14 Juli 2013

Meretas Pasar Baru Makanan dari Serangga

MÁLAGA, Spanyol (IPS) – SEBUAH gudang seluas 280 meter persegi di Coín, suatu kotamadya di Málaga, provinsi selatan Spanyol, menjadi tempat peternakan yang unik. Di sana, serangga dikembang-biakkan untuk konsumsi manusia dan produksi pakan hewan. Namun, kendati Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) mengabsahkan serangga sebagai makanan, ada sejumlah hambatan untuk mengembangkan industri ini.
“Kami mengeringkan jangkrik dan belalang, lalu menepungkannya menjaga hampir semua protein dan unsur nutrisi lainnya, yang bisa ditambahkan ke dalam biskuit, sereal, atau penganan penambahn energi,” ujar Laetitia Giroud, warganegara Prancis serta direktur penjualan dan pengembangan produk di Insagri, perusahaan yang menjalankan peternakan tersebut.
Sistem kendali mutu telah ditetapkan untuk setiap jenis serangga yang dikembangkan-biakkan di peternakan di Coín. Ribuan lalat askar hitam  dan larva mealworm dibiakkan untuk memproduksi pakan reptil, ikan, dan ternak, sementara belalang dan jangkrik diproses untuk konsumsi manusia.
Mealworm juga bisa dikeringkan dan dan digunakan untuk membuat keripik dengan taburan sedikit garam, menjadikannya camilan yang sangat baik,” ujar Giroud kepada Tierramérica.
Insagri, yang akan mulai menjual produknya pada Agustus, sudah mendapatkan pembeli bagi serangga tepungnya. Nantinya ia akan dihidangkan di restoran-restoran di Inggris, Prancis dan Belgia. Perusahaan-perusahaan yang mengkhususkan diri dalam produksi saus tomat dan makanan lainnya juga menaruh minat.
Ketiganya, plus Belanda, hanyalah sebagian kecil negara di Eropa yang mengatur “penjualan serangga untuk konsumsi manusia,” ujar Eduardo Galante, ketua Himpunan Entomologi Spanyol dan direktur Pusat Keanekaragam Hayati Iberia-Amerika di Universitas Alicante, Spanyol selatan.
Di Spanyol, tempat Insagri didirikan dengan tujuan memproduksi pakan ternak serta pasar makanan anjing dan kucing, “tak ada jaminan hukum yang mengizinkan memakan serangga di restoran (yang dibeli dari pemasok luar negeri) tapi membolehkan menjualnya untuk konsumsi,” kata Galante.
Galante mencontohkan satu kasus pada 2008 di mana otoritas kesehatan melarang sebuah toko penjual penganan dari serangga di La Boquería, sebuah pasar besar yang jadi daya tarik wisata populer di Barcelona.
Hambatan itu berlawanan dengan rekomendasi dari FAO mengenai konsumsi serangga dan produk sampingannya sebagai upaya memerangi kelaparan dunia.
Sebuah laporan FAO yang dirilis 13 Mei, “Serangga yang dapat Dimakan: Prospek Masa Depan bagi Makanan dan Ketahanan Pangan”, mencatat bahwa serangga ialah “sumber makanan bernutrisi tinggi dan menyehatkan” karena “mengandung lemak, protein, vitamin, serat, dan mineral yang tinggi.”
Menurut Giroud, selain kurangnya peraturan yang memadai, ada “hambatan budaya” yang mencegah manusia mengkonsumsi serangga di Spanyol, berbeda dari beberapa negara di Amerika Latin, Afrika, dan Asia yang sudah jadi praktik lazim.
“Makan serangga itu menjijikkan,” kata Marisa, penduduk Málaga dan ibu seorang putri berumur delapan tahun. Namun, dia menambahkan, gagasan memakan serangga setelah diproses dan ditepungkan adalah sesuatu yang “menarik”, karena “setidaknya dengan cara itu Anda tak melihat (serangga itu).”
Menurut taksiran FAO, serangga merupakan bagian dari makanan tradisional untuk sedikitnya dua milyar penduduk di seluruh dunia, dan ada lebih dari 1.900 spesies serangga yang dapat dimakan. Yang paling sering dimakan termasuk kumbang, ulat, lebah dan tawon, semut, belalang padi, jangkrik, dan belalang.
Spanyol selatan menawarkan “kondisi cuaca ideal untuk membesarkan serangga, yang membutuhkan suhu antara 28 dan 35 derajat celcius,” ujar Giroud. Dia menekankan, mengembang-biakkan serangga untuk makanan dan pakan “lebih murah dan lebih ramah lingkungan” ketimbang ternak karena hanya butuh sedikit lahan dan air serta makanan lebih tahan lama.
“Untuk mendapatkan satu kilogram protein dari ternak, Anda butuh 13 kilogram tetumbuhan, sementara jumlah protein yang sama yang diperoleh dari belalang, Anda hanya butuh 1,5 kilogram pakan,” tegasnya.
Selain itu, dia menekankan bahwa Insagri “satu-satunya perusahaan di Eropa yang memakai pakan organik untuk serangganya.” Misalnya, larva mealworm dengan campuran tepung organik yang disuplai produsen terdekat.
Giroud juga memaparkan bahwa makan serangga lebih sehat “karena mengandung risiko jauh lebih rendah menularkan penyakit pada manusia.” Dia menunjukkan fakta bahwa serangga memiliki darah dingin dan tidak berdarah panas seperti sapi atau babi.
Konsep peternakan serangga berskala besar untuk menopang makanan manusia relatif baru, kendati ada contoh peternakan jangkrik di Laos, Thailand, dan Vietnam, catat laporan FAO, yang memicu perbedaan pendapat di Spanyol.
“Usulan FAO untuk memerangi kelaparan dunia dengan memakan serangga tidaklah mengatasi akar masalahnya,” ujar Esther Vivas, peneliti speasialis kebijakan pangan dan pertanian. Dia menegaskan solusi itu “tidak memberikan masukan baru melainkan berurusan dengan penyebab kelaparan.”
Vivas, jurnalis-cum-sosiolog dan anggota Pusat Studi Gerakan Sosial di Universitas Pompeu Fabra di Barcelona, berkata, “makanan harus dibikin lebih bisa diakses bagi penduduk dunia, karena ada cukup makanan yang diproduksi untuk dikonsumsi semua orang.”
Menurut data FAO, sementara saat ini ada tujuh milyar penduduk di dunia, ada cukup makanan yang diproduksi setiap hari untuk 12 milyar orang.
Kendati begitu, FAO mencatat dalam laporannya bahwa penangkapan ikan besar-besaran, perubahan iklim, dan kekeringan dapat berdampak besar bagi produksi makanan bagi sembilan milyar manusia –prediksi jumlah penduduk dunia pada 2050.
“Justru di masa krisis sekaranglah, ketika konsumsi yang bijak dan melindungi lingkungan dibutuhkan lebih diperlukan dari sebelumnya, lebih mudah mendobrak hambatan budaya untuk mengkonsumsi serangga,” ujar Giroud, yang meluncurkan peternakan serangganya dengan Julien Foucher, juga berkebangsaan Prancis, dengan investasi awal 24.000 euro (31.494 dolar); 5.000 euro (6.561 dolar) dari modal awal disumbangkan lembaga nirlaba Valle del Guadalhorce Rural Development Group, yang didukung European Agricultural Fund for Rural Development (EAFRD).
“Serangga merupakan alternatif terbaik untuk mendorong perubahan makanan,” tambah Giroud.
Galante, secara terpisah, menegaskan, “Kita makan spesies crustacea, dan serangga serumpun dengannya. Kita makan udang dan lobster, yang serupa dengan belalang padi, begitu pula dengan kerang, gurita, dan udang.”
Entomolog Spanyol itu, yang juga profesor jurusan Zoologi di Universitas Alicante, menambahkan terdapat serangga yang telah jadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari selama bertahun-tahun, kendati kita seringkali mengabaikannya. Misalnya cochineal, seekor serangga yang dipakai untuk memproduksi pewarna merah-gelap alami yang dikenal dengan carmine. Ia lazim digunakan dalam berbagai produk makanan serta kosmetik, khususnya lipstik, dan kadangkala dilabeli dengan E120.
Galante berujar dia telah makan “segala jenis serangga, beberapa di antaranya sangatlah lezat,” meski dia mengakui ada rasa jijik karena pengaruh kebanyakan budaya di Eropa.
Dia tak percaya pemanfaatan serangga sebagai sumber makanan akan membantu mengakhiri kelaparan dunia. Namun dia menganggap hal itu “sebagai upaya meretas pasar makanan baru.” [Inés Benítez]
*Artikel ini diterbitkan kali pertama di suratkabar Amerika Latin, yang jadi bagian dari jaringan Tierramérica

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

Artikel Terkait