21 Juni 2013

Perempuan Yahudi Perjuangkan Hak Agama

YERUSALEM (IPS) – PERJUANGAN untuk kesetaraan gender dan pluralisme Yahudi mengambil bentuk simbolisnya pada hari Minggu di Tembok Barat, situs paling dipuja Yudaisme dan lambang kesatuan. Kelompok perempuan yang dikenal dengan nama “Women of the Wall” bisa berdoa secara legal dan dengan cara mereka.

Selama 24 tahun, Women of the Wall, sebuah kelompok feminis Yahudi, menuntut hak untuk membawa dan melantunkan Kitab Suci Yudaisme di Tembok Barat, atau “Kotel” dalam bahasa Ibrani, dengan mengenakan selendang doa, tefillin, dan kupluk.

Menurut Hukum Yahudi Ortodoks, hanya kaum pria yang boleh memakai tallith, tefillin, dan kippah, serta membaca Taurat dengan suara lantang selagi berdoa selama beribadah. Karena itu, tuntutan perempuan tersebut adalah laknat bagi Yahudi Ortodoks, aliran Yudaisme yang dianut secara umum di Israel.

Gerakan konservatif, reformis, progresif, dan liberal yang menjadi afiliasi Women of the Wall, kendati menonjol di Amerika Serikat, tetaplah minoritas di Israel.

Lapangan terbuka Kotel pada hari Minggu menyerupai medan perang yang diperkuat pertahanannya. Dua kubu yang berlawanan mengenai kewajiban agama dan hak-hak gender mempersiapkan diri untuk menghadapi pertikaian lebih lanjut.

Sekira 300 perempuan, yang hendak merayakan hari pertama bulan Tamuz Yahudi dengan regalia lengkap, berusaha melewati kerumunan kaum pria ultra-Ortodoks yang sama banyaknya dan tengah terpancing amarah.

“Para perempuan ini ingin memecah-belah Yudaisme. Yahudi sekuler takkan pernah berani memalsukan firman Tuhan, tapi perempuan-perempuan ini mengubah Yudaisme dari dalam,” kata Nahum Weiss memperingatkan, seorang rabbi dari sekolah Talmudik.

Ratusan petugas polisi –setidaknya dua orang untuk tiap perempuan– dikerahkan di antara dua kubu guna mencegah kekerasan yang telah terjadi pada sembahyang bulanan sebelumnya, saat putra-putri seminari melemparkan sampah, popok, dan telur ke Women of the Wall.

Kali ini, kaum pria memaki-maki kaum perempuan: “Pergilah ibadah dengan kaum Muslim!”; “Pulanglah ke Amerika!”; dan “Kalian tak diterima di sini!”

Jenny Menashe, dari kelompok Women for the Wall, kembaran Women of the Wall dari kelompok Ortodoks dengan semboyannya “menjaga kesucian tembok”, menyerukan kepada kaum pria sesamanya untuk “mengizinkan perempuan menangani para perempuan ini.”

Plakat berbunyi “Anda membuat agama baru, membangun sebuah tembok baru!” direspon kelompok Women of the Wall dengan himne Hassidic Ortodoks, “Seluruh dunia merupakan sebuah jembatan sempit; karena itu, janganlah takut.”

Polisi perempuan mengawal mereka menuju bagian perempuan di Kotel, tempat mereka tetap berada di balik pagar guna menghindari konflik lanjutan dengan jemaat Ortodoks. Ratapan serupa doa membahana dari bagian kaum pria guna menenggelamkan doa kaum perempuan itu. Untuk menjalankan ibadah di Kotel, kaum pria memiliki tempat dua kali lebih besar dari kaum perempuan.

“Memalukan, kami ditempatkan terpisah untuk berdoa layaknya penderita kusta,” sesal Ya’ara Nissan. “Inilah yang terjadi pada perempuan saat mereka keluar dari dapur.”

Titik balik

Dua bulan lalu, seakan mematuhi maklumat Ortodoks, polisi akan menangkap perempuan yang berdoa di Kotel dengan cara mereka sendiri. Namun, pada 25 April, Women of the Wall meraih kemenangan bersejarah setelah perjuangan panjang untuk mendapatkan pengakuan atas praktik mereka dan melawan otoritas Ortodoks yang bertanggungjawab atas aturan sembahyang di tempat suci itu.

Berdasarkan penilaian bahwa perilaku di luar ortodoks mereka tidaklah menganggu kedamaian, sebaliknya kaum Yahudi ultra-Ortodoks yang menyebabkan kekacauan, Pengadilan Distrik Yerusalem memutuskan Women of the Wall dapat berdoa di Tembok Barat.

Hakim Moshe Sobel, seorang Yahudi Ortodoks, menulis dalam putusannya bahwa kegiatan Women of the Wall bukan merupakan sebuah pelanggaran atas “adat-istiadat lokal” maupun provokasi.

Pengadilan juga memutuskan menganulir interpretasi kepolisan atas putusan Mahkamah Agung sebelumnya pada 2003, menyatakan bahwa perempuan tak dilarang mengadakan kebaktian doa mereka sendiri di Kotel dan tidak diharuskan berkumpul di dekat Robinson’s Arch

“Hari ini Women of the Wall membebaskan Tembok Barat untuk seluruh bangsa Yahudi,” teriak Anat Hoffman, ketua organisasi.

Menanggapi putusan pengadilan, Rabbi Shmuel Rabinowitz dari Tembok Barat memprotes. “Saya mohon pihak berwenang serta mayoritas yang diam, yang peduli pada Kotel untuk mencegah para ekstremis mengubahnya jadi tempat pertentangan antarsaudara.”

Pada Minggu, para rabbi ultra-Ortodoks menyerukan para pria menikah dan berpengalaman untuk menentang Women of the Wall, menginstruksikan para murid yang terbakar amarah tetap di sekolah-sekolah Talmudik agar protes itu tak berubah menjadi pertikaian tak terpuji dan tercela.

Namun, alih-alih ribuan, hanya ratusan orang yang tergerak atas seruan itu.

Secara umum, kegiatan ibadah berjalan lancar. Beberapa telur yang dilempar mendarat di kaki para pria pendukung Women of the Wall. “Mereka merancang unjuk kekuatan sekaligus kelemahan mereka,” ujar seorang pendoa.

“Mereka dimanfaatkan untuk melawan kami,” kata Hoffman, mengutarakan pandangan hati-hati. “Kotel merupakan tempat bagi semua komunitas dan aliran Yahudi,” kata ketua Shira Preuce. “Kaum Rabi Ortodoks takut pada pemberdayaan perempuan, takut akan perubahan.”

Pergeseran keseimbangan politik

Yahudi Ortodoks pelan-pelan kehilangan kekuasaan di Israel.

Lanksap politik sekarang menunjukkan lobi Ortodoks di Knesset (parlemen Israel) luar biasa lemah, dan para legislator ultra-Ortodoks beroposisi dengan partai-partai liberal, progresif, dan Arab. Hubungan antara negara dan sinagog kini lebih menguntungkan arus Yahudi progresif.

Sebuah rancangan undang-undang wajib militer bisa mencabut keistimewaan yang sekian lama dinikmati Yahudi ultra-ortodoks untuk terhindari dari tugas ketentaraan, sementara para rabi non-Ortodoks sekarang mendapatkan gaji dari negara, dan warga Yahudi Israel diizinkan menikah di setiap dewan rabi di Israel. [Pierre Klochendler]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

Artikel Terkait