14 Mei 2010

Hasan Tiro:
Catatan Harian yang Tak Selesai (2)

        BANDA ACEH (MeunaSAH, 17/3/99), Nukilan buku harian Hasan Tiro
yang berjudul "The Price of Freedom: The Unfinished Diary" kali ini
berkisah tentang perjalanan Tiro menyusuri hutan-hutan di Aceh.



        MALAM semakin gelap. Udara dingin menusuk setiap orang di bibir
pantai Pasi Lhok, Kembang Tanjong, Pidie. Hari itu, Sabtu (30 Oktober
1976), Hasan Tiro mendarat di bumi Aceh setelah 25 tahun mengasingkan diri
di Amerika Serikat (AS).

        Dari pantai, malam itu juga, Hasan Tiro dan sejumlah pengikutnya
menuju hutan. Tak ada istirahat! Enam jam kemudian atau pukul 07.00 WIB
(Minggu 31 Oktober 1976) rombongan tiba di gunung Panton Weng. Tenda
didirikan sebagai markas. Panton Weng tempat cocok bergerilya.
        Satu bulan sudah Hasan Tiro berada di Panton Weng. Lalu,
diputuskan untuk pindah ke kawasan Tiro. Ada kesedihan menerpa jiwa Hasan
Tiro. Panton Weng adalah tempat yang sangat bersejarah. Itu markas
gerilyawan sejak 100 tahun silam. Banyak pahlawan meninggal di tempat itu
mempertahankan harkat dan martabat rakyat Aceh saat melawan Belanda.
Orang-orang percaya di tempat itu "ada penjaganya" yaitu dua harimau.
        Pergi ke kawasan Tiro dilakukan atas berbagai pertimbangan.
Pertama, Hasan Tiro mendapat laporan bahwa dengan banyaknya orang yang
datang ke Panton Weng, semakin mencurigakan musuh. Kedua, kalau musuh
menyerang, sangat sulit memasuki Tiro. Dan ketiga, paman Hasan Tiro,
Tengku Tjhik Umar di Tiro mengirim komandan kepercayaannya, Geutjik Uma,
untuk menjemput Hasan Tiro dan membawanya pulang ke Tiro.

        Perjalanan dari Panton Weng ke kawasan Tiro dipandu Pawang Baka.
Di bagian depan berjalan pawang, diikuti pengawal dan rombongan Hasan
Tiro. Sedangkan di bagian belakang pengawal lagi. Sangat sulit menembus
hutan yang penuh belukar. Perjalanan itu jangan sampai meninggalkan jejak
bila suatu saat musuh datang. Butuh waktu empat hari untuk dapat sampai di
kawasan Tiro. Itu merupakan ujian pertama kali bagi Hasan Tiro untuk
membuktikan kekuatan fisiknya.

        Pukul 17.00, perjalanan dihentikan untuk istirahat. Demi keamanan,
tidak boleh ada yang menyalakan api. Untuk tempat tidur cukup dibentangkan
plastik. Yang paling sulit dilakukan ketika melakukan perjalanan ke
kawasan Tiro adalah harus mendaki gunung. Ada yang tak bisa dilupakan
Hasan Tiro saat melintasi pegunungan. Kakinya tergelincir dan ia terjatuh.
Untung Geuthjik Uma sangat tangkas. Ia berhasil menangkap Hasan Tiro
sehingga tidak jatuh ke jurang. Saat itu terlintas dalam pikirannya
masa-masa indah ia berjalan di Fifth Avenue, New York.

        "Apa yang saya lakukan di sini?" tanya Hasan Tiro pada dirinya
sendiri. Waktu itu pukul 02.00 dinihari dan hujan. Semua basah. Ketika
tiba di kawasan Tiro, Hasan Tiro dan pengikutnya terus mensosialisasi
missinya. Di sini, ia masih berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Banyak tokoh masyarakat terutama dari Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur
menemuinya. Setiap orang yang bertemu, Hasan Tiro selalu mendapat
penghormatan. Tangannya dicium ketika berjabat.

