16 Mei 2008

MAS ACHMAD SANTOSA:
Ada Pasal Monster

MELEWATI proses sembilan tahun, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik akhirnya disahkan pekan lalu. Ketika pertama kali digagas oleh koalisi lembaga swadaya masyarakat, undangundang ini sesungguhnya didorong aspirasi agar pers dan penggiat informasi berhak mengetahui informasi dari badan publik.


Kenyataannya, di tangan wakil rakyat dan pemerintah, yang mengambil alih proses penyusunannya, muncul sejumlah pasal kontroversial. Pasal-pasal itu dinilai justru mengebiri hak publik untuk memperoleh informasi. Pekan lalu Grace S. Gandhi dari Tempo mewawancarai Mas Achmad Santosa, salah seorang penyusun draf awal, yang menyatakan kecewa atas naskah akhir undangundang tersebut.

Benarkah Anda menganggap akan ada kelompok yang diuntungkan dengan terbitnya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik?

Ya. Pasal 17 dan pasal 54 akan menguntungkan kelompok kepentingan ekonomi yang monopolistik dan oligopolistik kalau tidak ada transparansi. Sistem birokrasi dan politik itu kan menghalalkan segala cara? Ada kelompok koruptor yang mau bertahan, juga sebagian kalangan militer yang menggunakan pendekatan keamanan. Kalau undang- undang ini benar-benar terbuka dan transparan, mereka akan dirugikan.


Apa kritik utama Anda terhadap undangundang ini?

Ada paradoks yang sangat kental. Di satu sisi, ada gambaran yang baik, seperti prinsip-prinsip, asas, tujuan, dan hak buat masyarakat. Tapi, di sisi lain, ada pengecualian. Ada informasi yang tidak bisa diakses ke publik.


Misalnya?

Rencana awal penjualan atau pembelian tanah atau properti oleh badan publik termasuk yang dikecualikan. Tidak boleh diakses. Jadi, kalau media mau melakukan investigative reporting dan menemukan aliran dana dalam penjualan dan pembelian ini, wartawan tidak bisa mengakses serta menggunakan informasi itu. Menurut saya, ini kelewatan. Padahal proses pengadaan barang harus transparan. Mengungkapkan kekayaan alam Indonesia juga tidak boleh. Media atau wartawan yang melaporkan peta penambangan di hutan lindung, misalnya, bisa dipidana.


Jadi ada kriminalisasi terhadap pers?

Ya. Ini kaitannya dengan pasal 54 yang saya katakan sebagai pasal monster. Pasal itu mengatakan siapa yang menguasai, mengakses, memperoleh, dan memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana disebut pasal 17 bisa dihukum pidana penjara. Padahal, untuk menentukan suatu informasi boleh diakses atau tidak, prosesnya panjang sekali. Bagaimana mau langsung dipidana, sementara prosesnya masih berjalan?


Siapa yang menentukan sebuah informasi boleh dibuka atau tidak?

Pertama, kalau ada yang meminta informasi, akan ada pejabat pengelola informasi yang menentukan informasi itu boleh dibuka atau tidak. Kalau pejabat itu menolak, pemohon bisa mengajukan keberatan ke atasan si pejabat. Kalau permintaan tetap ditolak, masalah ini masuk ke Komisi Informasi. Komisi nanti yang akan menyelesaikan kasus ini, karena fungsinya sebagai lembaga mediasi dan menjadi wasit. Kalau tidak selesai juga, bisa diajukan ke pengadilan tata usaha negara atau pengadilan negeri biasa. Kalau tidak puas juga, ke Mahkamah Agung. Bayangkan ada berapa langkah yang harus dilalui.


Media kan dibatasi tenggat? Bila proses meminta informasi panjang, kasusnya bisa lebih dulu selesai?

Betul. Maka penting supaya pasal 17 direvisi dan pasal 54 dihilangkan. Kalau tidak, semua terancam. Tidak ada itu kebebasan pers. Investigative reporting akan mati. Memorandum internal saja tidak boleh digunakan. Padahal memorandum internal suka digunakan media sebagai bukti investigasi.


Undang-undang ini bertentangan dengan Undang-Undang Pers?

Wartawan dan penggiat informasi akan ragu mengakses informasi. Di dunia, cuma Indonesia yang menggunakan pasal seperti ini. Di negara lain justru ada sanksi pidana buat mereka yang menghambat, menghalangi, dan mempersulit akses informasi. Pengecualian semestinya hanya menyangkut rahasia negara, dagang, dan pribadi. Tapi ini, rahasia negara dikaitkan sangat luas.


Pers atau masyarakat yang ingin mengetahui informasi publik bisa terancam?

Undang-undang ini lucu. Lembaga publik yang mengelola, mendokumentasikan akses informasi yang dikecualikan, ancamannya hanya kurungan dan denda yang rendah. Itu pun hukuman kurungan bisa dikompensasi dengan denda. Sebaliknya, masyarakat pengguna, termasuk wartawan dan lembaga swadaya masyarakat penggiat informasi, bisa diancam dua-tiga tahun penjara dan denda yang tinggi (Rp 10 juta).


Undang-undang ini tetap diperlukan?

Tetap perlu, karena kita membutuhkan tata kelola pemerintahan yang baik. Pemberantasan korupsi tidak mungkin jalan dengan sistem informasi yang serba tertutup.

TEMPO
Edisi. 12/XXXVII/12 - 18 Mei 2008

Artikel Terkait