zochrot, sembari tertawa tentang mengapa organisasinya memutuskan bikin sebuah peta Nakba dalam bahasa Ibrani.
“Bagi kami, itu sangat penting bukan hanya untuk menunjukkan kerusakan, tapi juga latar belakang apa yang terjadi hari ini. Sangat penting untuk mengakui bahwa tempat kita tinggal sekarang berdekatan dengan (bekas) kota, atau kampung, atau sebagainya (milik Palestina),” katanya.
Nakba (“malapetaka” dalam bahasa Arab) merujuk pada 750.000 warga Palestina yang diusir-paksa atau minggat dari rumah dan desa mereka sebelum dan selama berdirinya negara Israel pada 1947-48.
Pasukan Israel mengosongkan penduduk dan menghancurkan lebih dari 500 desa Palestina saat itu, dan pada tahun-tahun berikutnya. Sejak itu, pengungsi Palestina dilarang kembali ke rumah. Saat ini, Palestina merupakan populasi pengungsi terbesar di dunia, dan sebagian besar masih tinggal di kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat, Jalur Gaza, Yordania, Suriah, dan Lebanon.
Hanna Farah, pria berusia 52 tahun, berasal dari desa Kufr Bir’im,Palestina, tak jauh dari perbatasan Lebanon di wilayah Galilee, Israel utara. Keluarganya dipaksa pindah pada 1984, dan dia dibesarkan sebagai seorang pengungsi paksa internal (IDPs) di desa ibunya, Jesh, juga di Galilee.
“(Desa) saya senantiasa dari Kufr Birim –selalu dan selamanya,” tutur Farah, kini tinggal di Jaffa, pada acara peluncuran peta Nakba. Dia berkata dia berharap peta Nakba dalam bahasa Ibrani akan membuka mata rakyat Israel mengenai sejarah mereka, dan membantu mereka mengakui Nakba.
“Saat mereka pergi ke taman dan menikmati barbaque, mereka sedang duduk di batu-batu rumah Palestina. Mungkin (peta) ini akan menjadi sedikit efek kejut,” ujar Farah. “Sebagian besar menutup mata. Mereka tak ingin melihat karena tak nyaman bagi mereka. Mungkin kini mereka akan terbuka untuk melihat masalah sebenarnya dan membahasanya pada tingkat nyata.”
Rivka Vitenberg, aktivis Israel, menekankan pentingnya membahas Nakba, khususnya di masyarakat di mana hanya narasi Israel yang diajarkan di sekolah, dan pengalaman rakyat Palestina diabaikan.
“Ketika saya tumbuh di sini, sepanjang waktu para guru mengatakan bahwa kami hanya punya satu negara dan orang-orang Arab punya 22 negara. ketika saya mulai tahu sudut pandang rakyat Palestina, saya melihat hal itu tak tepat sama sekali. Ada orang-orang yang tinggal di sini,” kata Vitenberg.
“Saya ingin orang-orang mengingat Nakba. Ini bagian sangat penting dalam sejarah. Kami harus mengetahuinya.”
Pada Februari lalu, sebuah studi dari Council of Religious Institutions of the Holy Land menunjukkan bahwa buku pelajaran sekolah Israel maupun Palestina menampilkan “narasi nasional sepihak”, dan peristiwa sejarah –seperti Nakba bagi warga Palestina, atau bagi rakyat Israel disebut perang kemerdekaan– “ditampilkan secara selektif untuk memperkuat narasi nasional masing-masing komunitas.”
Namun, menurut Eitan Bronstein dari Zochrot, sudah ada pergeseran bertahap dalam masyarakat Israel yang mulai membahas Nakba secara lebih terbuka. Ini sebagian berkat kian meningkatnya tuntutan pengungsi Palestina untuk kembali ke rumah, dan upaya pemerintah Israel untuk memendam isu Nakba.
Pada 2011, Israel mengesahkan undang-undang kontroversial –dikenal dengan UU Nakba– yang melarang institusi-institusi menerima dana negara untuk menggelar acara memperingati Nakba. Versi orisinal dari undang-undang itu, yang akhirnya dibatalkan, menyebut peringatan Nakba sebagai tindak pidana yang dapat diganjar hukuman sampai tiga tahun penjara.
“Bila ini terjadi sepuluh tahun lalu, orang akan bertanyta, apa ini? Mereka tak tahu apa kata itu (Nakba). Sekarang, dijamin lebih banyak orang membuka diri untuk mengetahuinya,” kata Bronstein.
“Kami akan membagikannya (peta ini) kepada para dosen, guru sekolah menengah atas, kepala sekolah, perpustakaan, wartawan… Saya sangat berharap bahwa ini akan membuka lebih banyak ruang untuk berdiskusi.” [Jillian Kestler-DAmours]
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

