30 Juli 2013

Ngeband di Tengah Perselisihan Politik

TEL AVIV (IPS) – DUA band heavy metal, Khalas ('cukup" dalam bahasa Arab) yang digawangi musisi Israel-Arab dan Orphaned Land, band Yahudi, tampil bareng pekan ini di bawah atap Hangar 13 di pelabuhan Tel Aviv yang tengah dibenahi. Kedua band itu dijadwalkan bermain bersama musim gugur ini dalam serangkaian 18 pementasan di seluruh Eropa.

Kendati kerjasama seni ini dipuji sebagai sebuah terobosan besar –cukup jarang sebuah band Yahudi bermain bersama band Arab, bahkan sekalipun itu Israel-Arab– kedua band lebih suka bermain Rock'n'Roll heavy metal mereka dengan cabikan musikal ketimbang memainkan dawai identitas mereka yang saling bersitentang.

Abed Khathout, bassist dan pemimpin band Israel-Arab, berasal dari Acre di Israel utara. Dia menjamin dirinya membetot harapan selama latihan. "Sesama metal kami bersaudara sebelum hal lain. Musiklah yang menghubungkan kami."

"Keterputusan hubungan" terjadi dengan saudara-saudara Palestina dari grup band Khalas di wilayah-wilayah pendudukan yang berpendapat bahwa penjelajahan musik digambarkan sebagai proyek perdamaian yang dibiarkan pendudukan Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

"Berbagi panggung demi mempererat persaudaraan menunjukkan bahwa musik rock di atas politik," ujar Koby Farhi, pemimpin band Yahudi, dan penyanyi.

Musik Orphaned Land perpaduan dentaman New Age. Lirik mereka menggaungkan perdamaian profetik di antara agama-agama Abraham.

Para musisi Khalas adalah warga Israel keturunan Paletina. Mereka mendefinisikan diri mereka sebagai Palestina. Namun bagaimana mereka mendefinisikan diri mereka dihadapkan pada bagaimana orang lain mendefinisikan mereka.

"Kami seharusnya tampil pada November di Mesir. Tapi seminggu sebelum tur dibatalkan. Yah, kami berpaspor Israel," ujar Khathout.

Kocokan musik mereka dijiwai gaya hafla (pesta) Kairo. Selama pertunjukan, mereka menyanyikan dengan cara yang tepat Alf Leila wa Leila (Seribu Satu Malam), sebuah lagu hit dari penyanyi Mesir legandaris Umm Kulthum.

Orphaned Land pernah tampil di Turki dan membanggakan diri "populer di dunia Arab." Kebingungan antara identitas Turki dan Arab jamak di Israel karena akar Islam antara Turki dan Arab.
Tapi Orphaned Land di-persona non-gratakan-kan di dunia Arab. Status tak menyenangkan mereka berakar dari muasal Yahudi mereka.

Musik yang dimainkan kedua band itu punya satu pijakan mendasar –musik tanpa batas. Namun, karena perbatasan menjadi mataperkara konflik Palestina-Israel, politik pun jadi panglima, dan dalam analisis akhir, di mana Anda tinggal adalah siapa Anda.

Satu dari lima orang Israel adalah keturanan Arab Palestina. Sebagian besar menganggap diri mereka sebagai orang Palestina, atau "Israel-Palestina". Kebanyakan orang Yahudi Israel menggambarkan mereka sebagai "orang Israel-Arab". Yahudi Israel dari sayap kanan memandang mereka sebagai "musuh dalam selimut" (fifth column).

Sebagian besar orang Palestina menyebut mereka "Arab 1948" karena menetap di negara Yahudi yang baru lahir selama masa-masa sulit.

Saat Israel melancarkan perang kemerdekaan pada 1948-1949, ratusan ribu rakyat Palestina dipaksa menjadi pengungsi. Banyak di antara mereka yang tetap tinggal di Israel menjadi "pengungsi internal".
Bagi warga Palestina, perang kemerdekaan Israel merupakan Bencana Besar, atau Naqba.

Farhi bikin segala upaya untuk menyuarakan semangat kebersamaan. "Malam ini kali kedua kami bermain bersama –Orpahaned Land dan Khalas, sebagai orang Israel dan Arab," tuturnya.
Namun tentu saja kedua band itu adalah Israel. Faktanya, banyak orang Yahudi Israel –di mana menjadi Yahudi dan Israel merupakan dua entitas yang nyaris serupa– tanpa sadar menunjuk rekan-rekan Arab mereka hanya sebagai orang Arab.

Dan tampaknya sesuai karena band Arab itu tak dianggap sebagai Israel. Tidaklah mudah hidup sebagai bagian dari minoritas yang terjebak dalam perang antara bangsa mereka (Palestina) dan negara mereka (Israel).

"Kami benci bila setiap orang berharap kami menyanyi tentang pendudukan hanya karena kami Palestina," ujar Khathout.

Rakyat Palestina dari Tepi Barat dan Yerusalem Timur mungkin saja tak setuju. Sejak pemberontakan Intifadah kedua (2000-2005), mereka terus mempertahankan boikot budaya Isreal sebagai protes terhadap pendudukan.

Dalam kasus apapun, penutupan ketat yang diberlakukan di Tepi Barat dengan cara pemeriksaan, jalan-jalan khusus diperuntukkan bagi penduduk pemukim, pagar dan tembok pembatas menghalangi pertukaran budaya.

Pembatasan lalu-lalang pelintas mereda selama Ramadan. Para peziarah berumur renta dari Tepi Barat untuk sementara diizinkan berdoa di Haram es-Sharif, tempat suci ketiga umat Islam, yang berdiri di kawasan Kota Tua Yerusalem.

Meredanya pengetatan itu mungkin karena ada pembicaraan damai dalam waktu dekat ini.
Terlepas dari mataperkara perbatasan, identitas nasional merupakan batu sandungan utama. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa Israel diakui rakyat Palestina sebagai "negara Yahudi". Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas menentang definisi itu, karena jika demikian akan mengabaikan minoritas Palestina yang jumlah besar di Israel.

Di Gaza, sejak Gerakan Perlawanan Islam Hamas mengambilalih (2007) dan menyerang Israel tiada henti, artis seperti Mohammad Assaf dari Arab Idol dilarang memasuki Israel. Uni Eropa baru-baru ini mengumumkan bahwa, berlaku pada 2014, ke-28 negara anggotanya akan diwajibkan membedakan antara yang benar-benar Israel dan pemukim Israel di di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem Timur dalam semua perjanjian kerjasama dan pendanaan.

Bagi sebagian besar Yahudi Israel, 200.000 penduduk yang tinggal di kawasan Yahudi di Yerusalem Timur bukanlah pemukim; mereka "penduduk Yerusalem" dan, tentu saja, Israel. 400.000 pemukin yang tinggal di Tepi Barat mendefinisikan diri mereka sebagai orang Israel. Bagi Uni Eropa dan banyak negara yang tak mengakui legitimasi Israel di Wilayah Pendudukan Palestina, warga Israel yang bermukim di sana ditetapkan identitas mereka dengan pemaksaan, bukan pengakuan.

"Saya menentang keras boikot," ujar Farhi. "Tujuan seni ialah harmoni dan koeksistensi di di tempat-tempat terjadinya perselisihan."

Orphaned Land dan Khalas punya impian sederhana –"berbagi bus bersama" selama tur besar mereka di Eropa. [Pierre Klochendler]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

Artikel Terkait