        Terakhir, Hasan Tiro bertahan di Gunung Tjokkan. Di sini, ia
memutuskan memproklamirkan Aceh Merdeka, tepatnya 4 Desember 1976. Itu
moment historis menandai sehari setelah mangkatnya Tengku Tjhik Maat di
Tiro --pemimpin terakhir Aceh-- yang ditembak Belanda dalam pertempuran
sengit di Alue Bhot, Tangse, pada 3 Desember 1911. Proklamasi sudah
diumumkan kepada dunia. Hasan Tiro dan pengikutnya terus bergerilya di
hutan.

        PROKLAMASI kemerdekaan Aceh telah dikumandangkan kepada dunia di
Bukit Tjokkan. Susunan kabinet yang terputus sejak tahun 1911, juga
diumumkan pada hari proklamasi yang bersejarah itu. Namun, pelantikan para
menteri tertunda sampai semuanya datang ke Tiro untuk disumpah Wali
Neugara Tengku Hasan Muhammad di Tiro.

        Setelah diumumkannya proklamasi, utusan berbagai daerah datang
siang dan malam ke markas Hasan Tiro untuk menyatakan dukungan. Bahkan,
ada wakil datang dari luar Aceh.

        Di pihak lain, operasi intelijen semakin gencar dilancarkan
pemerintah terhadap kelompok Hasan Tiro. Tapi, setiap militer ingin
melancarkan serangan, Hasan Tiro selalu menghindari dengan berpindah ke
kamp yang banyak tersebar di hutan.
        Pada 10 April 1977, Geutjhik Uma, komandan pasukan pengawal
pribadi Hasan Tiro, yang meminta izin untuk menjenguk anak dan istrinya di
Desa Blang Kedah, tak jauh dari markas, kembali ke kamp dengan wajah
sedih. Hasan Tiro memintanya untuk menceritakan apa yang terjadi. Sesaat
lengang. Geutjhik Uma hanya terdiam sambil menutup mukanya dengan dua
telapak tangan. Sesuatu telah terjadi. Rumahnya, tadi malam, dikepung
tentara.

        "Geutjhik Uma, kami tahu Anda di dalam. Cepat keluar dan
menyerah!" perintah dari kegelapan malam. Tak ada sahutan. Geutjhik Uma
sangat terkejut karena dia tak menyangka tentara telah mengepung rumahnya.
        "Geutjhik Uma, cepat keluar atau kami tembak semua yang ada dalam
rumah!" terdengar lagi perintah. "Saya akan keluar dengan anak dan istri
saya. Jangan tembak," jawab Geutjhik Uma dari dalam rumah.
   
    Lalu, ia meminta anak-anak (keduanya wanita) dan istrinya agar
keluar lebih dulu. Setelah keluarganya berada dalam posisi aman dan
memastikan tidak diapa-apakan militer, Geutjhik Uma segera menerobos lewat
pintu belakang sambil melepaskan tembakan ke arah lawan. Dia sangat yakin
seorang musuh berhasil dilumpuhkan. Itu terbukti dari suara, "Ia menembak
tangan saya! Dia menembak tangan saya! Toloong...!!"

        Geutjhik Uma berhasil menerobos kegelapan malam. Butuh waktu lima
jam untuk mencapai markas Hasan Tiro. Geutjhik Uma berhasil mengelabui
dengan menghilangkan jejak dari para pengejarnya.

        Usai bercerita insiden itu, Geutjhik Uma menangis. Hasan Tiro
hanya bisa menghibur sambil memuji dengan kata-kata bahwa yang dilakukan
pengawalnya sebagai tindakan yang benar. "Kalau tak ada anggota keluargamu
yang cidera, tak perlu dikhawatirkan lagi. Semua beres. Yang kamu lakukan
adalah tindakan benar. Ayo sana, makan dan istirahat," ujar Hasan Tiro
kepada anak buah yang selalu setia mengawalnya.

        Insiden di Blang Kedah itu berkembang cepat di tengah masyarakat.
Bahkan, ada rumor yang menyebutkan telah terjadi pertempuran hebat antara
tentara dengan gerilyawan Aceh Merdeka Pertempuran yang melibatkan tank.
"Rumor menjadi bagian dari realita di tengah masyarakat," sebut Hasan Tiro
dalam catatan hariannya. Demi alasan keamanan, pusat pergerakan Hasan Tiro
dipindahkan ke tempat lain lagi.

        Setelah mendapat laporan bahwa pemerintah Indonesia mulai
mengampanyekan kepada masyarakat internasional kelompok Aceh Merdeka
sebagai "teroris, bandit, fanatik", Hasan Tiro berusaha menerbitkan teks
proklamasi dalam bahasa Inggris. Sebanyak mungkin terjemahan itu
disebarkan ke seluruh Aceh dan bahkan ke luar negeri.
        Setiap orang yang ditugasi menyebar informasi ke tengah masyarakat
Aceh selalu mendapat pertanyaan dari rakyat, "Et na ka geutanyoe?" (Sampai
di mana sudah perjuangan kita, red). Setiap hari bersejarah tentang
kejayaan Aceh di masa silam tetap diperingati di hutan lewat upacara
khusus dan khidmat. Misalnya, 23 April diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Hari itu diambil dari kemenangan rakyat Aceh dalam Perang Bandar Aceh
ketika melawan Belanda. "Banyak generasi muda Aceh yang melupakan
pertempuran hebat pada 1873 itu padahal pers dunia menurunkan kekalahan
Belanda sebagai berita utama," tulis Hasan Tiro. Tahun 1977, Hari Pahlawan
diperingati di kamp Krueng Agam. Perayaan dimulai dengan mengibar bendera
Aceh yang diiringi suara azan.


MENDIRIKAN UNIVERSITAS ACEH
        AWAL Juni 1977, pemerintah semakin meningkatkan perang psikologis
untuk melawan Front Pembebasan Nasional Aceh Sumatera (NLFAS) dan
pemimpinnya di tengah masyarakat. Sejumlah penangkapan terhadap para
pengikut NLFAS dilancarkan. Menurut Hasan Tiro, ribuan orang, termasuk
kaum wanita dan anak-anak, ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara
tanpa lewat proses pengadilan. Banyak tahanan yang disiksa.
        NLFAS yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan Atjeh Meurdehka
dicap sebagai Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro (GPLHT) atau Gerakan
Pengacau Keamanan (GPK). Namun Hasan Tiro seperti diakui dalam catatan
hariannya yang tak selesai ini tidak merasa kecewa.
        Satu kali, seorang komandan militer Indonesia, Kolonel Anang
Sjamsudin, menantang komandan pasukan NLFAS, Daud Husin (tokoh yang lebih
dikenal Daud Paneuek) untuk duel senjata. Tantangan itu disampaikan
melalui selebaran. Daud Peneuek tak mau melayani. Bahkan ia menyarankan
agar Anang kembali ke daerahnya.

        Pemerintah terus melakukan perlawanan terhadap NLFAS. Foto-foto
pemimpin gerakan itu -- Hasan Tiro, Dr Muchtar Hasbi, Daud Paneuek, Ir
Asnawi, Ilyas Leube, Dr Zaini Abdullah, Dr Husaini Hasan, Amir Ishak, dan
Dr Zubir Mahmud -- disebarkan ke penjuru Aceh. Masyarakat diminta
menangkap hidup atau mati kesembilan tokoh itu. Tanggal 4 September 1977
merupakan hari ulang tahun ke-47 Hasan Tiro. Ia tak pernah berpikir bakal
merayakannya dalam belantara di Kamp Alue Puasa. Hasan Tiro memikirkan
tentang kejadian setahun silam ketika ia memulai perjalanan pulang ke Aceh
dengan meninggalkan anak dan istrinya di tengah kemegahan Kota New York.
"Dapatkah saya katakan bahwa ini setahun dari kemajuan, atau frustrasi,
atau kegagalan? Hanya sejarah yang dapat menjawabnya nanti," kata Hasan
Tiro pada dirinya sendiri.

