PBB (IPS) – KETIKA 193 anggota Majelis Umum PBB menghelat pertemuan tingkat tinggi untuk kali pertama mengenai pelucutan senjata nuklir pada September nanti, ada sedikit atau tak ada harapan bahwa negara-negara yang punya kekuatan nuklir akan bikin komitmen kuat untuk secara bertahap mengurangi atau menghapus persenjataaan mematikan mereka.
Pada awal 2013, delapan negara –Inggris, AS, Rusia, Prancis, China, India, Pakisan, dan Israel– memiliki sekira 4.400 senjata nuklir operasional, menurut Yearbook terbaru yang dirilis Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).
Hampir 2.000 senjata itu disimpan dalam keadaan siaga operasional tinggi, menurut SIPRI.
Jonathan Granoff, ketua Global Security Institute dan asisten profesor Hukum Internasional di Widener University School of Law, berkata, “Apa yang dibutuhkan untuk melawan lambatnya kontrol dan pelucutan senjata ialah profil politik yang lebih tinggi.”
Contohnya, ujar dia, bila ada beberapa pemimpin berkata di Majelis Umum, “Negara saya salah satu dari 114 negara di zona bebas senjata nuklir. Kami ingin membantu negara-negara yang mengandalkan senjata nuklir dengan alasan keamanan untuk mendapatkan manfaat dari bantuan ini guna menciptakan seluruh dunia zona bebas senjata nuklir.”
Laporan SIPRI menyoroti perlunya membawa komitmen yang dibuat dengan sungguh-sungguh pada Konferensi Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT) Review pada 2012 guna mempercepat pelucutan senjata nuklir ke dalam tindakan.
Janji harus dibarengi sesuatu, ujar Granoff.
Bila semua hululedak nuklir dihitung, menurut SIPRI, kedelapan negara itu memiliki sekitar 17.265 senjata nuklir, turun dari 19.000 pada awal 2012
Penurunan itu terutama disebabkan Rusia dan AS telah mengurangi persediaan senjata nuklir strategis mereka sesuai persyaratan Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis Baru (New START), serta ada senjata yang sudah uzur dan usang.
Pada saat yang sama, tulis SIPRI, lima negara yang diakui secara hukum memiliki senjata nuklir –China, Prancis, Rusia, Inggris, dan AS– mengembangkan sistem pengiriman senjata nuklir baru atau telah mengumumkan program serupa, dan tampaknya bertekad mempertahankan persenjataan nuklir mereka tanpa batas.
Dari kelima negara, hanya China yang tampaknya akan mengembangkan senjata nuklirnya.
Adapun negara lain, India dan Pakistan, meningkatkan cadangan senjata nuklir mereka dan kemampuan pengiriman rudal.
“Sekali lagi hanya ada sedikit harapan bahwa negara-negara pemilik senjata nuklir bersedia sungguh-sungguh menyerahkan senjata nuklir mereka,” menurut SIPRI.
“Program modernisasi jangka panjang yang berlangsung di negara-negara ini menunjukkan senjata nuklir masih jadi penanda status dan kekuatan internasional,” kata Shannon Kile, peneliti senior Proyek Pengendalian, Pelucutan, dan Nonproliferasi Senjata Nuklir di SIPRI.
Ditanya apakah konforensi pelucutan nuklir mendatang akan menghasilkan aksi nyata penghapusan senjata nuklir, Kile berkata bahwa, di tengah tren senjata nuklir global saat ini, Majelis Umum PBB tak bisa diharapkan mampu mengambil langkah-langkah kongkret, yang akan mewajibkan negara-negara pemilik senjata nuklir mulai menghapuskan senjata itu atau mengubah postur dan praktik operasional kekuatan nuklir mereka.
Namun, Majelis Umum PBB dapat berperan positif dalam hal penguatan norma dan komitmen politik yang berlaku sekarang guna mengupayakan pelucutan senjata nuklir yang semestinya tak boleh dianggap remeh, ujar Kile.
Hal itu berarti, pertama dan terpenting, mempertahankan tekanan politik terhadap negara-negara pemilik senjata nuklir untuk mengurangi peran dan arti penting senjata nuklir dalam strategi keamanan nasional dan postur pertahanan.
Itu bisa dilakukan, misalnya, dengan mengajak negara-negara tersebut menerapkan kebijakan deklarasi terbuka yang mengesampingkan penggunaan senjata nuklir, dan memberikan jaminan keamanan yang mengikat secara hukum, yakni menjamin tidak digunakannya senjata nuklir terhadap negara-negara nonnuklir.
Dalam jangka panjang, ujarnya, Majelis Umum PBB dapat berkontribusi dan memperkuat upaya menghapus senjata nuklir sebagai matauang geopolitik internasional dan mendelegitimasi kepemilikan senjata itu.
“Ini memang akan jadi bagian dari suatu proses jangka panjang yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan diplomatik tapi nilai normatifnya tak boleh diabaikan,” tambah Kile.
Granoff berkata, beberapa bagian dari pemerintahan Presiden Barack Obama mempercayai perlunya meratifikasi Perjanjian START dalam Senat AS, termasuk modernisasi aspek senjata nuklir. Beberapa memandang modernisasi hanya menyimpan senjata dalam kondisi stabil sementara yang lain meningkatkan akurasi dan keunggulannya dan bisa ditafsirkan sebagai bentuk proliferasi vertikal.
“Kegiatan itu tak boleh didanai, tapi bahkan jika pun ada, aktivitas ini tidak diterapkan karena perencanaan stategis geo militer,” ujarnya.
Namun, katanya, itu tak berarti tindakan tersebut menegaskan status senjata nuklir atau komitmen untuk membatalkan janji di bawah NPT menuju dunia bebas senjata nuklir.
“Mereka hanya mewakili kesepatan-kesepakatan politik jangka pendek dalam lingkungan partisan di dalam negeri yang kuat untuk mencapai langkah-langkah pengendalian senjata yang terbatas,” kata Pile.
Tapi mengatakan kebijakan itu tak bergerak ke arah yang benar adalah keliru, tambahnya.
Granoff berujar ada kelompok kerja terbuka baru di Jenewa yang akan mendesakkan beragam rekomendasi.
Norwegia baru-baru ini menjadi tuan rumah konferensi besar yang diikuti banyak negara, yang menyoroti konsekuensi kemanusian mengerikan dari senjata nuklir. Kegiatan ini pertanda baik bagi masa depan kita, ujarnya.
“Anehnya, negara-negara pemilik senjata nuklir atau P5 (Inggris, AS, Rusia, Prancis, dan China) tak berpartisipasi dalam kegiatan itu,” tambah Granoff. “Namun, mereka dapat bekerjasama serta datang dengan strategi dan posisi yang sama kalau mereka mau.”
“Tugas kita membantu mendorong isu penghapusan senjata nuklir menaiki tangga politik, sehingga mereka mau bekerjasama dalam pelucutan senjata,” katanya.
Ditanya mengenai tak disertakannya Korea Utara dalam daftar negara pemilik senjata nuklir, Kile berkata, “Bagian dari bab kekuatan nuklir dalam Yearbook yang berhubungan dengan kemampuan senjata nuklir Korea Utara mencatat, tak diketahui apakah Korea Utara memproduksi senjata nuklir operasional.”
Sebuah senjata operasional tidaklah sama seperti perangkat peledak nuklir sederhana dan membutuhkan desain lebih maju dan kemampuan teknik untuk membangunnya,” katanya.
“Kami mencatumkan dalam SIPRI Yearbook 2013 estimasi 6-8 senjata nuklir untuk menunjukkan jumlah maksimum yang mungkin dimiliki Korea Utara, berdasarkan informasi publik yang tersedia mengenai aktivitas produksi plutoniumnya.”
“Namun sekali lagi, masih sumir apakah Korea Utara benar-benar memproduksi senjata nuklir operasional, sehingga kami tak memasukkannya dalam tabel di siaran pers,” tambahnya. [Thalif Deen]
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik