11 Mei 2012

CSIS: Cuma Libya Pendukung Gerakan Revolusioner Indonesia

Yogyakarta – Negara-negara di dunia tidak ada yang mendukung sparatisme di Indonesia. Hanya Libya saja yang pernah secara resmi mendukung gerakan revolusioner, seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Dok. Abdullah Syafiie (Alm), mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka, salah satu gerakan revolusioner di Indonesia yang mendapat bantuan negara Libya
Hal ini disampaikan Direktur Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Rizal Sukma di Universitas Muhammadyah, Yogyakarta pada Kamis 10 Mei 2012.

Menurutnya, dukungan yang diberikan negara Libya terhadap GAM tempo lalu dikarenakan negara ini merupakan revolusioner. Dukungan yang diberikan secara resmi oleh negara bekas pimpinan Muammar Khadafi ini, kata Rizal hanya sebatas melatih gerilyawan-gerilyawan di negeri Libya.

"Libya merupakan revolusioner, sehingga mendukung banyak gerakan revolusioner, tidak hanya GAM," kata intelektual yang namanya masuk dalam 100 pemikir terkemuka dunia versi Majalah Foreign Policy pada 2009 itu.

Ia mengatakan masyakarat diharapkan tidak selalu menganggap adanya campur tangan asing dalam separatisme di Indonesia.

"Mengenai campur tangan Finlandia dalam kasus Aceh dan Australia pada kasus Papua, terjadi karena pemerintah Indonesia yang justru terus melakukan politik eksploitasi dan politik sentralisme," kata Rizal.

Lebih lanjut Rizal mengatakan, negara-negara di dunia justru mengharapkan stabilitias di Indonesia, karena secara ekonomi menguntungkan internasional.

Menurut dia, pada seminar "Campur Tangan Internasional Terhadap Separatisme di Indonesia", Indonesia saat ini menjadi aset strategis bagi negara-negara Asia Tenggara maupun dunia, termasuk China dan Amerika Serikat (AS).

"Indonesia juga memiliki tingkat konsumsi yang tinggi terhadap produk-produk asing. Hal itu menjadikan dunia internasional justu tidak ingin terjadi konflik apa pun yang mengakibatkan instabilitas di Indonesia," katanya.

Ia mengatakan Indonesia juga memiliki posisi strategis dalam perdagangan internasional. Indonesia berada dekat dengan Selat Malaka yang menjadi selat tersibuk kedua di dunia karena menjadi lalu lintas perdagangan internasional.

"Jadi, tidak hanya AS, tetapi juga Jepang, China, Korea Selatan, dan negara-negara Asia Tenggara yang notabene kebanyakan merupakan sekutu AS, tidak menginginkan instabilitas di Indonesia," katanya.[Ant/red]

Artikel Terkait