06 April 2013

Mahkamah Agung India Tolak Kasus Obat Paten

DOHA (Al Jazeera) – MAHKAMAH Agung di India telah menolak permohonan Novartis AG, produsen obat dari Swiss, yang meminta perlindungan paten atas sebuah obat kanker. Keputusan ini jadi pukulan telak bagi industri farmasi Barat yang sedang menyasar India untuk meningkatkan penjualan.
Dalam putusannya Senin lalu, Mahkamah Agung menyatakan bahwa obat kanker Glivec gagal memenuhi syarat paten menurut hukum India.
Sejak 2006, Novartis meminta pemerintah India untuk memberi perlindungan obat-obatannya yang ditiru perusahan-perusahaan India.
Namun, pengadilan memutuskan bahwa obat yang diupayakan Novartis mendapatkan paten itu “tak memenuhi uji orisinalitas atau kebaruan” yang diwajibkan menurut hukum India.
Pada 2009, perusahan itu mengajukan keberatan terhadap hukum yang menghalangi paten atas obat-obatan baru tapi kandungannya tak jauh berbeda dari obat-obatan yang sudah dikenal kepada Mahkamah Agung.
Sohail Rahman dari Al Jazeera, melaporkan dari New Delhi, mengatakan keputusan itu “sangat mengecewakan” Novartis, karena memungkinkan perusahan-perusahaan India terus memproduksi obat generik dengan harga lebih murah bagi konsumen dalam negeri dan internasional.
Rahman berkata, keputusan itu dapat menimbulkan masalah karena India dianggap melanggar aturan yang ditetapkan Organisasi Perdagangan Dunia.
Kasus ini menarik banyak perhatian dan publisitas. Ia adalah perlawanan sejumlah paten yang dilancarkan di India. Ia bisa berimplikasi luas dalam menentukan tingkat perlindungan paten bagi perusahaan obat multinasional yang beroperasi di pasar yang menguntungkan.

Preseden berbahaya
Perusahaan Swiss itu mengancam akan menghentikan pasokan obat-obatan baru ke India bila Mahkamah Agung tak menjatuhkan keputusan yang mendukungnya, tulis Financial Times di London, Minggu lalu.
“Jika situasi masih sama seperti sekarang, semua penyempurnaan atas senyawa kimia orisinal itu tak mendapat perlindungan dan obat-obatan semacam itu mungkin takkan dijual di India,” ujar eksekutif Paul Herrling, yang memimpin perusahaan Swiss itu dalam menangani kasus ini.
Tapi Leena Menghaney, pengacara dari badan amal medis Medecins Sans Frontieres (MSF), mengatakan kemenangan hukum bagi Novartis justru bisa “menjadi preseden berbahaya, melemahkan norma-norma hukum India terhadap evergreening”—sebutan untuk praktik industri yang meminta paten baru setelah melakukan modifikasi kecil atas obat yang ada.
Itu akan “buruk bagi orang-orang di negara berkembang yang bergantung pada obat-obatan generik yang dibuat di negaranya. Benar-benar akan membatasi akses.”
Perusahaan-perusahaan obat generik di India –sejak lama dikenal sebagai “apotik bagi negara berkembang” – telah berperan menjadi pemasok utama obat-obatan tiruan untuk mengobati penyakit seperti kanker,tuberculosis (TB), dan AIDS bagi mereka yang tak mampu membeli obat versi bermerek yang mahal.
Perbedaan harga antara obat generik dan bermerek sangat penting bagi orang-orang miskin di seluruh dunia, ujar MSF.
Misalnya obat Glivec –sering dipuji sebagai “peluru perak” atas terobosannya mengobati bentuk leukemia yang mematikan– seharga 4.000 dolar (sekitar Rp 40 juta) per bulan dalam versi bermerek, sementara versi generiknya yang tersedia di India cuma 73 dolar (Rp 730 ribu).
Dalam kasus Glivec, Rahman dari Al Jazeera juga mengatakan bahwa sebagian besar konsumen di India bahkan tak mampu membelinya karena upah rata-rata hanya 120 dolar (Rp 1,2 juta)
Tapi Novartis dan produsen obat global lainnya mengatakan industri generik India menghambat inovasi dunia farmasi dan mengurangi dorongan komersial untuk menghasilkan obat-obatan baru. [Koresponden AJazeera]

*Diterbitkan atas persetujuan Al Jazeera.
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik, dan diposting kembali di blog ini atas izin Yayasan Pantau.