07 Mei 2010

PROLOG
AKU MATA HARI

Oleh Remy Sylado

Mata Hari tidak takut pada ancaman kematian.
Sambil menunggu vonis pengadilan militer, di dalam tahanannya di penjara Saint-Lazare, toh dia meradang di hadapan rahib berjubah hitam yang dipanggilnya Père dan biarawati berjilbab biru tua yang dipanggilnya Soeur, tentang getirnya menghadapi kematian tanpa orang-orang yang dicintainya.

Selama beberapa bulan ini Père dan Soeur telah membangkitkan arti pengharapan kepadanya. Terhadap mereka Mata Hari pun merasa damai. Pintanya kepada mereka untuk menyampaikan kepada Non putrinya dan Maslov kekasihnya, alangkah agungnya cinta yang mukim di sukmanya terhadap orang-orang tersayang itu. Cinta itulah yang membuatnya tegar dan percaya diri menghadapi maut.

Dia merasa kecewa dan terasing melihat kenyataan dalam hidupnya ini, betapa di atas slogan-slogan peradaban Barat tentang kemanusiaan universal, dengannya tampak juga menyolok kosokbali pemiskinan atasnya di bawah sentimen kebangsaan yang telah menyebabkan berlangsungnya perang di tahun-tahun terakhir ini.

Baginya sendiri sulit menaruh identitasnya sebagai seseorang dengan kebangsaan atau ras tertentu, sebab dia adalah Belanda berdarah Indonesia, di luar bakatnya sebagai penari erotik dan pelacur profesional.
Sekarang dia berada di dalam penjara ini sebab pekerjaannya yang lain di samping menari dan melacur, adalah agen rangkap mata-mata: mata-mata Jerman di satu pihak dan mata-mata Prancis di pihak lain, dua pihak bangsa dengan kebanggaan nasionalnya masing-masing yang kini sedang sengit berperang dalam Perang Dunia I.

Dia terjun menjadi mata-mata dobel-agen sambil menari telanjang di kota-kota Eropa sampai Turki dan Mesir, berkaitan dengan frustrasinya pada wacana kemanusiaan universal dalam peradaban Barat yang dianggapnya palsu, mengukur nilai-nilai universal tersebut hanya sebatas pegangan atas semangat Renaissance dan Aufklärung dalam sejarah bangsa Eropa, lantas menganggap semua yang di luar Barat adalah lokal, dan bukan universal.

Dia makin kuat menghayati perlawanan terhadap pandangan palsu itu sejak masih tinggal di Ambarawa dan kemudian pindah di Batavia dari akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Di Indonesia dia melihat dengan tajam kenyataan itu: Belanda memperdayakan pribumi dengan memberdayakan raja, bupati, demang, lurah, yang dijadikan antek-antek penjaga status quo.

Tapi, di luar itu, dia merasa sakit hati, lantas memberontak pada kodrat kewanitaannya, sebab suaminya Rudolph MacLeod yang orang Skotland dan perwira ketentaraan Belanda di Indonesia, adalah suami yang gemar melacur, sehingga menyebabkan kedua anaknya tertular sifilis: yang pertama Norman John lahir di Amsterdam dan mati di Batavia dan yang kedua Jeanne Louisa lahir di Batavia dan mungkin mati di Banda, Maluku.

Frustrasinya pada keadaan itu berangsur memperkuat jiwanya untuk memilih menjadi vrijdenker—kosakata bahasa Belanda yang harafiahnya berarti ’pemikir bebas’—tapi dengannya memiliki hubungan yang dekat dengan praktik ateisme.

Rasa sakit batin itu pula yang mendorongnya membalas dendam pada suaminya dengan nekat membuka celana dan mengangkang untuk senang-senang dengan sejumlah lelaki—terutama dari kalangan perwira dan pejabat tinggi negara—sampai akhirnya dia menjadi sundal kelas tinggi, sembari terus menari telanjang, dan terus pula memata-mata dengan cara mengadu-domba, yang berujung dengan penangkapannya ini. [bersambung]

Artikel Terkait