NEW DELHI (IPS) – PARA aktivis lingkungan dan kedaulatan pangan di India sekian lama berhasil menunda-nunda upaya memperkenalkan tanaman pangan rekayasa genetik di negara yang didominasi pertanian itu. Namun, mereka kini harus berhadapan dengan rancangan undang-undang yang bisa mengkriminalisasikan mereka.
RUU Otoritas Regulasi Bioteknologi India (BRAI), diajukan ke parlemen April lalu, memberikan “izin satu pintu” bagi proyek-proyek dari perusahaan bioteknologi dan agrobisnis, termasuk yang menerapkan tanaman pangan rekayasan genetik, ke negeri tersebut, di mana 70 persen dari 1,1 milyar penduduknya terlibat dalam kegiatan pertanian.
“Penolakan rakyat terhadap pengenalan tanaman rekayasa genetik merupakan jerih payah dari sebuah kampanye yang dilancarkan kelompok masyarakat sipil guna menumbuhkan kesadaran di antara konsumen,” kata Devinder Sharma, pakar kedaulatan pangan dan pemimpin Forum for Biotechnology and Food Security. “Sekarang kami sedang menentang rencana masuknya pisang rekayasa genetik dari Australia.”
Sharma berkata kepada IPS bahwa bila RUU tersebut disahkan menjadi undang-undang, kampanye penyadaran semacam itu akan terkena hukuman berat. RUU menetapkan hukuman penjara dan denda bagi “siapapun, tanpa bukti atau laporan ilmiah, menyesatkan publik mengenai keamanan dari organisme dan produk…”
Suman Sahai, yang memimpin Gene Campaign, sebuah organisasi yang didedikasikan untuk konservasi sumberdaya genetik dan pengetahuan lokal, berkata bahwa “RUU kejam ini telah diajukan ke parlemen tanpa menggamit sejumlah bukti dari seluruh dunia mengenai risiko kesehatan yang diakibatkan tanaman pangan rekayasa genetik.”
Dia mengatakan para aktivis India tengah mendalami laporan terbaru yang ditulis Judy Carmen dari Flinders UniversitydiAdelaide, Australia, dan dimuat di Organic Systems Journal. Isinya menunjukkan bukti bahwa babi yang diberi pakan jagung dan kedelai rekayasa genetik cenderung mengalami radang perut parah.
“RUU baru bukan tentang peraturan, tapi promosi kepentingan perusahaan makanan raksasa yang mencoba memperkenalkan teknologi berisiko ke India, mengabaikan hak-hak petani dan konsumen,” ujar Sahai. “Ini mengkhwatirkan karena memberi kekuasaan kepada penguasa untuk memadamkan perlawanan terhadap teknologi rekayasa genetik dan mengkriminalkan mereka yang berani melawan.”
Bulan lalu rencana masuknya pisang rekayasa genetik ke India mendapat penolakan keras dari sejumlah LSM terkemuka, termasuk Initiative for Health & Equity in Society, Guild of Services, Azadi Bachao Andolan, Save Honey Bees Campaign, Navdanya, dan Gene Ethics di Australia.
Kelompok-kelompok itu berusaha membatalkan perjanjian antara Queensland University of Technology dan departemen bioteknologi India untuk menanam benih pisang rekayasa genetik di India.
Vandana Shiva, yang memimpin organisasi konservasi keanekaragaman hayati Navdanya dan salah satu tokoh penggagas kampanye melawan tanaman rekayasa genetik, berkata bahwa eksperimen tanaman pangan seperti itu merupakan “ancaman langsung terhadap keanekaragaman hayati, kedaulatan benih, pengetahuan lokal, dan kesehatan masyarakat di India, dengan secara perlahan menggantikan aneka varietas tanaman pangan dengan sejumlah kecil tanaman monokultur yang dipatenkan.”
Dia cemas bahwa upaya itu dibikin untuk mengontrol budidaya pisang di India melalui paten “oleh orang-orang kuat di tempat yang jauh, yang mengabaikan keanekaragaman hayati di lahan-lahan kami.”
India memproduksi dan mengkonsumsi 30 juta ton pisang saban tahun, diikuti Uganda yang menghasilkan 12 juta ton dan memakan buah-buahan itu sebagai panganan pokok.
National Research Centre for Banana di India, yang melindungi lebih dari 200 varietas buah-buahan itu, menjadi rekanan proyek pisang rekayasa genetik. Lembaga lainnya termasuk Indian Institute of Horticulture Research, Bhabha Atomic Research Centre (BARC), dan Tamil Nadu Agricultural University.
Dengan keterlibatan begitu banyak lembaga resmi, muncul kekhawatiran pisang rekayasa genetik akan menjadi bagian dari program gizi yang dijalankan pemerintah. “Ada bahaya bahwa pisang hasil rekayasa genetik akan diperkenalkan ke dalam program seperti skema perkembangan anak terpadu dan makan siang bagi anak-anak,” ujar Shiva.
Integrated Child Development Services di India, program anak usia dini terpadu yang terbesar di dunia, dimulai pada 1975 dan kini meliputi 4,8 juta ibu hamil dan ibu menyusui dan lebih dari 23 juta anak di bawah usia enam tahun. Pisang dimasukkan sebagai bagian dari makanan yang disajikan di 40.000 pusat perbaikan gizi.
Prof James Dale dari Queensland University of Technology, yang memimpin proyek itu, dalam wawancara kepada media Australia, membenarkan eksperimen rekayasa genetik dengan mengatakan hal itu akan “menyelamatkan perempuan India dari kematian saat melahirkan karena kekurangan zat besi.”
Menurut studi yang dilakukan International Institute for Population Sciences di Mumbai, lebih dari 50 persen perempuan India dan lebih dari 55 persen perempuan hamil di India menderita anemia. Ditaksir 25 persen kematian ibu karena komplikasi lantaran anemia.
Pada 9 Maret 2012, dalam wawancara dengan Australian Broadcasting Corporation, Dale berkata, “Salah satu alasan utama kekurangan zat besi karena sebagian besar penduduk India adalah vegetarian, dan sulit bagi seorang vegetarian memperoleh asupan zat besi yang cukup, terutama untuk penduduk yang bertani secara subsisten.”
“India adalah penghasil pisang terbesar di dunia tapi mereka tak mengekspornya sama sekali; semuanya dikonsumsi lokal. Jadi ini sebuah tujuan yang sangat baik untuk meningkatkan jumlah zat besi dalam pisang yang kemudian dapat didistribusikan ke… petani miskin dan subsisten.”
Dale membantah adanya risiko terhadap strain pisang India. Dia berkata karena pisang itu steril maka tak ada bahaya bahwa gen yang diperkenalkan akan masuk dan menghancurkan varietas lainnya.
Tapi para ahli seperti Vandana Shiva menentang klaim Dale. Dia bilang, para ilmuwan Australia memakai sebuah virus yang merangsang pisang, berfungsi sebagai promotor, dan itu akan menyebar melalui transfer gen secara horisontal.
“Semua rekayasa genetik memakai gen dari bakteri dan virus dan berbagai penelitian telah menunjukkan ada risiko kesehatan serius yang berhubungan dengan makanan hasil rekayasa genetik,” tegasnya, menambahkan ada cara lebih aman, lebih murah, dan lebih alami untuk menambah zat besi dalam makanan.
India adalah penghasil buah dan sayuran terbesar di dunia dengan banyak varietas alami yang kaya akan zat besi. “Sumber yang baik untuk zat besi di India termasuk kunyit, batang teratai, kelapa, mangga (dan) bayam… tak ada kebutuhan untuk merekayasa genetik pisang, tanaman suci di India,” ujarnya.
IPS gagal menghubungi Dale secara langsung maupun terpisah lewat humas kampusnya untuk menanyakan risiko transfer gen secara horisontal dan kemungkinan bahayanya bagi kesehatan masyarakat.
Menurut Shiva, ada langkah terpadu oleh korporasi makanan untuk mengendalikan tanaman pangan dan bahan pokok penting di pusat-pusat tanaman itu bercokol. “Kami telah melihat jagung rekayasa genetik diperkenalkan ke Meksiko dan ada upaya tekun memperkenalkan terong rekayasa genetik di India.”
Pada Februari 2010, Jairam Ramesh, saat itu menteri lingkungan, memerintahkan moratorium proyek terong dan tindakannya dipandang sebagai tamparan keras bagi pengenalan tanaman pangan rekayasa genetik di India.
“Jika RUU baru itu disahkan, kita berada dalam situasi mundur dan proyek seperti pisang rekayasa genetik akan cepat masuk dengan dukungan pemerintah. Bila itu terjadi, hanya tinggal tunggu waktu India menjadi republik pisang rekayasa genetik,” tutur Devinder Sharma. [Ranjit Devraj]
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik