Indeks kebebasan pers Indonesia meningkat. Tapi sejumlah pasal berbagai undang-undang siap menurunkannya.
BENARKAH kebebasan pers di Indonesia laksana cahaya kembang api di langit gelap? Bila merujuk indeks kebebasan pers yang dikeluarkan lembaga internasional Reporters Sans Frontieres, berkenaan dengan Hari Kebebasan Pers Sedunia pada 3 Mei, jawabannya tidak.
Dalam indeks lembaga pencatat kondisi pers dunia itu, tahun ini Indonesia naik peringkat: dari 103 tahun lalu menjadi 100. Kendati begitu, perbaikan tipis itu tak bisa bercerita banyak tentang keadaan pers Indonesia sekarang. Ada banyak alasan untuk mengatakan, bila tak ada perbaikan dari stakeholders pers Indonesia terutama pemerintah, masa terang kebebasan pers saat ini bisa segera kembali menjadi gulita.
Reporters Sans Frontieres jelas menyebut sejumlah keputusan pengadilan Indonesia yang merugikan kebebasan pers. Keputusan Mahkamah Agung menghukum Time Asia Rp 1 triliun dan memenangkan bekas presiden Soeharto, dalam kasus pencemaran nama baik dan reputasi orang pertama Orde Baru itu, mendapat sorotan tajam. Kemudian, keputusan pengadilan menghukum penjara Risang Bima Wijaya, Pemimpin Redaksi Radar Jogja, dalam kasus pencemaran nama baik, juga mencoreng kebebasan pers Indonesia.
Ancaman tidak hanya datang dari pengadilan. Sejumlah undang-undang patut disesalkan karena memuat pasal-pasal yang berpotensi mencederai kebebasan pers. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkali-kali mengatakan tak ada masalah dengan kebebasan pers, tapi peraturan demi peraturan yang lahir pada masa pemerintahannya justru bertolak belakang.
Konstitusi tegas menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan. Dan Undang-Undang Pers Nomor 40/1999 dengan jelas menetapkan pers nasional tidak dikenai penyensoran, pembredelan, atau larangan penyiaran. Tapi coba lihat Undang-Undang Pemilihan Umum Nomor 10/2008.
Pasal 97 mewajibkan media massa menyediakan halaman dan waktu tayang yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan iklan peserta pemilu. Pasal berikutnya menugasi Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers untuk mengawasinya. Pasal 99 memerinci sanksi yang bisa dijatuhkan untuk pers: mulai dari teguran, penghentian acara sementara, sampai pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran dan izin penerbitan media massa cetak.
Pasal-pasal itu jelas membingungkan. Batasan ”adil dan seimbang” bisa berbeda-beda menurut siapa yang menafsirkan. Lagi pula, media cetak Indonesia sekarang tidak lagi diharuskan memiliki surat izin penerbitan. Artinya, selain tidak memahami hak dan kewajiban pers Indonesia, penyusun undang-undang ini jelas sangat otoriter.
Ternyata Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik, yang baru disahkan pada April silam, yang seharusnya memudahkan pekerjaan wartawan, menyimpan setidak-tidaknya tiga pasal ancaman. Pasal 54 paling mengerikan karena mencantumkan pidana 2-3 tahun penjara ditambah denda bagi setiap orang yang mengakses, memperoleh, dan memberikan informasi yang dikecualikan dari pasal tentang rencana awal penjualan atau pembelian tanah serta pengungkapan kekayaan alam Indonesia. Bahkan Mas Achmad Santosa, seorang pengacara dan salah satu perumus Undang-Undang Kebebasan Informasi, menilai pasal itu sebagai ”monster” yang berpotensi melanggar hak asasi.
Masih ada Rancangan Undang-Undang Kerahasiaan Negara yang juga dipenuhi pasal ancaman. Dengan itu semua, tanpa perjuangan menolaknya, kebebasan pers memang ibarat kembang api: sebentar terang dan menawan, untuk kemudian gelap entah sampai kapan.
Majalah TEMPO
Edisi. 12/XXXVII/12 - 18 Mei 2008