        Pada 10 September 1977, diadakan sidang kabinet. Mereka memutuskan
untuk mendirikan "Universitas Aceh" di pegunungan, tepatnya Gunung Alimon
(Teupin Raya). Tujuannya melatih kader-kader masa depan. Diputuskan pula
rektor pertama "Universitas Aceh" adalah Hasan Tiro. Ada beberapa fakultas
yang dibuka. Di antaranya, Fakultas Kedokteran, Administrasi Masyarakat,
Hukum, Hubungan Internasional, dan Akademi Militer. Kuliah pertama
diselenggarakan pada 20 September 1977 yang diikuti sekitar 50
"mahasiswa". Mereka adalah 10 persen dokter, 10 persen insinyur, 15 persen
ahli hukum, 40 persen guru, 20 persen lulusan SMA, dan 5 persen dari
kalangan nelayan dan pendaki gunung. Mereka inilah yang akan menjadi
kader NLFAS di masa mendatang. Kampus ini sangat terjaga. Hasan Tiro
mengorganisir kuliah dalam tiga bagian: Hubungan Internasional, Politik,
Perbandingan Pemerintahan, Sistem Ekonomi, dan Strategi Pembebasan
Nasional. Hubungan internasional dibagi lagi dalam tiga bagian: hukum
internasional, organisasi internasional (yang mencakup PBB dan
bagian-bagiannya seperti Mahkamah Internasional, UNHCR, dan lain- lain),
dan sejarah diplomatik. Politik mencakup soal pemikiran barat dan Islam.
       
Masalah perbandingan pemerintahan diajarkan tentang AS, Rusia, dan
beberapa negara lain termasuk juga pemerintahan Aceh yang lebih dikenal
"Kode Iskandar Muda". Hal itu untuk membuat mahasiswa mengerti akan
bentuk-bentuk pemerintahan di dunia. Sistem ekonomi yang dipelajari adalah
kapitalis, sosialis, dan Islam. Namun, untuk "negara Aceh" lebih
difokuskan kepada ekonomi Islam. Mahasiswa harus mampu membedakan satu
teori ekonomi dengan yang lain. Itulah sebabnya diajarkan berbagai bentuk
sistem ekonomi.

        Sedangkan strategi pembebasan nasional adalah berusaha mencarikan
analisis untuk mendapatkan dukungan dari Hukum Internasional,
Organisasi-organisasi Internasional. Karena tak memiliki buku-buku yang
cukup di "Kampus Gunung Alimon", Hasan Tiro berusaha menguatkan memorinya
tentang ilmu yang pernah ia pelajari di AS. Kuliah berlangsung setiap hari
mulai pukul 8:00 hingga 12:00. Antara pukul 13:00 hingga 17:00. Mahasiswa
kemudian membuat rangkuman. Pada malam hari, diadakan acara tanya-jawab
untuk mendiskusikan bahan kuliah yang diberikan dan membahas tentang
tugas-tugas.

        Proses belajar mengajar bisa berlangsung selama tiga pekan tanpa
ada gangguan dari pihak manapun. Setelah berakhir, diadakan seminar. Saat
wisuda diadakan pesta dengan makanan nasi ketan dan durian. Lalu, setiap
mahasiswa mendapat sertifikat yang diserahkan Hasan Tiro sebab ia adalah
rektor. Tentu saja ijazah yang diberikan kepada para lulusan tidak sama
seperti yang diterima Hasan Tiro dari universitas di AS. (Bersambung)

Artikel Terkait