Ketua SIRA ditangkap. Jadilah ia pahlawan baru yang dengan
naif diciptakan Jakarta.
LELAKI itu menaiki tangga kantor Markas Polisi Resor Aceh Besar dengan kepala tengadah. Selasa pekan lalu, dengan diantar oleh tiga pengacaranya, ia memasuki fase baru dalam kehidupannya sebagai seorang aktivis: meringkuk dalam sel dingin polisi. Muhammad Nazar, Ketua Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA), hari itu resmi ditahan aparat.
LELAKI itu menaiki tangga kantor Markas Polisi Resor Aceh Besar dengan kepala tengadah. Selasa pekan lalu, dengan diantar oleh tiga pengacaranya, ia memasuki fase baru dalam kehidupannya sebagai seorang aktivis: meringkuk dalam sel dingin polisi. Muhammad Nazar, Ketua Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA), hari itu resmi ditahan aparat.
Polisi menuduh Nazar telah menyebarkan kebencian kepada
pemerintah Jakarta. Dalam pidatonya menjelang pelaksanaan Sidang Raya Rakyat
Aceh untuk Kedamaian (Sira-Rakan) beberapa pekan lalu, Nazar dianggap telah
mengeluarkan pernyataan yang menghasut. Ia mengatakan Aceh bukan bagian dari
Negara Indonesia dan menyebut Indonesia sebagai neokolonialis.
Penahanan Nazar adalah salah satu bukti memburuknya hubungan
Jakarta dan Aceh. Jeda Kemanusiaan yang disepakati oleh pemerintah dan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) Mei lalu terbukti tak mampu meredam konflik antara kedua
kekuatan. Keadaan tetap memburuk dan korban terus jatuh.
Ketika aparat memburunya setelah surat panggilan polisi tak
digubris, pria 28 tahun itu disembunyikan sejumlah aktivis mahasiswa di sebuah
tempat di pinggiran Kota Banda Aceh. "Mereka bukan ingin menangkap saya.
Mereka ingin menghentikan tuntutan referendum," kata Nazar kepada wartawan
TEMPO J. Kamal Farza. Sebelum ditangkap, ia yakin ada orang yang ingin
membunuhnya. Ditemukannya mayat dengan pakaian yang sama dengan pakaiannya
meyakinkan Nazar bahwa ia sedang diincar.
Nazar sebetulnya pendatang baru dalam khazanah perjuangan
bangsa Aceh. Pria kelahiran Pidie yang baru saja menikah itu berusia empat
tahun ketika pemimpin GAM Hasan Tiro mendeklarasikan Aceh Merdeka, 1976. Nazar
tak dikenal ketika kekerasan memuncak di bumi Serambi Mekah saat Jakarta
menjadikan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM) hingga 1998.
Nama Nazar baru muncul belakangan. Ia mencuat ke permukaan
ketika lebih dari 300 mahasiswa dan aktivis lembaga swadaya masyarakat memilihnya
menjadi Ketua SIRA pada awal tahun lalu. SIRA adalah organisasi presidium yang
menghimpun 104 lembaga mahasiswa dan LSM yang bertujuan menuntut referendum
bagi Aceh.
Salah satu prestasi SIRA adalah ketika berhasil menghimpun
massa untuk hadir dalam acara Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum, 8
November 1999. Lembaga itu mengklaim hajatan di pelataran Masjid Baiturrahman,
Banda Aceh, itu diikuti oleh 2 juta penduduk Aceh. "Kami ingin membuktikan
bahwa referendum didukung rakyat," kata Nazar saat itu. Jakarta dibuat
terperanjat dengan aksi tersebut.
Tapi, setelah itu, aktivitas SIRA menurun. Ada memang
demo-demo di Jakarta untuk memelihara Isu referendum, tapi umumnya kurang
bergaung karena tertelan peristiwa lain yang lebih berskala nasional.
Baru dalam Sira-Rakan yang lalu, referendum kembali nyaring
terdengar. Ini membuat Jakarta keras bereaksi. Menteri Koordinator Politik,
Sosial, dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono bahkan memperingatkan agar GAM
dan SIRA tidak main-main dengan Jakarta. "Pemerintah akan mengambil
langkah-langkah penegakan hukum dan keamanan," kata Susilo. Inilah untuk
pertama kalinya nama GAM disandingkan dengan SIRA sebagai lawan politik Jakarta
dalam masalah Aceh.
Secara pribadi, hubungan SIRA dengan GAM cukup baik.
Panglima Perang GAM Teungku Abdullah Sjafii kepada TEMPO mengatakan bahwa
mahasiswa, termasuk aktivis SIRA, adalah anak-anak GAM. "Tak kan berpisah
anak dengan bapak seperti tak akan berpisah manis dengan gula," kata
Sjafii.
Tapi, sebagai organisasi, keduanya berbeda. SIRA menuntut
referendum dan GAM menuntut kemerdekaan tanpa syarat. Ketika menggelar aksi
massal November tahun lalu, Nazar menegaskan bahwa tuntutan referendum adalah
jalan tengah atas kekerasan sikap GAM dan Jakarta.
Namun, belakangan, Nazar berubah. Kepada TEMPO ia menegaskan
bahwa organisasinya akan mendesak pemerintah Belanda agar mengembalikan
kedaulatan Aceh yang sebelumnya diserahkan kepada Indonesia. "Belanda
tidak berhak menyerahkan sebuah negara berdaulat kepada bekas jajahannya,"
katanya. Dengan kata lain, Nazar berpendapat bahwa Aceh bukan merupakan bagian
dari Indonesia. Dibandingkan dengan ide referendum, pernyataan ini merupakan
pergeseran sikap.
Menurut koordinator Kontras, Munarman, perubahan ini bisa
dipahami. Dalam banyak hal, Jakarta telah menjadikan SIRA sebagai musuh.
Tuntutan referendumnya tak digubris, bahkan aktivisnya diperangi. Itulah
sebabnya Nazar mengeras. "Ini menjadikan Nazar terseret dalam wacana
GAM," kata tokoh yang pernah menjadi koordinator Kontras Aceh itu.
Dengan analisis semacam ini, penangkapan Nazar rasanya
memang sebuah kesalahan besar yang telah dilakukan Jakarta. Alih-alih menarik
simpati rakyat Aceh, pemerintah malah menciptakan musuh baru. Jakarta dengan
naif telah menjadikan Nazar sebagai simbol baru dari perlawanan rakyat Aceh. []
Arif Zulkifli
Majalah TEMPO: Edisi. 12/I/27 November - 03 Desember 2000