PBB (IPS) – DUA aktivis hak-hak perempuan Arab Saudi mengajukan banding pada Jumat pekan ini setelah dihukum 10 bulan penjara karena membantu seorang perempuan yang diduga dianiaya suaminya.
Pada 15 Juni, Wajeha Al-Huwaider dan Fawzia Al-Oyouni dinyatakan bersalah oleh pengadilan distrik di Al-Khobar karena takhbib, sebuah unsur dalam hukum syariat yang menyebutkan mereka menghasut seorang perempuan untuk menentang suaminya dan menafkahi seorang istri tanpa sepengetahuan si suami. Larangan bepergian selama dua tahun akan menyertai hukuman penjara mereka.
Kedua perempuan itu menolong seorang perempuan Kanada, Nathalie Morin, yang menghubungi Al-Huwaider agar membantunya setelah dikunci dalam sebuah ruangan oleh suaminya tanpa cukup makanan dan air.
Namun ketika mereka mendekati rumahnya, mereka dihadang dan ditangkap, ujar Suad Abu-Dayyeh, konsultan program Middle East and North Africa for Equality Now. Equality Now, organisasi hak asasi manusia internasional, menyeru para pendukungnya untuk mengirim surat demi ancang-ancang tenggat waktu gugatan banding pada Jumat pekan ini.
“Mereka tak menyuruh Nathalie melawan suaminya atau berusaha meyakinkannya meninggalkan suaminya. Faktanya, mereka belum pernah bertemu dengan Nathalie,” ujar Abu-Dayyeh kepada IPS.
Abu-Dayyeh percaya tuduhan terhadap mereka dibuat-buat dan Arab Saudi sebenarnya meringkus kedua perempuan itu karena riwayat aktivisme hak asasi manusia mereka.
“Pemerintah Saudi jelas membuat skenario agar Fawzia dan Wajeha, perempuan pemberani yang ingin menolong perempuan lain yang membutuhkan, ditahan atas aktivisme yang mereka lakukan,” tutur Abu-Dayyeh.
“Kedua perempuan ini menjadi aktivis sejak lama, dan sekian lama pemerintah Saudi ingin membungkam mereka. Mereka kini dijadikan contoh agar aktivis lain tak berbicara bebas,” tambah Abu-Dayyeh.
Al-Huwaider dan Al-Oyouni telah bergiat dalam sejumlah kampanye kemanusiaan dan perempuan di Arab Saudi, termasuk Women2Drive, yang menentang larangan menyupir bagi perempuan.
Dalam sebuah video YouTube yang direkam pada Hari Perempuan 2008, Al-Huwaider terlihat menyupir di sekitar daerah pinggiran yang lengang dan bicara dengan para pendukung online dari jok kemudi. Arab Saudi menganut tafsir yang amat konservatif dari hukum Islam yang melarang perempuan mengemudi.
Tahun lalu, Al-Huwaider masuk urutan 82 dalam Arabian Business, daftar 100 perempuan Arab paling berpengaruh, namun dia menghilang dari daftar tahun ini. Dia juga salah satu pendiri Perkumpulan untuk Perlindungan dan Pembelaan Hak-Hak Perempuan di Arab Saudi.
“Kedua perempuan ini dihukum atas pekerjaan mereka dalam hak asasi manusia dan hak-hak perempuan,” ujar Joe Stork, wakil direktur divisi Timur Tengah dan Afrika Utara Human Rights Watch. “Itu bukanlah tindak pidana.”
Penerapan takhbib, di mana pria maupun perempuan mencampuri pernikahan atau pertunangan, mengubah salah satu melawan yang lain, terasa aneh dalam kasus ini, dan kemungkinan hal itu dipakai untuk menutupi apa yang dinilai otoritas sebagai kejahatan sesungguhnya: aktivisme Al-Huwaider dan Al-Oyouni.
“Itu sedikit tak biasa dari sudut pandang hukum Islam klasik, yang mungkin tak sejalan dengan praktik takhbib di Saudi selama ini, yang biasanya lebih bersinggungan dengan menganjurkan seorang perempuan meninggalkan atau menceraikan suaminya, atau menikah dengan orang yang tidak sah,” ujar Marion Katz, associate profesor jurusan Studi Islam dan Timur Tengah di New York University.
Ketika Al-Huwaider kali pertama dimintai keterangan setahun lalu mengenai peristiwa itu, pertanyaan yang diajukan pihak berwenang lebih banyak tentang pekerjaannya sebagai aktivis pembela hak asasi manusia dan perempuan, kata Stork.
Keberhasilan gugatan banding, melihat catatan Arab Saudi selama ini, tampaknya tak mungkin, ujar Stork.
“Saya takkan berharap,” ujar Stork. “[Arab Saudi] telah membuat keputusan untuk benar-benar mengekang aktivisme hak asasi manusia.”
Di negerinya sendiri, merengkuh dukungan merupakan hal sulit bagi Al-Huwaider dan Al-Oyouni, karena perempuan dilarang bicara bebas di negeri itu dan pemerintah mengendalikan media.
“Hak-hak perempuan dan anak gadis seringkali sangat dihambat,” ujar Abu-Dayyeh. “Di Arab Saudi, tak ada organisasi masyarakat madani yang mengambil isu itu.”
Kendati ada secercah kecil perkembangan positif untuk meningkatkan dan memperluas hak-hak perempuan di sana, termasuk mengirim atlet perempuan pertama Sarah Attar ke Olimpiade di London tahun lalu, dan anak-anak gadis di sekolah swasta berhak berolahraga, serta mengizinkan perempuan mengendarai sepeda, kasus dua aktivis itu merupakan langkah mundur bagi Kerajaan.
“Arab Saudi masih perlu melakukan banyak hal untuk memastikan perempuan dan anak gadis dilindungi dan hak-hak asasi mereka dijamin,” tutur Abu-Dayyeh, menegaskan, “Mengizinkan hal itu terjadi akan menguntungkan seluruh masyarakat.” [Lucy Westcott]
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik