WASHINGTON (IPS) – PARTAI politik dinilai publik di banyak negara sebagai lembaga paling korup di tengah masyarakat, menurut survei terbaru lembaga pengawas antikorupsi Transparency International (TI) yang dirilis Selasa lalu.
Barometer Korupsi Global dari TI, yang didasarkan wawancara lebih dari 114.000 responden di 107 negara, juga menemukan mayoritas responden (54 persen) percaya pemerintah mereka, sebagian maupun seluruhnya, dikendalikan segelintir kelompok besar yang bertindak demi kepentingan mereka sendiri.
Lebih satu dari empat responden (27 persen) melaporkan bahwa mereka membayar suap selama 12 bulan sebelumnya saat berurusan dengan lembaga-lembaga publik, seperti polisi atau pengadilan.
Tapi praktik suap jauh lebih lazim di beberapa negara ketimbang di negara lain. Di Australia, Denmark, Finlandia, dan Jepang, misalnya, satu persen responden melaporkan membayar suap kepada pejabat publik untuk mendapatkan pelayanan dalam satu tahun terakhir.
Suap jauh lebih umum di negara-negara miskin, terutama di Afrika. Lebih dari enam di antara 10 responden melaporkan membayar suap di Kamerun, Kenya, Liberia, Libya, Mozambik, Sierra Leone, Uganda, dan Zimbabwe. Hampir tiga dari empat responden di Yaman juga mengatakan menyuap pejabat, setidaknya sekali selama setahun.
Sebagian besar responden mengatakan mereka percaya korupsi di negara mereka memburuk sejak 2011 ketika Barometer Korupsi Global terakhir dirilis. Barometer terbaru, yang melibatkan lebih banyak orang di lebih banyak negara dibanding sebelumnya, adalah yang kedelapan sejak 2003.
Pada sisi lebih positif, dua-pertiga responden percaya orang-orang biasa dapat membuat perbedaan dalam memerangi korupsi di negara mereka; dua-pertiga responden ini mungkin tak membayar suap.
Mayoritas, berkisar 51 hingga 72 persen, mengatakan mereka bersedia mengambil satu dari beberapa aksi tertentu, dari bergabung dengan organisasi antikorupsi, ambil bagian dalam protes damai, dan menandatangani petisi.
“Ada keinginan luas untuk terlibat melalui beragam cara, yang sebagian besar seharusnya diambil gerakan antikorupsi untuk melawan korupsi dalam skala lebih besar,” menurut TI, sebuah organisasi nonpemerintah (LSM) yang saat ini memiliki 90 cabang di seluruh dunia.
Survei terbaru muncul bertepatan dengan gelombang perhatian publik internasional –dan mobilisasi– melawan korupsi. Baru-baru ini, demonstrasi publik besar-besaran di kota-kota besar di Brasil memperlihatkan kemarahan rakyat atas praktik korupsi tiada henti di negara itu, sementara gerakan antikorupsi India pada 2011 terus bergema di sana.
Dari China hingga Nigeria, masyarakat petani dan penduduk miskin kota menemukan diri tanah mereka dirampas kaum kaya dan mereka yang punya koneksi politik, yang menggunakan koneksi tersebut dalam peradilan dan aparat pemerintahan dalam perampasan tanah.
Sementara itu, gerakan Duduki Wall Street di Amerika Serikat dan protes populer yang pecah di Yunani, Spanyol, dan negara Eropa selatan lainnya dalam menanggapi Eurocrisis memfokuskan perhatian pada kekuasaan luar biasa pada pemerintah yang dimanfaatkan kepentingan korporasi dan keuangan swasta.
Barometer Korupsi Global menjadi salah satu dari sejumlah indeks, seperti Rule of Law Index yang diterbitkan World Justice Project (WJP), yang menampilkan isu transparansi dan korupsi serta digunakan institusi global, termasuk Bank Dunia, lembaga bantuan bilateral , dan organisasi sektor swasta, untuk menilai risiko investasi dan bisnis di suatu negara.
TI juga menerbitkan Indeks Persepsi Korupsi setiap tahun, yang tahun lalu menilai 176 negara berdasarkan penilaian analis risiko, pelaku usaha, serta para profesional lokal dan internasional lainnya.
Barometer, sebaliknya, mewawancarai secara acak orang yang tinggal di negara-negara yang tercakup dalam survei. Edisi tahun ini meliputi lebih banyak responden dan negara dibanding sebelumnya.
Semua responden diminta menilai pada skala satu hingga lima (satu berarti “tak ada masalah sama sekali”) seberapa serius korupsi sebagai sebuah masalah bagi negara mereka. Nilai rata-rata di semua negara adalah 4,1, meski ada perbedaan yang luas di antara negara-negara, terutama antara negara-negara utara yang kaya dan negara-negara termiskin di dunia.
Dari mereka yang berkata membayar suap selama setahun lalu, 31 persen membayarnya ke polisi, sementara 24 persen menyebut peradilan. Rerata suap ke polisi yang berkisar 75 persen atau lebih tinggi lagi ditemukan di Republik Demokratik Kongo (DRC), Ghana, Indonesia, Kenya, Liberia, Nigeria, dan Sierra Leone.
Institusi dengan tingkat suap tertinggi berikutnya terutama berhubungan dengan layanan registrasi, terutama dalam hal kepemilikan dan pengalihan tanah. TI mencatat angka tertinggi ditemukan pada masyarakat pascakonflik dan negara-negara dalam masa transisi, seperti Afghanistan, Kamboja, Irak, Liberia, Pakistan, dan Sierra Leone –negara yang juga mengalami tingkat tinggi kelaparan dan gizi buruk.
Institusi berikutnya yang lazim dengan praktik suap antara lain layanan kesehatan (17 persen) dan pendidikan (16 persen), menurut Barometer Korupsi Global.
Di luar pembayaran suap, 64 persen responden percaya bahwa hubungan personal memainkan peran tak pantas dalam menyelesaikan sesuatu di sektor publik. Lebih dari 80 persen responden di Israel, Italia, Lebanon, Malawi, Maroko, Nepal, Paraguay, Rusia, Ukraina dan Vanuatu menyinggung pentingnya hubungan personal.
Selain itu, persepsi bahwa pemerintah dikendalikan segelintir kelompok besar demi kepentingan sendiri, bukan kepentingan publik, tampaknya diterima sangat luas, bahkan di antara negara-negara terkaya di dunia, ujar Barometer.
Sementara hanya lima persen responden di Norwegia, 83 persen di Yunani, 70 persen di Italia, 66 persen di Spanyol, dan 64 persen di Amerika meyakini pemerintah mereka dijalankan “sebagian besar” atau “seluruhnya” .”.. oleh beberapa kepentingan besar yang menguntungkan diri mereka sendiri.”
Adapun untuk lembaga-lembaga penting, partai politik dipandang sebagai yang paling korup, mencatatkan rerata global sebesar 3,8 persen pada skala satu sampai lima. Polisi di urutan kedua dengan 3,7 persen, diikuti pegawai negeri sipil, parlemen, dan pengadilan masing-masing 3,6 persen. Sektor swasta dan layanan kesehatan masing-masing berkisar 3,3 persen, diikuti sistem pendidikan (3.2) dan media (3,1). Lembaga-lembaga yang dianggap tingkat korupsinya rendah termasuk militer (2.9), lembaga swadaya masyarakat (2.7), dan lembaga keagamaan (2,6).
Partai politik dipandang paling korup oleh responden di 51 negara, termasuk Argentina, Brasil, Inggris, Kanada, Chili, Kolombia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, India, Irak, Israel, Italia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Nigeria, Norwegia, Palestina, Portugal, Spanyol, Thailand, Turki, Amerika Serikat, dan Uruguay.
Polisi dipandang paling korup di 36 negara, antara lain di Bangladesh, Bolivia, Mesir, Ethiopia, Ghana, Indonesia, Kenya, Malaysia, Meksiko, Mozambik, Nigeria, Pakistan, Filipina, Rwanda, Senegal, Afrika Selatan, Sri Lanka, Tanzania, Uganda, Venezuela, dan Vietnam.
Beberapa negara tercatat lebih dari sekali karena para responden menilai lebih dari satu lembaga yang paling korup. [Jim Lobe]
*Blog Jim Lobe mengenai kebijakan luar negeri AS dapat dibaca di http://www.lobelog.com
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik