PBB (IPS) – PADA akhir abad ke-19, dramawan Rusia Anton Chekhov melontarkan satu aturan penting dalam produksi drama: jika Anda menunjukkan pistol di awal cerita, pistol itu harus ditembakkan di akhir cerita.
Tapi kiasan Chekhov itu mengganggu bila diterapkan pada teknologi senjata dunia hari ini, yang meliputi sekira 17.300 nuklir, umumnya dipakai negara-negara sebagai alat untuk mempengaruhi kekuatan internasional.
Menurut Laporan Cadangan Nuklir Dunia oleh Ploughshares Fund, sekira 8.500 nuklir dimiliki Rusia dan 7.700 dipunyai AS. Tujuh negara lain dengan jejak senjata nuklir berada jauh di belakang mereka: Prancis (300), China (240), Inggris(225), Pakistan (90-110), India (60-110), Israel (60-80), dan yang terbaru Korea Utara (<10 span="">10>
“Sukar membayangkan misi militer yang akan memerlukan penggunaan satu senjata nuklir. Pemakaian 10 senjata itu akan jadi malapetaka yang melampaui pengalaman manusia, dan 50 senjata bahkan tak terpikirkan kerusakannya,” ujarJoe Cirincione, ketua Ploughshares Fund, sebuah yayasan keamanan global berkedudukan di AS.
“Jumlah yang Anda butuhkan untuk benar-benar mencegah musuh menyerang AS dengan atau tanpa senjata nuklir sangatlah rendah. Untuk berada di sisi aman, Anda mungkin membutuhkan beberapa ratus senjata nuklir,” katanya.
“Ide bahwa kita membutuhkan ribuan senjata nuklir… adalah kuno, irasional, warisan mahal dari Perang Dingin,” ujarnya.
AS merahasiakan anggaran nuklirnya. Cirincione menaksir pada dekade ke depan, AS akan menghabiskan 640 milyar dolar untuk nuklir dan program terkait –seperti sistem pertahanan rudal, lingkungan yang bersih dari aktivitas nuklir, dan pembaruan teknologi senjata nuklir saat ini.
Ditanya mengenai peran AS mendorong pelucutan dan membatasi kepemilikan (nonproliferasi) senjata nuklir dalam skala internasional, Cirincione berkata, “AS mungkin suara paling berpengaruh dalam debat ini, namun ia tak bisa melakukannya sendiri. Terpenting, mereka membutuhkan Rusia untuk mengurangi senjata.”
Kekuatan Nuklir Benamkan Sikap Internasional
Sembilan kekuatan nuklir dunia berkelit dalam forum-forum multilateral mengenai nuklir.
Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT) –bertujuan mencegah penyebaran dan mempromosikan pelucutan senjata nuklir– ditandatangani 190 negara. Menurut PBB, “Lebih banyak negara yang meratifikasi NPT daripada perjanjian pembatasan senjata dan pelucutan senjata lainnya.” Tapi ada beberapa negara yang absen dari perjanjian itu termasuk kekuatan nuklir India, Israel, Pakistan, dan Korea Utara.
Sewaktu Konferensi Internasional tentang Dampak Kemanusiaan dari Senjata Nuklir , digelar di Oslo pada Maret lalu, hanya dua dari sembilan negara –India dan Pakistan– yang menghadirinya.
Pada 6 Mei, IPS melaporkan bahwa Prancis, AS, Israel, dan Inggris abstain dalam pemungutan suara di Majelis Umum PBB mengenai apakah perlu atau tidak menggelar pertemuan tingkat tinggi untuk kali pertama mengenai pelucutan senjata nuklir. Usulan itu disahkan, dan pertemuan ditetapkan 26 September, tapi AS, Prancis, dan Inggris tetap tak mendukung.
Dan pada 13 Mei, Erin Pelton, jurubicara Misi AS untuk PBB, mengumumkan bahwa negaranya menolak mengirim dutabesarnya ke setiap pertemuan Konferensi PBB tentang Pelucutan Senjata yang dipimpin Iran, dari 27 Mei hingga 23 Juni.
Direktur eksekutif UN Watch menyindir, menempatkan Iran untuk memegang tanggungjawab Konferensi Pelucutan Senjata “sama saja menempatkan Jack the Ripper untuk memegang tanggungjawab atas tempat penampungan perempuan.”
Dia menambahkan, “Setiap negara anggota yang dikenai sanksi Dewan Keamanan PBB karena mengembangkan nuklir –dan dinyatakan bersalah atas pelanggaran hak asasi manusia berat– harusnya tak dapat dipilih mengemban posisi kepemimpinan dalam lembaga PBB.”
Konferensi itu dinilai secara luas tidak produktif, dan selalu begitu selama 15 tahun terakhir. Tapi sebelum itu, Konferensi Pelucutan Senjata dan pendahulunya merundingkan Perjanjian Nonproliferasi Nuklir dan Perjanjian Larangan Menyeluruh Ujicoba Nuklir –dua di antara perjanjian lainnya.
Jim Paul, penasihat senior Global Policy Forum, menanggapi pernyataan Neuer dengan menekankan ironi dalam boikot AS atas Konferensi itu.
Paul berkata kepada IPS melalui tanya-jawab email, AS merupakan ekportir senjata terbesar di dunia; salah satu yang memiliki senjata nuklir paling mematikan; baru-baru ini menggunakan senjata uranium, bomb kluster, dan ranjau darat; memiliki pangkalan militer yang tersebar di seluruh dunia, dan melancarkan operasi militer gila-gilaan.
Dia berujar, “Kritik sayap kanan terhadap PBB seolah berpendapat bahwa hanya negara ‘baik’ yang seharusnya memimpin lembaga PBB. Tapi, pertanyaannya, SIAPA pemerintah yang ‘baik’ itu? Mereka yang ramah dengan AS dan Israel, tentu saja!”
Pada 5 Februari 2011, AS dan Rusia menyepakati pemberlakuan Perjanjian Pengurangan Senjata-senjata Strategis(START), di mana keduanya sepakat pada 2018 membatasi jumlah hululedak mereka hingga 1.550; serta jumlah rudal balistik interkontinental, rudal balistik kapal selam, dan pesawat pembom berat yang dilengkapi nuklir hingga 800 buah.
“Jika AS dan Rusia setuju mengurangi persenjataan mereka hingga setengah, misalnya, seperti yang mereka lakukan pada 1980-an dan 1990-an… seluruh dunia akan bertepuk tangan, dan akan sangat sulit bagi birokrasi dan lawan-lawan politik untuk menentang kedua negara,” kata Cirincione.
Namun kemajuan AS dalam pelucutan dan nonproliferasi senjata nuklir melambat dalam beberapa tahun terakhir.George Perkovich, direktur Program Kebijakan Nuklir dari Carnegie Endowment for International Peace, menganggap kemunduran AS sebagian besar karena politik internal di Washington.
Dalam artikelnya yang terbit April 2013, “Do Unto Others: Toward a Defensible Nuclear Doctrine”, Perkovich menulis, “Kelompok pakar khusus yang relatif kecil dan pejabat menentukan kebijakan nuklir AS.”
Para anggota kelompok ini sering mendistorsi ancaman nuklir ke AS, serta cara terbaik merespon ancaman tersebut, pendapat Perkovich. Mereka melakukannya bukan untuk kepentingan keamanan nasional AS tapi demi kepentingan karier mereka guna mencegah “rival domestik mereka menyerang mereka karena terlalu lemah memegang jabatan.”
Nuklir menghalangi perubahan rezim yang dipimpin AS
Perkovich juga mencatat dalam artikelnya bahwa Iran, Korea Utara, dan Pakistan percaya dengan memiliki senjata nuklir bisa mencegah perubahan rezim yang didalangi AS. Mereka takut mengalami nasib seperti Iraq pada 2003 dan Libya pada 2011 yang tak punya nuklir.
Ditanya bagaimana AS harus merespon jika di masa depan negara-negara di dunia mempertahankan nuklir untuk mencegah perubahan rezim –bertindak opresif atau tidak, siapa pun yang melawan kepentingan AS–, Perkovich berkata itu akan jadi masalah pelik.
“Satu-satunya hipotesis senjata nuklir baik adalah untuk menjaga negara Anda dari serbuan orang lain. Jadi, negara dan para pemimpin yang khawatir akan diserang cenderung bersandar pada kekuatan nuklir, atau beraliansi dengan kekuatan AS,” ujarnya.
“Nonproliferasi akan lebih mudah dicapai jika negara-negara tidak khawatir akan diserang dan/atau digulingkan bila mereka tak punya senjata nuklir.
“Masalahnya jelas, beberapa negara begitu brutal serta mengancam rakyat mereka sendiri dan negara tetangga sehingga sulit untuk melucuti mereka,” tambahnya.
Perkovich mengusulkan agar AS membatasi tekanan terhadap negara-negara yang represif demi tujuan politik dan moral, juga sanksi; dan AS perlu menjelaskan takkan bertindak secara militer jika rezim represif tersebut tak menyerang negara tetangga atau mengembangkan nuklir.
Cirincione, penulis Bomb Scare: The History and Future of Nuclear Weapons, berpendapat bersaing untuk nuklir, dalam kasus Iran dan Korea Utara, sebenarnya kontraproduktif.
“Saya tidak percaya hal itu meningkatkan keamanan mereka. Saya kira hal itu justru mengisolasi mereka lebih jauh,” ujarnya. “Hal itu menghalangi mereka menjalin hubungan internasional yang benar-benar membantu negara mereka, membangun ekonomi mereka, dan meningkatkan pengaruh mereka.”
“Dengan kata lain, untuk menghentikan negara-negara ini memperoleh dan mempertahankan senjata nuklir, Anda harus memberi jaminan atas masalah keamanan mereka. Sebagian dari perjanjian dengan negara-negara ini harus memberi jaminan keamanan bahwa Anda takkan menyerang mereka, atau negara tetangga tak akan menyerang mereka.”
Warisan nuklir Obama
Dalam pidatonya Desember 2012 di National War College di Washington, Presiden Barack Obama berkata, “Rudal dengan rudal, hulu ledak dengan hulu ledak, pelu dengan peluru, kita menempatkan masa silam di belakang kita.”
Cirincione menjelaskan, upaya mewujudkan pelucutan dan penyebaran senjata nuklir telah jadi bagian penting dalam diri Obama sejak muda. Pidato pertamanya sebagai presiden mengenai kebijakan luar negeri –di Praha pada April 2009– dan pidato pertamanya sesudah terpilih kembali berfokus pada nuklir.
“Presiden menghadapi segudang masalah mendesak, tapi hanya dua di antaranya mengancam kehancuran dalam skala planet: pemanasan global dan senjata nuklir,” ujar Cirincione.
Sementara oposisi terhadap pelucutan dan penyebaran senjata nuklir lazim di Washington, hal itu mengerikan jika dibandingkan oposisi menghadapi pemanasan global, imigrasi, atau reformasi pajak.
“Ini kesempatan bagi presiden untuk bikin kemajuan besar dalam masalah keamanan AS dan global dengan investasi yang relatif kecil pada masanya,” ujar Cirincione, yang menjelaskan upaya Obama untuk mengekang nuklir bisa menyelesaikan busur sejarah, yang sudah dimulai dengan upaya Presiden John F. Kennedy pada 1960-an dan dipercepat oleh upaya Presiden Ronald Reagan pada 1980-an.
Cirincione berujar, “(Obama) punya tiga setengah tahun melakukannya. Bila dimulai sekarang, dia bisa menyelesaikannya. Dia dapat mengubah kebijakan nuklir AS dan menempatkannya pada jalan yang tak bisa diubah untuk mengurangi senjata nuklir, dan akhirnya (melenyapkan) ancaman nuklir dari muka bumi.” [George Gao]
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik