KELOMPOK-kelompok pembangunan dan antikorupsi sedang bersukacita. Sebuah standard terbaru nan penting diadopsi oleh sebuah inisiatif internasional yang bertujuan memastikan transparansi lebih besar di antara perusahaan minyak dan tambang, khususnya di negara-negara berkembang.
Standard terbaru ini disepakati pada pertemuan dewan pengurus Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif (EITI) di Sydney pekan lalu. Namun beberapa kelompok sipil juga mengingatkan bahwa standard terbaru itu tak akan melamgkah jauh.
"EITI harus tetap bertaring," ujar Corinna Gilfillan, anggota dewan pengurus EITI dan direktur kelompok advokasi Global Witness dari AS, menyusul pengakuan standard terbaru itu. "Aturan-atruran baru perlu dibuat, diterapkan, dan dipersiapkan sebagai motor penggerak, bukan pengiirng dari arus reformasi pemerintah yang mengurangi relevansinya."
EITI sendiri lahir sejak 2002. Ia diciptakan dari diskusi-diskusi kelompok masyarakat sipil tentang bagaimana negara-negara berkembang yang kaya sumberdaya bisa melepaskan diri dari "kutukan sumber daya alam" dan memastikan pendapatan dari industri ekstraktif digunakan untuk mendanai sektor publik, bukan disedot kroni atau pejabat pemerintah yang korup. Selama satu dekade terakhir, inisiatif itu dikabarkan telah memfasilitasi pelaporan pendapatan dari sumberdaya alam senilai hampir satu trilyun dolar.
EITI beranggotakan pemerintah, sektor privat, dan masyarakat sipil, yang saat ini mencakup 39 negara dan menuntut anggotanya melaksanakan pelaporan pendapatan dari sektor industri ekstraktif secara terbuka. Kendati sebagian besar anggotanya dari Afrika, pada pertemuan pekan lalu Prancis dan Inggris setuju menjadi anggota. Janji serupa sudah disampaikan Amerika Serikat pada 2011.
Negara-negara Barat lainnya yang bergabung dalam EITI dengan beberapa pertimbangan antara lain Norwegia, tempat sekretariat EITI, dan Australia. Bulan depan, ketika Inggris jadi tuanrumah pertemuan Kelompok Delapan (G8), yang terdiri negara-negara kaya, isu transparansi diagendakan jadi pembahasan utama.
Meski muncul optimisme atas tujuan dan lahirnya EITI, beberapa tahun terakhir ada tanda-tanda bahwa tuntutan itu belum cukup kuat. Menurut evaluasi internal tahun 2011, tunduk pada persyaratan EITI belum tentu "membawa perubahan mendasar" yang sejalan dengan prinsip-prinsip inisiatif tersebut.
Bukti kegagalan itu dapat ditengok di Republik Demokratik Kongo (DRC).
Walau menjadi anggota EITI, pemerintah Kongo "mampu menjual lima aset pertambangan besar secara rahasia ke perusahaan yang tak diketahui," menurut riset Global Witness. "Akibatnya, DRC mungkin kehilangan sekitar 1,36 milyar dolar, dua kali lipat dari anggaran kesehatan dan pendidikan negara itu."
Medio April lalu, dewan pengurus EITI mencabut keanggotaan Kongo untuk sementara waktu.
Alasannya Kongo gagal memastikan "pengungkapan secara penuh dan menjamin keandalan angka-angka tersebut." Namun, kian banyak bukti ketidakefektifan standard EITI juga mendorong diluncurkannya aturan baru pekan lalu.
"Standard EITI terbaru akan memakai sejumlah rekomendasi yang dibuat [masyarakat sipil], termasuk menuntut badan usaha milik negara dan pendapatan sumberdaya alam lebih transparan," kata Jonas Moberg, kepala sekretariat EITI internasional, menjelang konferensi Sydney.
Standard itu kini akan memberlakukan persyaratan pelaporan baru yang jelas kepada negara-negara anggota EITI, mengharuskan rincian proyek demi proyek secara teratur, yang meliputi izin ekstraksi, bagaimana izin itu diberikan, dan perusahaan yang terlibat dalam sektor itu. Perusahaan minyak milik negara juga harus mengungkapkan berapa banyak produk yang mereka jual.
"EITI pada akhirnya mengakui bahwa, ketika ia menangani industri yang kompleks, mengungkapkan pembayaran saja tidaklah cukup," ujar Daniel Kaufmann, ketua Revenue Watch Institute, kelompok pengawas (watchdog) dari AS. "Standard baru itu dapat membuat EITI lebih efektif dalam mengatasi tantangan yang dihadapi negara-negara kaya sumberdaya alam."
Mengukuhkan relevansi
Industri ekstraktif dapat memiliki "dampak luar biasa –baik maupun buruk" terhadap pembangunan suatu negara, kata Robert F. Cekuta, pejabat Departemen Luar Negeri AS, saat konferensi EITI pekan lalu.
"Salah-urus sumberdaya alam, seperti yang sering kita lihat, bisa menghambat pertumbuhan ekonomi, mengurangi peluang perdagangan dan investasi, mengalihkan dana yang sangat dibutuhkan untuk layanan sosial dan kegiatan pemerintah lainnya, serta berkontribusi terhadap ketidakstabilan dan konflik," ujarnya.
"Pada saat bersamaan … manajemen yang baik dan tepat-guna dari sektor itu berarti pendapatan yang dihasilkan dari minyak, gas, dan tambang dapat memacu pertumbuhan ekonomi suatu negara, memberi pekerjaan, dan mendorong investasi yang bertanggungjawab di bidang infrastruktur, kesehatan, pendidikan, serta sektor berdampak tinggi lainnya, selain penghematan yang memadai."
Kendati Cekuta menyatakan pemerintahnya mendukung kuat aturan EITI terbaru, AS sendiri telah mengesahkan peraturan –Bagian 1504 dari regulasi keuangan Dodd-Frank Act– yang akan memberlakukan standard lebih ketat terhadap perusahaan ekstraktif yang terdaftar di AS ketimbang aturan EITI terbaru. Uni Eropa diperkirakan akan memberlakukan undang-undang serupa bulan depan.
Untuk alasan ini, beberapa pendukung transparansi prihatin bahwa EITI kehilangan peran sebagai pelopor.
"Pengaruh EITI bertumpu pada apa yang dianggap sebagai simbol klub pembaharu di mana banyak negara dan perusahaan ingin menjadi bagian di dalamnya," menurut Global Witness setelah pengumuman standard terbaru. "Atraksi ini akan pudar jika inisiatif tersebut dianggap sekadar permainan mengejar ketertinggalan sementara reformasi lebih dinamis berlangsung di tempat lain."
Kelompok itu secara khusus menekankan kembali desakan kelompok sipil agar kontrak-kontrak ekstraktif diumumkan secara terbuka. Dalam standard terbaru, hal itu cuma anjuran, bukan sebuah kewajiban. Standard terbaru juga hanya mengajurkan agar informasi lengkap kepemilikan perusahaan diumumkan pada 2016.
Global Witness dan organisasi lain juga mendorong EITI memastikan bahwa segudang data baru itu dibikin lebih mudah terbaca agar merangsang analisis dan pemeriksaan dari kelompok pengawas publik.
Kepentingan ganda
Sementara itu, hal menarik muncul ke permukaan di antara event di Sydney dan Washington. Di satu sisi, beberapa perusahaan minyak terbesar di dunia –termasuk ExxonMobil, Shell, dan Chevron– duduk dalam dewan pengurus EITI dan karenanya disimpulkan mereka setuju dengan aturan tranparansi terbaru tersebut.
Di sisi lain, saat ini mereka menjadi bagian dari gugatan hukum yang menolak Bagian 1504 dari Dodd-Frank Act, legislasi yang serupa dengan standard terbaru EITI.
"Perlindungan hukum penting bagi investor untuk menilai risiko sebuah perusahaan dan bagi masyarakat di negara-negara kaya sumberdaya alam untuk meminta tanggungjawab pemerintah," Ian Gary, manajer kebijakan senior Oxfam Amerika yang menangani program minyak, gas dan tambang, berkata dari Sydney.
