07 Mei 2010

Aku Mata Hari

Pembaca, tulisan berikut ini merupakan pengantar untuk 'Cerita Bersambung' yang dimuat di Harian Kompas untuk "AKU MATA HARI". Kami sengaja menurunkan di sini sebagai arsip.

Aku pelacur tulen.
Tapi aku penari sejati.
Dan aku Belanda berdarah Indonesia.

Begitulah cerita bersambung baru berjudul ”Aku Mata Hari” yang kami sajikan untuk Anda mulai hari ini. Ya, cerber ini tentang Mata Hari, sebuah nama yang tercatat di berbagai literatur, terutama dihubungkan spionase, mata-mata, intrik, juga sensualitas.

Hidup di seputar akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, Mata Hari seperti mewadahi berbagai gejolak zaman yang menjadi ciri khas pergantian abad, sampai kemudian terseret menjadi agen ganda bagi Prancis dan Jerman pada Perang Dunia I. Dalam cerber ini, dikisahkan periode hidupnya yang belum banyak disingkap, yakni hidup Mata Hari di Indonesia, di Batavia, lebih khusus lagi di Jawa Tengah, ketika dia tinggal di Ambarawa.

Gambaran Indonesia di zaman itu terdeskripsikan jelas, misalnya Ambarawa dengan perumahan tentara yang tak seberapa jauh dari stasiun kereta api Willem 1, di mana angin sejuk Gunung Ungaran berhembus. Jangan keliru pula menulis ejaan Mata Hari (bukan ”Matahari”). Karena nama itu diambil oleh yang bersangkutan yang punya nama asli Margaretha Geertruida ketika dia membaca koran yang diterbitkan oleh ”raja gula” dari Semarang pada masa itu, Oei Tiong Ham, Mata Hari. Itu penting bagi tokoh yang sangat akurat dalam berbahasa ini. Mata Hari bukan Sun dalam bahasa Inggris, melainkan Eye of the Day.

Dalam sejarah, Mata Hari yang lahir di Belanda, 7 Agustus 1876, memang dikenang dengan kecakapan menguasai beberapa bahasa. Itu antara lain yang menjadikan jalannya lempang untuk menjadi mata-mata.
Sekujur cerber ini kemudian memang tak lepas dari krida bahasa yang diinginkan tepat, akurat, bukan saja untuk bahasa itu sendiri, juga bagaimana sebuah bahasa membentuk dan mengekspresikan gagasan. Pasalnya, di sini si penulis lewat Mata Hari juga membikin refleksi sangat luas mengenai berbagai hal, dari sejarah, seni (seni tari di mana Mata Hari menimba inspirasi dari relief-relief Candi Borobudur), musik, sampai ke refleksi teologis atas tubuh dan jiwa.

”Senyampang eksekusi terhadap diriku oleh otoritas Prancis belum dilaksanakan sebagai terdakwa penari dan pelacur yang menjadi agen ganda mata-mata Jerman dan Prancis, maka biarlah aku mengurai tentang alasan-alasan awal mengapa aku menjadi seperti ini.”

Siapa penulis yang pada cerber ini seperti menunjukkan sifat androgini, keluar-masuk dunia perempuan dan lelaki, untuk menggali sisi terdalam Mata Hari dengan penuh empati? Termasuk dengan perangkat teologis, yang dari padanya kita coba mencari kesejatian lewat tubuh dan jiwa?

Ia adalah Remy Sylado. Remy adalah ikon kehidupan anak muda tahun 1970-an. Sampai saat ini ia terus berkarya lewat sastra dan drama selain kegiatan-kegiatan seni yang lain termasuk melukis.
”Aku Mata Hari” dia tulis menjadi sebuah prosa yang kesannya sangat filmis. Dia mengakui, ”Aku Mata Hari” memang siap untuk difilmkan. Selain itu, dia juga merencanakan, kalau memungkinkan kisah ini hendak dia angkat menjadi sebuah pentas drama di tempat Mata Hari menimba inspirasi, yakni Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Ia sudah memikirkan libreto untuk acara itu.

Remy Sylado, penerima berbagai penghargaan antara lain Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah dan Hadiah Sastra Terbaik dari Pusat Bahasa memang tak pernah berhenti. Selamat menikmati. (BRE)

---sumber: Kompas Kamis, 6 Mei 2010 | 03:03 WIB

Artikel Terkait