"MANA hukum yang didengung-dengungkan itu? Rakyat
ditembak, kami dipukul, mana... mana hukum itu?" seorang pemuda berikat
kepala dengan sehelai kain bertuliskan referendum berteriak lantang.Sehari
sebelum Sira-Rakan dibuka, pemuda itu menyetop beberapa mobil Tim Jeda
Kemanusiaan di jalan raya kawasan Meureudu dan Ulee Gle, Kabupaten Pidie. Bukan
hanya Fadhil (25), sang pemuda itu yang berteriak. Ada hampir lima ratus orang
keluar ke jalan raya menyetop mobil Tim Jeda Kemanusiaan.
-----> Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0011/24/nasional/indo26.htm (Jumat, 24 November 2000)
Tua muda, hingga anak-anak "menyerbu" mobil-mobil
itu. Mereka tengah putus asa, tidak bisa ke Banda Aceh untuk mengikuti
Sira-Rakan. Mobil yang mereka tumpangi dihalang aparat. Dan korban pun
berjatuhan.
Tim Jeda Kemanusiaan yang dibentuk berdasarkan kesepakatan
Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tak bisa berbuat banyak
menghadapi desakan warga semacam ini. Mereka hanya menampung aspirasi dan
berharap warga bersabar. Tim itu mencatat banyak hal di sana dan di sejumlah
lokasi lain dengan kasus yang sama.
Hari-hari menjelang Sira-Rakan, adalah hari yang ketat
penjagaan aparat keamanan di jalan raya. Tak kecuali, personel di mobil Tim
Jeda Kemanusiaan pun diperiksa identitasnya. Selain mobil tim itu, tak terlihat
kendaraan lain yang lalu lalang di jalan raya, kecuali ambulans.
Lalu, apa artinya semua ini? Abdul Gani Nurdin, seorang
anggota Tim Jeda Kemanusiaan hanya geleng-geleng kepala. "Ada pengekangan
terhadap hak-hak sipil, itu yang saya lihat. Tetapi yang menjadi persoalan lagi
adalah jatuhnya korban jiwa, dan ini menjadi persoalan lain pula yang saling
terkait," kata Gani yang juga tokoh LSM di Aceh.
Prof Dr Abdullah Ali, mantan Rektor Universitas Syiah Kuala
yang juga anggota tim itu melihat berbagai persoalan yang terjadi sekarang tak
bisa dipisahkan dari hukum kausalitas. Ada sebab, maka ada akibatnya. Sekarang
harus dilihat mengapa terjadinya konflik di Aceh, jangan melihat semata-mata
akibat dari konflik itu dengan segala macam model penanganannya tetapi
mengabaikan unsur "sebab" yang menjadi akar permasalahan.
Ketika kemudian terjadi pengentalan solidaritas warga yang
tertekan, di sanalah muncul suatu perasaan kebersamaan untuk keluar dari
lingkaran yang menyakitkan itu. Bentuk-bentuk pengentalan solidaritas itu
terbaca dengan jelas kini di Aceh.
Gani malah melihat persoalan Aceh makin kompleks ketika
sentuhan ke akar masalah semakin jauh dari kebijakan pemerintah pusat. Yang
terjadi kini adalah pendekatan keamanan dengan operasi yang dinamakan Cinta
Meunasah yang katanya dikendalikan oleh kepolisian. Korban terus berjatuhan,
dan akar masalah makin jauh tak tersentuh.
Akar masalah itu antara lain adalah tuntutan agar berbagai
kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) diproses secara hukum. "Yang
sudah ada menumpuk, belum lagi kasus-kasus baru yang muncul tiap hari,"
katanya. Penekanan terhadap kesejahteraan juga harus lebih dikedepankan. Lalu
kemudian rakyat menginginkan hidup dalam kondisi aman di desa-desa.
"Tetapi ketika kemudian mereka harus mengungsi dan jatuh pula korban tiap
hari, ini artinya apa," tanya Gani.
Ada suatu hal yang tak bisa dipungkiri adalah adanya
kelompok bersenjata lain selain aparat keamanan Indonesia (TNI dan Polisi) di
Aceh. Sering terjadi kontak senjata antara kelompok AGAM (sayap militer GAM)
dengan aparat keamanan, dan membawa korban. Sebenarnya, menurut kacamata Gani,
ini tidak akan menjadi persoalan manakala kedua pihak yaitu pemerintah dan GAM
yang telah duduk di meja perundingan menaati segala ketentuan yang telah
digariskan bersama. "Di sini saya melihat harus adanya itikad baik, bila
tidak maka korban-korban lanjutan akan terus terjadi," katanya. Sakitnya,
yang menjadi korban adalah penduduk yang tak berdosa.
Bila masuk dalam pembicaraan seperti ini, maka aparat
keamanan dan GAM saling memberi argumen. GAM menembak karena mengaku untuk
mempertahankan diri. Sementara aparat keamanan mengatakan, mereka tidak
menguber gerilyawan GAM tetapi sipil bersenjata. Alasannya, yang ditindak
adalah pelaku kriminal dan memegang senjata secara tidak sah.
Bila sudah begini, kontak senjata dan korban-korban yang
berjatuhan tampaknya akan menjadi cerita panjang. Kekerasan sepertinya bagai
episode yang terus bersambung dalam sebuah cerita panjang tentang Aceh.
***
JEDA Kemanusiaan sesungguhnya dimaksudkan untuk menghentikan
berbagai bentuk kekerasan itu, sehingga memberi kesempatan bagi rakyat untuk
menikmati hak-hak mereka. Pemerintah Indonesia dan GAM dengan fasilitator Henry
Dunant Centre di Geneva, Swiss, menyepakati dilangsungkan langkah jeda itu.
Tiga bulan tahap pertama sudah dilalui, lalu tiga bulan selanjutnya hingga
pertengahan Januari 2001 tengah dijalankan.
Harapan besar yang akan didapat nantinya adalah adanya
penyelesaian secara politik kasus Aceh. Tidak ada senjata yang berbicara untuk
penyelesaian masalah, tetapi dialog-dialog antara kedua pihak.
Satu pernyataan bersama yang dikeluarkan ketika masa jeda
pertama dimulai sangat menyentuh. Nilai-nilai kemanusiaan terasa dikedepankan.
Angkatan bersenjata kedua belah pihak tidak saling
menyerang. Dan, ini artinya kekerasan tidak akan ada lagi. Kekerasan hanya
menimbulkan korban, bukan menyelesaikan masalah. Korbannya pun bukan saja pihak
bersenjata yang bertikai, tetapi juga rakyat sipil.
Masa jeda itu, meskipun tengah dilangsungkan hingga kini,
namun tetap mencoreng nilai-nilai kemanusiaan yang disepakati. Saling membela
diri dengan berbagai argumen dalam memberi keterangan kepada pers pasca-insiden
masih mewarnai pernyataan-pernyataan kedua pihak. Ketika kemudian muncul
pertanyaan, siapa sebetulnya pihak yang benar? Rakyatlah yang paling tahu
karena mereka merasakan sendiri apa yang terjadi di sekelilingnya.
Yang pasti, rakyat tak menginginkan semuanya itu terjadi.
Mereka merindukan sebuah kedamaian yang terasa telah lama hilang dalam
kehidupannya.
Tengoklah bagaimana misalnya para korban tindak kekerasan di
Aceh dalam sebuah pertemuan yang dihadiri sekitar 300 orang di Banda Aceh
baru-baru ini mengeluarkan pernyataan kerinduan akan kedamaian itu. Mereka yang
datang untuk sebuah pertemuan yang dinamakan "Kongres Korban Pelanggaran
HAM" menuntut negara bertanggung jawab atas apa yang mereka alami.
Peserta kongres itu umumnya telah mengalami sejumlah
peristiwa yang menyakitkan. Banyak pula di antaranya yang cacat fisik akibat
perlakuan tidak manusiawi selama ini. Mereka tak menginginkan kejadian serupa
terjadi lagi. Dan karena itu pula, model pendekatan keamanan yang dilakukan
pemerintah diminta untuk tidak digunakan lagi pada masa mendatang. Lebih dari itu,
mereka melihat tak ada keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan kasus demi
kasus kekerasan secara baik. Buktinya, tindak kekerasan terus terjadi.
Ujung-ujungnya, suara kemerdekaan pula yang diteriakkan mereka dalam sebuah
rekomendasi yang dikeluarkan pada hari penutupan kongres.
***
PERSOALAN Aceh kini menjadi sangat kompleks. Bukan lantaran
Sira-Rakan mengeluarkan rekomendasi yang menyentakkan banyak pihak di Jakarta,
tetapi sebenarnya jauh hari sebelum itu persoalan tersebut telah terlihat
berlarut-larut dalam penyelesaian.
Luka-luka baru terus bermunculan di hati rakyat, sementara
luka lama belum lagi sembuh. Pernyataan-pernyataan Sira-Rakan barangkali adalah
sebuah bentuk lain untuk kembali mengingatkan pemerintah Jakarta bahwa
sesungguhnya di Aceh kini telah terjadi suatu hal yang akan membuat Indonesia
kehilangan sebuah provinsi lagi setelah Timor Timur dengan segala risikonya.
Dan yang terlihat kemarin dalam Sira-Rakan adalah suatu
gerakan sipil yang dimotori kalangan muda, termasuk mahasiswa. Tempatnya pun di
kampus. Tak ada bendera GAM, tak ada bunyi senjata. Semuanya tertib, meskipun
memakan korban jiwa di jalan raya karena dihalang aparat keamanan.
Tuduhan bahwa Sira-Rakan didalangi GAM adalah suara-suara
yang kemudian terdengar di Jakarta. Termasuk di dalamnya bagaimana polling yang
dilakukan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) dipersoalkan karena
Sira-Rakan mengklaim polling menjaring 92 persen lebih responden yang jumlahnya
2,7 juta memilih opsi merdeka.
Dalam kondisi begini, teriakan Jakarta yang memprotes
hal-hal tersebut agaknya bukanlah jalan keluar terbaik. Persoalan dasarnya
adalah kemampuan memulihkan kepercayaan rakyat bahwa Republik Indonesia ini
adalah negerinya orang di Aceh juga, termasuk mereka yang menghadiri Sira-Rakan.
Dan itu semua memerlukan langkah konkret secepatnya, bukan janji-janji belaka.
(nj)