07 Mei 2013

Indonesia Juga Republik untuk Orang Aceh?

"MANA hukum yang didengung-dengungkan itu? Rakyat ditembak, kami dipukul, mana... mana hukum itu?" seorang pemuda berikat kepala dengan sehelai kain bertuliskan referendum berteriak lantang.Sehari sebelum Sira-Rakan dibuka, pemuda itu menyetop beberapa mobil Tim Jeda Kemanusiaan di jalan raya kawasan Meureudu dan Ulee Gle, Kabupaten Pidie. Bukan hanya Fadhil (25), sang pemuda itu yang berteriak. Ada hampir lima ratus orang keluar ke jalan raya menyetop mobil Tim Jeda Kemanusiaan.

Tua muda, hingga anak-anak "menyerbu" mobil-mobil itu. Mereka tengah putus asa, tidak bisa ke Banda Aceh untuk mengikuti Sira-Rakan. Mobil yang mereka tumpangi dihalang aparat. Dan korban pun berjatuhan.

Tim Jeda Kemanusiaan yang dibentuk berdasarkan kesepakatan Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tak bisa berbuat banyak menghadapi desakan warga semacam ini. Mereka hanya menampung aspirasi dan berharap warga bersabar. Tim itu mencatat banyak hal di sana dan di sejumlah lokasi lain dengan kasus yang sama.

Hari-hari menjelang Sira-Rakan, adalah hari yang ketat penjagaan aparat keamanan di jalan raya. Tak kecuali, personel di mobil Tim Jeda Kemanusiaan pun diperiksa identitasnya. Selain mobil tim itu, tak terlihat kendaraan lain yang lalu lalang di jalan raya, kecuali ambulans.

Lalu, apa artinya semua ini? Abdul Gani Nurdin, seorang anggota Tim Jeda Kemanusiaan hanya geleng-geleng kepala. "Ada pengekangan terhadap hak-hak sipil, itu yang saya lihat. Tetapi yang menjadi persoalan lagi adalah jatuhnya korban jiwa, dan ini menjadi persoalan lain pula yang saling terkait," kata Gani yang juga tokoh LSM di Aceh.

Prof Dr Abdullah Ali, mantan Rektor Universitas Syiah Kuala yang juga anggota tim itu melihat berbagai persoalan yang terjadi sekarang tak bisa dipisahkan dari hukum kausalitas. Ada sebab, maka ada akibatnya. Sekarang harus dilihat mengapa terjadinya konflik di Aceh, jangan melihat semata-mata akibat dari konflik itu dengan segala macam model penanganannya tetapi mengabaikan unsur "sebab" yang menjadi akar permasalahan.

Ketika kemudian terjadi pengentalan solidaritas warga yang tertekan, di sanalah muncul suatu perasaan kebersamaan untuk keluar dari lingkaran yang menyakitkan itu. Bentuk-bentuk pengentalan solidaritas itu terbaca dengan jelas kini di Aceh.

Gani malah melihat persoalan Aceh makin kompleks ketika sentuhan ke akar masalah semakin jauh dari kebijakan pemerintah pusat. Yang terjadi kini adalah pendekatan keamanan dengan operasi yang dinamakan Cinta Meunasah yang katanya dikendalikan oleh kepolisian. Korban terus berjatuhan, dan akar masalah makin jauh tak tersentuh.

Akar masalah itu antara lain adalah tuntutan agar berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) diproses secara hukum. "Yang sudah ada menumpuk, belum lagi kasus-kasus baru yang muncul tiap hari," katanya. Penekanan terhadap kesejahteraan juga harus lebih dikedepankan. Lalu kemudian rakyat menginginkan hidup dalam kondisi aman di desa-desa. "Tetapi ketika kemudian mereka harus mengungsi dan jatuh pula korban tiap hari, ini artinya apa," tanya Gani.

Ada suatu hal yang tak bisa dipungkiri adalah adanya kelompok bersenjata lain selain aparat keamanan Indonesia (TNI dan Polisi) di Aceh. Sering terjadi kontak senjata antara kelompok AGAM (sayap militer GAM) dengan aparat keamanan, dan membawa korban. Sebenarnya, menurut kacamata Gani, ini tidak akan menjadi persoalan manakala kedua pihak yaitu pemerintah dan GAM yang telah duduk di meja perundingan menaati segala ketentuan yang telah digariskan bersama. "Di sini saya melihat harus adanya itikad baik, bila tidak maka korban-korban lanjutan akan terus terjadi," katanya. Sakitnya, yang menjadi korban adalah penduduk yang tak berdosa.

Bila masuk dalam pembicaraan seperti ini, maka aparat keamanan dan GAM saling memberi argumen. GAM menembak karena mengaku untuk mempertahankan diri. Sementara aparat keamanan mengatakan, mereka tidak menguber gerilyawan GAM tetapi sipil bersenjata. Alasannya, yang ditindak adalah pelaku kriminal dan memegang senjata secara tidak sah.

Bila sudah begini, kontak senjata dan korban-korban yang berjatuhan tampaknya akan menjadi cerita panjang. Kekerasan sepertinya bagai episode yang terus bersambung dalam sebuah cerita panjang tentang Aceh.


***
JEDA Kemanusiaan sesungguhnya dimaksudkan untuk menghentikan berbagai bentuk kekerasan itu, sehingga memberi kesempatan bagi rakyat untuk menikmati hak-hak mereka. Pemerintah Indonesia dan GAM dengan fasilitator Henry Dunant Centre di Geneva, Swiss, menyepakati dilangsungkan langkah jeda itu. Tiga bulan tahap pertama sudah dilalui, lalu tiga bulan selanjutnya hingga pertengahan Januari 2001 tengah dijalankan.

Harapan besar yang akan didapat nantinya adalah adanya penyelesaian secara politik kasus Aceh. Tidak ada senjata yang berbicara untuk penyelesaian masalah, tetapi dialog-dialog antara kedua pihak.

Satu pernyataan bersama yang dikeluarkan ketika masa jeda pertama dimulai sangat menyentuh. Nilai-nilai kemanusiaan terasa dikedepankan.

Angkatan bersenjata kedua belah pihak tidak saling menyerang. Dan, ini artinya kekerasan tidak akan ada lagi. Kekerasan hanya menimbulkan korban, bukan menyelesaikan masalah. Korbannya pun bukan saja pihak bersenjata yang bertikai, tetapi juga rakyat sipil.

Masa jeda itu, meskipun tengah dilangsungkan hingga kini, namun tetap mencoreng nilai-nilai kemanusiaan yang disepakati. Saling membela diri dengan berbagai argumen dalam memberi keterangan kepada pers pasca-insiden masih mewarnai pernyataan-pernyataan kedua pihak. Ketika kemudian muncul pertanyaan, siapa sebetulnya pihak yang benar? Rakyatlah yang paling tahu karena mereka merasakan sendiri apa yang terjadi di sekelilingnya.

Yang pasti, rakyat tak menginginkan semuanya itu terjadi. Mereka merindukan sebuah kedamaian yang terasa telah lama hilang dalam kehidupannya.

Tengoklah bagaimana misalnya para korban tindak kekerasan di Aceh dalam sebuah pertemuan yang dihadiri sekitar 300 orang di Banda Aceh baru-baru ini mengeluarkan pernyataan kerinduan akan kedamaian itu. Mereka yang datang untuk sebuah pertemuan yang dinamakan "Kongres Korban Pelanggaran HAM" menuntut negara bertanggung jawab atas apa yang mereka alami.

Peserta kongres itu umumnya telah mengalami sejumlah peristiwa yang menyakitkan. Banyak pula di antaranya yang cacat fisik akibat perlakuan tidak manusiawi selama ini. Mereka tak menginginkan kejadian serupa terjadi lagi. Dan karena itu pula, model pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah diminta untuk tidak digunakan lagi pada masa mendatang. Lebih dari itu, mereka melihat tak ada keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan kasus demi kasus kekerasan secara baik. Buktinya, tindak kekerasan terus terjadi. Ujung-ujungnya, suara kemerdekaan pula yang diteriakkan mereka dalam sebuah rekomendasi yang dikeluarkan pada hari penutupan kongres.


***
PERSOALAN Aceh kini menjadi sangat kompleks. Bukan lantaran Sira-Rakan mengeluarkan rekomendasi yang menyentakkan banyak pihak di Jakarta, tetapi sebenarnya jauh hari sebelum itu persoalan tersebut telah terlihat berlarut-larut dalam penyelesaian.

Luka-luka baru terus bermunculan di hati rakyat, sementara luka lama belum lagi sembuh. Pernyataan-pernyataan Sira-Rakan barangkali adalah sebuah bentuk lain untuk kembali mengingatkan pemerintah Jakarta bahwa sesungguhnya di Aceh kini telah terjadi suatu hal yang akan membuat Indonesia kehilangan sebuah provinsi lagi setelah Timor Timur dengan segala risikonya.

Dan yang terlihat kemarin dalam Sira-Rakan adalah suatu gerakan sipil yang dimotori kalangan muda, termasuk mahasiswa. Tempatnya pun di kampus. Tak ada bendera GAM, tak ada bunyi senjata. Semuanya tertib, meskipun memakan korban jiwa di jalan raya karena dihalang aparat keamanan.

Tuduhan bahwa Sira-Rakan didalangi GAM adalah suara-suara yang kemudian terdengar di Jakarta. Termasuk di dalamnya bagaimana polling yang dilakukan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) dipersoalkan karena Sira-Rakan mengklaim polling menjaring 92 persen lebih responden yang jumlahnya 2,7 juta memilih opsi merdeka.

Dalam kondisi begini, teriakan Jakarta yang memprotes hal-hal tersebut agaknya bukanlah jalan keluar terbaik. Persoalan dasarnya adalah kemampuan memulihkan kepercayaan rakyat bahwa Republik Indonesia ini adalah negerinya orang di Aceh juga, termasuk mereka yang menghadiri Sira-Rakan. Dan itu semua memerlukan langkah konkret secepatnya, bukan janji-janji belaka. (nj)

-----> Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0011/24/nasional/indo26.htm (Jumat, 24 November 2000)

Artikel Terkait