"Gugatan hukum itu jelas bertentangan dengan komitmen transparansi dan dukungan industri atas pengungkapan pembayaran [lewat EITI]. Ini tak bisa diterima bahwa perusahaan minyak menerima manfaat reputasi dengan mendukung sebuah inisiatif transparansi tapi pada saat bersamaan melawan sebuah UU pengungkapan pembayaran yang sangat penting di pengadilan AS." [Carey L. Biron]
Translated by Fahri Salam Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik
Standard terbaru ini disepakati pada pertemuan dewan pengurus Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif (EITI) di Sydney pekan lalu. Namun beberapa kelompok sipil juga mengingatkan bahwa standard terbaru itu tak akan melamgkah jauh.
"EITI harus tetap bertaring," ujar Corinna Gilfillan, anggota dewan pengurus EITI dan direktur kelompok advokasi Global Witness dari AS, menyusul pengakuan standard terbaru itu. "Aturan-atruran baru perlu dibuat, diterapkan, dan dipersiapkan sebagai motor penggerak, bukan pengiirng dari arus reformasi pemerintah yang mengurangi relevansinya."
EITI sendiri lahir sejak 2002. Ia diciptakan dari diskusi-diskusi kelompok masyarakat sipil tentang bagaimana negara-negara berkembang yang kaya sumberdaya bisa melepaskan diri dari "kutukan sumber daya alam" dan memastikan pendapatan dari industri ekstraktif digunakan untuk mendanai sektor publik, bukan disedot kroni atau pejabat pemerintah yang korup. Selama satu dekade terakhir, inisiatif itu dikabarkan telah memfasilitasi pelaporan pendapatan dari sumberdaya alam senilai hampir satu trilyun dolar.
EITI beranggotakan pemerintah, sektor privat, dan masyarakat sipil, yang saat ini mencakup 39 negara dan menuntut anggotanya melaksanakan pelaporan pendapatan dari sektor industri ekstraktif secara terbuka. Kendati sebagian besar anggotanya dari Afrika, pada pertemuan pekan lalu Prancis dan Inggris setuju menjadi anggota. Janji serupa sudah disampaikan Amerika Serikat pada 2011.
Negara-negara Barat lainnya yang bergabung dalam EITI dengan beberapa pertimbangan antara lain Norwegia, tempat sekretariat EITI, dan Australia. Bulan depan, ketika Inggris jadi tuanrumah pertemuan Kelompok Delapan (G8), yang terdiri negara-negara kaya, isu transparansi diagendakan jadi pembahasan utama.
Meski muncul optimisme atas tujuan dan lahirnya EITI, beberapa tahun terakhir ada tanda-tanda bahwa tuntutan itu belum cukup kuat. Menurut evaluasi internal tahun 2011, tunduk pada persyaratan EITI belum tentu "membawa perubahan mendasar" yang sejalan dengan prinsip-prinsip inisiatif tersebut.
Bukti kegagalan itu dapat ditengok di Republik Demokratik Kongo (DRC).
Walau menjadi anggota EITI, pemerintah Kongo "mampu menjual lima aset pertambangan besar secara rahasia ke perusahaan yang tak diketahui," menurut riset Global Witness. "Akibatnya, DRC mungkin kehilangan sekitar 1,36 milyar dolar, dua kali lipat dari anggaran kesehatan dan pendidikan negara itu."
Medio April lalu, dewan pengurus EITI mencabut keanggotaan Kongo untuk sementara waktu.
Alasannya Kongo gagal memastikan "pengungkapan secara penuh dan menjamin keandalan angka-angka tersebut." Namun, kian banyak bukti ketidakefektifan standard EITI juga mendorong diluncurkannya aturan baru pekan lalu.
"Standard EITI terbaru akan memakai sejumlah rekomendasi yang dibuat [masyarakat sipil], termasuk menuntut badan usaha milik negara dan pendapatan sumberdaya alam lebih transparan," kata Jonas Moberg, kepala sekretariat EITI internasional, menjelang konferensi Sydney.
Standard itu kini akan memberlakukan persyaratan pelaporan baru yang jelas kepada negara-negara anggota EITI, mengharuskan rincian proyek demi proyek secara teratur, yang meliputi izin ekstraksi, bagaimana izin itu diberikan, dan perusahaan yang terlibat dalam sektor itu. Perusahaan minyak milik negara juga harus mengungkapkan berapa banyak produk yang mereka jual.
"EITI pada akhirnya mengakui bahwa, ketika ia menangani industri yang kompleks, mengungkapkan pembayaran saja tidaklah cukup," ujar Daniel Kaufmann, ketua Revenue Watch Institute, kelompok pengawas (watchdog) dari AS. "Standard baru itu dapat membuat EITI lebih efektif dalam mengatasi tantangan yang dihadapi negara-negara kaya sumberdaya alam."
Mengukuhkan relevansi
Industri ekstraktif dapat memiliki "dampak luar biasa –baik maupun buruk" terhadap pembangunan suatu negara, kata Robert F. Cekuta, pejabat Departemen Luar Negeri AS, saat konferensi EITI pekan lalu.
"Salah-urus sumberdaya alam, seperti yang sering kita lihat, bisa menghambat pertumbuhan ekonomi, mengurangi peluang perdagangan dan investasi, mengalihkan dana yang sangat dibutuhkan untuk layanan sosial dan kegiatan pemerintah lainnya, serta berkontribusi terhadap ketidakstabilan dan konflik," ujarnya.
"Pada saat bersamaan … manajemen yang baik dan tepat-guna dari sektor itu berarti pendapatan yang dihasilkan dari minyak, gas, dan tambang dapat memacu pertumbuhan ekonomi suatu negara, memberi pekerjaan, dan mendorong investasi yang bertanggungjawab di bidang infrastruktur, kesehatan, pendidikan, serta sektor berdampak tinggi lainnya, selain penghematan yang memadai."
Kendati Cekuta menyatakan pemerintahnya mendukung kuat aturan EITI terbaru, AS sendiri telah mengesahkan peraturan –Bagian 1504 dari regulasi keuangan Dodd-Frank Act– yang akan memberlakukan standard lebih ketat terhadap perusahaan ekstraktif yang terdaftar di AS ketimbang aturan EITI terbaru. Uni Eropa diperkirakan akan memberlakukan undang-undang serupa bulan depan.
Untuk alasan ini, beberapa pendukung transparansi prihatin bahwa EITI kehilangan peran sebagai pelopor.
"Pengaruh EITI bertumpu pada apa yang dianggap sebagai simbol klub pembaharu di mana banyak negara dan perusahaan ingin menjadi bagian di dalamnya," menurut Global Witness setelah pengumuman standard terbaru. "Atraksi ini akan pudar jika inisiatif tersebut dianggap sekadar permainan mengejar ketertinggalan sementara reformasi lebih dinamis berlangsung di tempat lain."
Kelompok itu secara khusus menekankan kembali desakan kelompok sipil agar kontrak-kontrak ekstraktif diumumkan secara terbuka. Dalam standard terbaru, hal itu cuma anjuran, bukan sebuah kewajiban. Standard terbaru juga hanya mengajurkan agar informasi lengkap kepemilikan perusahaan diumumkan pada 2016.
Global Witness dan organisasi lain juga mendorong EITI memastikan bahwa segudang data baru itu dibikin lebih mudah terbaca agar merangsang analisis dan pemeriksaan dari kelompok pengawas publik.
Kepentingan ganda
Sementara itu, hal menarik muncul ke permukaan di antara event di Sydney dan Washington. Di satu sisi, beberapa perusahaan minyak terbesar di dunia –termasuk ExxonMobil, Shell, dan Chevron– duduk dalam dewan pengurus EITI dan karenanya disimpulkan mereka setuju dengan aturan tranparansi terbaru tersebut.
Di sisi lain, saat ini mereka menjadi bagian dari gugatan hukum yang menolak Bagian 1504 dari Dodd-Frank Act, legislasi yang serupa dengan standard terbaru EITI.
"Perlindungan hukum penting bagi investor untuk menilai risiko sebuah perusahaan dan bagi masyarakat di negara-negara kaya sumberdaya alam untuk meminta tanggungjawab pemerintah," Ian Gary, manajer kebijakan senior Oxfam Amerika yang menangani program minyak, gas dan tambang, berkata dari Sydney.
"Gugatan hukum itu jelas bertentangan dengan komitmen transparansi dan dukungan industri atas pengungkapan pembayaran [lewat EITI]. Ini tak bisa diterima bahwa perusahaan minyak menerima manfaat reputasi dengan mendukung sebuah inisiatif transparansi tapi pada saat bersamaan melawan sebuah UU pengungkapan pembayaran yang sangat penting di pengadilan AS." [Carey L. Biron]
Translated by Fahri Salam Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik